Sabtu, 17 September 2011

Daddy’s Day Out (par2)

 

 
Sepanjang perjalanan, ketiga anak itu bernyanyi riang. Masumi melirik ketiganya dari kaca spion dengan hati bahagia. Melihat dan mendengar keriangan ketiga buah hatinya, kepenatan dan kelelahan karena pekerjaannya hilang tak berbekas. 
“Heh, coba Maya tidak harus syuting,” pikirannya melayang pada istrinya.  Tak berapa lama, handphonenya berdering. Masumi menekan handsfree yang sudah terpasang di telinganya.

Halo sayang..

Suara riang menyapanya. Masumi tersenyum.

“Aku baru saja memikirkanmu,” sahutnya.

Oya, Kenapa? Apa ada yang terjadi di rumah?

“Hei, nyonya, tenanglah!” Masumi tersenyum geli mendengar nada khawatir Maya. “Kau tidak mendengar mereka sedang bernyanyi?”

Hening sesaat. Lalu..

Ah, iya… bahkan Aiko juga?

“Iya… meski nada dan liriknya ngawur.”

Di seberang sana Maya tergelak. 

Aku  merindukan  mereka..

“Siapa suruh syuting,” cibir Masumi. “Kami sedang jalan-jalan, kau tahu?”

Jalan-jalan? kemana?

“Mau ke kebun binatang.”

Kau bersama siapa? Apa kau mengajak Bi Michi?

“Tidak,” geleng Masumi. “Kami pergi berempat saja. Kenapa? Kau khawatir?”

Tentu saja! Kau tahu sendiri bagaimana kedua anak laki-lakimu itu! Belum Aiko. Kau masih ingat kan? Kalau sedang jalan-jalan dia tidak mau naik kereta bayinya. Kalau nggak jalan sendiri, dia pasti minta digendong! Kalau kau sendirian pasti repot.. apa aku sebaiknya…

“Hei, Nyonya Hayami. Tenanglah!” potong Masumi cepat. “Ryu dan Shou sudah berjanji tidak akan macam-macam. Aiko juga, dia sudah janji untuk mau naik kereta bayinya nanti.”

Sungguh?

“Iyaaa,  jadi kau tenanglah bekerja. Ingat! Sore sudah harus pulang!”

Masumiii…

“Sudah ya, kami sudah sampai di kebun binatang. Aku tutup duluan. I love you, mungil !”

Masumi menutup telepon. Matanya berkeliling mencari tempat parkir yang bisa digunakan. Saat weekend begini kebun binatang selalu lebih ramai dari hari biasa. Setelah berputar dua kali, barulah ia menemukan tempat parkir yang kosong.

Ryu dan Shou bersorak saat mobil berhenti. Lalu saat dengan semangat membuka pintu mobil,  segera mereka berteriak tak sabar.

“Ayo buka pintunya, Paaa!!”

Masumi melepas sabuk pengaman dan menoleh.

“Kalian ingat janji kalian tadi di rumah?”

Kedua anak itu mengangguk cepat.

“Selalu berjalan tenang di samping papa!” ujar Ryu. “Nurut sama papa,” lanjutnya. 

“Bantuin papa jagain Aiko!” timpal adiknya.

“Tidak naik-naik pagar pembatas, harus bilang kalau mau ke toilet…”

“Tidak usil sama orang dan binatang!”

Masumi tersenyum puas.

“Kalau kalian menepati janji, pulang dari kebun binatang kita beli mainan. Tapi kalau tidak..”

“Tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan..” lanjut kedua anak laki-lakinya berbarengan.

“Bagus, sekarang papa buka pintunya.”

Belum sedetik central lock dibuka, kedua anak itu sudah berloncatan turun dan melompat-lompat tak sabar melihat papanya mengeluarkan kereta dorong sekalian menggendong Aiko turun.

“Tidak keletaa.. Aiko jalan kaki!” gadis kecil itu merengut saat Masumi mendudukkannya di kereta dorong.

“Hei, tadi janji sama Papa mau naik kereta dorong.”

Nggaaaa..!! Jalan!!” Aiko menandak-nandakkan kaki, menolak duduk. Masumi mendesah. Apa yang diharapkannya dari bayi berumur 14 bulan ini. Akhirnya ia mengembalikan kereta bayi Aiko ke dalam mobil. Biarlah, toh di dalam juga ada tempat peminjamannya, pikirnya kemudian.
 
Akhirnya Aiko bersorak girang saat kaki mungilnya menginjak tanah. Segera dia berjalan menghampiri kedua kakaknya dengan langkah yang masih sedikit tertatih.

Ryu dan Shou, sesuai janji mereka,  segera menuntun tangan adiknya. Ryu di kanan, Shou di kiri. Masumi tersenyum seraya mengikuti langkah ketiganya di belakang mereka.

Mereka harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir menuju gerbang. 3 menit pertama, Ryu dan Shou masih sabar menjejeri langkah Aiko. Namun kemudian, kedua anak itu mulai terlihat gelisah. Shou bahkan berkali-kali melepaskan pegangannya di tangan Aiko dan berjalan lebih cepat meski kemudian  berhenti dan kembali berusaha menyamakan langkahnya dengan yang lainnya.

