Minggu, 31 Juli 2011

The Cure









Masumi terbangun begitu merasakan tempat di sampingnya kosong. “Mungil? Sayang?”
          Terdengar suara seperti orang muntah dari toilet. Laki-laki itu segera meraih jas kamarnya dan bergegas menuju toilet.
          “Maya, kau kenapa?” tanyanya panik demi melihat istrinya jongkok di kloset, mengeluarkan isi perutnya. Maya tidak menjawab. Ia masih merasa sangat mual sehingga terus muntah untuk beberapa saat. Masumi memanggil pembantunya untuk menyiapkan teh hangat dan memanggil dokter. Lalu menghampiri istrinya yang nampak lemah dan pucat.
          “Tak perlu memanggil dokter,” bisik perempuan itu. Meski wajahnya sedikit pucat dan berkeringat, tapi senyum menghiasi bibir dan matanya. Masumi memapahnya kembali ke tempat tidur.
          “Kemarin dokter bilang, ini akan terjadi di awal kehamilan. Meski aku tidak menyangka secepat ini.”
          “Benarkah?” Masumi jongkok di depan istrinya. Mengusap keringat yang merembes di kening Maya.
          “Iya, jadi jangan khawatir.”
          Tapi tetap saja Masumi khawatir. Maya susah makan sejak itu. Jangankan untuk memasukkan makanan ke mulut, mencium baunya saja sudah membuat perempuan itu sangat mual dan seolah mau muntah.
          Yang bisa dia makan hanyalah beberapa jenis buah, beberapa suap roti, dan susu, itupun karena hasil bujukan mati-matian suaminya.
          “Ayolah, sayang. Makanlah biar sedikit,” bujuk Masumi malam itu. Maya mengernyitkan hidungnya mencium bau makanan yang terhidang di meja. “Kau harus pikirkan kesehatanmu dan si kecil, ya. “
          Baru beberapa suap, perempuan itu sudah berlari ke toilet dan memuntahkannya kembali.***

