Minggu, 16 Oktober 2011

Daddy’s Day Out Part 3



Maya berteriak histeris, melemparkan dirinya melompati pagar dan tubuhnya melayang jatuh untuk kemudian terhempas di atas matras yang empuk.

“Cut!”

Perempuan itu membuka matanya, sedikit meringis saat seorang crew mengulurkan tangan untuk membantunya bangun.

“Bagus, Maya!” puji Pak Himekawa. “Kurasa adegan ini lebih bagus dari pada yang dulu.”

Maya tersenyum senang. Jarang-jarang sutradara senior ini memberikan pujian.

“Terimakasih, Pak,” ujarnya senang. Diliriknya jam. Ah, apa mereka sudah makan siang?

“Emmh.. Pak Himekawa..” Maya menatap sutradaranya ragu.

“Ada apa, Maya?”

“Emmh… itu… scene saya sudah selesai, jadi.. bolehkan saya pulang duluan?”

“Kenapa, Maya? Khawatir meninggalkan suamimu sendirian bersama ketiga anakmu di rumah?” Pak Himekawa tersenyum lebar. Keluarga mereka berdua berhubungan akrab sehingga ia tahu bagaimana kelakuan ketiga Hayami Junior yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri itu.

Maya meringis.
 
“Kalau di rumah setidaknya ada Bibi Michi dan yang lainnya yang akan membantu Masumi. Tapi ini…”

“Kenapa? Apa mereka pergi keluar?”

“Ke kebun binatang,” angguk Maya.

Pak Himekawa tergelak. “Pantas saja kau terlihat gelisah dari tadi.”

Maya tersenyum malu.

“Setiap pergi ke luar, pasti selalu ada ulah yang dilakukan Ryu dan Shou yang membuat kami jantungan. Sekarang Masumi sendirian, saya agak khawatir.”

“Kedua bocah itu memang sangat luar biasa,” Pak Himekawa kembali tergelak membayangkan ulah Ryu dan Shou. “Ah, kau harus membawa mereka ke rumahku nanti, Maya. Juga Aiko. Aku kangen mereka semua.”

“Baiklah, kami akan berkunjung secepatnya,” angguk Maya. “Jadi, bolehkah saya pulang duluan?”

“Tentu saja,” angguk Pak Himekawa. “Sampaikan salamku untuk Masumi, ya.”

Kembali Maya mengangguk. Segera setelah membereskan peralatan dan berpamitan, perempuan itu bergegas menuju tempat mobil dan sopirnya setia menunggu.

Diliriknya jam. Sudah hampir jam 1.

Semoga aku masih sempat menyusul mereka, harapnya dalam hati. Dikeluarkannya handphone dan mulai menekan speed dial suaminya.

***

Entah apa yang dilakukannya di tempat ini. Dia jadi bingung sendiri. Tanpa sengaja ia melihat laki-laki itu saat mobilnya berhenti di lampu merah. Dan segera, dirinya memerintahkan sang sopir untuk mengikuti kemana mobil Masumi berjalan.

Dan disinilah dia. Duduk di salah satu sudut restoran, memperhatikan keempat orang yang kini duduk agak jauh di depannya, riang gembira menyantap makan siang mereka.

Masumi terlihat sesekali tertawa menanggapi celotehan ketiga bocah lucu menggemaskan yang membuatnya begitu terpana saat pertama kali melihat mereka. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah bocah yang paling tinggi. Entah siapa namanya, tapi wajah anak itu sangat-sangat mirip dengan Masumi. Sementara bocah yang kedua, meski lebih mirip Masumi, tapi ada sesuatu di wajah anak itu yang mengingatkannya pada perempuan yang sampai saat ini masih sangat dibencinya.

Ukh, apalagi yang kecil! Matanya menyipit dengan kerut tidak suka. Begitu mirip Maya!  Dan Masumi terlihat sangat memuja gadis kecil yang kini ada dipangkuannya. Berkali-kali dilihatnya laki-laki itu menciumi pipi montok bocah yang diperkirakannya baru berusia satu tahunan itu.

Tapi mana Maya?

Sejak tadi tak dilihatnya perempuan itu. Apa dia tidak ikut?

Matanya membulat saat dilihatnya anak yang sangat mirip Masumi meninggalkan kursinya menuju bagian belakang restoran. Bergegas ia berdiri dan berjalan memutar menuju arah yang sama. Berusaha untuk tidak terlihat oleh Masumi, ia menyelinap ke arah toilet.

Dari sela-sela pintu toilet laki-laki, dilihatnya bocah tadi baru keluar dari bilik toilet dan menuju wastafel. Tak sampai tiga menit,  bocah itu keluar.

“Halo,” disapanya si bocah yang nampak terkejut dan langsung berhenti saat melihatnya.

Dia mencoba memasang senyum yang paling manis. Tatapan mata bening bocah di depannya benar-benar mengingatkannya pada Masumi!

Ryu tidak merespon. Menatap perempuan tak dikenal yang menyapanya dengan waspada.

“Siapa namamu, anak tampan?”

Ryu tidak menjawab. Untuk beberapa saat memandang tajam perempuan ‘aneh’ di depannya, kemudian meneruskan jalannya tanpa mengacuhkan sedikitpun pertanyaan tadi.

“Tu-tunggu!” tak rela ditinggalkan bocah itu, si perempuan refleks menahan lengan Ryu. Ryu nampak terlonjak kaget, lalu..

“Aaaaaaa… Papaaaaaaaaaa!!!”

Anak itu menjerit keras!

Kini giliran si perempuan yang kaget setengah mati! Tak disangkanya bocah itu akan menjerit!

Wajah cantiknya berubah sangat pucat!

Bagaimana ini? Pikirnya panik. Ia tidak mau bertemu Masumi!

Cepat dilepaskannya cengkraman di lengan Ryu dan secepat kilat anak itu berlari keluar.