Ketiga anak itu menunggu dengan sabar saat Masumi membeli karcis.  Begitu Masumi berjalan menghampiri, Ryu dan Shou segera berlari menuju hewan pertama yang mereka lihat, meninggalkan Aiko yang juga kemudian berlari menyusul dengan lucu. 

Masumi mempercepat langkahnya.  

“Papa! Buluuungg!” Aiko menoleh dengan wajah sumringah seraya menunjuk ke arah kandang di di depannya. Masumi tersenyum. Aiko kembali meneruskan langkahnya menyusul kedua kakaknya yang sudah asyik berada di pinggir pagar. Anak itu berusaha menyelipkan badannya yang mungil di sela badan kedua kakaknya agar bisa melihat dengan jelas. 

“Waah… ekolnya baguucc..!” serunya kemudian. Dengan antusias Aiko memasukkan tangannya ke sela pagar, berusaha meraih seekor burung yang tak jauh dari mereka. Tapi burung itu malah menjauh. Masumi menahan senyum saat melihat wajah Aiko yang menekuk kecewa.

“Itu namanya burung merak, Aiko,” Ryu menunjuk burung yang tadi menjauh.

“Bulung melak?” Aiko mendongak menatap wajah Ryu. Lalu kembali menoleh ke arah yang ditunjukkan kakaknya.

“Baguuuccc..” Aiko kembali mendesah kagum. Matanya membulat saat melihat seekor burung yang tiba-tiba melebarkan ekornya. Mata bening itu berbinar-binar.

Setelah puas melihat merak dan merpati dan beberapa unggas Jepang, mereka lalu berjalan ke kandang panda. Aiko segera mengenali nama binatang itu. Dia memiliki boneka sebuah boneka panda besar di rumah. Hadiah dari sang kakek.
“Pandaa!!” serunya. Masumi tertawa seraya mengangkat tubuh Aiko untuk digendong. “Pintar!” dijentiknya hidung mungil Aiko dengan sayang.  Aiko terkekeh senang. Dari gendongan papanya, ia bisa dengan jelas melihat binatang yang baru pertama kali ini dilihatnya langsung. 

Ryu dan Shou mencoba menyelip diantara kerumunan pengunjung. Tahu Aiko kini digendong papa mereka, keduanya merasa lega karena bisa bergerak leluasa  tanpa harus menunggu langkah Aiko yang lambat.

“Kakak! Pandanya sedang berkelahi!” Shou menunjuk ke arah dua panda yang tengah bergelut di depan mereka. “Mereka pasti kakak adik,” imbuh bocah itu dengan mimik serius. 

Ryu menoleh. “Dari mana kau tahu mereka kakak adik?”

“Soalnya kakak adik-kan sukanya berantem. Kayak aku dan kakak! Dan aku yakin, yang besar itu, kakaknya, suka gangguin panda yang kecil, adiknya, sampai adiknya kesal. Terus adiknya mukul deh!” ujar Shou. 

Ryu mendengus pelan. “Itu sih kamu,” gumamnya. Tanpa menunggu Shou yang masih antusias melihat panda, ia berbalik mendekati papanya yang berdiri dibelakang kerumunan. Masumi tengah dengan sabar menjawab semua pertanyaan Aiko tentang panda.

“Papa, pengen foto dekat patung panda, dong!”  pintanya. 

Masumi mengangguk. “Ayo!” Laki-laki itu kemudian celingukan mencari sosok anak keduanya. “Mana adikmu?”

Ryu menunjuk ke belakang, ke arah kerumunan. “Masih asyik lihat panda berantem,” jawabnya acuh.  Masumi memandang Ryu tajam, dan seolah mengerti arti tatapan papanya, anak itu kemudian berbalik untuk kembali menghampiri Shou. Tak lama kemudian bocah itu kembali dengan Shou mengikuti di belakangnya. 

Mereka berfoto di dekat pantung panda.  Setelah mengambil beberapa pose ketiga anaknya, dan meminta seseorang yang lewat untuk memotret mereka berempat, Masumi kemudian mengajak ketiga anaknya untuk melihat hewan berikutnya. 

Diam-diam Masumi mengirimkan beberapa foto kepada istrinya. Tak sampai semenit, sebuah sms balasan datang.

Kau coba memanasiku, ya!!

Masumi terkekeh. Terbayang wajah merengut Maya saat menuliskan sms itu.

“Papa…” Lamunannya terhenti oleh suara Aiko. Wajah gadis kecil itu mendongak menatap papanya dan nampak mengernyit. Kedua tangannya memegang perut. “Cakit peluuut,” rengeknya. Masumi mengernyit, teringat tadi pagi Aiko memang tidak buang air besar. Segera digendongnya anak itu dan memanggil kedua anak laki-lakinya yang sedang berjalan cepat menuju kandang gajah. 

Sontak keduanya berhenti dan menoleh.

“Aiko ingin ke toilet dulu,” ujar Masumi seraya memberi isyarat agar keduanya mengikutinya. Terdengar keluhan Ryu dan Shou, namun tak urung keduanya kemudian mengekor di belakang.
 
