Kamis, 10 November 2011

My Secret Admirers part 1








Setting:
Setelah Maya memperoleh hak pementasan Bidadari Merah.

Nama Maya Kitajima kini bergaung di seluruh Jepang. Pementasan Bidadari Merahnya benar-benar telah mengukir sejarah baru dalam dunia teater. Melebihi gurunya sendiri. Berbagai tawaran pementasan teater, film dan iklan datang membanjiri. Namun Maya hanya memilih pementasan dan film yang benar berkualitas. Sekarang, nama Maya Kitajima sudah menjadi jaminan sebuah film menjadi box office, tidak hanya di Jepang, tapi di seluruh Asia.

Namun di balik semua kesuksesannya, tak ada yang tahu bahwa Maya kini tengah menderita. Perasaan cintanya kepada Masumi Hayami, sang Direktur Kesenian Daito terpaksa dia pendam dalam-dalam. Sebentar lagi laki-laki itu akan melangsungkan pernikahannya dengan Shiori Takamiya. Perempuan cantik nan anggun yang berasal lingkungan dan status sosial yang sama dengan dirinya. Meskipun Maya pernah mengungkapkan perasaannya dalam bait diolog Akoya saat mereka terjebak di Astoria, namun Maya tak yakin, Masumi dapat menangkap isi hatinya saat itu.

Saat itu Masumi memang memeluknya erat. Tapi sepertinya, itu hanya keterhanyutan sesaat akan suasana romantis yang tercipta akibat dialognya. Dugaannya semakin kuat dengan diberitakannya tanggal resmi pernikahan Masumi dan Shiori, hampir di seluruh jaringan  televisi di Jepang beberapa hari kemudian.
Maya pasrah. Mungkin sudah takdirnya mengalami kisah cinta yang tak bersambut. Kisah cintanya bahkan lebih tragis dari cinta sang Bidadari Merah yang diperankannya. Setidaknya cinta Akoya bersambut. Sedangkan aku? 

Maya tersenyum pedih. 

Ia tengah termenung di depan jendela apartemen barunya. Apartemen mewah yang disediakan Daito untuknya.

Maya “terpaksa” menerima Daito sebagai perusahaan yang menaungi keartisannya,  karena baik Bu Mayuko maupun Persatuan Drama memutuskan bahwa Daitolah yang ditunjuk sebagai perusahaan mengatur pementasan-pementasan Bidadari Merah selanjutnya. Maya sempat protes saat itu, namun ia akhirnya menerima karena tidak bisa memikirkan perusahaan lain yang lebih baik dari Daito yang bisa mementaskan kisah sehebat Bidadari Merah.

Maya mendesah resah. 

“Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” pikirnya bingung. Dengan Daito sebagai manajemennya, mau tidak mau dia harus banyak bertemu dengan Masumi Hayami. Saat ini, dia merasa tidak akan sanggup bertemu dengan lelaki itu. Mengingat sifatnya yang kerap lebih mengikuti perasaan daripada logika, dia takut, jika bertemu Masumi maka dia tidak bisa lagi menahan perasaan cintanya dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Dering handphone membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan dari manajernya, Keiko,  yang mengingatkan bahwa jam dua nanti akan ada talk show dengan sebuah televisi swasta. Dengan malas, Maya beranjak ke kamarnya untuk bersiap.

***
Serbuan fans langsung mengerubungi mobilnya saat Maya tiba di depan gedung televisi. Beberapa sekuriti segera mengawalnya keluar. Maya masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan setibanya di pintu lobi, sebelum akhirnya masuk.

Wawancara akan dimulai 15 menit lagi saat seseorang datang dengan membawa sebuah buket bunga yang cukup besar. 

“Ada kiriman bunga untuk Nona Maya Kitajima!”

Maya yang tengah dirias menoleh. Keiko  berdiri dan menghampiri si pengirim bunga. 

“Wow.. rangkaian yang indah!” seru Keiko kagum. Maya menerima buket itu dari tangan Keiko. Memang indah. Rangkaian bunga anyelir merah. 