Masumi yang mendengar jeritan  Ryu melompat dengan khawatir dengan dada berdebar kencang. Namun baru saja ia akan berlari ke toilet, dilihatnya Ryu tengah berlari ke arahnya dengan muka panik.

“Ryu, sayang! kau kenapa?!”

Diraihnya bocah itu ke dalam pelukannya. Tubuh Ryu terasa sedikit gemetar.

“Di toilet ada tante aneh, Papa,” lapor Ryu begitu dirinya merasa sedikit tenang. “Dia nanyain nama Ryu dan saat Ryu mau pergi, malah megang tangan Ryu.”

Seorang laki-laki mendekati mereka. Sepertinya salah seorang pegawai restoran.

“Apa yang terjadi, tuan?” tanyanya dengan muka khawatir.  Masumi menjelaskan apa yang Ryu ceritakan tadi.

“Seperti apa orangnya, Nak?” tanya petugas itu lagi. Segera setelah Ryu menyebutkan ciri-ciri wanita yang ‘menggangunya’ laki-laki itu menyuruh beberapa pekerjanya untuk mengecek ke toilet.

Sementara di luar,  orang yang dicari nampak tengah berjalan menjauhi restoran dengan tergesa. Wajahnya masih nampak pucat. Setelah dirasanya sudah agak jauh, perempuan itu menghempaskan dirinya di atas sebuah bangku dan mengusap keringatnya. Dadanya masih berdegup kencang dan pusing tiba-tiba saja menyergapnya.

Ah! keluhnya seraya mengerjapkan mata. Jangan sampai aku pingsan disini! pikirnya panik seraya mencoba mengusir pusing yang semakin mendera.

Setelah mengambil nafas beberapa kali, akhirnya rasa pusing itu reda. Dipandanginya restoran yang terletak agak jauh di depannya. Entah mengapa, bocah tadi begitu memikat hatinya.

Mungkin karena anak itu adalah jelmaan dari mimpinya dulu, saat dirinya masih berstatus tunangan Masumi Hayami. Pernah dibayangkannya, anak pertama mereka kelak, adalah anak laki-laki yang akan sangat mirip dengan Masumi.

Anak pertama Masumi Hayami memang seperti itu. Tapi sayang, anak itu bukan anaknya.

Shiori menghela nafas. Mimpinya sudah kandas lebih dari 8 tahun yang lalu. Pernikahannya kemudian dengan seorang diplomat asing pun tak berjalan dengan mulus. 7 tahun menikah, belum seorang anak pun hadir dalam pernikahan mereka sampai akhirnya mereka bercerai 4 bulan  yang lalu.

Kembali dia membayangkan wajah Ryu.

Harusnya kau jadi anakku, bisik hatinya pelan.  Sebuah pemikiran melintas dalam benaknya, dan perlahan sebuah senyuman menghiasi bibir perempuan itu.

***

Shiori tak menyadari, semua gerak-geriknya menjadi perhatian seorang laki-laki yang juga duduk di restoran yang sama dengannya tadi. Sama-sama mengawasi semua kegiatan keluarga Hayami.

Saat Shiori diam-diam menyelinap ke toilet, laki-laki itupun ikut menyelinap, dan menatap geram ketika Shiori mencoba menghentikan bocah Hayami yang baru keluar dari toilet.

Argh, siapa perempuan itu? keningnya berkerut sambil mengikuti Shiori keluar restoran. Apa dia punya maksud yang sama denganku? Apa dia saingan? Gawat!! Aku tidak mau rencanaku hari ini gagal. Aku harus bisa mendapatkan salah satu dari mereka, jika tidak..

Laki-laki itu masih menatap waspada ke arah Shiori yang kini duduk di bangku agak jauh dari restoran. Nampak masih mengawasi restoran dengan seksama.
Pasti masih mengincar bocah itu, tebaknya dalam hati.

Laki-laki itu mendengus. Maaf, cantik! Tak akan kubiarkan kau merusak rencanaku!

Dirogohnya HP dari dalam saku jaket.

“Shin! Kau di mana? Aku butuh bantuanmu!”

Setelah mendengarkan lawan bicaranya di telepon, laki-laki itu pun kembali menyimpan HP nya ke dalam jaket, dan mencari tempat duduk tak jauh dari tempat Shiori.

Keduanya kini menatap ke arah restoran dimana nampak keempat anggota keluarga Hayami berjalan keluar.

Keduanya berdiri bersamaan dengan antusias.

Shiori melirik laki-laki yang tadi duduk di bangku sebelahnya, dan kini ikut-ikutan berdiri bersamanya dengan pandangan tak suka. Sedikit heran saat laki-laki itu balas meliriknya dengan berani. Perasaan herannya semakin besar saat menyadari ada pesan tersembunyi di balik lirikan itu. Lirikan penuh ancaman!

Apa sih?

Shiori mengangkat dagu seraya melemparkan tatapan sengit sebelum akhirnya ia beranjak pergi.

Si laki-laki menahan perasaan dongkolnya. Tatapan Shiori tadi dianggapnya sebagai sebuah tantangan.

Berani menantangku? Dengusnya. Lihat saja nanti, tak akan kubiarkan kau mendapatkan mereka! Aku pasti akan mengalahkanmu!

Dengan langkah lebar dia melangkah ke arah yang sama dengan Shiori dan dengan sengaja menyenggolkan badannya yang besar ke badan langsing perempuan itu saat melewatinya.

“Hei!!” Shiori menjerit protes. Dilihatnya laki-laki yang menyenggolnya tadi menoleh seraya tersenyum tanpa menghentikan langkahnya.

Senyuman mengejek yang terlihat di bibir laki-laki itu membuat emosinya naik ke ubun-ubun. Namun ditahannya kuat-kuat mengingat ia punya hal yang lebih penting yang harus segera dilakukan dibanding meladeni laki-laki aneh yang tidak dia kenal.

