Senin, 09 April 2012

My Secret Admirers part 3







Masumi duduk di depan Maya yang kini nampak pucat memandangi anyelir merahnya. Mereka berada di taman belakang, di dalam gazebo artistik yang dikelilingi kolam penuh dengan ikan koi.

Jelas sudah gadis ini sangat ketakutan dengan datangnya anyelir merah itu,   

Masumi menatap wajah Maya lekat-lekat. Diingatnya igauan gadis itu semalam. Kecurigaan atas terlibatnya si pengirim anyelir dengan berbagai kecelakaan di sekeliling Maya semakin kuat.

“Dia sudah tahu aku dimana,” didengarnya Maya berujar lirih.

“Dia tidak akan mengganggumu di sini,” sahut Masumi tegas.

“Dia memang tidak bisa menggangguku di sini Pak Masumi, tapii…,” Maya mengerjap gelisah. Dengan susah payah menelan kembali ucapan yang sudah diujung lidahnya.

Tapi dia bisa menghampiri anda kapan pun, dan mencelakai anda…

“Apakah kecelakaan Satomi dan Mizuki ada hubungannya dengan si Anyelir Merah ini?” Masumi tidak bisa lagi menahan pertanyaan yang kerap terngiang dari semalam. 

Dilihatnya Maya terlonjak kaget.

“Bagaimana, anda bisa…bisa berfikir seperti itu?”

“Kau terus mengigau tentang mereka semalam. Terus meminta maaf.”

Maya berusaha menutupi kegugupannya. 

“Benarkah?” tanyanya kemudian. Mulai merasa percuma jika terus menutupi hal itu.

“Ceritakan padaku, Mungil,” Masumi beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Maya. Laki-laki itu kemudian berlutut, meraih jemari Maya yang dingin dan meremasnya lembut. “Aku tak tahan melihatmu memendam ketakutan sendirian seperti ini.”

Mulut Maya bergerak-gerak pelan, seperti ingin mengatakan semua tapi nampak sangat ragu.

“Kau bilang kau mempercayaiku,” bisik Masumi. “Ceritakanlah, Maya. Ijinkan aku untuk membantumu.”

Beberapa saat Maya masih ragu untuk menceritakannya pada Masumi. Namun ketika melihat betapa lembut tatapan Masumi padanya, dan betapa tenang hatinya saat merasakan kehangatan jemari Masumi di jemarinya, keberaniannya menguat.

“O~orang itu…,” Maya memulai dengan lirih. Lalu kembali diam.

Masumi menunggu dengan sabar sementara Maya kembali merasakan keraguan saat di kepalanya berkelebat wajah Mizuki dan Satomi.

“Mereka menunggu Anda,” bisik Maya kemudian, masih lirih. Memutuskan untuk tidak menceritakannya.

Masumi mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Orang-orang dari butik,” Maya menambahkan. Wajah Masumi mengeras seketika.

“Persetan dengan mereka!” desisnya dengan nada tak suka. “Aku tidak mengundang mereka datang!”

Maya menelan ludahnya dengan hati berdebar kencang. Sedikit takut melihat kemarahan membayang di wajah tampan di depannya. 

“Dan aku menunggu ceritamu, Maya.” Masumi menatap tajam.

“Jika saya menceritakan semua pada anda, apakah anda bisa menjanjikan satu hal padaku?”

“Apa itu?”

“Membiarkanku pulang ke apartemenku.”

Masumi terperangah sesaat.

“Apakah kau tidak suka tinggal di sini? Bersamaku?” ada kepedihan tersirat dalam nada suara laki-laki itu. 

“Bukan begitu! aku suka… berada dekat dengan… anda,” sanggah Maya cepat. Secepat wajahnya yang  memerah saat sadar dia baru saja mengakui perasaannya dengan jujur.

Diam-diam hati Masumi bersorak gembira.

“Lalu kenapa? Apakah kau terganggu dengan ayahku? Jangan pedulikan dia!”

“Tidak!” geleng Maya cepat. “Paman baik kok. Sama sekali tidak menggangguku.”

“Jadi tidak ada masalah, bukan? Kalau begitu kau akan tetap tinggal di sini sampai keadaan aman untukmu!”

“Aku akan baik-baik saja, Pak Masumi!” sergah Maya cepat. “Meski aku pulang ke apartemenku, aku akan baik-baik saja.  Justru jika aku berada di sini, maka keadaannya akan lebih buruk untuk… Anda. ”

Masumi kembali mengeryit heran. 

“Apa maksudmu?”

“Orang itu.. dia mengatakan,” Maya meneguk ludahnya gugup. “Jika saya terlihat dekat dengan laki-laki manapun, maka… dia… dia akan menyakiti semua orang yang berada di dekat saya.”

Masumi tercekat melihat air mata kini beruraian di wajah mungil Maya.

“Satomi… juga Nona Mizuki.. mereka.. mereka … orang itu sudah menyakiti mereka. Dan dia.. sudah tahu kalau saya… berada di rumah Anda. Saya tidak mau kalau.. kalau dia juga menyakiti anda… atau paman..”

Kini Maya benar-benar terisak. Tubuhnya kembali gemetar. 

Masumi segera meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Kini dia paham, mengapa Maya bersikeras ingin kembali ke apartemennya.

“Tak akan ada yang menyakitiku, Maya. Percayalah.”

“Peluru itu bukan untuk saya, pak Masumi. Tapi untuk anda!” Maya berontak, melepaskan diri dari dekapan Masumi. “Jadi jangan coba meyakinkanku kalau dia tidak bisa menyakiti Anda karena dia sudah pernah mencobanya!”

Masumi teringat rem mobilnya yang terpotong kemarin. Semoga tidak ada yang mengatakannya pada Maya.

“Dia sudah mencobanya dan dia gagal,” ujar Masumi cepat. Kembali diraihnya jemari Maya. “…dan akan terus seperti itu,  itu janjiku padamu.”

Keraguan masih menyelimuti tatapan Maya.

“Saya tidak mau anda terluka,” bisiknya kemudian. 

“Kenapa?”

“Karena…,” Maya mulai merasa wajahnya kembali memanas. Pandangan mata Masumi begitu lembut namun terkesan menggodanya. “Tentu saja saya tidak mau ada orang lain terluka karena saya!” ujarnya kemudian dengan gugup.

“Itu saja?”

“Eh?” Kini giliran Maya yang berkerut heran.

“Kalau aku terluka, apakah kau akan menangis seperti saat.. kau menengok Satomi di rumah sakit?” Masumi menahan kecemburuannya mengingat ekspresi kesedihan Maya yang ditemuinya waktu itu.

Maya tidak berani membayangkan jika hal itu terjadi. Mata gadis itu kembali dipenuhi air.

“Pertanyaan anda tidak lucu!” Wajah gadis itu merengut. Sementara air mata satu-satu mulai menuruni pipi pucatnya.

“Aku memang sedang tidak melucu,” sanggah Masumi. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan sedih jika.. jika sesuatu yang buruk terjadi padaku.”

“Cukup!” Maya tiba-tiba menyentakkan tangannya dari genggaman Masumi dan berdiri. Matanya berapi-api menatap Masumi yang ikutan berdiri dengan rupa kaget. “Anda bilang anda akan baik-baik saja tapi kata-kata anda barusan membuat saya meragukannya. Lebih baik saya pulang ke apartemen!”

Tanpa menunggu menunggu lagi berlari pergi. 

“Hei!” Masumi secepat kilat berlari mengejar dan tidak sulit baginya untuk menyusul langkah Maya. Sekejap dia sudah berdiri menghalangi jalan gadis itu.

Maya berusaha menyingkirkan badan Masumi, namun sia-sia. Tubuh tinggi tegap laki-laki itu tak bergemig sedikitpun. Sebaliknya, dengan mudah Masumi menarik tubuh mungil Maya ke dalam pelukannya.

Gadis itu menangis.

“Maafkan aku,” bisiknya lembut. Dikecupnya kepala Maya yang tersuruk di dadanya, membuat Maya mengejang sesaat. 

“Jahat..” terdengar Maya berbisik lirih. Lengannya kanannya membentuk kepalan mungil dan mulai memukuli dada laki-laki yang tengah mendekapnya itu. “Jangan pernah mengatakan sesuatu yang menakutkan lagi.”

“Tidak, tidak akan,” Masumi kian mengetatkan pelukannya. Hatinya mengembang bahagia. Reaksi Maya cukup menunjukkan bahwa gadis itu sangat peduli padanya.

Untuk beberapa lama mereka tetap berpelukan, di tengah jembatan yang menghubungkan gazebo dengan jalan setapak menuju beranda belakang. Masumi bukannya tidak tahu beberapa pelayannya berbisik-bisik dengan rupa heran di balik jendela,  namun dia tak perduli. Dia juga tak perduli seandainya ayah tirinya ternyata melihat adegan itu. 

Masumi yakin, Eisuke pun sudah mengetahui kalau dirinya mencintai Maya. Apapun yang akan dilakukan Eisuke untuk menghalangi cinta mereka, yang jelas, laki-laki tua itu tidak akan pernah berani melukai Maya. Dia tidak akan pernah berani menyakiti Bidadari Merah, terutama setelah Daito berhasil mendapatkan hak pementasannya.  Ayah tirinya itu tahu, jika berani berseteru dengan sang Bidadari, resikonya adalah kehilangan hak eksklusifnya atas pertunjukan agung itu.

Dirinyalah yang akan berdiri paling depan untuk melawan jenderal besar Daito sekaligus ayah tirinya itu jika hal tersebut terjadi. 