Sebuah kartu yang nampak mahal dan indah terselip di dalamnya.


Untuk Maya Kitajima
Penampilanmu dalam Bidadari Merah benar-benar sudah membuatku sangat terpukau. Cukup lama memendam keinginan untuk mengirimu bunga, sampai akhirnya, hari ini kuberanikan diri mengungkapkan kekagumanku akan kecantikanmu.
Ijinkan aku untuk mengatakan bahwa kehadiranmu, membuat hidupku menjadi begitu indah.

Dari pengagummu

Musubi no Kami


“Musubi no Kami?” Maya mengerutkan kening saat membaca nama pengirim bunga. “Nama yang aneh..”

“Bukankan itu nama dewa cinta?” Keiko menanggapi. “Ah, Maya san, kau memiliki penggemar rahasia lagi rupanya.”

Maya hanya tersenyum. Mau tak mau ingatannya melayang pada si Mawar Ungu. Hatinya kembali berdenyut perih. Sudah lama ia tidak menerima kiriman apapun dari penggemar rahasianya itu.

“Dia pasti sibuk dengan persiapan pernikahannya,” gumam hatinya. Cepat dia menggedikkan kepala, berusaha menghilangkan fikiran yang pasti akan menambah kesedihannya hari itu.

***

“Maya!” 

Maya yang baru saja masuk ke dalam loby gedung Daito menoleh cepat. Matanya terbelalak tak percaya saat melihat siapa yang berjalan menghampirinya.

“Satomi?” desisnya tak percaya.

Laki-laki tampan itu tersenyum. Kini dia sudah berada tepat dihadapan Maya, yang masih terpaku tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Halo, Maya. Apa kabar?”

Keterpakuan Maya berubah menjadi senyum gembira saat sadar, bahwa yang di depannya memang Shigeru Satoru.

“Satomi, aku tak percaya. Kau sudah kembali ke Jepang?”

“Lama-lama di negeri orang tidak enak, Maya. Lagi pula… aku sangat rindu padamu.”

Wajah Maya mendadak merona merah. Keterusterangan Satomi membuatnya terkejut.

“Kau sudah tertular kebiasaan orang-orang sana rupanya,” gadis itu mengerucutkan bibirnya lucu, membuat Satomi tertawa terbahak.

“Tapi sungguh, aku sangat merindukanmu,” ujar Satomi lagi di ujung tawanya.   Matanya kini menatap Maya dengan pandangan yan membuat gadis itu kembali merona.

“Ehm.. Satomi, ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Maya akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Diam-diam Satomi tersenyum melihat kegugupan Maya.

“Aku artis Daito, ingat? Tentu saja aku harus melaporkan kedatanganku. Aku sudah tidak sabar untuk memulai lagi karirku di sini.”

“Ohh, begitu,” Maya mengangguk-angguk. “Kalau begitu selamat datang Satomi. Aku senang kau sudah kembali,” ucap Maya sungguh-sungguh. Binar mata dan senyum manis gadis itu membuat Satoru menahan nafasnya tanpa sadar.

Maya tiba-tiba melonjak kaget seolah diingatkan akan sesuatu.

“Satomi, maaf. Aku harus segera masuk. Aku sedang mempersiapkan sebuah pentas sekarang, hari ini mulai latihan. Sampai jumpa!”

Gerakan Maya yang hendak berbalik pergi tertahan oleh panggilan Satomi. Tanpa diduga, Satomi maju dan memeluk gadis itu erat membuat Maya terperangah kaget.

“Aku sangat senang bertemu denganmu lagi, Maya. Kupastikan kita akan bertemu lagi setelah ini.”

Maya hanya bisa terpaku di tempatnya dan melihat Satomi menjauh sambil melambaikan tangannya dengan gembira.