          Dokter tersenyum menanggapi keluhan suami pasiennya itu.
          “Jangan khawatir, Pak Masumi. Perlahan morning sicknya akan berkurang seiring perkembangan si janin. Asalkan tetap minum susu yang sudah direkomendasikan, dan ada asupan makanan lain meski hanya roti dan buah, itu sudah cukup sampai gejala ini menghilang.”
          “Apa kubilang,” bisik Maya di telinga suaminya.
          “Dan Nyonya tentu saja harus membatasi aktivitas untuk sementara, agar tidak kelelahan karena asupan makanan sekarang tidak begitu baik.”
          Masumi bisa sedikit rileks setelah mendengar penjelasan dokter. Namun tetap saja, ia mengawasi berbagai aktivitas istrinya. Sampai-sampai Maya berjalan agak cepat saja, laki-laki itu menegurnya.
          “Masumiii…’” keluh Maya suatu sore saat suaminya tiba-tiba muncul di dapur dan menyuruh pembantu mereka mengambil alih pekerjaannya membuat makan malam. Laki-laki itu menggendongnya ke kamar mereka. “Kau kan tidak boleh terlalu lelah,” ujarnya tenang. Maya merengut saat lelaki itu mendudukannya di sofa dan jongkok di hadapannya. Maya menempelkan kedua telapan tangannya di pipi suaminya. “Tuan Masumi Hayami,” katanya. “Aku ini hamil, bukannya invalid.
          Masumi tertawa. “Aku tahu,” dikecupnya bibir istrinya lembut. “Tapi aku takut sekali terjadi sesuatu yang buruk padamu dan si kecil,” ujarnya kemudian.
          Maya tersenyum menenangkan. “Kami akan baik-baik saja, benar kan, Masumi Junior?” Maya menunduk dan mengelus perutnya penuh cinta. Masumi menangkap tangan itu dan menggenggamnya erat. “Kau harus baik-baik saja,” dikecupnya jemari istrinya mesra. Lalu ciumannya berpindah ke perut Maya. “Kau juga, sayang. Bantu papa buat ngingetin mamamu biar tidak terlalu cape, ya..”
          Maya tertawa. Lalu menyusupkan tubuhnya ke dalam pelukan suaminya begitu Masumi duduk di sampingnya. Dirasakannya kepalanya dikecup lembut. Maya menengadah, menatap wajah Masumi.
          “Maafkan aku sudah membuatmu khawatir akhir-akhir ini,” bisiknya. “Aku akan lebih hati-hati.”
          Masumi tersenyum. Kepalanya merunduk untuk mencium bibir wanita yang sangat dicintainya itu.***
          Nafsu makan Maya bertambah seiring dengan perkembangan kehamilannya. Dia tidak lagi mengalami morning sick saat memasuki bulan keempat. Meski dengan perut yang mulai membesar, Maya tetap aktif dan menjalani semua kegiatannya dengan ceria.
          “Aku tak sabar menunggunya lahir,’ bisik Maya seraya mengusap foto kandungannya. Sosok bayi mereka semakin jelas. Masumi, mengusap-ngusap perut Maya yang menggembung dengan lembut. “ empat bulan lagi..” ujarnya. “Kita masih harus bersabar.”
          “Sepertinya nanti dia akan jadi bayi yang aktif. Sekarang aja luar biasa..” gelak Maya, merasakan dinding rahimnya ditendang-tendang lembut dari dalam. Mereka tengah duduk berpelukan di sofa dalam kamar. Memandangi sonogram terbaru bayi mereka. Maya tersenyum bahagia mengusap gambar calon bayinya. “Aku senang sekali saat dokter memberitahuku bahwa bayi kita laki-laki. Harapanku terkabul.”
          Masumi mengecup pundak istrinya lembut.
          “Masumi junior.. Dia pasti tampan sepertiku.”
          Maya tertawa. “Kau ini..”
          “ Hei, itu kenyataan.” Ujar Masumi.
          “Kurasa para pegawaimu akan kena serangan jantung semua kalau tahu bos mereka yang menakutkan ternyata cukup narsis.”
          “Hmm.. kurasa mereka tidak akan bilang aku narsis. Tanpa aku tegaskan, mereka sudah tahu pesonaku.”
          “Masumiii…” Maya tergelak. “Jangan kau tularkan kenarsisanmu pada bayi kita nanti!”
          “Tak ada salahnya, kan?” senyum laki-laki itu. Maya memukul lengan suaminya gemas.
          “Kau sudah minum susu?” tanya Masumi kemudian. Maya mengangguk. “Sudah tadi.” Oya, tadi jas pesananmu sudah datang. Aku sampai lupa kalau besok ada acara penghargaan..”
          “Kau masuk nominasi, kan?” tanya Masumi. Maya mengangguk.
          “Hmm.. apa kita harus datang besok?”
          “Tentu saja, mungil. Banyak yang memprediksikan kau akan memborong semua nominasi nanti.”
          “Sebenarnya aku tidak suka acara-acara seperti itu. Apalagi kalau jadi pusat perhatian.”
          Masumi tergelak. “Itu konsekuensi kalau jadi bintang besar.”
          “Apa tidak bisa kita wakilkan saja?’ kerling Maya.
          “Tidak. Lagi pula untukku, saatnya memamerkan istri dan calon anakku, live..”
          Maya mengerucutkan bibirnya. “Narsis lagi..” ujarnya. “Kau lupa, kita masuk majalah lebih dari 3 kali selama aku hamil ini?’
          “Aku bilang juga live… Langsung!”
          “Kau bisa tetap tampil penuh pesona, seperti katamu tadi. Tapi aku? Dengan perut besar begini, mana bisa penuh pesona.”
          Masumi tersenyum dengan binar cinta yang terlihat nyata.
          “Siapa bilang kau tidak mempesona?” ujarnya. “Aku bahkan sudah bisa membayangkan harus memelototi banyak orang yang seenaknya memandangimu dengan mata memuja.”
          “Kau hanya menghiburku,” rajuk Maya. Masumi mengecup pipi perempuan itu.
          “Tidak.. kau memang mempesona, bahkan sangat mempesona.” Terbayang di matanya beberapa kejadian saat mereka pergi bersama, ia harus bersabar melihat banyaknya pandangan memuja dari banyak pria yang terlihat begitu terpesona dengan Maya. Ah, istriku yang cantik, kau tetap tidak menyadari, betapa mempesonanya dirimu, senyum Masumi dalam hati.***