Untunglah toilet tak jauh dari lokasi kandang gajah. Namun di depan toilet, Masumi termangu. Bingung. “Masuk toilet mana, ya?” pikirnya. Tidak mungkin ia masuk toilet perempuan. Tapi Aiko kan…

Rengekan Aiko membuatnya cepat mengambil keputusan. Setelah wanti-wanti kepada Ryu dan Shou agar tetap menunggu di sana dan jangan mengikuti siapapun yang tidak dikenal nanti, Masumi bergegas masuk ke toilet pria. 

Toilet nampak penuh. Saat masuk, Masumi menutup mata Aiko. Meskipun merasa konyol, mengingat Aiko baru berumur 14 bulan dan pastinya tidak akan berpikiran macam-macam, tapi ia tidak ingin putri kecilnya melihat hal yang tidak-tidak di sana.   

Setelah aman di dalam bilik, Masumi segera mendudukan Aiko di atas toilet. Masumi bersyukur ia tidak lupa membawa tas ransel berisi perlengkapan Aiko. Bibi Michi tadi menyiapkan dan mengingatkannya untuk tidak meninggalkannya di mobil.

Begitu Aiko selesai buang air besar, dengan telaten Masumi membersihkannya dan mengganti popoknya dengan yang baru.  

Gadis kecil itu tertawa begitu ia merasa nyaman. Dengan gemas, Masumi mencium pipinya yang gemuk. Saat keluar, seperti tadi, ia menutup mata Aiko dengan tangannya sampai akhirnya mereka ke luar dari toilet.

Masumi melirik jam tangannya. Sudah saatnya makan siang. 

Aiko meronta minta turun dan saat sudah berdiri di depan papanya, lengannya terulur untuk menggandeng lengan papanya. 

“Kita liat gajah, yuk,  papa!” ajaknya. Masumi tersenyum seraya mengiyakan. Namun beberapa detik kemudian senyumannya menghilang saat menyadari, Ryu dan Shou tidak berada di tempat dimana mereka disuruh menunggu tadi. Dadanya mendadak berdebar kencang.

“Ryu? Shou?” sekali angkat Masumi kembali menggendong Aiko dan berjalan untuk mencari kedua anaknya. Tanpa peduli teriakan protes Aiko, mata laki-laki itu  berkeliling, berharap menemukan sosok Ryu dan Shou.

“Papa Tuluuunnn!! Aiko mau jalaan!!” kaki Aiko menendang-nendang heboh. 

Masumi cuek. Tak dihiraukannya perutnya yang sakit karena tendangan Aiko. Kecemasannya semakin menjadi saat tidak menemukan kedua anak laki-lakinya di sekitar toilet.

Masumi segera menyeberangi jalan menuju lokasi hutan gajah. Matanya kembali mencari diantar pengunjung yang sedang asyik mengamati gajah-gajah di dalam area yang diset seperti hutan itu. 

Ryu dan Shou tak ada dimanapun.

Kepanikannya mulai memuncak, dan ia sedang bersiap menelpon Hijiri untuk meminta pertolongan saat didengarnya  seseorang berseru kaget.

“Eh, ada anak kecil di balik tebing itu!”

Refleks Masumi memutar badan.  Perasaannya mengatakan sesuatu. Diikutinya pandangan orang-orang yang tertuju pada suatu sudut di antara tebing-tebing buatan di dalam hutan gajah dan matanya seketika terbelalak.

Nampak Ryu dan Shou tengah mengendap-ngendap diantara tebing, mendekati seekor gajah yang tengah berdiri tak jauh dari tebing tersebut***


Masumi berulang-kali membungkukkan badan meminta maaf sekaligus berterimakasih kepada petugas kebun binatang yang sudah mengeluarkan kedua anaknya dari kandang gajah.

Setelah menasehati Masumi agar lebih hati-hati lagi menjaga kedua bocah itu, sang petugas pun pergi, kembali ke posnya. Meninggalkan Masumi yang kini tengah  sekuat tenaga berusaha untuk tidak mengeluarkan kemarahan dan kekesalannya akan ulah Ryu dan Shou.

Kedua bocah laki-laki itu mengkerut ketakutan saat dilihatnya Masumi berbalik dengan wajah, yang menurut pandangan mereka, menakutkan. Keduanya menunduk dalam. Lalu..

“Maaafff…,” kompak keduanya berkata lirih. Masumi tidak menjawab. Masih memasang wajah seramnya.
Ryu dan Shou kian menunduk. mata mereka sesekali melirik ke arah Masumi. Namun cepat-cepat kembali menunduk saat beradu dengan mata ‘seram’ Masumi.

Aiko anteng berdiri dengan menggandeng tangan papanya. Tak mengerti apa yang terjadi.

“Kita pulang saja,” putus Masumi, dingin. Kedua bocah di depannya mengangkat wajah dengan cepat.

“Tidak mauuu…!” keduanya berteriak tak rela. 

“Kami janji tidak akan nakal lagi,” ujar Shou dengan wajah hampir menangis.

“Iya, papa. Jangan pulang. Kita kan belum lihat monyet, belum lihat pinguin, belum lihat beruang, belum lihat berang-berang,” Ryu menatap wajah papanya dengan tak kalah memelas.

“Tidak! Karena kalian sudah melanggar janji, kita pulang sekarang!”