Maya berbalik dengan linglung. Sikap Satomi kembali membuatnya terkejut. Dan keterkejutannya bertambah saat dilihatnya, Masumi Hayami telah berdiri di belakangnya. Mizuki dan beberapa orang lain yang tidak dia kenal nampak bersama lelaki itu.

Pandangan mata Masumi benar-benar membuatnya merinding. Begitu kelam, penuh dengan… kesedihan?

Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Hanya beberapa saat Masumi memandangnya sebelum akhirnya kembali berjalan, tanpa menyapanya, diikuti oleh yang lainnya. Maya membungkuk hormat saat mereka melewatinya, dan kembali meneruskan langkahnya dengan suasana hati yang mendadak mendung.

Di ruang latihan, sebuah buket anyelir merah menyambutnya. Keiko menyerahkannya begitu Maya datang.

“Orang ini sepertinya benar-benar jatuh cinta padamu, Maya san.”

Ucapan di kartu yang menyertainya terdengar sangat romantis:


Untuk kekasihku Maya Kitajima
Saat aku mengatakan kau kekasihku, itu karena aku memang menginginkanmu menjadi milikku.
Tunggu kedatanganku bidadari, dan kau akan menemukan cinta terindah dalam hidupmu.

Dengan penuh cinta

Musubi no Kami


Entah mengapa, meski romatis, tapi Maya merasakan hatinya berdebar tak tenang saat membacanya.

***

Masumi mendengarkan pembicaraan kliennya dengan setengah hati. Bayangan Satomi yang memeluk Maya tak  bisa lepas dari ingatannya. Hatinya bergemuruh oleh rasa cemburu dan kesal karena dia tak bisa melakukan apapun.

Maya.. bisik hatinya. Aku sangat merindukanmu.

Wajahnya kian mendung mengingat Maya pasti sudah mendengar pengumuman tentang tanggal resmi pernikahannya dengan Shiori. Keluarga Takamiya dan ayahnya, Eisuke Hayami mengumumkan hal tersebut ke media tanpa persetujuannya setelah insiden percobaan bunuh diri yang hampir merengut nyawa Shiori.

Semuanya semakin rumit. Keyakinannya untuk bisa menyelesaikan masalah dengan Shiori agar dapat meraih cinta Maya kini mulai goyah. Jika saja ia bisa bersikap acuh akan keadaan Shiori, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tapi tidak bisa! Tidak mungkin ia tidak peduli saat seorang gadis mencoba mengakhiri hidupnya sendiri karena dirinya.

Masumi menangkup wajahnya tanpa sadar.

“Anda baik-baik saja?” Mamoru Chiba, pemilik sebuah jaringan stasion televisi yang sedang menjajaki kerjasama dengan Daito, menatapnya heran. Masumi tersadar dari lamunannya. Menegakkan badan dan mencoba kembali memusatkan pikirannya pada pembicaraan mereka.

“Maaf, hanya tiba-tiba teringat sesuatu yang kurang menyenangkan,” ujarnya terus terang.

“Ah.. saya dengar tunangan anda sedang dirawat di rumah sakit. Pasti anda sangat mengkhawatirkannya.”

Wajah Masumi mengeras. Ia benar-benar merasa terganggu karena diingatkan kembali kepada masalah Shiori. Dihelanya nafasnya dalam-dalam.

“Hmm.. ayo kita lanjutkan. Sampai dimana kita tadi?” katanya segera mengembalikan topik kepada bisnis mereka.

Menyadari kalau rekan bisnisnya menolak membicarakan hal pribadi, Mamoru tersenyum, dan kembali meraih notebooknya untuk memperlihatkan sesuatu kepada Masumi.

***

Waktunya makan siang.

Maya keluar dari tempat latihan diiringi Keiko. Mereka berniat untuk makan makan di restoran yang berada tak jauh dari gedung Daito, mengingat latihan masih berlanjut sampai sore nanti.

Tanpa disangka, Satomi sudah menunggu di luar studio.

“Aku ingin mengajakmu makan siang,” ujarnya tanpa basa basi. Maya mendesah resah. Dalam waktu kurang dari 3 jam, beberapa kali Satomi berhasil membuatnya terkaget-kaget.