Perempuan itu menghela nafas panjang untuk meredakan emosi. Setelah merasa cukup tenang, kembali diikutinya Masumi dan ketiga anaknya yang kini nampak telah bergabung dengan pengunjung lainnya di area Bukit Kera.

***

“Jangan jauh-jauh dari papa, ya,” pesan Masumi saat mereka meneruskan perjalanan. Kejadian yang dialami Ryu tadi sedikit banyak sudah membuatnya sangat khawatir. Bukan tidak mungkin, ada orang jahat yang sedang mengincar anak-anaknya saat ini.

Laki-laki itu meningkatkan kewaspadaannya. Tidak sekali dua kali keluarganya mendapatkan ancaman dari banyak pihak. Mulai dari lawan bisnis, yakuza, sampai para penjahat kelas teri yang berniat mengambil keuntungan.  Namun sebisa mungkin dirinya dan Maya menjauhkan ketiga buah hati mereka dari semua ancaman itu. Mereka ingin Ryu, Shou, dan Aiko tumbuh menjadi anak yang normal, yang memiliki banyak teman, dan dapat bermain dengan leluasa bersama teman-teman mereka. Karena itulah, wajah ketiganya hampir tidak pernah muncul sekalipun di media apapun, kecuali pada saat kelahiran ketiganya.

Kini mereka tengah berjalan beriringan menuju Bukit Kera.

Shou berjalan di samping Ryu. Anak itu sebenarnya sempat ketakutan saat mendengar teriakan kakaknya tadi. Bocah itu kini berjalan seraya menggenggam erat tangan Ryu, bermaksud menjaga sang kakak agar tidak diganggu  orang asing lagi.

Ryu awalnya diam saja saat tangannya digenggam. Namun beberapa saat kemudian anak itu menarik lengannya dan menatap tajam sang adik.

Shou kembali meraih lengan kakaknya.

“Ngapain pegang-pegang?” Ryu memelototi adiknya, kembali menepis genggaman Shou.

“Kakak jangan jauh-jauuuh,” sahut Shou seraya kembali mencoba meraih lengan kakaknya. Ada mimik khawatir di wajah anak itu.

Ryu menghela nafas. Akhirnya disambutnya uluran tangan Shou, namun bukan Shou yang menggenggamnya, tapi dia yang kini menggenggam tangan Shou.

Shou tersenyum senang. Keduanya kembali melangkah riang mendekati kandang kera.

Di belakang mereka, Masumi tersenyum dengan Aiko dalam gendongannya.

***

“Shiori Takamiya..”

Sebuah senyum penuh arti menghiasi bibir yang diselipi rokok itu. Pandangannya beralih pada 4 orang yang tengah beriringan berjalan meninggalkan kandang kera.

“Masumi Hayami…”

Senyuman itu semakin lebar. Dibuangnya rokok yang tinggal ujungnya ke dalam tong sampah.

“Hmm, Menarik,” kepala sedikit plontos itu mengangguk-angguk senang. Sebuah ide melintasi pikirannya. Kini laki-laki itu tertawa.

“Ya, begitu,” seringainya. “ Pasti berhasil!!” bisiknya penuh keyakinan. “Kali ini, aku yang akan mendapatkan hadiahnya!”

Tanpa melepaskan pandangan dari sosok Shiori, laki-laki itu mulai berjalan, mengikuti dengan tenang. Lengannya merogoh sebuah benda dari dalam tas dan mulai mengarahkan benda itu ke arah Shiori Takamiya.

***

Setelah puas melihat-lihat kera, kedua jagoan Hayami kemudian menarik papa mereka untuk melihat beruang, lalu penguin. Shou sangat antusias melihat binatang lucu penghuni kutub itu. Dengan lincahnya bocah itu menirukan cara penguin berjalan, membuat Aiko mengerinjal turun dari pengkuan Masumi untuk mengikuti gaya kakaknya berjalan seperti penguin. Tingkah keduanya kontan membuat Masumi tertawa. Terlebih saat melihat Aiko. Tubuhnya yang gemuk sehat ditambah langkahnya yang masih sedikit tertatih membuat gaya penguinnya semakin terlihat menggemaskan.  Beberapa pengunjung ikut tertawa. Bahkan ada yang sampai memotret kedua bocah itu.

Seorang ibu yang sejak awal sudah memperhatikan kelucuan Aiko mendekat, tak tahan untuk menjawil pipi gemuk Aiko.

“Siapa namamu, cantik?” ujar ibu tersebut, berjongkok di depan Aiko. Aiko menghentikan gaya penguinnya dan berlari memeluk kaki Masumi. Menatap malu-malu ke arah si ibu, lalu mendongak dengan pandangan bertanya kepada papanya.

Masumi membalas tatapan mata bulat putri kecilnya dengan senyuman menenangkan.

Perlahan Aiko keluar dari balik kaki Masumi, berjalan mendekat dan kembali menatap si ibu.

“Nama caya Aiko,’ jawabnya, masih malu-malu. Si ibu nampaknya semakin gemas. Diciumnya pipi Aiko sebelum akhirnya dia berdiri, tersenyum ke arah Masumi.

“Putri anda cantik sekali,” pujinya.

“Terima kasih,” senyum Masumi.

“Anda sendirian saja? Mamanya Aiko?”

“Mamanya kebetulan sedang sibuk. Tapi sebentar lagi mungkin menyusul kesini.”

Ryu yang sejak tadi hanya memperhatikan tingkah kedua adiknya langsung menoleh.

“Mama mau kesini?”

Masumi mengangguk. “Sekarang mama masih di jalan.”

“Asyiiikkk… Mama mau kesini!!” Ryu melompat-lompat senang. Shou menimpalinya dengan pekikan gembira sembari berjalan mengelilingi kakaknya, masih dengan gaya penguinnya. Aiko ikut memekik senang, lalu  kembali berjalan bergaya penguin, mengekor di belakang Shou.