“Maya,” perlahan Masumi  menjauhkan sedikit jarak tubuh mereka.  Gadis itu masih merunduk di dadanya, masih terisak.

“Maya,” panggilnya sekali lagi dengan lembut. Kedua lengannya yang besar menangkup wajah mungil kekasih hatinya dan mengangkatnya perlahan, mencari mata Maya yang selalu saja menyeretnya dalam persona tak terbatas.

Bahkan saat mata bulat itu memandangnya dalam deraian air mata seperti sekarang, pesonanya sungguh tidak tertolakkan.

“Sudah, jangan menangis lagi,” senyumnya lembut. Jemarinya kini bergerak menghapus air mata yang membasahi pipi Maya.

“Salah anda,” sungut Maya kemudian membuat Masumi tergelak pelan.

“Aku kan sudah minta maaf,” ujar Masumi. Menahan nafas melihat betapa menawannya wajah mungil memerah  dalam dekapannya tangannya itu. Logikanya seketika dikalahkan hasratnya dengan telak. Bahkan tanpa bisa dia cegah lagi, kepalanya sudah merunduk dan mengecup hidung mungil Maya. Sebentar memang, tapi cukup membuat wajah Maya semakin memerah.

Masumi pun salah tingkah, namun hatinya berbunga-bunga melihat Maya yang hanya tertunduk malu.

Lengannya yang tadi menangkup wajah Maya turun ke kedua tangan gadis itu.

“Ayo kita masuk,” ajaknya lembut.

Maya menurut, membiarkan tangannya di gandeng Masumi kembali memasuki rumah.  Eisuke masih berada di ruang keluarga, bersama pegawai butik yang ternyata masih betah berada di sana.

“Masumi, mereka tidak memiliki waktu berlama-lama untuk menunggumu,” Eisuke berujar dingin.

“Aku juga tidak punya waktu untuk melakukan hal percuma tentang semua masalah baju pengantin ini,” sahut Masumi sama dinginnya. “Ayah yang menyuruh mereka kemari jadi silahkan ayah saja yang diukur oleh mereka.”

Lalu dengan acuh, Masumi menarik Maya keluar dari ruangan itu.

“Pak~Pak Masumi,” Maya yang merasa tidak enak terhadap Eisuke yang kini tengah menatap mereka tajam. “Pak~ Masumi!” Gadis itu menarik lengan Masumi, memintanya berhenti.

“Apa?” Masumi berbalik.

“Apa tidak apa-apa?”

“Apanya yang tidak apa-apa?”

“Paman dan… orang-orang dari butik.”

“Jangan pikirkan mereka,” Masumi kembali menarik lengan Maya, menuju bagian lain dari rumah besar dan megah itu. “Aku ingin mengajakmu ke tempat yang pasti akan kau suka,” tolehnya kemudian seraya tersenyum manis.

“Tempat apa?” tanya Maya yang hanya dijawab oleh senyuman lembut Masumi.

Mereka tiba di bagian rumah yang Maya pikir,  jauh dari kamar tempatnya menginap. Gadis itu jadi mengira-ngira berapa luas kediaman resmi Hayami ini. Dari jendela besar yang dilewatinya sekarang, ia dapat melihat ada bangunan lain yang dipisahkan oleh halaman berumput yang cukup luas di luar sana. 

“Itu tempat pribadi ayahku,” seolah mendengar pertanyaan yang hanya diucapkan Maya dalam hati,  Masumi berujar.

“Tempat pribadi?”

“Meski kami tinggal di satu rumah, tapi kami jarang bertemu. Ayah lebih sering menghabiskan waktunya di sana,” Masumi menjelaskan seraya melemparkan pandangannya pada bangunan yang tadi dilihat Maya. 

Maya tidak bisa membayangkan kehidupan seperti apa yang dijalani direktur muda Daito ini dalam kesehariannya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, ada dua orang yang tinggal dalam satu rumah, tapi masing-masing menempati wilayah yang berbeda sehingga jarang bertemu. 

Masumi pun tidak membiarkan Maya berlama-lama tenggelam dalam pikirannya. Dihelanya Maya mendekati sebuah pintu besar berukir.

“Ayo,” laki-laki itu kembali tersenyum. Dibukanya pintu itu dan Maya segera terperangah.

Sebuah ruangan luas dengan karpet merah tebal yang nampak lembut segera terlihat begitu  pintu itu terbuka lebar. Jendela-jendela besar dengan tirai-tirai indah menghiasi satu bagian dindingnya. Melatarbelakangi sebuah meja kerja yang nampak elegan dan kokoh.

“Ruangannya indah sekalii,” bisik Maya kagum saat melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Matanya menyapu perapian dengan desain antik di salah satu sudut ruangan, berseberangan dengan meja kerja.  

Dinding yang sejajar dengan pintu, difungsikan juga sebagai deretan lemari kaca yang di dalamnya di penuhi oleh berbagai buku yang tersusun rapi.

Mata Maya membesar saat melihat TV dengan layar yang sangat besar di depannya.

“Ini tempat kerjaku kalau aku terpaksa harus bekerja di rumah,” ujar Masumi sambil menatup pintu di depannya.

“Anda disini bekerja atau menonton TV?” Maya mengerling ke arah TV.

Masumi tertawa.

“TV itu awalnya tidak ada,” akunya kemudian. “Aku sengaja meminta orang untuk memindahkannya ke sini hari ini.”

“Heh? Kenapa?” Maya menurut saat Masumi membawanya duduk di sofa besar di depan TV.

“Aku,” Masumi berdehem sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku ingin kau menemaniku menonton sebuah film. Sebenarnya ada ruang teater kecil di sebelah,  tapi.. rasanya kalau menonton di sini kita bisa lebih santai.”

Maya diam-diam tersenyum melihat wajah Masumi yang sedikit merona. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan bisa melihat wajah Direktur Daito yang terkenal dingin dan kejam ini dalam ekspresi malu-malu seperti yang dilihatnya sekarang. Jujur, dia sangat menyukai ekspresinya yang seperti ini. Wajah Masumi menjadi semakin tampan. 

“Saya sangat suka nonton film,” kata gadis itu lembut.

“Aku tahu, makanya aku tidak ragu mengajakmu sekarang,” sahut Masumi. Laki-laki itu beranjak menghampiri home player dekat televisi.
“Kau suka film barat?” tanya laki-laki itu kemudian. “Aku baru mendapatkan film Hollywood terbaru yang baru akan beredar di sini. Film drama.”

“Saya suka semua film,” jawab Maya. “Saya bahkan bisa menangis saat melihat Doraemon rusak dan dibuang ke laut.”

Masumi terkekeh mendengarnya. 

Sebuah ketukan di pintu membuat laki-laki itu urung duduk di samping Maya. Dengan riang dia menghampiri pintu dan membukanya.

“Mungkin itu makanan kita.”

Dugaannya benar. Dua orang pelayan masuk dengan mendorong rak yang penuh dengan makanan lezat. Mereka meletakkan rak itu di pinggir ruangan lalu pamit dengan hormat pada majikannya.

“Apakah kita akan piknik?” Maya tertawa saat melihat banyaknya makanan yang tersaji.

“Kau tidak akan keberatan kan, menonton film dengan ditemani semua ini?”

“Anda bercanda? Saat dulu bersama Rei, kami selalu menyediakan banyak makanan sebagai teman nonton film. Meski saat nonton, saya jadinya tidak ingat sama sekali sama makanan itu.”

“Sudah kuduga,” Masumi mengangguk-angguk. “Jadi, mau yang mana dulu? Makanan? Atau film?”

“Anda tidak keberatan kan kalau… filmnya dulu?” Maya bertanya malu-malu.

Your wish is my command, My Lady,” senyum Masumi yang segera meraih remote dan mulai memutar filmnya.

Tak membutuhkan waktu lama bagi Maya untuk segera tenggelam dalam cerita film yang ditontonnya. Versi terbaru dari dongeng Snow White.  Sang ratu jahat yang menyingkirkan putri cantik dan lemah lembut ke hutan. Namun yang berbeda di sini adalah, sang putri yang berubah menjadi putri tangguh dan siap merebut kembali tahta yang menjadi haknya setelah bertemu “tujuh kurcaci” nya di hutan.

Masumi tersenyum. Beranjak ke rak makanan yang tadi diantar dan mengambilkan dua gelas minuman ringan, lalu kembali ke samping Maya.

“Eh?” Maya menoleh saat Masumi menyodorkan minumannya. “Terima kasih,” senyumnya dengan wajah merona. Setelah mengambil minumannya, gadis itu kembali terhanyut dalam cerita film di depannya.

Begitupun dengan Masumi. Bedanya dia bukan tenggelam dalam cerita film itu, tapi tenggelam dalam pesona gadis yang duduk di sampingnya. Tak bosan dirinya melihat berbagai ekspresi wajah Maya saat ini. Serius dengan kening berkerut, menelengkan wajahnya saat mencoba mengerti suatu adegan, tertawa renyah, ekspresi semangat dan penuh ketegangan sampai tersipu malu saat melihat adegan romantis.

Masumi semakin sadar betapa dia mencintai gadis ini. Rasanya dia tidak akan sanggup lagi jika harus jauh dari Maya.

“Ah, ceritanya bagus sekaliii,” seruan Maya menyadarkan Masumi dari keterpesonaannya. Diliriknya TV yang tengah memperlihatkan credit title di ending cerita. 