“Mengingat ini pertemuan pertama kita setelah 3 tahun berpisah, aku tidak mau mendengar kata tidak!” ujar Satomi lagi. Mau tak mau Maya tertawa melihat sikap Satomi yang penuh kepercayaan diri itu.

“Ah, baiklah. Kami akan makan siang denganmu,” gelaknya. Satomi tersenyum puas.

“Ehmm.. Maya San, sepertinya aku tidak bisa makan siang dengan kalian,” tiba-tiba saja Keiko mengurungkan niat Maya dan Satomi yang sudah bersiap untuk pergi. Maya menoleh heran.

“Aku tiba-tiba ingat, ada janji dengan temanku sekarang,” lanjut Keiko, tak bisa menutupi kegugupannya karena mengarang cerita itu. Terus terang, ia mengendus bahwa Satomi mencoba mendekati Maya, dan ia tidak ingin mengganggu rencana Satomi.  Dilihatnya dibelakang Maya, mulut Satomi membentuk rangkaian kata “thank You” tanpa suara. Dengan kedipan sebelah mata yang membuat jantung Keiko berdetak sedikit lebih kencang.

Tanpa menunggu komentar Maya, Keiko bergegas pergi meninggalkan mereka berdua. 

“Sampai jumpa jam satu nanti, Maya San!” lambainya. Tubuh langsing gadis itu kemudian menghilang di balik pintu loby.

***

Dengan penat, Maya merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Hari pertama latihan memang tidak begitu intens, tapi beberapa kejutan yang disebabkan Satomi hari ini benar-benar menguras tenaganya. Belum lagi ia harus mati-matian meredakan kepedihan akibat patah hati, sementara ia harus seharian berada di gedung dimana laki-laki sumber patah hatinya itu berada.

Ingatannya kembali melayang pada Masumi Hayami. Pandangan mata laki-laki itu begitu dingin tadi pagi. Berbeda sekali dengan apa yang dilihatnya di Astoria dulu.

Air mata kembali menggenang. Namun buru-buru dihapusnya.

“Sudahlah, Maya,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tak ada gunanya memikirkan laki-laki yang memang tidak mencintaimu.”

Bunyi bel membuatnya melonjak bangun. Dilihatnya sekuriti apartemennya di layar. Segera ia membuka pintu.

“Ada kiriman bunga, nona..”

Anyelir merah lagi, bisik Maya dalam hati. Hari ini sudah dua kali Musubi no Kami ini mengirim bunga.

Kalimat yang terukir dalam kartu membuat Maya menahan nafasnya.


Kau adalah milikku. Ingat itu!

Love
Musubi no Kami


“Apa maksudnya?!” desisnya heran. Dilemparnya kartu itu ke atas meja, sementara rangkaian anyelir merahnya disimpan di atas bufet dekat pintu.

***

Pagi sekali Maya menyalakan televisi. Lalu mengambil kotak susu dari dalam lemari es dan menghangatkanya sebentar.

Sambil meminum susunya, gadis itu duduk santai di sofa, memindah-mindahkan chanel TV, sampai akhirnya sebuah berita  membuat gerakan tangannya memijit remote terhenti.

“Shigeru Satomi, artis tampan, muda, berbakat, semalam dilarikan ke rumah sakit Tokyo karena terjatuh dari eskalator di sebuah pusat perbelanjaan di prefektur X. Shigeru yang mengalami luka yang cukup parah di bagian kepala segera ditangani oleh tim dokter ahli untuk…”

Maya tidak mendengar lagi seluruh berita karena sudah melompat berlari masuk ke kamar, bersiap untuk pergi ke rumah sakit.

***

Satomi masih belum bisa ditengok. Maya hanya mendengar bahwa laki-laki itu mengalami geger otak yang cukup parah, dan beberapa tulangnya pun patah.