Gelak tawa kembali terdengar di area penguin tersebut.

Masumi melihat semua itu dengan tawa lepas seraya mengabadikan kelucuan tingkah ketiga buah hatinya dalam video recorder  di handphone.

Shiori memperhatikan kejauhan. Dadanya berdebar melihat betapa lepasnya Masumi tertawa. Wajah laki-laki itu terlihat bahagia. Menjadi jauh lebih tampan dibanding terakhir kali ia melihatnya 8 tahun yang lalu.

Angannya kembali melayang. Membayangkan dirinya menjadi bagian dari kebahagiaan keempat orang yang tengah bergembira di depan sana.

Agak jauh di sampingnya, laki-laki yang sejak dari restoran tadi tak lepas memantau gerak-gerik Shiori kian penasaran melihat tingkah perempuan cantik itu. Kecurigaannya bahwa perempuan itu adalah saingannya semakin besar. 

Orang yang tidak punya maksud dan misi tertentu tak akan mungkin terus membututi incarannya.

Heh, perempuan itu pasti punya niat yang sama! Incarannya kali ini memang bukan orang sembarangan!

Sejak melihat pertama kali di parkiran, ia sudah tahu, keluarga di depannya itu pastilah keluarga kaya. Mobil Mercedes Benz yang ditumpangi keluarga itu sudah menunjukkan tingkat sosial mereka. Baju yang dipakai pun, meski sederhana, tapi matanya yang sudah jeli dan terlatih dapat menilai, baju mereka merupakan baju dengan kualitas terbaik. Belum lagi handphone yang dipakai sang ayah,

Huh… harganya mungkin sama dengan satu tahun gaji istriku!  Pikirnya mengingat sang istri yang bekerja sebagai kasir di sebuah mini market.

Hmmm.. menculik salah satu bocah itu pasti akan memberikan keuntungan besar baginya. Dan  aku tidak akan membiarkan perempuan itu mengganggu rencanaku!

Diliriknya Shiori dengan pandangan merendahkan.

Shin sudah ditugasinya untuk terus mengintai keluarga itu, dan menunggu sampai sang ayah lengah untuk mengambil salah satu bocahnya.

Sepertinya, bocah laki-laki yang sedang meniru penguin itu lebih gampang didekati dibanding bocah satunya lagi, yang terlihat lebih kalem dan serius.

Dia sudah memberikan detil instruksi kepada Shin, dan rekannya itu pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Aku tinggal mengurusi si cantik ini!

Laki-laki itu kembali memandangi Shiori lekat-lekat. Perempuan itu masih menatap tak putus ke arah kandang penguin.

Eh?

Laki-laki itu mengernyit heran.

Raut muka perempuan disampingnya itu nampak tenang, seperti tengah mengawang dalam lamunan. Namun mimiknya terlihat demikian bahagia!

Perempuan aneh! Apa dia sedang membayangkan banyaknya uang tebusan yang akan diperoleh jika berhasil menculik anak-anak itu? Huh.. bermimpilah! Karena uang itu milikku!!

Saat tengah asyik memandangi mimik Shiori, laki-laki itu sedikit terperanjat karena Shiori tiba-tiba beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya sekilas melihat keluarga incarannya sudah bergerak dari kandang penguin dan berjalan ke arah barat, kembali ke area bukit kera.

Hmm.. mungkin mereka akan menaiki monorel.

Cepat laki-laki itu pun melangkah, mengikuti.

Shiori yang semenjak tadi memang merasa dibuntuti semakin mempercepat langkah. Dengan sudut matanya ia melihat laki-laki yang tadi sengaja menyenggolnya lah yang membuntuti. Hatinya sedikit gelisah.

Orang jahatkah?!

Dia menyesal tidak membawa salah seorang pembantunya saat pergi tadi. Sejak pergi meninggalkan Jepang, dirinya memang sudah tidak terbiasa lagi kemana-mana ditemani salah seorang pengasuhnya. Suaminya yang orang asing menginginkannya untuk lebih mandiri. Meski pada awalnya ia sering kewalahan melakukan semua sendirian, namun lama kelamaan hal itu akhirnya menjadi kebiasaan. Ia pun merasa lebih mandiri sekarang.

Tapi tetap saja, saat merasa terancam seperti ini, ia tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali berusaha menghindar.

Tapi laki-laki itu terus membuntuti!

Shiori mempercepat langkahnya. Sedikit panik saat tidak lagi melihat Masumi dan ketiga anaknya.

Ah, gara-gara dia!

Saking kesalnya, perempuan itu melirik dengan pandangan marah ke arah laki-laki yang membuntutinya, melupakan kecemasannya tadi. Namun tak lama. Segera ia kembali memfokuskan pandangannya mencari sosok tinggi Masumi.

Itu mereka!  Tanpa sadar Shiori melonjak gembira saat menemukan sosok Masumi dan ketiga anaknya. Namun langkah Shiori tersurut di samping kandang tapir. Matanya membulat, mengarah ke rest area tepat di seberangnya dimana Masumi dan ketiga anaknya berada.

Mereka nampak tengah mengerubungi sesosok mungil yang kini tengah tertawa gembira seraya memeluk dan menciumi ketiga bocah Hayami.

Maya!

Lengan Shiori mengepal, menahan cemburu yang tiba-tiba menyeruak dalam hati.

Kenapa dia harus muncul!! Pekik hatinya sebal.

Aku benci Maya! Aku benci wanita itu! Kenapa aku harus melihat wajah polos menyebalkan itu lagi?! Mengapa?

Tanpa disadarinya, air mata sudah mengalir turun. Tak pernah disangka, setelah 8 tahun rasa sakit itu masih ada. Malah rasanya semakin perih. Saat terpaksa menerima putusnya hubungan pertunangannya dengan Masumi, Shiori sempat menyumpahi Masumi tidak akan menemukan kebahagiaannya bersama Maya. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Orang buta pun rasanya pasti akan melihat, keluarga di depannya itu sangat harmonis dan bahagia. Sumpah serapah itu malah berbalik mengenai dirinya. Pernikahannya berjalan hampa. Semakin hari semakin kosong, rapuh, dan akhirnya hancur. Terlebih dengan tidak adanya anak diantara mereka.