“Dari kecil saya sangat menyukai cerita Snow White, tapi baru kali ini melihat Snow White yang begitu tangguh dan berani!” Maya berkata dengan semangat. Matanya berbinar senang.

“Hmm, setiap anak perempuan pasti suka cerita-cerita romantis seperti itu. Menderita karena sang ibu tiri dan kemudian bertemu pangeran tampan,” komentar Masumi. 

“Pak Masumi pun pasti menyukai film-film super hero saat masih anak-anak. Iya kan?” ujar Maya tak mau kalah.

“Entahlah,” Masumi mencoba mengingat-ngingat. “Aku tidak ingat aku suka film apa. Yang jelas waktu aku kecil, aku jarang menonton film karena waktu luangku aku pakai untuk bekerja di Daito sesuai perintah ayahku. Kalaupun toh sekarang aku sering menonton film, aku jarang menikmatinya. Semua kulakukan karena pekerjaanku.”

Maya sedikit tertegun mendengar jawaban Masumi. Namun tak lama, saat kembali mengangkat wajah untuk melihat Masumi, senyum manis menghiasi bibir mungilnya.

“Apakah tadi anda menikmati filmnya?”

Masumi balas menatap wajah terkasih di depannya. 

“Saat ini aku menyesal kenapa tadi tidak aku tawarkan film India untuk kau tonton.”

“Film India? Adakah?” mata bulat di depannya melebar antusias. “Saya jarang sekali menonton film India. Terakhir kapan yaa? Emmhh… Sepertinya sudah lama sekali. Itu pun aku tonton di home player di apartemen. Bersama Rei.  Ceritanya bagus sekali.! Tentang seorang istri yang kabur dari suaminya karena suaminya itu jahat. Lalu berkelana dan melihat penderitaan kaum perempuan di negerinya yang sering ditindas kaum laki-laki, sampai kemudian dia tergerak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas itu. Filmnya sangatsediih. Bahkan Rei-pun sampai menangis.”

Seperti biasa, saat Maya sedang bercerita tentang film, matanya berbinar-binar penuh semangat, membuat kedua pipinya memerah. Ekspresinya yang begitu memikat membuat Masumi semakin terpesona.
“Tapi kalau tidak salah, durasi filmnya lama sekali. Mungkin lebih dari tiga jam.”

Mata Maya menyipit mengingat-ngingat film India yang pernah ditontonnya itu. Keningnya agak berkerut dan bibirnya mengerucut manis.

“Iya! Betul!! Durasinya lama sekali! Tapi karena ceritanya bagus, dan banyak nyanyian serta tarian yang menarik, jadi tidak bosan! Ah,  aku jadi ingin menontonnya lagi. Pak Masumi,  kalau memang…… Eeh?!!” 

Sebuah kecupan yang mendarat di bibirnya membuat gadis itu terdiam seketika. Wajahnya langsung memerah.

Masumi baru saja mengecupnya.

“Bisakah kau diam dulu sebentar?” bisik Masumi, gemas dengan kepolosan Maya. “Aku sudah sangat lapar.”

Gadis itu mengangguk patuh dengan cepat, membuat Masumi mau tidak mau tergelak melihatnya

“Ah, Maya. Kau selalu bisa membuatku begini tak berdaya,” ujarnya setelah tawanya mereda. “Kau ingat? Saat aku memaksamu menemaniku menonton drama waktu itu?”

Kembali Maya hanya bisa mengangguk.

“Saat itu aku berharap drama itu tidak pernah berakhir, meski di sampingku, kau duduk dengan wajah berlipat-lipat karena kesal. Apalgi hari ini. Kau ……disampingku……begitu ceria….”

Maya meneguk ludah. Wajah Masumi semakin mendekat dan tanpa dapat dicegah, matanya kini terfokus pada bibir Masumi yang kini hanya berjarak lima senti saja dari bibirnya.

“Aku sangat berharap, selalu bisa berada di sampingmu, selamanya, seumur hidupku.”

Maya menutup matanya. Bibir Masumi kini sudah menempel dibibirnya. Begitu hangat dan menghanyutkan.

Merasakan bibir Masumi bergerak lembut di bibirnya membuat Maya tak bisa lagi menahan perasaan. Perlahan, dibalasnya ciuman itu, dengan sama lembutnya. Bahkan tanpa sadar, kedua lengannya sudah melingkar di leher Masumi.

Setelah beberapa lama,  Masumi melepas bibir Maya dan tersenyum lembut pada gadis mungil yang kini menatapnya dengan wajah memerah. 

Tak tahan ditatap dengan begitu lembut, Maya menyurukkan kepalanya di dada laki-laki itu.  Masumi tergelak pelan. Didekapnya tubuh Maya erat.

“Ayo kita makan,” bisiknya kemudian.

Maya mengangguk di dada Masumi lalu perlahan kepala itu terangkat. Wajahnya masih nampak merah.

“A~aku ingin ke toilet,” bisik Maya dengan suara masih terengah. 

Senyuman Masumi membuat jantungnya kian berdegup kencang.

“Toiletnya ada di ujung lorong sebelah kanan,” terang Masumi. “Sementara kau ke toilet, aku akan menyiapkan makanan kita.”

Maya mengangguk lalu berlalu dengan gugup. Begitu menutup pintu toilet, gadis itu bersandar di pintu seraya menekan dadanya yang masih berdebar. Hari ini sudah dua kali mereka berciuman, padahal tadi pagi, saat Masumi menciumnya di kamar, dirinya sudah menguatkan hati untuk tidak lagi terhanyut perasaan.

Sambil menghela nafas panjang, Maya berjalan ke wastafel dan membasuh wajahnya yang masih terasa panas. Gadis itu kemudian memandangi pantulan wajahnya di cermin. Keresahan jelas membayang di sana.

“Ini tidak benar,” bisiknya kemudian. “Bagaimanapun Pak Masumi…,”
Maya kembali menghela nafas. Pikiran yang melintas di benaknya barusan membuat wajahnya murung seketika.

Masumi Hayami sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi mereka akan menikah!

Meskipun berkali-kali laki-laki itu memintanya untuk percaya, namun tetap saja kenyataan itu membuatnya gamang. Dari sudut pandang manapun, tak ada alasan bagi seorang Masumi Hayami untuk menukar seorang Shiori Takamiya yang cantik, pintar, dan kaya raya dengan dirinya yang hanya bisa bermain drama. Selebihnya, tak ada kelebihan apapun yang sebanding dengan tunangan Masumi Hayami itu.

Untuk beberapa saat gadis itu tenggelam dalam pikirannya, sampai akhirnya setelah mengeringkan wajah, Maya kembali ke ruang kerja Masumi.

“Shiori, tenanglah,” 

Langkahnya terhenti di depan pintu ruang kerja Masumi yang memang sedikit terbuka. Terdengar suara Masumi berbicara. Maya tertegun. Gerakan tangannya yang siap terulur untuk mendorong pintu pun terhenti. 

“Aku tahu, maafkan aku.”

Suara laki-laki itu terdengar begitu lembut. Sontak mata Maya memanas. Rasa tidak rela mendengar laki-laki itu berkata lembut pada wanita lain menyeruak,  membuat Maya mati-matian meredam kecemburuan yang tiba-tiba saja begitu kuat mencengkram.

“Baiklah,” ujar Masumi lagi setelah beberapa saat mendengarkan suara lawan bicaranya di telepon. “Aku akan kesana sore ini. Iya, aku janji. Sekarang dengarkan aku, kau harus istirahat dan jangan lupa memakan obatmu, oke?”

Tak ada lagi suara. Mungkin Masumi sudah menutup percakapan teleponnya.

Di balik pintu Maya masih berusaha menenangkan diri untuk beberapa saat. Diusapnya air yang mulai menggantung di sudut mata  dan setelah menghela nafas panjang, kembali meneruskan mendorong pintu. 

Masumi yang melihatnya masuk tersenyum.

“Ayo kita makan,” ajaknya kemudian.

Maya mengangguk pelan, lalu mengambil tempat di samping Masumi di sofa. Hidangan di depannya nampak sangat menggiurkan. Sebelum ke toilet tadi, perutnya sudah sangat lapar dan sangat tergoda untuk mencicip semua hidangan yang tersedia. Namun kini selera makannya sudah menghilang entah kemana.

Setelah beberapa suap, Maya bahkan sudah tidak bisa lagi menelan makanannya. Dadanya terasa sesak menahan air mata yang sejak tadi tak berhenti mendesak meminta keluar.

Dengan putus asa gadis itu meletakkan sendoknya. Setetes air mata tanpa dapat dicegah lagi melompat ke pipinya.

“Maya?” Masumi mengernyit heran dan betapa terkejutnya dia  saat melihat Maya menangis.

“Mungil, kau kenapa?” segera dia meletakkan sendok garpunya dan beringsut untuk meraih lengan Maya. Tapi dengan halus gadis itu menepis lengan Masumi. 

Laki-laki itu tertegun.

“Apa ada yang sakit? Kau pusing?” suaranya terdengar begitu khawatir.

Maya menggeleng. “Tidak, maafkan saya,” dengan cepat Maya berdiri. Tanpa berkata apapun lagi gadis itu berlari keluar.

“Maya!” cepat Masumi berlari mengejar. Di luar pintu dia sudah bisa meraih lengan Maya, menghentikan lari gadis itu.

“Maya, ada apa?” Masumi kembali bertanya dengan cemas. Menyentuh pelan dagu Maya dan mengangkat wajah gadis itu perlahan. Hatinya berdesir menyadari wajah itu sudah basah oleh air mata.