“Tapi hukumannya kan cuma tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan,” Ryu menyebutkan janji yang sudah dibuat  sebelum pergi  tadi dengan lancar. “Tidak ada hukuman yang bunyinya  langsung pulang ke rumah!”

Masumi tercekat. Meskipun bangga dengan kecerdikan anaknya, namun tak urung ia mengeluh karena melupakan poin yang satu itu. 

“Karena sudah nakal, kami terima hukuman tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan, tapi tidak mau pulang sekarang, iya kan Shou?” Ryu melirik adiknya. 

Shou sedikit tergagap. Hukuman tidak ada TV, tidak main games, dan tidak jalan-jalan selama sebulan masih bisa ia lakukan. Tapi tidak beli mainan? Ah, padahal aku pengen sekali mainan Power Rangers seri terbaru itu.. keluhnya dalam hati.

“Shou?” Ryu menatap tajam adiknya, minta dukungan. 

Shou mengeluh. Lalu mengangguk dengan malas. “Iya,” sahutnya pelan. Tiba-tiba,  seolah teringat sesuatu, bocah itu menatap papanya dan berapi-api beruajar,  “Tadi juga Aiko ingkar janji. Janji Aiko kan naik kereta bayi. Tapi buktinya? Aiko jalan sendiri, kalau nggak, digendong papa! Kenapa nggak dari tadi saja kita pulang?”

Masumi tak bisa  mengelak lagi dari argumen kedua anaknya itu. Dengan anak secerdas Ryu dan Shou, lain kali ia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk lebih detil menentukan peraturan bagi mereka.

Ryu dan Shou menyembunyikan sorak  saat melihat Masumi berjalan ke arah bukit kera. Untuk beberapa saat keduanya terdiam, menunggu kepastian kebenaran pemikiran mereka. Dilihatnya papa mereka berhenti, lalu menoleh, menatap dengan pandangan bertanya.

“Tidak mau pergi? Katanya ingin melihat monyet? Tapi papa lapar,  kita makan dulu di restoran di depan sana.”

Senyum ceria segera menghiasi wajah keduanya. Bergegas berlari menjejeri langkah Masumi. Celotehan kedua anak itu, ditimpali celotehan Aiko, kembali terdengar mengiringi langkah mereka menuju restoran kebun binatang untuk makan siang.


Tanpa mereka sadari,  tiga pasang mata memperhatikan sedari tadi dari sudut yang berbeda. Ketiganya ikut beranjak, mengikuti keluarga Hayami yang kini berbelok mengitari kandang kera, menuju restoran yang terletak tak jauh dari sana.***



Minggu, 11 September 2011

Daddy’s Day Out (part 1)

 

 
Setting: 7 tahun setelah pernikahan Maya dan Masumi. Mereka sudah dikaruniai 3 orang anak.