Dengan lunglai Maya meninggalkan ruang gawat darurat. Ditelusurinya jalanan yang masih cukup sepi seraya menyadari dirinya tidak memakai baju hangat yang layak. Jam pun masih menunjukkan pukul 7 lebih sedikit.

Gadis itu melipat lengannya di depan dada, mencoba mengusir udara dingin di awal musim gugur. Kemudian celingukan mencari taksi.

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di sisinya. Seraut wajah tersenyum ke arahnya saat jendela diturunkan.

“Nona Mizuki,” sapa Maya.

“Naiklah!” Mizuki membukakan pintu penumpang dan Maya segera melompat masuk.

“Kau ceroboh sekali, memakai baju tipis di udara sedingin ini,” komentar Mizuki. Maya tertawa. Udara di dalam mobil yang cukup hangat membuatnya sedikit lega.

“Aku tadi terburu-buru. Jadi kelupaan bawa baju hangat.”

“Kau habis menengok Satomi?”

Maya mengangguk.

“Sayang, Satomi belum diperbolehkan dijenguk,” ujarnya pelan.

“Tenanglah, dia akan baik-baik saja.”

“Dari mana nona Mizuki tahu?”

Mizuki tertawa.

“Satomi artis Daito, tentu saja aku harus tahu. Aku juga baru bertemu dengan dokter yang merawatnya tadi. Jangan khawatir. Tidak ada yang sangat parah, kok.”

“Syukurlah.. aku senang mendengarnya,” gumam Maya.

Getaran lembut handphone membuat Maya merogoh saku jeansnya.

Ada sebuah e-mail yang masuk. Dari Keiko.


Aku sudah mendengar tentang kecelakaan temanmu kemarin. Semoga dia baik-baik saja ya. Oya, jangan lupa, siang ini setelah latihan kita ke butik untuk mengambil gaun untuk pesta pertunangan Ayumi. Aku tunggu di tempat latihan jam 9. Jangan terlambat!

Setelah mengirim balasan singkat untuk Keiko, tanda e-mail baru berkelap-kelip. Dari alamat yang tidak dia kenal.

Segera dibukanya e-mail itu.


“Sudah melihat hadiahku? Aku beritahu kau sekarang, aku tidak suka dikhianati. Apa yang terjadi pada pemuda itu  baru awalnya saja, Maya. Sebagai pengingat kalau kau milikku. Aku akan melakukan yang lebih hebat lagi jika ternyata, kau berani mengkhianatiku lagi..”

Seketika wajah Maya memucat dan tanpa sadar ia melempar handphonenya, seolah benda itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.
Mizuki menoleh heran, seketika menghentikan mobilnya demi melihat betapa pucatnya wajah Maya.

“Maya, kau kenapa?”

“Nona Mizuki…” suara Maya terdengan bergetar. “Kecelakaan Satomi… itu… mungkin..”

“Kau ini bicara apa? Dan kenapa kau lempar handphone mu seperti itu?” Mizuki memotong tak sabar, lalu membungkuk untuk mengambil handphone yang tergeletak di bawah kaki Maya.

Saat membaca isi e-mail didalamnya, wajah Mizuki pun ikut memias.

***

Mizuki menatap rangkaian anyelir merah di hadapannya dengan kening berkerut. Di tangannya tergenggam kartu yang menyertai anyelir itu tadi malam.

“Sejak kapan kau mulai menerima anyelir ini?” tanya Mizuki.

“Belum lama,” jawab Maya. “Pertama aku menerimanya saat menghadiri talk show di Fuji Televisi. Kurasa anyelir ini anyelir ketiga yang aku terima.”

“Kau tidak tahu siapa yang mengirimnya?”

Maya menggeleng. “Dia memakai nama Musubi no Kami. Jelasnya aku tidak tahu.”

“Sepertinya dia sangat mengagumimu dan…”

“Kalau memang apa yang terjadi pada Satomi akibat perbuatannya, aku tidak mau dikagumi dengan cara seperti itu,” potong Maya cepat.