Dirinyalah yang tidak menemukan kebahagiaan!!

Shiori merasakan dadanya tiba-tiba sesak. Nafasnya tersenggal.

“Sepertinya anda butuh bantuan.”

Suara yang tiba-tiba muncul disampingnya membuat Shiori terlonjak kaget. Terlambat untuk menghapus air matanya, Shiori menatap laki-laki yang menyapanya dan kembali terkejut.

Laki-laki yang membuntuti sejak tadi!

Dilihatnya laki-laki itu tersenyum.

“Awalnya saya pikir anda saingan saya,” ujar laki-laki itu kalem tanpa memperdulikan tatapan kesal Shiori. “Tapi rupanya saya salah. Dari sikap anda, saya bisa menebak, anda mencintai laki-laki tampan itu, bukan?

Shiori mendelik.

“Jangan sok tahu!” sergahnya kasar.

“…dan saya juga bisa menebak, anda sangat membenci istrinya.”

Shiori diam-diam meringis. Laki-laki ini bisa menebak perasaannya dengan tepat!

Ah, sedemikian jelaskah sikapku? Pikirnya sedikit malu.

Si laki-laki melihat rona merah menjalari wajah jelita Shiori. Dia pun terkekeh.

“Tebakan saya benar, bukan?”

Shiori mencibir, masih berusaha mengelak.

“Bukan urusanmu!” sahutnya ketus seraya mulai kembali melangkah, menjauhi laki-laki tersebut.

“Ah, sayang sekali!”

Didengarnya si laki-laki berujar cukup keras. Ada nada mengejek dalam suaranya.

“Padahal saya bisa membantu anda untuk mendekati laki-laki pujaan anda itu.”
Refleks Shiori menoleh. Langkahnya terhenti.

“Apa maksudmu?”

Yang ditanya malah terdiam dengan senyum misterius di bibirnya. Shiori berdiri dengan waspada saat si laki-laki berjalan mendekat.

“Nama saya Yosuke Asari,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Shiori tak bergeming.

“Jika memang anda ingin mendekati laki-laki pujaan anda, sepertinya anda harus bersikap lebih ramah lagi,” senyum Yosuke, menurunkan kembali tangannya.

Shiori mengetatkan gerahamnya.

“Jangan berbasa-basi!” ujarnya ketus. “Katakan apa maumu?”

Diam-diam Yosuke bersorak dalam hati. Pancingannya berhasil!

“Hanya kerjasama anda,” jawabnya kemudian. “ dan tentu saja… sedikit imbalan jasa.”

Seringai lebar menyeruak di bibirnya yang kehitaman.


***



                       -Daddy's Day Out- bersambung ke part 4-







Selasa, 11 Oktober 2011

SPECIALLY FOR YOU


Setting: Seminggu setelah MM menikah.


Maya memandangi kalender dengan gelisah. Tinggal seminggu lagi…Gadis itu mendesah. Melemparkan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur.

dan sampai sekarang, aku belum menemukan yang cocok.. argghhh!!

Dipandanginya langit-langit kamar. Wajah tampan Masumi terbayang di sana. Sesaat senyuman manis menghiasi wajah mungil Maya.

“Sedang apa kau sekarang?” bisiknya lembut. Diangkatnya sebelah lengan, mencoba menggapai sosok dalam lamunannya itu. Namun tentu saja sia-sia.

Maya mengerang seraya menahan kerinduannya. Sudah hampir seminggu Masumi pergi ke Hongkong untuk urusan bisnis. Padahal mereka baru saja tiga hari menikah saat Masumi menerima telepon bahwa proyek pembangunan gedung kesenian Daito di sana mengalami kendala serius. Karenanya, mereka terpaksa menunda rencana bulan madu dan Masumi segera terbang ke Hongkong.

Padahal baru 10 menit yang lalu aku bicara dengan Masumi, tapi aku malah semakin rinduu...

Maya membalikkan badan, menelungkup. Memejamkan mata mencoba meredakan kerinduan yang meluap-luap. Namun kini, bayangan wajah Masumi malah kian jelas di pelupuk matanya.

Masumiii…

Maya kembali mengerang. Berguling ke samping dan melengkungkan badan. Kedua lengannya memeluk lutut. Dulu, sebelum mereka menikah, biasanya posisi seperti ini cukup ampuh untuk meredakan dadanya yang sesak saat ia merasa rindu pada Masumi. Namun sekarang, bahkan setelah lewat lima menit dalam posisi seperti itu, sesak di dadanya tak kunjung reda.

Kerinduannya tak berkurang sedikitpun. Malah semakin terasa menyesakkan. Air mata mulai menetes di pipi Maya. Ia ingin Masumi berada di sampingnya saat ini juga!!

Ah, sejak kapan aku menjadi posesif begini?

Beberapa saat, gadis itu membiarkan air mata membasahi seprai di bawah pipinya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk bangun, meraih remote dan mulai menyalakan TV.

Drama seri yang diperankan Ayumi yang kini sedang ditontonnya akhirnya mampu sedikit meredakan keresahan hati akibat rindu yang belum terobati. Namun saat drama itu usai, dan matanya tanpa sengaja melirik jam meja digital di atas nakas dan melihat tanggal di atasnya, kembali Maya menghela nafas berat. Dicobanya untuk tidur.

Hasilnya, sampai pagi, matanya tak juga bisa terpejam.

***

“Aku sangat merindukanmu..” Maya berbisik di telepon. “Cepatlah kau pulang.”

“Aku juga sangat merindukanmu, sayang. Tapi sepertinya aku masih harus lebih lama di sini,” jawab Masumi di seberang sana.