          “Besok kan weekend!” kata itulah yang pertama keluar dari mulut Masumi saat Maya menyampaikan telepon dari Pak Himekawa yang diterimanya tadi sore. Laki-laki itu meletakkan buku yang sedang dibacanya di meja kecil di samping tempat tidur. Maya mengangkat bahunya. “Katanya karena ada kesalahan teknis saat editing, jadi kami harus mengulang scene itu besok. Mengingat jadwal penayangannya tinggal seminggu,” ujarnya seraya naik ke sisi bagiannya. Merapat di samping suaminya lalu menaikkan bantal, mengikuti posisi Masumi yang bersandar di kepala tempat tidur.
          “Apa tidak bisa hari Senin saja?” sungut Masumi. Maya tersenyum melihat wajah suaminya yang merengut kesal. Dia tahu, bagi Masumi weekend adalah saat dimana dia bisa dengan santai berkumpul dengan semuanya, setelah seminggu disibukkan dengan berbagai pekerjaan,
          “Coba kau yang telepon Pak Himekawa,” ujar Maya santai. “Siapa tahu kalau yang keberatan adalah Direktur Daito beliau mau mengundurkan jadwalnya.” Diam-diam Maya menahan geli saat dilihatnya Masumi melirik dengan sengit.
“Aku sih nggak berani. Tadi saja saat menelpon suaranya masih terdengar menyeramkan, terus memaki tim editing yang dibilangnya ga becus kerja!” lanjutnya menambahkan.
Di sampingnya  Masumi menahan kesal. Buyar sudah rencananya untuk membawa keluarganya ke Villa Nagano besok. Padahal sejak lama ia merencanakan ini, sebagai kejutan untuk istri dan ketiga anaknya mengingat hampir dua minggu ini ia disibukkan dengan barbagai pekerjaannya di Daito. Seingatnya, bahkan seminggu ini  ia jarang bertemu dengan Ryu, Shou, dan Aiko, ketiga buah hati mereka.  Berangkat ke Nagasaki selama tiga hari, pergi pagi sebelum mereka turun dari kamar masing-masing dan pulang jauh malam setelah mereka tidur. Ahh.. wajah mereka pun baru bisa ia lihat saat ketiganya sudah terlelap.
          “Masumi..” suara Maya dengan cepat membuyarkan pikirannya. Masumi menoleh. Disampingnya  Maya tengah menatapnya dengan rupa bertanya. “Bagaimana? Kau mau menelepon Pak Himekawa untuk mengundurkan jadwalnya?”
          Masumi mendengus. Ia tahu, istrinya setengah menggodanya. Tidak mungkin ia berani meminta sutradara senior itu untuk melakukan apa yang ia minta, hanya dengan alasan ia tidak mau ditinggal istri tercintanya saat weekend!
          “ Cuma sehari kan?” katanya kemudian, dengan nada penekanan. Maya tersenyum manis. “Ya.. Cuma besok saja. Untungnya scene itu tidak terlalu panjang, jadi paling lambat sore aku sudah pulang.”
          “Ingat, Cuma sampai sore!”
          “Iyaaa,,,”  senyum Maya kian lebar. Memiringkan duduknya agar bisa dengan jelas melihat wajah suaminya, masih dengan senyum lebarnya. Masumi kembali mendengus. “Kau kelihatannya senang,” ujarnya kemudian dengan masih menyisakan nada kesal.
          “Aku senang karena memiliki suami yang sangat pengertian sepertimu.”
          “Cih, merayu.”
          “Aku serius!” Maya tergelak melihat ekspresi Masumi yang masih menekuk wajahnya. Ditatapnya Masumi lekat-lekat, masih dengan senyum mengembang di wajah mungilnya.
“Apa lagi?” Masumi berkata sedikit ketus untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba meliputi hatinya menyadari Maya tengah menatapnya dengan mesra. Hhh.. mungil, meski sudah tujuh tahun kita bersama, tetap saja matamu itu mampu membuat jantungku berlompatan tanpa kendali begini,  pikirnya.
Maya menggeleng, “ Tidak,” jawabnya. “ Aku hanya sedang berfikir, meski sedang ngambek seperti ini, wajahmu ternyata  tetap tampan.”
Masumi merasakan wajahnya memanas.
“Kau jadi pandai merayu sekarang!” gumamnya, masih gugup. Maya terlihat mengacuhkan gumaman suaminya. Pelan perempuan itu menyentuh kedua sudut bibir suaminya dengan kedua telunjukkya. Lalu menarik sudut bibir itu ke atas. “Tapi aku lebih suka kalau kau tersenyum seperti ini. Kau jadi terlihat sangaaaaaaaaaattt ……… tampan.”
“Maya!” cepat Masumi menangkat pergelangan tangan istrinya. Menatap galak. “Kau tahu akibatnya kalau berani menggoda suamimu ini?” geramnya. Maya mengernyitkan  kening, pura-pura tidak mengerti.
“Memang apa akibatnya?” Pandangan perempuan itu terlihat polos meski sekarang wajah Masumi sudah mendekati wajahnya.
“Hmm..  dilihat dari dekat begini wajahmu semakin membuatku terpesona sayang,” perempuan itu menjelajahi wajah Masumi dengan matanya, lalu terpaku di bibir laki-laki itu yang masih mengetat. “ Membuatku ingin……” tanpa aba-aba, Maya mendekatkan bibirnya ke bibir suaminya lalu menciumnya lembut. “… menciummu seperti ini,” bisiknya lagi seraya kembali menempelkan bibirnya, lebih dalam di bibir suaminya.
“Maya Hayamiii……!!” Masumi kembali menggeram. “Kau ini benar..benar.. Rasakan sendiri akibatnya!”
Dalam sekali gerakan, Masumi sudah membuat tubuh perempuan itu terlentang. Ditekannya lengan Maya di samping tubuh perempuan itu. Maya tergelak saat dilihatnya Masumi memandangnya dengan gemas. Namun tawa itu kemudian tertahan oleh ciuman Masumi yang mulai membara.***

Pagi-pagi sekali Maya sudah bersiap. Meski hanya scene pendek, namun lokasi pengambian gambarnya berada cukup jauh dari pusat kota.  Semalam ia sudah mencoba menelepon pengasuh anak-anaknya untuk datang hari Sabtu ini. Namun sayang, kedua pengasuh itu tidak bisa datang karena ada acara keluarga.
“Bagaimana?” tanya Maya saat itu, seraya menatap suaminya. “ Keduanya tidak bisa datang besok.”
“Mau gimana lagi? Biar saja. Aku tidak mau ambil resiko menyewa pengasuh dadakan. Lagi pula, besok toh kami  tidak akan kemana-mana, kurasa aku bisa menangani mereka.”
“Sungguh?”
“Hei, aku ayah mereka,” ujar Masumi. “Kau tenang saja.”
Maya tersenyum mengingat itu. Setelah mengecup lembut bibir Masumi yang masih setengah tersadar di tempat tidur, dan melihat ketiga anaknya, Maya pun berangkat diantar sopir mereka.
Menjelang jam tujuh Masumi terbangun. Menemukan note kecil di meja rias Maya:

Aku pergi, sayang. Baik-baik di rumah, ya. Selamat bersenang-senang dengan anak-anak
Love
Maya^^
Masumi tersenyum. Setelah mandi dan berpakaian, laki-laki itu membuka kamar Ryu dan Shou. Ryu, yang tertua berumur 6 tahun dan adiknya shou 4 tahun. Keduanya itu nampak masih asyik bergelung selimut di tempat tidur masing-masing. Ryu yang pertama terbangun saat Masumi membuka tirai jendela. Mengeluh pelan saat sinar matahari menyorot tempat tidurnya.
“Papaaaa……” bocah itu menyipitkan matanya.
“Sudah waktunya bangun, jagoan. Ayo! Sebentar lagi waktunya sarapan!”
“Tapi aku masih ngantuuuk..”
“Hei.. bangun pagi bagus untuk kesehatanmu,” Masumi mendekati tempat tidur anaknya. Mengacak rambut anak itu dengan sayang. “ Cepat cuci muka, papa tunggu di ruang makan.”
Shou, masih nampak lelap. Masumi menatap bocah itu dengan sayang. Pelan menepuk pipi Shou.
“Shou… bangun..”
Shou hanya mengeliat pelan. Lalu kembali terlelap.
“Hei.. jagoan kecil. Sudah pagi. Bangun, ” Masumi kembali  menepuk pipi anak keduanya itu. Kali ini Shou nampak membuka matanya.
“Sudah pagi, Shou. Yuk bangun. Kita sarapan.”
Masih setengah mengantuk Shou mendudukkan badannya. Setengah linglung melirik tempat tidur kakaknya.
“Kakak masih tidur, papaa…”
Masumi mengalihkan pandangannya ke arah Ryu. Anak itu ternyata sudah kembali bergelung dengan selimutnya.
“Ryuichi Hayami!” Masumi kembali mendekati tempat tidur Ryu. Menarik selimut sampai ke pinggang Ryu dan menatap tajam anak pertamanya itu.
“Papaa, ini kan hari Sabtu!” protes Ryu.
Masumi mengacuhkan protes anak itu.
“Ayo cepat bangun! Ajak Shou untuk cuci muka dan papa tunggu kalian di ruang makan!” kata laki-laki itu dengan nada sulit dibantah.
“Tapi Shou masih tidur tuh!”
Masumi menoleh cepat dan mengeluh saat  dilihatnya Shou pun ternyata sudah kembali tertidur.
“Pokoknya Papa tunggu kalian untuk sarapan. Jam delapan! Jangan terlambat!”
Masumi keluar kamar. Dalam hatinya berfikir,  apakah ini terjadi setiap pagi? Bagaimana cara Maya membuat kedua jagoan mereka bangun pagi dan membuat keduanya bisa tepat waktu berangkat sekolah?
Kini ia membuka pintu kamar di sebelah kamar Ryu dan Shou. Kamar itu bernuansa pink dengan hiasan-hiasan princess bertebaran di mana-mana. Aiko masih berusia 14 bulan, nampak masih terlelap di box nya. Masumi tersenyum dengan hati menghangat. Jika Ryu dan Shou adalah cerminan dirinya, beda dengan Aiko. Gadis kecil kesayangannya ini begitu mirip dengan Maya. Hanya rambut  saja yang menurun dari dirinya. Setelah beberapa lama menatap wajah mungil putri kecilnya, akhirnya Aiko terbangun.
“Selamat pagi, Tuan Puteri,” sapa Masumi lembut.  Lengan Aiko langsung terangkat begitu melihat wajah papanya. Masumi langsung menggendong dan mencium pipinya yang gemuk dengan sayang. Aiko melingkarkan lengannya di leher papanya, masih setengah mengantuk. Masumi kemudian membawanya turun  ke ruangan makan.
Sarapan sudah siap. Masumi mendudukkan putrinya di kursi khusus, namun Aiko menolak. Tetap erat memeluk leher papanya.
Akhirnya Masumi memangku gadis kecil itu. Ryu dan Shou masih belum terlihat.
“ Bi, tolong panggil Ryu dan Shou di kamarnya,” perintah Masumi pada seorang pelayannya. Pelayan itu mengangguk hormat dan bergegas ke lantai dua, tempat dimana kamar kedua tuan mudanya berada. Tak berapa lama pelayan itu turun lagi.
“Tuan muda Ryu dan Tuan muda Shou masih tidur tuan..”
Masumi mengetatkan gerahamnya. Kesal. Sudah jam delapan dan kedua anak itu tidak mendengarkan perintahnya tadi.
“Titip Aiko dulu, Bi,” ujarnya kemudian, bermaksud membangunkan kembali kedua anak lelakinya. Tapi Aiko merengek, menolak saat dipangku pelayan itu. Gadis kecil itu menangis. “Mau cama papaaaa…”
Lengannya kian erat memeluk leher Masumi. Masumi menghela nafas. Akhirnya terpaksa ia membawa Aiko menuju  lantai dua.
“Ryuichi Hayami! Shoutaro Hayami! Mau sampai jam berapa kalian tidur?!”
Suara Masumi yang cukup keras membuat kedua bocah itu melompat dari tempat tidurnya. Menatap papa mereka yang berdiri di pintu dengan wajah kaget.
“Jika kalian tidak turun dalam waktu lima menit, Papa pastikan kalian yang harus menggantikan tugas bibi Michi mencuci semua piring kotor pagi ini!”
Ancaman itu rupanya cukup ampuh. Kedua anak itu segera berloncatan turun dari tempat tidur masing-masing dan berebut masuk kamar mandi. Meninggalkan Masumi yang diam-diam tertawa melihat tingkah keduanya meski hatinya masih sedikit kesal.
Haaah.. bahkan untuk membangunkan mereka saja, membutuhkan begini banyak tenaga, gumamnya. Pikirannya melayang pada istrinya. Padahal Maya belum tiga jam pergi, tapi ia sangat berharap, Maya ada di sini sekarang.***