“...dan dia berbahaya..” lanjut Mizuki. “Entahlah Maya, tapi aku merasa, fans mu yang satu ini memiliki kelainan jiwa.”

“Maksud nona Mizuki?”

“Caranya mengagumimu, belum apa-apa sudah mengklaimmu sebagai miliknya, menganggapmu berkhianat. Ah! Apakah kau bersama Satomi kemarin?”

“Iya.. kami makan siang bersama.”

“Sepertinya Musubi no Kami ini melihat kalian, dan menganggap itu adalah pengkhianatanmu.”

“Karena itu dia mencelakai Satomi?”

Mizuki mengangguk.

“Kurasa iya..”

Sedikit demi sedikit Maya mulai memahami situasi. Gadis itu terlihat semakin pucat.

“Apa yang harus aku lakukan?”desisnya dengan tubuh yang mulai gemetar.

“Lebih baik kau segera lapor polisi. Mengingat dia mengetahui e-mail dan apartemenmu, ada kemungkinan kau dalam bahaya juga, Maya.”

“Nona Mizuki..aku.. takut..”

“Aku akan mengantarmu. Tapi bisakah kau menunggu barang sejam? Aku harus mengantarkan laporan kondisi Satomi ke Daito segera.”

Maya mengangguk. Segera setelah Mizuki menutup pintu, Maya menguncinya dan melompat ke atas sofa. Tubuhnya masih gemetar.

Sudah lebih satu jam, tapi Mizuki belum juga muncul. Maya kian gelisah. Ditekannya nomor Mizuki. Tidak ada jawaban. Setelah 5 kali mencoba, akhirnya Maya meraih mantelnya dan berlari keluar.

Loby Daito nampak ramai. Padahal jam kantor belum dimulai. Seorang sekuriti yang memang mengenalnya menyapa ramah.

“Pak Kurasawa,” Maya mendekati sekuriti itu. “Apa anda melihat nona Mizuki?”

“Nona Mizuki?” laki-laki itu nampak terkejut. “Apa anda belum tahu, Nona?”

“Ada apa? Apa yang terjadi?” Maya merasa dadanya kian berdebar tidak tenang.

“ Nona Mizuki mengalami kecelakaan tadi. Mobilnya hilang kendali dan menabrak pagar pembatas jalan. Sekarang nona Mizuki ada di rumah sakit Tokyo.”

Telinga Maya terasa berdenging.

“Apa ini hanya kebetulan saja? Atau…” bisiknya pelan.

Tanpa permisi lagi, Maya berlari menyetop taksi dan menuju rumah sakit Tokyo untuk kedua kalinya.

Di ruang gawat darurat, dilihatnya Masumi sudah ada disana, bersama beberapa petugas polisi.

Maya mendengar Masumi berteriak.

“Remnya diputus dengan sengaja? Tapi siapa yang melakukannya?”

Tanpa sadar Maya terpekik tertahan. Matanya terbelalak dengan rupa ngeri. Secepat kilat gadis itu berbalik dan sembunyi di balik dinding penyekat ketika Masumi menoleh. Maya mulai dilanda kepanikan. Ini pasti perbuatan orang itu. Musubi no Kami…

E-mail yang masuk beberapa saat kemudian akhirnya menjawab dugaannya.


Tak akan kubiarkan orang lain menghalangi cinta kita.
Kau.. milikku. Hanya milikku..
Jangan pernah mencoba menjauh dariku

Musubi no Kami

 Maya jatuh terduduk. Nafasnya tersenggal. Dalam sehari, dua orang terluka karenanya. Karenanya!! Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Dengan gemetar dia menekan tombol replay, dan mulai mengetik.


Siapa anda sebenarnya? Mengapa menyakiti teman-temanku?
SEND

Tak sampai semenit, e-mail balasan masuk:


Aku adalah dewa cintamu, kekasihmu…


Cepat Maya mengetik

Aku  tidak mengenal anda..