          Dan itu terbukti keesokan malamnya. Dengan gaun hamil yang sederhana tapi sangat pas dikenakan Maya, Perempuan itu tampil begitu mempesona. Masumi mendengar bisikan-bisikan memuji dari beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
          “Cantik sekali, yaa..”
          “Semakin kesini, Maya Hayami semakin menarik. Bahkan saat dia hamil sekalipun.”
          “Beruntungnya direktur Hayami..”
          Infotainment pun berebut untuk mewawancarai mereka.
          “Calon bayi kami sehat, “senyum Maya. “Terima kasih atas doa semuanya.”
          “Perkiraan pertengahan bulan Juli..” Masumi menjawab dengan tenang.
          “Nama?” Maya melirik suaminya. “Kami sudah memikirkan beberapa nama, tapi belum diputuskan yang mana.”
          “Yang penting si kecil lahir dengan sehat dan selamat nanti, “lanjut Masumi. “Juga dengan mamanya..”
          Dengan halus Masumi mengatakan bahwa mereka harus segera masuk ruangan karena acara akan segera di mulai. Dari 7 nominasi, Maya memenangkan 5 diantaranya. Masumi tersenyum bahagia. Kekasih mungilnya sudah mengepakkan sayapnya kini.***
          Bayi kecil yang lucu lahir di pertengahan Juli. Rumah besar Hayami kini selalu hangat dengan tangisan dan celotehan Ryusuke Hayami. Bayi itu kini jadi bintang kecil di rumah tersebut. Eisuke selalu memamerkan si kecil ke setiap kerabat yang berkunjung. Ia begitu bangga dengan cucu pertamanya itu.
          Suara rengekan Ryu membuat Maya segera terbangun dari tidurnya. Diliriknya jam, jam 2 malam. Ryu memang masih sering terbangun di tengah malam. Kalau tidak popoknya basah, dia pasti lapar dan minta digendong.
          Dihampirinya kamar bayi yang terhubung dengan kamarnya. Bayi itu langsung menangis saat melihat wajah mamanya.
          “Apa sayang?” senyum Maya lembut. “Hmm.. popoknya basah yaa.. Sini mama ganti.”
          Dengan penuh kasih sayang ia mengganti popok Ryu. Bayi dua bulan itu langsung tenang begitu merasa nyaman. Maya menggendongnya dan membawanya ke kamarnya. Di sana nampak suaminya yang baru keluar dari ruang kerja, tersenyum melihat bayi kecil dalam gendongan istrinya.
          Laki-laki itu ikut duduk di sofa saat Maya menyusui Ryu.
          “Dia lahap sekali,” komentarnya seraya meraih jemari mungil bayinya.
          “Setelah menangis tentu lapar. Iya, kan Ryu?”
          “Kau pasti lelah, setiap malam harus terbangun untuk menyusui si kecil,” ujar Masumi seraya memeluk bahu istrinya.
          “Ehmm.. tapi ini menyenangkan,” jawab Maya. “Melihat wajahnya saja sudah membuat lelahku hilang. Lagi pula, kau selalu menemaniku,” Maya menoleh, tersenyum pada suaminya. “Terima kasih..”
          “Apapun untukmu, mungil,” Masumi merunduk, mencium bibir istrinya lembut. Maya membalasnya dengan penuh cinta. Ciuman mereka berakhir oleh celotehan Ryu. Keduanya tertawa saat menyadari bayi mereka tersenyum menatap keduanya. Dengan gemas Masumi mencium pipi gemuk Ryu. “Juga untukmu, jagoan kecil.”
          Ryu melonjak-lonjak gembira saat papanya meraihnya ke dalam gendongannya.***