Akhirnya mereka bisa duduk bersama di meja  makan. Di depan mereka terhidang roti,  sup krim,  salad buah, lengkap dengan susu dan jus.
“Mana Mama?” Ryu yang pertama menyadari ketidakadaan Maya. Shou pun celingukan, lalu menatap papanya. “Iya, mana Mama?”
“Mama harus berangkat syuting tadi pagi,” jelas Masumi. Aiko yang duduk di pangkuannya ikut-ikutan menatap papanya. “Cuting?” gadis cilik itu ikut bertanya.
“Bukannya film mama sudah selesai?” ujar Ryu. “Ryuapa syuting lagi?”
Masumi tidak berniat menjelaskan. Hanya tersenyum seraya menyuapkan sup krim ke mulut Aiko.
“Lama gak, Pa?” tanya Ryu lagi. Masumi menggeleng.
“Cuma hari ini kok.. Nanti sore juga mama pulang, “ Masumi meraih serbet untuk mengelap bibir Aiko yang belepotan sup. Ia sendiri belum sarapan karena sibuk menyuapi Aiko. Bi Michi yang melihat itu mendekat.
“Tuan, biar bibi saja yang menyuapi Nona. Jadi tuan bisa sarapan.”
“Gak mauu!!” teriak Aiko sebelum Masumi menjawab. “Aiko  dicuapin papa!”
Masumi tersenyum. “Tak apa, bi. Biar Aiko saya yang suapin.”
“Huuu.. dasar manja. Belajar makan sendiri, doong! Kamu kan sudah bisa pegang sendok sendiri” ledek Shou melihat kemanjaan adiknya.
“Shouu..” tegur Masumi saat dilihatnya Aiko agak berkaca-kaca mendengar ucapan kakaknya.
“Bisanya ngeledek Aiko yang masih kecil,” tiba-tiba Ryu ikut bicara. “Kamu sendiri yang sudah bisa pegang sendok, makan masih berantakan begitu.  Dasar ayam!”
“ Aku bukan ayam!”
“Yang makannya berantakan kan ayam!”
Shou melirik kakaknya dengan pandangan kesal, dibalas dengan leletan lidah Ryu. Merasa terus diledek, dengan sepenuh hati, Shou menendang tungkai kaki kakaknya di bawah meja, membuat Ryu berteriak kesakitan.  Masumi yang sejak tadi hanya mendengarkan pertengkaran keduanya melonjak kaget, menumpahkan sop krim di sendok yang akan disuapkan ke Aiko. Bukan itu saja, Aiko pun sangat terkejut dan mulai menangis. Masumi menatap kedua jagoannya dengan pandangan menegur.
“Shou menendang kakiku!”  Ryu membela diri.
“Habis kakak meledek aku seperti ayam.”
“Memang kau seperti ayam!”
“Aku bukan ayam!!”
“Yeee… kau sama ayam sama aja, makannya berantakan!”
Shou mulai menangis. “Aku bukaan ayaaaammmm!!” jeritnya. Lalu melompat menubruk kakaknya dengan tangan mencakar. Untungnya Bi Michi yang memang setia menunggui mereka sarapan cepat tanggap, menahan tubuh Shou yang terus menjerit dengan kaki menendang-nendang.
Jeritan Shou ditimpali tangisan Aiko yang ketakutan. Masumi mengetatkan gerahamnya dengan perasaan jengkel yang memuncak. Baru pukul setengah sembilan dan meja makan sudah seperti kapal pecah. Ini memang bukan kali pertama terjadi chaos di meja makan. Tapi biasanya Maya dengan luwes membereskan semua pertengkaran yang terjadi diantara kedua anak mereka. Tapi sekarang… Ahh.. awal weekend  yang luar biasa.
Laki-laki itu mulai menggeram, menatap ke arah dua jagoannya dan mulai memperlihatkan taringnya.***