SEND

NEW E-MAIL:


Segera kita akan bertemu sayang, kau akan segera  mengenalku, dan mencintaiku, seperti aku mencintaimu..

Maya mengerang putus asa. Air mata sudah membanjiri pipinya sejak tadi. Kembali jemari lentiknya bergerak cepat menekan tombol handphonenya.

 Kumohon, jangan menyakiti teman-temanku..

SEND.

Satu menit kemudian:

NEW E-MAIL


Itu tergantung padamu. Jika kau setia, maka aku tidak akan mendekati teman-temanmu lagi…


Maya menutup handhonenya cepat. Ia benar-benar bingung kini. Dengan lelah disenderkan kepalanya di dinding dan memejamkan mata. Satomi.. Nona Mizuki.. maafkan aku..

Entah berapa lama ia dalam posisi seperti itu, tanpa peduli  pandangan heran dari orang-orang yang melewatinya, sampai akhirnya..

“Maya?”

Suara yang sangat dikenal dan dirindukannya. Pelan Maya membuka mata. Dilihatnya Masumi membungkuk dengan rupa khawatir.

“Kau baik-baik saja?”

Cepat Maya berdiri. Tapi mendadak kepalanya serasa berputar cepat. Tubuhnya pasti akan terhempas kembali jika Masumi tidak dengan sigap menyangganya.

“Maya..!!” seru Masumi panik. Beberapa saat Maya berpegangan pada lengan Masumi yang melingkari pinggangnya. Sampai akhirnya pusingnya mereda, gadis itu pelan melepaskan diri.

“Maaf, saya.. sedikit pusing tadi.”

“Kau yakin kau baik-baik saja?” Masumi masih menatapnya dengan khawatir. Maya mengangguk. Mencoba tenang saat sadar Masumi tengah menatapnya penuh selidik.

“Kau..di sini.. menjenguk Satomi?” Masumi bertanya pelan.

Maya tertegun. Lalu pelan mengangguk, tak berani mengatakan yang sesungguhnya.

“Tapi dokter belum memperbolehkannya ditengok,” ujar Maya kemudian.

Masumi diam-diam menekan kecemburuannya. Wajah Maya yang pucat dan masih basah air mata, mata yang bersorot begitu resah, ah.. apakah kau sangat mengkhawatirkan laki-laki itu, Mungil? Apakah kau masih mencintainya?

“Pak Masumi…saya mendengar tentang nona Mizuki,” Maya menengadah, berusaha untuk menatap wajah tampan laki-laki di depannya. “…Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Sepertinya lukanya cukup parah, dokter masih berusaha menyelamatkannya di ruang operasi. Semoga dia tidak apa-apa,” jelas Masumi sedih. Maya berusaha keras menahan getaran tubuhnya.

Itu tergantung padamu. Jika kau setia, maka aku tidak akan mendekati teman-temanmu lagi…”

Mendadak kalimat itu terngiang di pikirannya. Seperti terkena listrik, Maya menegakkan tubuh dan dengan panik melihat ke sekeliling.

Dia tidak boleh melihatku bersama Pak Masumi! Desis hatinya.

Masumi memperhatikan tingkah laku gadis di depannya dengan terheran-heran.

“Maya, kau kenapa?”

Dilihatnya mata gadis itu bergerak-gerak panik.

“Saya harus pergi. Maaf, pak Masumi.”

Dengan cepat gadis itu berlari pergi. Sempat menubruk seorang dokter yang berpapasan dengannya sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.

***

Masumi termenung di kantornya yang luas dan nyaman. Pertemuannya dengan Maya tadi pagi membuat hatinya resah. Sesuatu telah terjadi pada gadis tercintanya itu. Maya terlihat ketakutan, panik, dan sangat tidak tenang.

Awalnya dia masih berpikir kalau sikap Maya ada hubungannya dengan kondisi Satomi. Tapi ada yang aneh, gadis itu seperti mewaspadai sesuatu.