“Kumohon katakan padaku apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?”
Maya hanya bisa menggeleng dan mencoba melepaskan wajahnya dari sentuhan Masumi.

“Tidak mungkin tidak ada apa-apa,” Masumi tak menyerah, kembali menangkup wajah Maya dengan tangannya yang besar. “Kau menangis seperti ini sungguh membuatku cemas, Maya. Katakanlah, ada apa?”

Maya menatapnya dengan matanya yang besar mengerjap cepat. Tidak mungkin dia mengatakan kalau sekarang dirinya sedang cemburu dan tidak ingin Masumi pergi menemui Shiori. 

Dirinya tidak punya hak apapun untuk melakukan itu!

“Saya, saya ingin kembali ke kamar. Bolehkah?” akhirnya Maya berujar lirih.  Kembali Masumi tertegun. Hatinya kecewa, sekaligus resah. 

Apakah ada yang sudah kulakukan yang membuatnya begini sedih?

Perlahan Masumi melepaskan lengannya dari wajah Maya.

“Baiklah, aku antar.”

Maya menggeleng. “Saya bisa sendiri.”

Akhirnya Masumi hanya bisa melihat gadis itu berjalan menjauh. Lalu dengan lunglai berjalan kembali ke ruang kerjanya.

Ada apa, Maya? Desah hatinya, khawatir. Mengapa kau terlihat begitu sedih? Padahal tadi, kau masih tertawa denganku. 

Laki-laki itu berpikir keras. Apakah si Anyelir Merah itu menghubunginya lagi? Ah, tapi dia tidak membawa handphonenya tadi. Lalu apa? kenapa dia mendadak terlihat sedih seperti itu?

Kemudian dia teringat telepon dari Shiori yang diterimanya saat Maya ke toilet. Hatinya terjengit!

Apakah dia mendengarnya? Batinnya kian resah. Cepat dia berbalik menatap ke arah Maya pergi. Dia mendengarnya! Dia pasti mendengarnya!

Wajah  Masumi memucat dengan rasa panik yang langsung memuncak.
Jangan salah paham, Maya! Kumohon, kau jangan salah paham padaku!

Membayangkan apa yang mungkin ada dalam pikiran Maya saat ini membuat Masumi segera berlari untuk menyusul. Dia harus menjelaskan semua pada Maya sekarang! Apa yang menyebabkan sampai saat ini dia masih menemui Shiori dan apa rencananya selanjutnya. Dia tidak ingin Maya salah paham karenanya!

Percaya padaku, Maya! Jerit batinnya resah.

***

Maya terduduk di pinggir tempat tidur dengan air mata yang masih menetes ke pipi.

“Pak Masumi pasti sangat cemas,” pikirnya menyadari apa yang sudah dia lakukan. Sedikit penyesalan akan sikapnya barusan membayang. Kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menguasai perasaan dan emosi saat mendengar suara Masumi yang begitu lembut berbicara dengan Shiori di telepon.

Diusapnya pipinya yang basah. 

Semakin dekat dirinya dengan Masumi, semakin sulit baginya menekan rasa cinta yang dimilikinya pada laki-laki itu. Begitu sulitnya sampai-sampai sikap dan bahasa tubuhnya menolak bekerjasama dengan otak yang mati-matian memperingatkan untuk tidak memperlihatkan sedikitpun rasa cinta itu di depan Masumi. 

Maya merasa dirinya sudah berubah menjadi wanita penggoda yang memalukan!

Gadis itu menghempaskan tubuhnya dengan lelah di atas tempat tidur.
Aku harus pergi! Benar-benar harus pergi!

Suara ketukan di pintu membuat tubuh mungil itu kembali mencelat bangun. Meringis saat sebuah denyutan terasa di bahu kirinya.

“Maya? Bolehkah aku masuk?”

Pak Masumi!

Maya mendadak panik. Apa yang harus kulakukan?

“Maya! Kumohon,” suara itu terdengar begitu mengiba. “Ada yang harus kukatakan padamu.”

Apa Pak Masumi tahu alasan atas sikapku tadi? Batin Maya bertanya khawatir. 

Sementara Masumi sama cemasnya menunggu di depan pintu. Berharap gadis itu membukakan pintu dan membiarkannya untuk masuk. 

Sudah lewat tiga menit dan pintu masih tertutup.

“Maya, aku mas…,” kalimatnya menggantung saat mendengar bunyi pegangan pintu yang dibuka. Dada Masumi berdegup kencang.

Wajah mungil Maya menyembul.

Tersenyum.

Gadis itu kemudian beranjak keluar dan berdiri di depan Masumi.

“Maafkan saya sudah membuat Anda khawatir,” ujar gadis itu kemudian. 

“Apa kau..,”

“Saya baik-baik saja!” potong Maya cepat. “Tadi~ hanya.. tiba-tiba merasa sangat lelah.”

Masumi tahu Maya sedang berbohong. Di luar panggung Maya benar-benar tidak bisa berakting.

“Aku hanya akan menemui Shiori  sebentar sampai dia tenang,” Masumi berkata cepat. Maya tergagap.

Ah, Pak Masumi tahu.. desis Maya dalam hati. Wajahnya sekarang pastilah terlihat memerah karena malu.

“Sampai aku bisa meyakinkan Shiori bahwa pertunangan kami sia-sia. Sampai saat itu, aku ingin kau tetap mempercayaiku,” dipandangnya mata Maya lekat-lekat. “Dan akan aku pastikan hal itu tidak akan lama lagi.”

“Pak Masumi, anda tidak perlu menjelaskan…,”

“Tentu saja perlu!” sergah Masumi tegas. “Aku  tidak ingin kau salah paham dan.. dan kembali menjauh dariku,” suara Masumi terdengar sedikit bergetar. “Jadi kau harus mengetahui semua.”

Maya tertegun. Dapat dirasakannya keresahan laki-laki yang kini tengah memandangnya dengan khawatir di depannya itu. Hatinya menghangat oleh rasa haru.

“Maafkan saya,” akhirnya gadis itu berujar pelan. “Entah mengapa, sulit sekali menahan perasaan jika sudah berada di dekat Anda,” Maya pun akhirnya mengaku. “Dan saya merasa sangat bersalah karenanya. Perasaan ini tidak seharusnya…”

“Perasaaanmu itu sudah seharusnya, sama sekali tidak salah, Maya!,” Masumi menyentuh pipi Maya dan mengusap air mata yang kini kembali menghiasinya. “Perasaan kita, itulah yang seharusnya.”

“Sungguhkah?”

“Aku sangat yakin, Maya. Jadi jangan pernah menahan dan menyalahkan apa yang kau rasakan sekarang, karena itu akan sangat menyakitkan. Aku pernah merasakannya selama bertahun-tahun sejak mengenalmu dan kini  aku tidak sanggup lagi untuk berbohong dan menahan perasaanku.” 

“Tapi, Nona Shiori…”

“Dia akan memahaminya cepat atau lambat.”

Maya melipat bibirnya. Kenyataan tidak segampang apa yang diucapkan Masumi.

Perasaan bersalah masih menggantungi hati gadis mungil itu dengan kuat.

***

Jam 4 sore Masumi pamit untuk menjenguk Shiori dan tetap saja sulit bagi Maya untuk mengantarnya dengan senyum sehingga dirinya pura-pura masih tidur saat laki-laki itu datang untuk pamit. Setelah peristiwa siang tadi, ditambah dia tidak memakan makan siangnya dengan benar,  suhu badannya kembali naik. Obat yang diminumnya membuat Maya segera terlelap tidur. 

Dirasakannya  bibir hangat Masumi menyentuh keningnya lembut. 

Begitu terdengar suara pintu yang ditutup,  Maya segera membuka mata. 

Lama gadis itu termenung di tempat tidurnya. Berusaha mencerna perkataan Masumi tadi siang.

Benarkah cinta memperbolehkan orang menjadi sangat egois? 

Dia mencintai Masumi, dan perasaan laki-laki itu sudah sangat jelas menunjukkan cinta yang dalam padanya. Dengan kenyataan yang seperti itu,  apakah mereka sanggup untuk begitu egois mengabaikan perasaan Shiori?

Maya merasakan kepalanya berdenyut. 

Mengapa bagi mereka cinta menjadi begitu teramat sangat rumit dan memusingkan?

Bunyi halus handphone terdengar dari atas nakas di samping tempat tidur. Maya beringsut dengan malas untuk meraihnya. Keningnya berkerut melihat nomor yang tidak dikenal terpampang di layar handphonenya.

Sebuah pesan video.

Awalnya kening gadis itu berkerut saat melihat suasana dalam video itu. 

Gedung Daito..

Beberapa saat kemudian terlihat gambar sebuah mobil yang muncul dengan cepat dari arah basement untuk kemudian melaju tak terkendali.

Itu kan… desis Maya. Keringat dingin mulai merembesi dahi gadis mungil itu.

Setelah oleng kesana kemari dengan mengeluarkan bunyi berdecit mengerikan, dan menabrak beberapa benda plus pinggiran pos penjaga, mobil itu berhenti. 

Masumi Hayami keluar dari mobil dengan tubuh sedikit oleng! 

Maya menahan jeritannya. Dadanya berdegup kencang.

Kepanikan jelas tergambar di sana. Dilihatnya sopir pribadi Masumi memeriksa beberapa bagian mobil.

Samar-samar didengarnya perkataan sopir itu.

“Ada yang sudah memotong kabel rem~mobil”

Maya terhenyak dengan badan mendadak gemetar hebat.

Teringat dahi Masumi yang memar. 