Akhirnya, mencuci piring tetap harus dilakukan kedua anak itu. Masih dengan wajah cemberut keduanya beriringan menuju dapur. Sama-sama mencoba menahan  agar pertengkaran tidak kembali terjadi, sebab jika iya, maka hukuman yang akan mereka terima akan jauh lebih “mengerikan.”
Saat Masumi selesai memandikan Aiko, dan turun ke ruang keluarga, dilihatnya Ryu dan Shou berbaring diatas karpet tebal di depan televisi. Nampak nyaman diantara bantal-bantal besar dan empuk yang memang tersedia di sana. Mereka tertidur. Masumi mengeluh. Belum lagi jam sepuluh, kedua anak itu sudah tidur lagi, benar-benar…
Setelah mendudukkan Aiko di karpet, Masumi meraih bantal-bantal yang dipeluk kedua anaknya. Ryu hanya mengerang pelan, lalu kembali meringkukkan badannya dengan mata masih terpejam. Sementara Shou tidak terpengaruh sama sekali.
“Ryu, Shou.. bangun. Masih pagi masa sudah tidur lagi,” Masumi menepuk pipi kedua anaknya.
Shou membuka matanya pelan. “Habis bosan, papa. Acara televisi juga tidak ada yang seru.”
Ryu, yang rupanya masih setengah tidur menimpali ucapan adiknya. “Jalan-jalan yuk, papa. Aku pengen ke kebun binaatang.”
“Tapi kan mama tidak ada, Ryu. Masa kita jalan-jalan cuma berempat. Kita main di rumah saja, yuk. Besok  baru kita jalan-jalan.”
“Yaah.. di rumah gak seru,” keluh Shou.
“Kalian kan punya banyak mainan.. Kemarin baru papa belikan mainan merakit pesawat, kan? Yuk kita rakit bareng-bareng,” ajak Masumi.
“Yah, papa ketinggalan jaman. Pesawat itu sudah jadi, kok,” seru Ryu dan Shou hampir bersamaan.
“Sudah jadi?”
“Iya.. setiap pulang sekolah, kami rakit.  Dibantuin mama..”
Masumi menghela nafas tak Ryutara.
“Kalau begitu kita berenang, bagaimana? Sudah lama papa tidak berenang bareng kalian di rumah.”
“Gak ah, Pa. Bosan,” tolak Ryu.
“Ayo dong, Pa.. kita main ke kebun binataaang..”  Shou mendukung ide kakaknya tadi.
“Kalau ke rumah kakek saja gimana?” Masumi masih mencoba memberikan pilihan bagi kedua anaknya. “Kalau tidak salah, kakek baru membeli ikan koi baru. Katanya bagus-bagus. Kakek juga menunggu kalian untuk memberi mereka nama.”
“Ga mauuu… Pengen ke kebun binatang. Lebih seru kesana dibanding cuma liatin ikan koi. Di kebun binatang ada ikan yang lebih hebat lagi,” sergah Shou.
“Buaya juga ada! Lebih keren!” timpal Ryu.
“Pingun! Katanya ada pinguin baru, Kak. Aku belum pernah liat pinguin!” suara Shou terdengar bersemangat.
“Ayo, Paaa.. Kita ke kebun binatang,” Shou bangun dan menatap wajah papanya penuh permohonan. Masumi hanya terdiam,  masih menimbang. Repot juga kalau jalan-jalan sendiri dengan membawa tiga anak, yang ketiganya sangat-sangat aktif. Teringat kejadian sebelumnya, saat mereka berlima pergi pantai,  dia dan Maya hampir jantungan saat Shou dan Ryu tiba-tiba melompat dari kapal yang sedang berjalan lambat. Meski perairan dangkal dan tenang, dan kedua bocah itu sudah pandai berenang, tetap saja, membuat panik. Maya bahkan sudah tidak bisa marah, hanya menangis sambil menahan perasaan kaget, khawatir sekaligus kesal terhadap kedua anak itu.
“Kami janji tidak akan nakal!” ujar Ryu, seolah memahami apa yang dipikirkan papanya tadi. Anak itu ikut duduk di samping adiknya. Menatap papanya dengan pandangan yang sama, memohon.
Diam-diam Shou menarik Aiko yang tengah asyik memainkan boneka tak jauh darinya. Lalu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya itu.
“Aiko ingin liat beluang!!” tiba-tiba gadis kecil itu ikut bicara. Masumi tersenyum melihat anak itu ikut-ikutan duduk, berlutut di samping kedua kakaknya.
Shou berbisik lagi di telinga Aiko. Dan dengan cepat, gadis kecil itu menyuarakannya.
“Liat gajah juga!”
Lalu memiringkan kepalanya lagi, mendengarkan bisikan Shou.
“Liat  monyet……… liat jelapah……”
“Shouu…” Masumi menatap tajam saat dilihatnya Shou hendak membisiki Aiko lagi. Shou langsung tegak, tersenyum manis.
Masumi diam-diam mengeluh. Hatinya tak tahan ditatap oleh tiga pasang mata yang polos dan menggemaskan di depannya. Belum lagi senyuman mereka yang bisa membuat dunianya bernyanyi riang, terukir manis di wajah masing-masing.
“Tidak!” geleng Masumi, mencoba bertahan.
“Ayolah. Papaa. Kita ke kebun binataaaangg…”  Shou dan Ryu tetap membujuk. Kompak mereka mendekati Masumi. Sang Kakak bergelayut manja di lengan laki-laki itu, dan adiknya naik ke pangkuan, memeluknya papanya manja. Melihat apa yang dilakukan kedua kakaknya, Aiko merangkak, ikut naik ke pangkuan Masumi, menyelusup di sela-sela badan Shou, lalu mencium pipi papanya lembut.
“Aiko juga cayang papaaa…” ujarnya lucu.
Masumi mengeluh. Ia menyerah.
Sedetik setelah melihat anggukan Masumi, Shou dan Ryu bersorak gembira dan langsung berlari ke kamar mereka untuk bersiap-siap. Sementara di pangkuan Masumi, Aiko menatap tingkah kedua kakaknya heran.***

                                     *** bersambung ke part 2**