          Kantor Daito. Jam 12.15 siang
          Di dalam ruangannya Masumi bolak balik sambil menggendong Ryu yang menangis. Saat ini Maya sedang di bawah, Kuronoma meminta Maya untuk mengaudisi beberapa pemain baru. Maya memutuskan untuk tidak menerima tawaran drama apapun sebelum Ryu berusia setahun, minimal. Perempuan itu tidak mau kehilangan moment-moment penting perkembangan bayinya. Namun ia tidak bisa menolak perminataan Kuronoma untuk mengaudisi pemain hari ini.  Maya bersikeras membawa Ryu, karena ini pertama kali ia harus keluar cukup lama.  Perempuan itu belum tega meninggalkan Ryu sendiri dirumah, meski ada pengasuhnya.
          Masumi sedikit menyesal mengapa tadi ia menyuruh baby sitternya untuk makan siang. Ryu rewel sejak bayi itu terbangun 5 menit yang lalu.
          Mizuki menawarinya untuk gantian menggendong Ryu. Tapi tangis bayi itu malah kian keras.
          “Aku tidak tahu bagaimana cara Maya menenangkannya. Tapi jika Ryu sedang rewel begini, hanya dengan dipeluk dan ditepuk-tepuk olehnya Ryu bisa langsung tenang.”
          “Setiap ibu pasti tahu bagaimana cara menenangkan anaknya,” senyum Mizuki. Baru kali ini dia melihat atasannya itu nampak kebingungan, membujuk bayi berusia tiga bulan itu berulang-ulang.
          “Ryu sayang, sudah dong nangisnya..” Masumi menepuk-nepuk punggung bayinya lembut. “bentar lagi mama datang, kok. Ryu jangan nangis lagi..”
          Tapi bayi itu tetap menangis.
          Maya yang masuk dengan tergesa membuat laki-laki itu menarik nafas lega.
          Seraya tersenyum, Maya meraih bayinya ke dalam pelukannya.
          “ Wah, jangoan kecil mama kenapa ini?” ujarnya riang. Ryu masih menangis dalam pelukannya.
          “Lapar, ya sayang?” Maya mencium pipi bayinya. Lalu duduk di sofa di depan meja kerja Masumi. Suaminya mengikuti, duduk di sampingnya.
          Ryu masih terisak-isak ketika menyusu. Maya dengan lembut menghapus air mata di pipi Ryu.
          “Ryu kaget, ya? Bangun di tempat asing,” senyumnya. “Ini pertama kali Ryu ke sini, kan?” Maya menoleh ke arah suaminya yang kini tengah asyik mengagumi bayinya dalam pelukan Maya. Dengan lembut digenggamnya jemari mungil Ryu.
          “Pantas saja dia rewel sejak bangun tidur. Dia pasti kaget.”
          “Iya,” anguk Maya. Lalu kembali memandang bayinya. “Sayang,” ujarnya lembut. “ Ini kantor papa, jadi Ryu jangan takut, ya.”
          Si kecil melonjak-lonjak seolah menerti ucapan mamanya, membuat kedua orang tuanya tertawa.
          “Dia seperti mengerti ucapanmu,” ujar Masumi.
          “Siapa tahu dia memang ngerti,” jawab Maya. Masumi menarik tubuh istrinya agar dapat bersender dengan nyaman di bahunya. Sesekali di kecupnya pipi dan bahu Maya dengan penuh cinta, seraya terus memandangi bayi kecilnya penuh kekaguman.
          “Aku masih tidak percaya..” bisiknya Masumi kemudian. Maya menoleh sekilas.
          “Hmm?
          “Dua tahun yang lalu hidupku masih begitu kaku, di kepalaku hanya ada kerja dan kerja, mengabaikan hatiku sendiri dan bergulat untuk memendam cintaku padamu. Sekarang..” Masumi mengecup kembali ujung kepala istrinya. “… Aku memilikimu, memiliki cintamu. Ini keajaiban bagiku.. tak pernah kubayangkan sebelumnya bisa memeluk dan menciummu setiap hari. Jika aku lelah karena pekerjaan, menelponmu dan mendengar suaramu sudah membuat semangatku muncul kembali. Pulang ke rumah, melihat senyummu dan memelukmu membuat semua kepenatanku hilang. Bahkan kini… kau memberiku Ryu. Keajaiban lainnya yang membuat semuanya semakin indah.”
          Maya tersenyum. Mendongak dan mengecup pipi suaminya lembut. “Kau pun keajaiban bagiku, “ bisiknya.” Aku mencintaimu, Masumi Hayami.”
          Masumi merunduk, mencium bibir istrinya dengan cinta yang meluap. “I love you more, Maya” balasnya berbisik.***