Musubi no kami…

Dia sudah mencobanya dan dia gagal, terngiang perkataan Masumi tadi….dan akan terus seperti itu,  itu janjiku padamu.

Mendadak, Maya menjadi sangat yakin Masumi tidak akan dapat memenuhi janjinya itu, kecualiii…

Mata Maya kembali nyalang melihat layar handphone.

Wajah pucat Masumi Hayami terpampang jelas di sana.

***

Shiori tersenyum sumringah melihat kedatangan laki-laki yang dirindukannya itu.

“Masumi,” sapanya lembut, berniat berdiri untuk menyambut. Namun kemudian mengurungkan niatnya melihat isyarat Masumi agar dia tetap duduk. “Aku senang kau datang,” mata wanita itu berbinar bahagia. Masumi tersenyum tipis.

“Sepertinya kau semakin sehat, Shiori,” ujarnya kemudian. “Pengasuhmu mengatakan kalau siang tadi makanmu cukup lahap.”

“Itu karena kau akan datang,” sahut Shiori. “Aku ingin tampak sehat di depanmu.”

“Kau harus melakukannya untuk dirimu sendiri. Bukan untuk orang lain.”

“Kau orang paling penting dalam hidupku, Masumi. Jadi aku ingin melakukan yang terbaik untukmu.”

“Sungguhkah?”

Shiori mengangguk pasti.

“Aku senang mendengarnya,” senyum Masumi lagi. “Aku sungguh sangat berharap bisa segera melihatmu kembali sehat dan menjadi wanita yang lebih tegar.”

Shiori sejenak tertegun, mencoba mencari arti sesungguhnya dari kalimat yang diucapkan Masumi barusan. Tapi wajah laki-laki di depannya itu nampak biasa saja, seolah apa yang dikatakannya tidak memiliki arti tersembunyi apapun.

Namun hatinya mengatakan hal lain. Masumi tak pernah sekalipun menarik perkataannya dulu, tentang pemutusan pertunangan mereka. Masumi memang rutin mengunjunginya sejak usaha bunuh dirinya dulu, tapi dari sikap dan perkataannya, Masumi dengan halus menyiratkan bahwa ia sedang berusaha mempersiapkan dirinya  lebih tegar dan lebih realistis dalam menghadapi kenyataan pahit yang mungkin akan diterimanya nanti. 

“Apakah kau ingin jalan-jalan di taman?” suara Masumi membuyarkan pikirannya. Dilihatnya Masumi sedang menatapnya tajam. “Cuaca sore ini cukup hangat dan kurasa kau membutuhkan untuk menghirup udara luar.”

Shiori mengangguk setuju. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Masumi keluar menuju taman belakang yang nampak asri. Mereka berjalan perlahan. Tanpa suara. Diam-diam Shiori kembali mengamati Masumi yang kini berjalan di sampingnya. Seperti biasa wajah itu selalu nampak datar, cenderung dingin. Namun kini ada sesuatu yang lain terlihat di sana. Ada seulas raut keresahan tersirat di wajah tampannya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Shiori memberanikan diri bertanya.

Masumi menoleh.

“Wajahmu nampak cemas. Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Masumi terdiam sejenak. “Ya,” jawabnya kemudian tanpa berniat menjelaskan sumber keresahannya. Dia memang sedang resah, dan dia tidak ingin menyangkalnya. Sejak tadi pikirannya terpusat pada Maya. Saat pergi tadi, gadis itu masih tertidur. Masih demam. Jelas dia merasakannya saat mengecup kening Maya. Dan sekarang, mati-matian Masumi mencoba meredakan keresahannya dan berharap kunjungannya disini segera berakhir. Dirinya ingin secepatnya pulang untuk menemui Mayanya. 

Shiori tak berniat bertanya lebih lanjut. Dia tahu, Masumi tidak ingin membagi keresahannya itu padanya. Mereka kembali berjalan dalam diam. Masumi lalu membawa Shiori untuk duduk di sebuah bangku taman di dekat kolam ikan yang indah.

“Masumi,” Shiori menoleh, menengadah menatap Masumi yang kini berdiri di samping bangku. “Kakek mengatakan akan menyerahkan kursi pemimpin Takatsu padamu kelak, jika kita sudah menikah,” gadis itu memberanikan diri untuk membicarakan topik yang selama ini dihindari Masumi. “Aku sangat setuju dengan rencana kakek. Kupikir, perusahaan kami akan maju pesat jika kau yang memimpinnya, Masumi.” 

Sambil bicara Shiori terus mengamati raut wajah tunangannya dan melihat wajah itu seketika mengeras. 

“Aku tahu,” laki-laki itu bergumam pelan. “Kakekmu sudah mengatakannya padaku tadi.”

“Oya?” mata Shiori nampak berbinar. “Aku senang sekali saat kakek mengatakan itu padaku. Lalu apa pendapatmu, Masumi? Ah, aku membayangkan jika Daito dan Takatsu bergabung, tak akan ada perusahaan lain yang bisa menyainginya!”

“Aku menolaknya.”

Jawaban Masumi seketika menyurutkan kegembiraan Shiori ke titik minus. Wajah wanita itu nampak terperangah tak percaya.

“Ke~kenapa?”

“Karena aku bukan orang yang tepat untuk menerima semua itu, Shiori. Takatsu harus mencari orang lain yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin perusahaan kelak. Orang yang lebih kompeten, orang yang lebih berhak. Dan itu bukan aku.”

“Ta~tapi Masumi…”

“Ah, sudah mulai senja. Lebih baik kita kembali ke dalam,” potong Masumi cepat. “Ayo! Kurasa kau sudah tidak membutuhkan bantuanku untuk berdiri kan?” senyumnya kemudian. Shiori mengetatkan jemarinya. Dia tidak tahu lagi harus mengatakan apa selain berdiri dan berjalan mendahului laki-laki itu untuk kembali ke ruangannya.

Perasaan wanita itu kembali terpilin sakit. Secara tidak langsung, Masumi kembali mengatakan bahwa tak akan ada pernikahan bagi mereka. 

Dengan putus asa Shiori memandangi pantulan wajahnya di cermin. Masumi pulang tak lama setelah mereka kembali dari taman tanpa basa basi akan kembali datang mengunjunginya seperti yang biasa dia katakan di akhir kunjunganya.  

“Apa lagi yang harus aku lakukan?” bisiknya pelan pada cermin di depannya. Meski tahu Masumi tidak pernah mencintainya, namun dia masih tidak  rela melepaskan laki-laki itu. Dia sudah terlanjur jatuh cinta. Sangat jatuh cinta. Baginya, Masumi adalah satu-satunya pria yang bisa ia bayangkan akan mendampingi hidupnya kelak. 

Dia tidak menginginkan laki-laki lain.

***

Maya menghapus air mata yang sejak tadi mengaliri pipinya yang pucat. Dipandanginya handphone yang kini tergeletak di depannya, di atas tepat tidur.  Ada e-mail yang masuk tak lama setelah dirinya menerima video kecelakaan mobil yang dialami Masumi.  


Itu peringatan kedua. Meskipun sekarang dia selamat, Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada peringatan ketiga, Bidadariku
Musubi no Kami


Maya mengetatkan jemarinya. “Aku tidak boleh ada di sini!” putusnya dalam hati. Setalah menyambar tas tangannya di meja rias, gadis itu segera menyelinap ke luar kamar. Maya tidak lagi mempedulikan badannya yang masih demam, kepalanya yang masih berdenyut, juga bahunya yang belum diganti perbannya sejak siang tadi. Tujuannya hanya satu, menjauhi Masumi.

“Nona? Anda mau kemana?” 

Maya sedikit terlonjak saat berpapasan dengan Rika di pintu keluar.

“Ah, aku, aku mau keluar sebentar,” jawabnya dengan gugup.

“Tapi, Nona. Anda masih demam. Anda belum boleh kemana-mana dulu.”

“Hanya sebentar, Rika. Ada hal yang harus aku selesaikan dulu.”

“Tapi Tuan Masumi mengatakan…”

“Beliau sudah mengijinkan!” sambar Maya cepat. “A~aku sudah meneleponnya dan beliau sudah mengijinkan.”

Maya cepat-cepat berlalu sebelum Rika semakin curiga. Dia tidak boleh berlama-lama lagi di rumah ini. Dirinya harus segera menjauh dari Masumi!

Tak berapa lama, ia pun sudah berada di luar pintu gerbang kediaman Hayami yang megah. Beberapa saat diam termenung memandangi jalan besar didepannya yang nampak sepi,  bingung akan pergi kemana. Dia tidak punya tujuan. Pulang ke apartemen jelas merupakan ide buruk karena Masumi akan dengan mudah menemukannya dan kembali membawanya kesini. Pergi ke tempat Rei atau temannya yang lain pun tidak mungkin dia lakukan. 

Gadis itu mulai berjalan tanpa arah yang jelas. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Wajah Masumi berkelebatan dalam benaknya, bergantian dengan gambar video yang dikirimkan Musubi no Kami. Badan gadis itu kembali gemetar. Lalu mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang melintas di kepalanya. 

Akan aku lakukan apapun agar Pak Masumi selamat, batinnya kemudian. Hatinya mendadak perih. Apapun. Meski itu artinya ia harus pergi dari kehidupan laki-laki itu. Tanpa sadar Maya terisak. Membayangkan tidak akan bertemu lagi dengan Masumi membuatnya sangat ingin menangis.