“Apa sangat parah?”

“Hmm, sudah bisa aku tangani sebenarnya. Hanya saja aku masih harus mengawasi beberapa hal secara langsung agar kejadian kemarin tidak terulang.”

“Jadi kapan kau bisa pulang?” Maya memutar-mutar kabel telepon dengan telunjuknya. Dari tadi dicobanya untuk menahan tangis yang serasa menyesakkan dada.

“Paling lambat hari Rabu depan, sayang. Tapi aku akan usahakan lebih cepat.”

Rabu depan? Berarti sudah lewat tanggal ituu.. pikir Maya setengah tidak rela.

“Maya?”

“Hmm?”

“Ayo tersenyum. Jangan merengut seperti itu.”

Mau tak mau Maya tertawa. Masumi pasti dapat dengan jelas membaca suasana hatinya saat ini.

“Masumi?”

“Apa, sayang?”

“Aku mencintaimu.”

Sesaat tak ada jawaban, lalu..

“Kau membuatku ingin segera terbang pulang,” jawaban Masumi lebih terdengar seperti keluhan. Maya tergelak.

“Ah.. aku harus segera pergi. Sudah dulu, ya. Nanti malam aku telepon,” ujar Masumi lagi.

“Aku tunggu..,” Maya mengangguk, meski tahu Masumi tidak mungkin bisa melihatnya. “Jangan sampai terlambat makan, sayang,” imbuhnya.

“Kau juga,” sahut Masumi. “Aku sangat-sangat-sangat mencintaimu, Maya Hayami.”

Maya tertawa, lebih riang sekarang.

“Aku juga, Masumi Hayami. Aku sangat mencintaimu.”

Beberapa saat dipandanginya gagang telepon yang sudah kembali ke tempatnya sebelum akhirnya meraih tas dan berjalan keluar kamar.

Dia akan jalan-jalan bersama Rei hari ini.

Mungkin aku akan mendapatkan apa yang aku cari.. pikirnya penuh harap.

Di teras, supirnya sudah siap menunggu. Dengan membungkukkan badan membuka pintu untuk nyonya mudanya.

“Terima kasih,” senyum Maya.

Tak lama kemudian, mobil itupun sudah meluncur membelah jalanan Tokyo yang nampak ramai.

***
Sudah hampir dua jam mereka berputar-putar di  Tokyo Midtown Mall. Tapi Maya belum juga menemukan apa yang dia cari.

“Sebenarnya kau mencari apa sih, Maya?” tanya Rei yang sudah mulai kesal karena sejak tadi sahabatnya itu hanya keluar masuk toko, melihat-lihat, namun tak ada satupun yang dibeli.

“Kado,” jawab Maya singkat. Gadis itu pun sudah mulai putus asa. Hampir setiap toko sudah ia masuki. Pakaian, aksesories, peralatan kantor, sampai gadget pun sudah dia lihat, namun tak satupun yang membuatnya tertarik untuk membeli.

“Kado? Buat suamimu?”

Maya mengangguk. “Senin ini dia ulang tahun. Aku ingin memberinya kado yang spesial.”

“Kenapa kau tidak membuat sesuatu saja? Dulu pun kau pernah membuatkan syal, kan?”

Sedikit mendelik Maya melirik sahabatnya itu. Bibir mungilnya mengerecut.
“Kau menyindirku, ya?” ujarnya. Rei tertawa. Syal yang dibuat Maya dulu hampir-hampir tak bisa dikenali sebagai syal.

“Ulang tahun Masumi kali ini spesial, Rei. Ini ulang tahun pertamanya sejak kami menikah. Aku ingin memberikan hadiah yang benar-benar spesial untuknya. Tapi, semua barang yang kita lihat tadi, rasanya bagi Masumi itu sangat biasa. Aku ingin yang benar-benar spesial, dan akan selalu diingatnya.”

“Hmm, kurasa memilikimu jadi istrinya sudah menjadi hadiah yang paling berharga untuk suamimu itu. “

Maya tertegun. Hatinya menghangat. Begitu juga bagiku, Rei. Masumi adalah hadiah terindah dan paling berharga yang pernah diberikan Tuhan dalam hidupku, ungkapnya dalam hati.

“Hmmm, mungkin kau benar. Tapi masa aku tak memberikan hadiah apapun untuknya.”

“Baiklah, kita coba cari sekali lagi. Mudah-mudahan kau akan menemukan hadiah yag cocok nanti, ” ujar Rei akhirnya. “Tapi aku sudah lapar, Maya. Kau tak keberatan kan, kalau kita makan dulu?”

Maya mengangguk dengan semangat yang kembali menghampiri.

“Oke, aku juga sudah lapar. Aku yang traktir.”

“Sebaiknya kau mentraktirku di tempat yang tidak akan memalukan suamimu, Maya. Percuma kau menjadi istri Masumi Hayami kalau kau hanya mentraktirku di kedai mie seperti dulu.”

Maya tergelak.

“Aku akan mentraktirmu makanan Italia. Masumi pernah mengajakku kesana dulu. Makanannya enak. Tempatnya juga sangat indah. Ayo! ”

Sambil tertawa kedua sahabat itu berjalan menuju lantai dimana restoran yang dimaksud  berada.

***
Akhirnya Maya  membeli sebuah ballpoin. Rei sempat membelalak tak percaya melihat harga yang tertera di sana.

“Kau menghabiskan hampir 300.000 yen hanya untuk sebuah ballpoin?”

“Meski sebenarnya masih belum begitu puas, hanya ini yang aku pikir akan Masumi pakai setiap hari,” jawab Maya.

“Jadi kau masih mau mencari lagi?” Rei meringis sambil merasakan kakinya yang sudah terasa kaku karena terus berjalan hampir 5 jam. Gadis tomboy itu kemudian menghela nafas lega saat dilihatnya kepala mungil sahabatnya menggeleng.