          Sore ini begitu cerah. Maya menggendong Ryu memasuki sebuah kafe dan memilih untuk duduk di dekat jendela yang menghadap ke taman yang asri. Sore ini ia akan mengimunisasi Ryu ke dokter. Masumi bersikeras untuk menemani, namun saat ini ia masih di kantornya, agak sedikit terlambat. Jadi mereka janjian di kafe dekat praktek dokter pribadi mereka.
          Ryu nampak senang saat mamanya mendudukkannya di pangkuan, menunjukkan taman yang penuh bunga warna-warni di depannya. Bayi itu menjawab semua ucapan mamanya dengan tawanya yang renyah, membuat Maya ikut tertawa bersamanya.
          Maya bukannya tidak menyadari, beberapa pengunjung mengambil foto mereka. Sebentar lagi pasti foto-foto tersebut sudah beredar di internet. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
          Yang tidak dia sadari adalah sepasang mata sendu yang menatap mereka dari sudut kafe. Mata itu melihat dengan pandangan terluka, melihat sosok bayi yang kini tengan tertawa di pelukan Maya. “Harusnya kau jadi anakku,” bisiknya pedih. “Harusnya yang sedang menggendongmu sekarang adalah aku, bukan Maya. Harusnya aku yang sedang tertawa bahagia bersamamu di sana!”
          Wajah bayi itu mengingatkannya pada laki-laki yang masih sangat dia cintai. Masumi.. betapa bahagianya aku jika yang menjadi ibu dari anakmu itu adalah aku!
Namun wajahnya kemudian mengeras saat memandang Maya. Kau.. semua karena kau! Kau yang membuat Masumi berpaling dariku!
          Dada perempuan itu berdegup kencang saat melihat Masumi memasuki kafe. Wajah laki-laki itu nampak tersenyum, menghampiri Maya yang nampak berdiri menyambutnya. Hatinya perih melihat betapa mesranya Masumi mencium perempuan itu, dan kini nampak meraih bayinya ke dalam gendongannya, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
          Tak tahan melihat pemandangan itu, perempuan itu segera beranjak dan keluar kafe, bergegas memasuki mobilnya.
          “Kita pulang,” perintahnya kepada sopirnya. “ Baik, Nona Shiori.”***

          Pagi sudah beranjak siang. Maya baru saja berbicara dengan Pak Kuronoma di telepon. Sutradara itu baru saja mengabarkan tentang hasil audisi, dan berharap Maya bisa datang saat pengumumannya sore ini. Maya belum bisa memberi keputusan. Ia harus meminta ijin dulu pada suaminya.
          Tawa ceria Masumi, Eisuke dan Ryu terdengar dari ruang keluarga. Dilihatnya Suaminya tengah asyik mengangkat tubuh Ryu tinggi-tinggi. Bayi itu tertawa gembira, ditimpali oleh ayah dan kakeknya. Hampir setiap weekend, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Terlebih setelah Ryu lahir. Masumi sebisa mungkin mengatur jadwalnya agar tidak ada pertemuan atau rapat yang harus dia lakukan di akhir minggu.
          “Telepon dari siapa?” tanya suaminya saat ia duduk di samping lelaki itu.
          “Pak Kuronoma,” jawab Maya. “Beliau ingin aku hadir di acara pengmuman pemenang sore ini.”
          “Mendadak sekali.”
          “Katanya beliau mencoba menghubungiku sejak kemarin. Tapi entah mengapa telepon rumah kita sama hp ku katanya nada sibuk terus.” Jelas Maya. “Apakah aku boleh datang, Masumi?”
          “Tentu saja. Mau kuantar?”
          “Bisakah?” tanya Maya lagi. Masumi tertawa.
          “tentu saja, mungil. Aku kan tidak kemana-mana sore ini.”
          “Tapi bagaimana Ryu? Kita pasti pulang malam nanti.”
          “Pergilah,” Eisuke menimpali. “Ryu biar ayah yang jaga.”
          “Ayah,” Maya menatap mertuanya, masih ragu. “Nanti ayah repot kalau Ryu tiba-tiba rewel.”
          Eisuke tertawa. “Apanya yang repot? Ryu pasti baik-baik saja.. kalau pun toh rewel, aku kakeknya, aku pasti bisa membuat dia tenang lagi,” Eisuke memandang cucunya, yang kini sedang asyik memainkan leher baju ayahnya, dengan penuh cinta. “Lagi pula, sejak Ryu lahir, kalian belum pernah keluar kencan berdua lagi. Ayo, gunakan waktu kalian untuk kencan juga malam ini.”
          Masumi tersenyum, menatap ayahnya penuh terimakasih. Lalu menoleh kepada istrinya. “Ide ayah bagus. Kita memang belum kencan berdua sejak Ryu lahir, bagaimana?”
          Maya menatap bayinya, masih ragu. Lalu menatap suami dan ayah mertuanya bergantian sebelum akhirnya mengangguk.***