Langit senja mulai nampak gelap. Udara semakin dingin. Maya  merapatkan jaket yang dipakainya. Kepalanya semakin terasa berdenyut. Maya bahkan merasakan suhu disekitar tubuhnya kian memanas. Demamnya yang memang belum pulih benar kembali naik.

Sesekali gadis itu memutar badannya ke belakang, berharap ada taksi yang lewat agar dia bisa sekedar mengistirahatkan badannya yang terasa semakin berat di dalamnya. Namun sejak tadi, tak ada satupun taksi yang lewat. Hanya beberapa mobil pribadi yang sesekali lewat. Dirinya memang belum begitu jauh dari area kediaman Hayami yang merupakan komplek perumahan mewah. 

Ah, mungkin di persimpangan sana ada taksi yang lewat, pikir Maya ketika melihat persimpangan yang merupakan batas luar komplek tersebut. Gadis itu mempercepat langkahnya.  namun baru saja beberapa langkah, tiba-tiba pandangannya beriak dan buram. Tubuh gadis itu oleng dan hampir saja terjatuh jika kedua tangannya tidak refleks menahan tubuh. Pekikan kesakitan keluar dari mulutnya tanpa sadar. Bahu kirinya berdenyut keras.

Maya jatuh terduduk seraya memegangi bahu kirinya. Tangannya yang menahan cukup kuat rupanya membuat lukanya terbuka. Gadis itu dapat merasakan lengan bajunya menjadi sedikit lembab.

Mati-matian Maya mencoba mengenyahkan rasa pusing yang melandanya. Setelah dirasa cukup mereda, gadis itu mencoba untuk berdiri. Beberapa saat mencoba meraih kembali keseimbangannya dengan berdiri diam seraya memejamkan mata. Namun yang diharapkannya tidak juga terjadi. Pusingnya malah kembali melanda dengan hebat. Maya bahkan takut untuk membuka matanya karena dia yakin, apa yang akan dilihatnya nanti akan beriak dengan cepat. Setitik air mata menetes ke pipinya. 

“Kitajima?” Sebuah suara bariton membuatnya tersentak dan seketika menoleh sambil membuka matanya untuk melihat siapa yang menyapanya. Gadis itu terlambat menyadari bahwa gerakan yang dilakukannya secara tiba-tiba itu membuat dunianya seakan berputar semakin cepat. Maya bahkan tidak sempat mengenali siapa yang berada di belakangnya itu, karena sedetik kemudian pandangannya berubah gelap. Maya merasakan tubuhnya seakan melayang tak terkendali.

“Kitajima!” dengan panik Kazuya memburu  Maya dan menahannya sehingga tubuh mungil Maya tidak sampai terhempas. Sutradara terkenal itu terkejut saat merasakan tubuh Maya yang panas. Cepat dia berlutut dan merebahkan tubuh Maya di pangkuannya. Wajah gadis itu nampak pucat dan berkeringat. Gadis itu setengah tidak sadar. Bibir mungilnya nampak bergetar. 

“Kitajima?” Kazuya menepuk pelan pipi aktris pemeran utamanya itu. “Kitajima, kau mendengarku?”

Bibir Maya bergerak-gerak mengeluarkan gumaman tidak jelas. Mengigau. Tanpa pikir panjang lagi, Kazuya segera menggendong Maya menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Laki-laki itu baru saja kembali dari rumah salah satu temannya yang kebetulan berada di daerah yang sama saat melihat sosok mungil Maya di trotoar. Setelah beberapa hari resah dan uring-uringan karena tidak berhasil mengorek keterangan tentang keberadaan Maya dari Keiko, hatinya akhirnya bisa berdegup gembira saat tanpa diduga dapat melihat sosok yang dirindukannya itu. Meski kegembiraannya kembali berubah menjadi kepanikan saat melihat kondisi Maya yang sepertinya tidak baik.

Saat berusaha memasangkan sabuk pengaman di tubuh Maya yang kini bersandar di kursi penumpang depan, Kazuya menyadari sesuatu menetes keluar dari balik lengan jaket Maya. Jantungnya melompat naik. Darah!

Cepat laki-laki meyisihkan jaket dari bahu Maya dan matanya melebar saat melihat lengan baju Maya di bagian bahu kiri yang seharusnya berwarna kuning lembut kini sudah berubah merah!

***

“Mana Maya? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah makan?” Masumi segera memberondong Rika yang menyambutnya di ruang ruang depan dengan pertanyaan begitu ia sampai.

“Nona Maya masih belum kembali, Tuan Muda.”

“Belum kembali?” cepat Masumi menoleh dengan kening berkerut. “Apa maksudmu?”

Kini giliran Rika yang memucat. Tubuhnya gemetar menyadari tuannya itu tidak mengetahui apapun tentang kepergian Maya.

“Nona Maya tadi sore keluar. Beliau mengatakan ada hal yang harus diselesaikan dan mengatakan kalau.. kalau tuan sudah mengijinkannya.”

“Apa?” Masumi sangat terkejut mendengarnya. “Bagaimana kau bisa…!” nampak sekali laki-laki itu berusaha menahan kemarahan yang tiba-tiba muncul atas kecerobohan pelayannya itu. Namun kemudian dia menyadari, Rika sama sekali tidak salah. Maya mengatakan sudah mendapatkan ijinnya.

“Maafkan saya, Tuan Muda,” Rika berucap lirih. Menunduk bersiap menghadapi kemarahan Masumi. Namun tuan mudanya itu malah berbalik dan berlari menuju kamar Maya.

Dengan tergesa Masumi membuka pintu kamar, bergegas menuju lemari untuk mengecek isinya. Maya tidak membawa tas dan pakaiannya. Itu membuatnya sedikit lega meski tidak cukup untuk menghapus kekhawatirannya akan kondisi gadis itu yang masih lemah. 

Diraihnya handphone dari balik jas kerjanya dan cepat menekan nomor Maya yang dihafalnya di luar kepala. Beberapa saat menunggu nada panggil berbunyi. 

Keningnya berkerut saat mendengar ringtone yang tidak dikenalnya. Kepalanya berputar ke arah asal suara.

Handphone Maya nampak tergeletak di atas tempat tidur. 

Cepat Masumi meraih dan membukanya. Maya pasti pergi dengan terburu-buru sampai melupakan benda ini, pikirnya. Dan apa yang membuatnya pergi terbuu-buru mungkin ada didalamnya!

Segera Masumi membua call log. Telepon yang terakhir diterima hanyalah telepon dari Kazuya Oda yang diterimanya waktu itu. Setelah  yakin tak ada yang mencurigakan di call log, Masumi membuka inbox Maya. Ada sebuah pesan video dan e-mail baru yang diterima Maya sore tadi. Masumi membukanya. Nafasnya seolah berhenti saat melihat isinya. Terlebih setelah membaca e-mail yang dikirim sesudahnya.

Kini laki-laki itu sadar, Maya tidak akan kembali lagi. 

Secepat kesadaran yang menghampirinya, Masumi berlari ke luar.  Berteriak entah pada siapa, untuk menyiapkan mobilnya segera. Begitu ia tiba di teras, mobilnya sudah siap dengan Oshima yang sudah berdiri siap membukakan pintu untuk tuannya.

“Kemarikan kuncinya!”

“E, Tuan?”

“Cepaaattt!!!” 

Dengan terkejut Oshima segara menyerahkan benda itu ke tangan majikannya dan hanya bisa terbengong dengan keheranan saat melihat dalam beberapa detik, mobil itu sudah meluncur cepat keluar dari halaman kediaman Hayami.

Eisuke memperhatikan semua itu dari balik jendela ruang baca. Begitu mobil Masumi menghilang dibalik gerbang, laki-laki itu memutar kursi rodanya. 

Asa nampak setia berdiri tak jauh darinya.

“Apa kau sudah melakukan apa yang aku minta?” tanya Eisuke pada asistennya itu. 

Asa mengangguk hormat. “Seperti yang anda perintahkan tuan.”
 
“Bagus!” bibir Eisuke membentuk garis lurus. “Bawa aku ke ruanganku, Asa. Rasanya badanku sangat lelah hari ini,” ujarnya kemudian.

Kembali Asa mengangguk hormat dan dengan patuh melakukan apa yang diminta majikannya itu.

***

Sudah hampir jam delapan malam dan Masumi belum sedikitpun menemukan jejak Maya.

Laki-laki itu menjalankan mobilnya pelan saat melewati keramaian, menajamkan mata, berharap menemukan sosok mungil yang dicarinya. Kepanikan mulai memuncak.

“Kau dimana, Maya?” 

Pertanyaan itu terus dia suarakan dalam benaknya, sesekali keluar melalui desahan resahnya. Kepalanya mulai berdenyut sakit oleh kekhawatiran merayap kian naik.

Apartemen Maya, apartemen Rei dan tempat tinggal teman-teman teater Maya yang lainnya sudah didatangi. Bahkan Keiko pun tidak tahu kemana Maya pergi. Gadis itu terdengar khawatir saat tahu Maya pergi dari kediaman Hayami. Hijiri sudah sejak tadi membantunya mencari namun sampai sekarang belum ada laporan yang bisa membuatnya lega.

Tuhan, kemana lagi aku harus mencari? Batin Masumi. Terbayang video yang diterima Maya tadi sore.

Gadis itu pasti sangat ketakutan!

Masumi mengetatkan pegangannya pada setir mobil. Salahku! Runtuk hatinya kemudian. Aku kurang waspada! Aku sama sekali tidak menyangka kalau pengirim anyelir merah itu bahkan tahu alamat e-mail pribadi Maya!