“Rasanya berputar sekali lagi pun akan percuma. Lagi pula aku masih belum punya ide, karena semua barang sudah kita lihat. Entahlah.. tapi aku ingin sesuatu yang lain.”

“Kau ini menyusahkan diri sendiri,” gerutu Rei.

“Aku sangat mencintainya, Rei. Aku ingin dia benar-benar bahagia menerima kadoku nanti.”

“Sudah kukatakan, kau ada disisinya saja sudah membuatnya melambung ke langit,” sungut Rei. Kembali Maya tersenyum.

“Sudah hampir sore. Kau masih mau mengantarku ke suatu tempat, kan? Tidak akan cape, aku janji,” Maya tersenyum penuh bujukan.

Rei menatap sahabatnya dengan pasrah.

“Toh aku sudah terlanjur cape. Ayolah, kemana?”

“Kau memang sahabatku yang baik, Rei,” Maya merangkul lengan Rei dengan riang. “Terima kasih.”

Dengan langkah riang, Maya menyeret Rei memasuki lift menuju tempat parkir.

***

Minggu malam.

Maya meletakkan telepon dan membaringkan diri di tempat tidurnya yang empuk.

Hampir sejam ia mengobrol dengan suaminya. Masumi akan pulang besok malam. Tepat di hari ulang tahun laki-laki itu. Dan dia masih belum menemukan kado yang sesuai dengan hatinya.

Dipandanginya kotak ballpoin yang sudah dia bungkus manis. Maya mendesah.

Ah, Masumi.. hadiah apa yang akan membuatmu sangat bahagia? Bisik hatinya. Matanya menerawang. Di benaknya, berbagai kenangan mengalir lembut dibenak. Sejak pertama kali mereka bertemu, Masumi sudah memperlakukannya istimewa. Hanya saat itu, dan beberapa tahun setelahnya, Maya tidak sadar akan hal itu. Rasanya sampai saat ini, Maya terkadang merasa setengah tidak percaya, kalau laki-laki itu ternyata mencintai dan sangat memujanya. Ia juga masih takjub dengan kenyataan, bahwa kebencian yang pernah dirasakannya terhadap Masumi, kini hilang tak berbekas. Berganti dengan rasa cinta yang sangat dalam yang membuatnya ingin selalu membahagiakan laki-laki itu. Jiwa dan raga.

Hmmm….

Sebuah senyuman tiba-tiba mengembang. Sesaat tadi sebuah ide melintas di pikirannya.

“Ya, itu dia..” bisiknya dengan mata berbinar penuh semangat. Kecemasannya mendadak hilang. Hatinya terasa ringan sekarang.

Maya menyamankan posisi  dan menarik selimut sampai menutupi leher. Bersiap untuk tidur. Kini dia tidak sabar menanti sampai besok malam.

***

Masumi memasuki kediaman Hayami dengan tidak sabar. Ia sangat rindu, ingin segera melihat wajah mungil istrinya. Namun keningnya mengernyit heran saat disadarinya Maya tidak muncul untuk menyambut. Hanya beberapa pelayan yang menunggu di ruang depan, siap membawa tas dan mengambil barang-barangnya dari bagasi mobil.

“Nyonya di kamar, tuan,” jawab seorang pelayan saat ia bertanya. Mendadak Masumi merasa sedikit kesal.

Dia tahu aku pulang malam ini, tapi kenapa tidak turun menyambutku?

Dengan langkah lebar, ia naik ke lantai dua, lantai dimana kamar mereka berada.

“Maya?”

Kembali kening laki-laki itu berkerut saat disadarinya kamar itu gelap gulita. Jemarinya meraba tombol lampu dan menyalakannya.

Happy birthday to you.. happy birtday to you.. ,” tiba-tiba sesosok mungil muncul dari balik lemari seraya mebawa sebuah kue tart di tangannya. “Happy birthday, dear hubby.. happy birthday to you..”

Maya berhenti tepat di depan suaminya yang masih terpana menerima kejutan itu. Masumi sama sekali tidak ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Dilihatnya Maya tersenyum manis. Perempuan itu nampak cantik dalam balutan gaun berwarna ungu muda, dengan model yang memperlihatkan leher, bahu dan sebagian dadanya yang putih mulus. Nampak sangat seksi di mata Masumi.

“Kau ini, membuatku terkejut,” Masumi menatap istrinya dengan penuh cinta.

“Namanya juga surprise,” sahut Maya kalem.

“Aku bahkan lupa kalau hari ini hari ulang tahunku.”

“Sudah kuduga,” senyum Maya. “Ayolah, tiup lilinnya!”

Masumi mengisi paru-parunya dengan udara. Bersiap untuk meniup 31 buah lilin kecil yang ditancapkan di sekeliling kue.

Eit, tunggu!” Maya berseru pelan. Masumi menatap istrinya heran.

“Buat permintaan dulu.”

Masumi tertawa. Ini adalah ulang tahun pertamanya yang ia rayakan dengan meniup lilin.

Laki-laki itu memejamkan mata. Membisikkan beberapa permohonan yang tiba-tiba saja mengalir di benaknya.

Ditiupnya semua lilin sekaligus begitu permohonannya usai. Maya bersorak riang.

“Mana kadoku?” ujar Masumi kemudian.

Maya tersenyum. Meletakkan kue tart di atas meja dan mengambil sebuah kotak berwarna ungu yang juga ada di sana.

Disodorkannya kotak itu ke hadapan Masumi yang langsung menyambutnya dengan antusias.

Namun sebuah kerutan keheranan segera menghiasi kening laki-laki itu begitu ia melihat benda yang ada di dalamnya.

“Apa ini?”

Dikeluarkannya benda itu. Sebuah bando berwarna hitam  dihiasi pita pengikat kado berwarna ungu, yang diikatkan dengan manis.

Masumi menatap istrinya dengan rupa tak mengerti.