          Masumi menunggu Maya di kursi VIP penonton. Istrinya duduk di kursi juri di panggung sana, sedang fokus memerhatikan MC yang kini tengah mengumumkan pemenang audisi. Melihat sosoknya yang mungil, dengan wajah baby face seperti itu, siapa yang akan menyangka kalau dia sudah menjadi seorang ibu dari seorang bayi laki-laki yang lucu. Wajah mungil itu sering dia pandangi saat terlelap. Tak pernah bosan untuk mengelus dan menciumnya. Wajah yang kerap memberinya berjuta cinta dan kehangatan.
          Bahkan memandangnya seperti ini pun membuatku tak sabar untuk menyentuhnya, senyum Masumi.
          Lamunannya terhenti karena tepukan meriah penonton lainnya. Ternyata pemenang audisi sudah diumumkan.
          “Kau pasti bosan menunggu,” senyum Maya saat mereka keluar ruang pertunjukkan. 
          “Hmm.. sedikit,” jawab Masumi. “Tapi aku punya penawar yang jitu untuk mengusir rasa bosanku.”
          “Apa itu?” Maya menahan langkahnya untuk masuk ke dalam mobil, menatap suaminya penasaran. Dilihatnya Masumi hanya tersenyum misterius.
          “Masumiiii…” rengek Maya. Suaminya tertawa. “Aku tidak akan memberitahumu,” godanya. Maya mengerucutkan bibirnya. Dia tetap berdiri di depan pintu, menolak masuk sebelum suaminya menjawab pertanyaannya.
          “Ayolah, nyonya Hayami. Kalau kau berdiri terus seperti itu, kita akan telat ke pertunjukkan nanti.”
          “Kau sih, main rahasia-rahasiaan,” mau tak mau Maya melangkah masuk. Masumi menahan lengan istrinya sesaat sebelum perempuan itu merunduk untuk masuk ke mobil. Lalu secepat kilat dikecupnya bibir yang masih sedikit merengut itu.
          “Masumiiii…!” Maya berteriak tertahan, matanya memandang panik ke sekeliling, takut ada yang melihat. Namun ia terpaksa pasrah karena ternyata di sekitar mereka masih ada beberapa orang yang berdiri, termasuk beberapa wartawan. Wajahnya memerah.
          Masumi tertawa.
          “Habis kau menggemaskan kalau lagi merajuk seperti itu,” Masumi mengedipkan sebelah matanya. Lalu menutup pintu mobil dan berjalan menuju pintu satunya.
          Bahkan sampai mereka sudah berdua di tempat tidur, siap-siap untuk tidur, Maya masih menuntut jawaban dari pertanyaannya. Perempuan itu menegakkan tubuhnya dan menatap suaminya yang terbaring di sampingnya.
          “Masumi, aku tidak akan membiarkanmu tidur jika tidak menjawab pertanyaanku tadi,” ancamnya. Suaminya malah tertawa.
          “Kenapa kau begitu penasaran?”
          “Tentu saja. Hal yang membuat Masumi Hayami tidak merasa bosan saat terpaksa menunggu pasti sesuatu yang luar biasa.”
          “Memang luar biasa,” jawab Masumi enteng.
          “Masumiiii..” Maya merajuk.
          “Ayolah tidur, aku sudah mengantuk,” ujar Masumi seraya menyamankan posisinya dan mulai memejamkan mata. Maya menarik selimut lelaki itu.
          “Sudah kubilang, aku tidak akan membiarkanmu tidur sebelum menjawabku.”
          Masumi membuka matanya kembali. Ditahannya senyumnya melihat wajah perempuan itu menekuk kesal.
          Perlahan dia bangun, lalu duduk menghadap istrinya.
          “Nyonya Masumi Hayami, kalau kau begitu penasaran, baiklah, aku akan memberi tahumu.”
          Wajah Maya mencerah mendengarnya. Ia sudah siap-siap mendengar jawaban suaminya, namun lelaki itu malah menarik wajahnya mendekat dan mulai menciumi wajahnya.
          “Masumi, kenapa malah menciumiku?” protesnya. Tapi lelaki itu terus mengecupi kedua matanya, menyusuri pipinya dengan hidungnya sehingga ia bisa merasakan nafas laki-laki itu hangat menyapu sepanjang pipinya, lalu bibir laki-laki itu menemukan bibirnya.
          “Penawar jitu dari segala rasa bosanku, semua lelahku, penawar marahku, adalah kau.. “,” bisik laki-laki itu sebelum akhirnya mencium bibir istrinya lembut.
          Maya tertegun. Begitu sadar apa yang sudah terjadi ia tersenyum. Hatinya diliputi kebahagiaan.
          Dibalasnya ciuman suaminya penuh cinta.
          “Kurasa, sekarang aku yang akan membuatmu tidak tidur semalaman,” bisik Masumi seraya merebahkan istrinya di tempat tidur.***

1 komentar:

  1. sukaaa bgdd... ditunggu cerita selanjutnyaa... makacii.. :)

    BalasHapus