Tiba-tiba Masumi menginjak rem mobil, membuat merzedez keluaran terbaru itu berhenti seketika. 

E-mail pribadi Maya! Orang-orang yang mengetahui alamat e-mail pribadinya hanyalah orang-orang yang dekat dengannya!

Dadanya berdebar semakin kencang.

Rasanya tak ada satu orang pun yang mencurigakan dari teman Maya. Gadis itu tidak memiliki banyak teman akrab kecuali teman-temannya di teater!

Sakurakoji?

Tiba-tiba terlintas nama pemuda yang pernah menjadi saingan cintanya itu.
Setelah pementasan bidadari merah yang sukses besar, Masumi tahu, Maya sudah menolak laki-laki itu dengan mengembalikan kalung lumba-lumba yang pernah diberikan Koji. Mereka bahkan tidak pernah satu pentas lagi setelah itu, kecuali untuk urusan yang berhubungan dengan pentas bidadari merah. Tapi itu bukan berarti pemuda itu sudah melupakan cintanya pada Maya. Dia tahu pasti, Sakurakoji masih menyimpan perasaan terhadap Maya!

Mungkinkah? Masumi merasakan kepalanya mendadak pening. Bukan tidak mungkin perasaan cinta Sakurakoji yang tidak terbalas itu membuatnya menjadi terobsesi pada Maya! Obsesi yang membuatnya berani menyingkirkan semua laki-laki dalam kehidupan Maya! 

Atau…bahkan sanggup membuatnya menyakiti Maya, agar tidak dimiliki laki-laki lain?

Kini Masumi mengusap peluh yang mulai merembesi keningnya. Pemikiran itu sungguh membuatnya takut setengah mati. Tidak boleh!  Tidak boleh terjadi apapun yang buruk pada Maya. Tidak akan kubiarkan!

Cepat diraihnya handphone untuk menghubungi Hijiri, meminta bawahan yang setia itu untuk mengawasi semua kegiatan Sakurakoji. Setelah menyampaikan apa yang diinginkannya, Masumi kembali menginjak gas untuk mencari belahan jiwanya yang kini entah berada di mana.

***

Kazuya duduk termenung di sisi tempat tidur dimana sosok mungil Maya terbaring demam. Dokter baru saja pulang setelah memeriksa Maya. Saat melarikan mobilnya dengan panik, terbersit olehnya untuk membawa Maya ke rumah sakit namun cepat diurungkannya. Dia tidak ingin membuat orang bertanya dengan terlukanya Maya. Jadi segera ia membawa Maya ke rumahnya dan memanggil dokter pribadinya. Dia yakin, sang dokter tidak akan bertanya banyak meski tahu, kondisi luka Maya akan menimbulkan kecurigaan. 

Dan dokter yang sudah menjadi dokter keluarga selama bertahun-tahun itu bahkan tidak bertanya apapun. Hanya berpesan untuk mengingatkan Maya lebih berhati-hati agar luka jahitannya tidak terbuka lagi.

Diusapnya kening Maya yang berkeringat.

Wajah mungil yang biasanya merona merah itu kini nampak pucat. Kazuya mendesah. 

“Saat seperti ini pun kau tetap membuatku terpesona, Kitajima.”

Untuk beberapa lama Kazuya memanjakan matanya dengan terus memandangi Maya.  Berharap dapat meredakan kerinduan yang dia tahan selama beberapa hari terakhir ini.
 
Keasyikannya terusik oleh ketukan di pintu. Seorang pelayan membungkuk hormat saat pintu terbuka.

“Maaf tuan muda, ada yang ingin bertemu dengan anda.”

Kazuya mengerutkan kening. Matanya melirik jam tangan yang melingkari pergelangannya. Hampir setengah sepuluh malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

“Siapa?”

“Beliau tidak mengatakan namanya, Tuan Muda. Katanya ini tentang Nona Kitajima.”

Tentang Maya?  Rasa penasarannya semakin besar. Dengan langkah lebar Kazuya segera menuju ruang tamu. 

Disana nampak seorang laki-laki berpakaian jas resmi yang nampak sangat kaku duduk di sofa ruang tamunya. Laki-laki itu segera berdiri saat dirinya muncul lalu membungkuk hormat.

“Tuan Oda.” 

Keheranan di wajah Kazuya disambut dengan senyuman tamunya.

“Maaf, Tuan Oda. Mungkin ini terlihat aneh. Tapi saya datang untuk meminta anda melakukan sesuatu sehubungan dengan Nona Kitajima.”

“Tentang Kitajima? Saya tidak mengerti maksud anda.”

“Nona Kitajima sedang terluka bukan?”

Mata Kazuya melebar. “Dari mana Anda tahu?”

“Tidak penting dari mana saya tahu Nona Kitajima sedang terluka dan sekarang berada di rumah ini. Saya hanya ingin menyampaikan permohonan dari atasan saya, agar Tuan Oda bisa merahasiakan tentang keberadaan Nona Kitajima kepada siapapun. Termasuk teman-teman terdekatnya.”

“Merahasiakan…keberadaannya?’

“Benar,” angguk laki-laki itu. “Bahkan jika Anda tidak keberatan, atasan saya meminta Anda untuk membawa Nona Kitajima menjauh dari Tokyo untuk sementara. Beliau sudah menyiapkan segala sesuatunya jika anda setuju. Kemana pun tujuan anda tidak masalah.”

Sekarang laki-laki itu menyodorkan sebuak koper dan membukanya. Kazuya melihat koper itu dipenuhi dengan lembaran-lembaran uang.

“Apa ini?” tanyanya tajam.

“Selebihnya akan kami ditransfer ke rekening anda secepatnya, jika Anda dan Nona Kitajima sudah meninggalkan Tokyo.”

“Dan kenapa aku harus melakukan itu?”

“Jawabannya hanya satu, Tuan Oda. Itu karena Nona Kitajima sedang dalam bahaya.”

Tubuh Kazuya membeku seketika. Ditatapnya laki-laki di depannya dengan setengah tidak percaya.

“Secepatnya Anda membawa nona Kitajima lebih baik. Besok pagi saya akan menghubungi anda kembali.”

Tanpa berbasa-basi lagi laki-laki itu membungkuk pamit, meninggalkan Kazuya yang masih terpaku bingung.

Tanpa sadar Kazuya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, memandangi koper berisi uang yang kini tergeletak di atas meja. 

***

Sudah hampir jam 3 pagi. 

Masumi berusaha untuk tetap terjaga. Entah sudah berapa jam dia duduk di sofa di ruang tamu apartemen Maya, berharap melihat sosok mungil itu berjalan masuk. Namun harapannya tak kunjung terkabul. 

“kau dimana, Maya?” desisnya putus asa. “Kumohon, muncullah di hadapanku segera! Aku bisa gila, Maya, jika kau menghilang seperti ini!”

Matanya sudah pegal memandangi pintu yang tidak juga terbuka. Untuk kesekian kalinya Masumi  menyulut rokoknya. Lemari es Maya tidak menyediakan minuman beralkohol sehingga hanya rokoklah satu-satunya yang bisa ia pakai untuk meredakan ketegangan sarafnya. Itupun kini tinggal satu batang yang tersisa.

Melihat puntung rokok yang berserakan di meja tamu, Masumi terkekeh pelan, membayangkan omelan Maya jika gadis itu melihatnya.

Kau mengomel seharian pun aku tidak keberatan, Maya. Asal kau ada di dekatku, batin Masumi. Hatinya kembali berdenyut, resah dan rindu bercampur aduk. Dipandanginya foto Maya yang terpajang di salah satu dinding. Mencari ketenangan dari senyum manis yang terukir di sana. Semakin lama senyum itu semakin kabur seiring dengan rasa lelah yang menyergap. Matanya pun semakin berat, sampai akhirnya Masumi menyerah dan mulai jatuh tertidur.

Entah berapa lama ia tertidur, yang jelas, saat mendengar suara pintu terbuka, Masumi langsung terjaga dan meloncat bangun.

“Maya!” teriaknya tak sabar dengan hati berderap gembira. Namun kegembiraannya surut seketika saat melihat sosok yang masuk.

“Kau?” desisnya. 

Keterkejutan yang sama terpampang jelas di wajah orang yang baru masuk.

“Pak Masumi?” 

Keiko cepat-epat membungkuk hormat melihat atasannya itu. 

“Apa yang Anda lakukan di sini?”tanyanya kemudian dengan segan.

“Aku pikir mungkin saja dia pulang. Jadi aku berniat menunggunya," jawab Masumi. 

Keiko tertegun melihat betapa wajah bosnya itu nampak begitu kusut. “A-anda pasti sangat khawatir,” komentarnya lirih. Saat Masumi menghubunginya semalam untuk menanyakan tentang keberadaan Maya, jelas sekali kekhawatiran  kental dalam suaranya. Laki-laki di depannya ini malah menutup telepon begitu dia bilang tidak tahu. 

Kembali dipandanginya Masumi dengan takut-takut. "Pak Masumi, k-kenapa Maya bisa menghilang?”

Sekilas Masumi memperhatikan raut muka asisten Maya itu. Keiko tahu tentang Anyelir Merah dan teror yang dilakukannya. Diputuskannya untuk memberitahu Keiko tentang video yang dikirimkan Anyelir Merah sore tadi. 

Keiko mendekap mulut, menahan keterkejutannya.

“Maya pasti sangat ketakutan,” mata gadis itu nampak berkaca-kaca. “Ah, dimana dia sekarang?”