“Kau memberiku sebuah bando?”

Maya tersenyum misterius. Mengambil bando itu dari tangan suaminya untuk kemudian ia pakai.

Kini dia berdiri di depan Masumi dengan bando berpita di kepalanya.

Masumi terpana.  Sedetik kemudian ia tertawa, menyadari maksud istrinya. Hati laki-laki itu melambung bahagia.

Masumi melangkah mendekat. Matanya menatap wajah istrinya tajam, namun mulutnya tersenyum.

“Baiklah, istriku sayang. Aku akan segera menerima kadoku ini,” bisiknya sedikit menggeram. Maya tergelak. Sedetik kemudian gelaknya berubah menjadi pekikan kaget saat Masumi mengangkat tubuhnya. Refleks lengannya melingkari leher laki-laki itu agar tidak terjatuh.

“Jangan salahkan aku kalau aku akan menikmati kadoku ini semalaman,” ujar Masumi kemudian, dengan nada sedikit mengancam. Maya menatap suaminya dengan senyum dikulum.

“Siapa takut,” sahutnya berani.

Sedetik kemudian keduanya sudah berciuman dengan hangat. Masumi melumat bibir istrinya penuh gairah. Keduanya nampak tidak sabar untuk  melepaskan rasa rindu yang dipendamnya selama dua minggu berpisah.

Maya merasakan Masumi membopongnya ke suatu tempat, yang diyakininya itu adalah tempat tidur mereka.

Tanpa melepaskan ciumannya, Masumi membaringkan tubuh istrinya di atas tempat tidur mereka yang empuk.

“Kau tahu,” bisik laki-laki itu seraya terengah. “Ini adalah kado terindah yang pernah aku terima,” bisiknya. Laki-laki itu kembali menunduk untuk menelusuri pinggiran wajah Maya dengan ujung hidungnya yang mancung. Di lekukan leher perempuan itu ia berhenti untuk menghirup aroma leher istrinya yang harum diakhiri oleh kecupan ringan bertubi-tubi di sana.

Maya mendesah senang. Misinya sudah berhasil!

“Terima kasih,” kini Masumi berbisik di telinganya. “ Kau membuatku sangat bahagia.”

Mereka bertatapan untuk beberapa saat. Kemudian kembali tenggelam dalam ciuman dan cumbuan yang semakin lama semakin panas.

Rembulan mengintip malu-malu dibalik jendela yang tertutup tirai tipis. Mengirimkan sinarnya untuk menemani dua insan yang tengah tenggelam dalam gelora indahnya surga dunia di dalam sana. Berpedar lembut, melengkapi nada cinta yang semakin lama terdengar semakin merdu dan menghanyutkan.

Menjelang subuh, keduanya baru bisa terlelap seraya berpelukan di balik selimut. Membawa berjuta cerita indah ke dalam mimpi yang mampu mengukirkan senyuman bahagia di bibir mereka.

***

Masumi memasuki ruangannya setelah memberikan pesan kepada Mizuki.

“Bawakan aku semua data tentang proyek Hongkong!”

Mizuki mengangguk. Ia sudah mempersiapkannya karena hari ini Masumi akan membawanya ke dalam rapat nanti siang.

Di ruangannya, Masumi segera menghampiri meja kerja dan menghempaskan tubuhnya yang masih terasa pegal. Bibir laki-laki itu tersenyum mengingat kejadian semalam. Andaikan tidak ingat hari ini ia sudah menjadwalkan rapat membahas proyek Hongkong, ia mungkin masih memanjakan diri di rumah, di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, dengan memeluk tubuh mungil Maya.

Mereka baru bisa tertidur menjelang jam 3 subuh. Kelelahan , namun sangat bahagia.

Dan tadi pagi hampir-hampir ia bangun kesiangan. Maya bahkan masih tertidur lelap saat ia pergi ke kantor tadi. Hatinya mendadak sangat rindu.

Setelah rapat nanti, ia akan kembali meneruskan cutinya yang terganggu dua minggu yang lalu dan melanjutkan rencana bulan madunya yang tertunda bersama Maya.

Yosh! Semangat!!” Masumi mengepalkan tangannya. Tak sabar untuk menyelesaikan urusannya di kantor siang ini. Diraihnya beberapa dokumen yang tersusun di depannya, menunggu untuk ditandatangani.

Matanya mengelilingi meja, heran saat tidak melihat ballpoin yang biasanya dia simpan di tempatnya, dekat telepon.

Benda itu pun tidak ada di dalam lacinya.

Lengannya kemudian meraba-raba saku jas. Senyumnya mengembang saat menemukan benda itu di sana.

Dirogohnya saku jasnya dan tertegun saat menyadari bahwa ia sedang menggenggam ballpoin yang tidak ia kenal.

Sebuah ukiran kecil menarik perhatiannya. Didekatkannya benda itu agar bisa dengan jelas membaca tulisan yang terukir di sana.

 
 Aku sangat mencintaimu, Masumi Hayami   Love: Maya

Masumi tertawa dengan mata yang tiba-tiba memanas.

Entah hal baik apa yang pernah dia lakukan sehingga diberikan kebahagiaan sebesar ini, pikirnya penuh haru.

Dikecupnya ballpoin itu penuh cinta.

Aku juga sangat mencintaimu, Maya. Tunggu aku di rumah, sayang. Aku akan segera pulang. Dan aku tak akan pernah berhenti untuk membuatmu bahagia, seperti kau yang sudah membuatku begini bahagia.

Dibukanya dokumen yang paling atas, dan mulai menorehkan tanda tangannya di sana.

Di matanya, tinta yang ditorehkannya seolah mengeluarkan sinar yang indah, dan bunyi gesekan ujung pulpen di atas kertas terdengar sangat merdu.

Ulang tahunnya yang benar-benar istimewa,  desah Masumi dengan bahagia.
.

 *** Specially for you- End***