Masumi menggeleng lemah. Matanya melirik jam di dinding. Sudah jam 6 lebih. Dia harus pergi. Tidak ingin membuang waktu lagi dengan diam menunggu di apartemen Maya. Dia akan mencoba mencarinya lagi ke tempat-tempat yang mungkin didatangi gadis itu.

“Kalau kau tahu tentang keberadaan Maya, cepat kau beritahu aku!” ujar laki-laki itu sebelum pergi dan dijawab dengan anggukan Keiko. 

Keiko mengekor di belakang  saat Masumi beranjak ke pintu. Sedikit tergagap saat mendengar pertanyaan Masumi sebelum bos Daito itu membuka pintu.

“Ngomong-ngomong, Nona Tsukino, apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?”

Pandangan Masumi nampak tajam menusuk. Diam-diam Keiko meneguk ludahnya dengan gugup.

“S-saya.. saya hanya ingin mengecek keadaan apartemen saja, Pak. Selama Maya pergi, saya harus memastikan apartemennya baik-baik saja. D-dan... siapa tahu, Maya pulang. ”

Masumi nampak terdiam dengan pandangan menyelidik membuat kegugupan Keiko kian memuncak. Namun  beberapa detik kemudian saat Masumi membuka pintu dan keluar tanpa berkomentar apapun, Keiko mengembuskan nafas yang sejak tadi ditahannya kuat-kuat. 

Setelah yakin bos nya itu sudah pergi, cepat gadis itu berbalik menuju kamar Maya, menarik koper kecil dari dalam lemari dan mengepak beberapa baju Maya. Setelah mengambil passport Maya dari dalam laci dan memasukkan ke dalam koper,  gadis itu pun bergegas pergi. 

Kazuya pasti sudah menunggu.

***



“Ngggh?” Maya mengerang pelan saat merasakan kepalanya yang masih berdenyut. Perlahan gadis itu membuka mata. Keningnya langsung berkerut saat menyadari dia berada di tempat yang tidak dia kenal. 

“Apa yang…,” samar-samar diingatnya kejadian sebelum dirinya tidak sadarkan dirinya. Refleks gadis itu mencelat bangun. Seseorang bersamanya sebelum ia pingsan! 

Tapi siapa?

Tidak dihiraukannya kepalanya yang sakit saat kaki  mungilnya mencoba berdiri. Sejenak pandangannya terasa berputar. Setelah diam beberapa saat, putarannya semakin menghilang. Maya segera mengedarkan pandangannya dengan waspada. Ia berada di sebuah kamar yang cukup luas dan mewah. Berusaha mencari petunjuk dimana dia berada kini. Tapi tak ada satu benda pun yang menolong. 

Maya kemudian mendekati jendela besar yang ada di samping kanannya. Berharap menemukan petunjuk dari suasana di luar sana. Rupanya dia berada di sebuah rumah yang lumayan besar dan luas. Dari jendela terlihat sebuah taman yang dipenuhi banyak rumpun bunga yang artistik. Ujung taman dibatasi oleh tembok tinggi.

Maya mengeluh. Tembok pagar yang tinggi menghalanginya untuk melihat ke luar area taman. Dia tidak tahu dimana dia berada kini.

Diputuskannya untuk keluar kamar. Namun saat hendak berbalik meninggalkan jendela, sudut matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tersentak, lalu refleks kembali melayangkan pandangan ke salah satu sudut di luar sana.

Mata gadis itu melebar dengan ketakutan yang kembali  tersirat!

Anyelir merah… Maya mendesis. 

Di salah satu sudut taman nampak beberapa rumpun bunga anyelir merah yang ditata dengan apik. Memang masih ada beberapa rumpun bunga lain di sana, tapi nampaknya, pemilik rumah menyukai jenis bunga yang satu itu sehingga sengaja meluangkan area lebih banyak  untuk menanam anyelir merah.

Mungkinkah? Jantung gadis itu berdegup kian kencang.

Suara pintu terbuka membuat Maya terlonjak kaget. Tanpa sadar gadis itu merapatkan tubuh ke bingkai jendela, menunggu penuh antisipasi saat pintu mulai terbuka.

“Ah, Nona sudah bangun?” sapa seorang gadis muda dengan seragam pelayan yang masuk dengan mendorong kereta makanan. Kembali mata Maya membulat. Dua tangkai anyelir  merah nampak manis di dalam vas kaca langsing menyertai hidangan yang diantarkan. 

“Tuan muda berpesan untuk mengantarkan sarapan untuk nona. Syukurlah, Nona sudah bangun,” gadis itu tersenyum ramah.

“Anyelir merah..,” mata Maya masih terpaku pada bunga yang membuat dadanya semakin berdegup dengan tegang.

“Tuan muda sangat menyukai bunga ini,” terang si pelayan dengan antusias. “Bunga ini harus selalu ada sekitar rumah dalam keadaan segar.”

“Tuan muda?” gumam Maya. Dua kali pelayan itu menyebutkan tuan mudanya tanpa menerangkan siapa dia.

Pelayan itu tidak mendengar gumaman Maya. Dengan cekatan membuka tutup nampan. Pancake yang nampak lezat langsung terhidang, lengkap dengan potongan strawberry dan saus yang nampak menggiurkan. 

“Silahkan sarapan, Nona. Jika ada yang diperlukan lagi, Anda tinggal menekan bel yang ada di samping tempat tidur Nona.”

Maya mengangguk. Keterkejutannya membuat otaknya berjalan lambat beberapa saat tadi. Saat si pelayang pamit keluar, gadis itu berseru tertahan.

“Tu-tunggu!”

“Ya, Nona? Apakah ada yang Anda perlukan lagi?”

Maya menggeleng pelan. “ Tuan Muda~ dimana dia sekarang?”

“Oh, beliau tadi pagi pergi. Beliau tidak mengatakan kemana. Mungkin ke studio.”

“Studio..,” Maya kembali bergumam. Membeo.

“Jika tidak ada lagi yang diperlukan, saya permisi, Nona. Selamat menikmati sarapannya.”

Pelayan itu pun keluar dan menutup pintu.

Studio.. batin Maya. Studio apa? Apakah dia seseorang yang aku kenal?

Kenyataan bahwa Musubi no Kami mengetahui semua gerak-geriknya, pikiran yang terlintas tadi sangat masuk akal. Kembali tubuhnya meremang. Maya kembali merasa dunianya sekarang menjadi sangat sempit, membuatnya susah bernafas. Jika memang orang itu seseorang yang dia kenal, yang mungkin saja dia temui setiap hari, maka akan sulit baginya untuk bisa lepas dari terornya. 

Kecuali kalau aku pergi jauh…

Maya memutuskan untuk tidak berlama-lama merealisasikan pikirannya barusan. Tanpa menghiraukan perutnya yang lapar dan kepala dan bahu kirinya yang masih berdenyut, gadis itu bergegas menyelinap keluar. Berusaha untuk tidak bertemu siapapun saat berusaha mencari pintu depan. Maya bahkan tidak menyadari, bahwa dirinya kini memakai piyama yang nampak kebesaran di tubuhnya yang mungil.

Tiba di luar pagar, Maya menghembuskan nafas lega. Untunglah tidak ada yang memergokinya tadi. Maya berbalik sejenak untuk melihat rumah yang baru saja ditinggalkannya. 

Diliriknya nama yang terpasang di dinding pagar. Matanya membulat dengan jantung yang kembali berdegup kencang.

Oda Kazuya recident.

Tidak mungkin… desisnya. Tidak mungkin Oda san…

Namun kenyataan bahwa tuan rumah sangat menyukai anyelir merah, membuat pikirannya mau tidak mau, menunjuk sutradaranya itu sebagai tersangka utama pelaku teror yang dia alami belakangan ini.

Dan Oda san tahu banyak tentang jadwal kegiatanku!

Maya tidak mau lagi berlama-lama berdiri di sana. Bergegas gadis itu pergi, memutuskan kembali ke apartemennya untuk membawa barang-barang yang dibutuhkannya nanti. Secepatnya dia harus meninggalkan Tokyo. Menjauh dari semua, sebelum jatuh korban lagi.

Matanya terasa panas. Terbayang wajah tampan yang sangat dirindukannya sekarang.

Tak apa, bisik hatinya berulang-ulang. Asalkan Pak Masumi selamat, seperti ini pun tak apa..

Setetes air mata melompat  turun ke pipi pucatnya. 

Sementara itu, agak jauh di belakangnya, sebuah mobil berjalan pelan. Mengamati sosok mungil dalam piyama kebesaran yang berjalan agak terseok di trotoar. Senyum tipis membias di bibir pengemudinya. 

Mendadak dia menginjak rem. Sebuah mobil hitam nampak berhenti tepat di pinggir gadis itu. Maya nampak terkejut, nampak ketakutan.

Sesosok pria berjas hitam turun. 

Si pengemudi berdecak kesal. Dia tidak dapat melihat wajah laki-laki yang kini membelakanginya, nampak mengatakan sesuatu pada Maya. Dia pun tidak bisa memastikan reaksi Maya karena terhalang tubuh tegap si laki-laki. Yang jelas beberapa lama kemudian, lelaki itu membuka pintu belakang mobilnya dan Maya bergegas masuk. 

Mobil hitam itu kembali melaju. 

Dengan sigap si pengemudi kembali menjalankan mobil. Mencoba membuntuti. Namun saat mobilnya terhalang lampu merah, kembali si pengemudi memaki pelan. Kekesalan nampak sekali di wajahnya saat memandang mobil hitam yang diikutinya menjauh dan menghilang dari pandangannya.

***