Lengannya baru saja hendak  menekan nomor Hijiri saat ponselnya berdering. Dari rumah sakit. Mizuki sudah siuman dan yang pertama yang ditanyakannya adalah dirinya. Kening Masumi berkerut heran. Mizuki ingin bertemu, secepatnya!

“Nona Mizuki masih lemah. Tolong ingatkan dia untuk tidak terlalu banyak berbicara,” saran dokter ketika Masumi memasuki ruang perawatan Mizuki. Masumi mengangguk. 

Dilihatnya Mizuki terbaring dengan kepala dibalut perban, dan kaki kirinya di gips.

“Mizuki, kau seharusnya istirahat dulu. Jika ada yang ingin kau sampaikan padaku, kau bisa menunggu sampai kondisimu lebih baik,’ ujar Masumi begitu ia sampai di samping tempat tidur Masumi.

Mizuki nampak tersenyum dipaksakan.

“Maya…” bibirnya bergerak pelan. Masumi tidak bisa memahaminya dengan baik. Jadi ia membungkuk mendekatkan telinganya di dekat mulut sekretarisnya itu.

“Maya…”

Mendadak jantung Masumi berdetak lebih cepat. Dipandanginya wajah Mizuki lekat-lekat.

“Ada apa dengan Maya?”

“Maya… dalam… baha..ya…”

Seketika itu juga wajah Masumi mengeras.

 ***


Maya nampak termenung di ruang tunggu butik. Sejak pulang dari rumah sakit, fikirannya seolah tidak lagi berada di tempatnya. Perasaan bersalah akan kecelakaan yang dialami Satomi dan Mizuki terus bergelayut. Belum lagi perasaan takut dan was-was yang semakin menjadi menyadari Musubi no Kami kemungkinan besar tengah mengawasinya sekarang.

Ketika mengepas baju pun, ia hanya menjawab sekenanya. Tak peduli apakah lengan bajunya nyaman atau tidak, rendanya rapi atau tidak, kependekan atau tidak, ia hanya ingin semuanya cepat berakhir dan ia bisa kembali ke apartemennya!

Kembali? Gadis iu tercenung. Lalu mendesah. Tidak mungkin…

Jadwalnya hari ini akan sangat padat!

Gadis mungil itu kian melesakkan badannya di sofa. Memejamkan mata sementara menunggu Keiko yang juga sedang mengepas bajunya.

Saat itulah seorang pegawai butik menghampiri.

“Nona Kitajima, maaf,” sapanya.

Maya membuka mata dan langsung terjengit saat melihat buket anyelir merah di tangan pegawai itu.

“Ini, ada yang mengantarkannya untuk anda barusan,” disodorkannya buket itu.

Maya tak bergemig. Dadanya berdebar keras.

“Siapa… yang mengantarkannya?” bisiknya kemudian. Suaranya yang terdengar bergetar membuat pegawai butik itu mengerutkan kening, heran.

“Barusan seorang pemuda mengantarnya. Dia…”

Belum selesai pegawai butik itu menjelaskan, Maya sudah melompat, meraih buket bunga, dan berlari ke luar butik. Mata gadis berputar ke sekeliling, mencari sosok pemuda yang mengantarkan buket. Namun jalan di sekitarnya lengang. Hanya ada dua orang perempuan yang lewat di sekitar butik.

Dengan lesu, Maya kembali ke dalam.

“Wow, anyelir lagi!” seruan Keiko menyambut. Rupanya gadis itu sudah selesai mengepas bajunya. “Aku jadi penasaran, siapa Musubi no Kami ini, Maya. Setiap hari dia mengirimkan anyelir padamu. Dan… Hei!” Keiko mengerutkan kening dengan mimik agak kaget. “… dari mana dia tahu kau ada di sini?”

Maya mendesah pelan. “Entahlah…”

Yang jelas, dia selalu mengawasiku, tahu semua kegiatanku, imbuhnya dalam hati

“Eh, apa katanya sekarang?” Keiko menunjuk sebuah kartu mungil yang terselip di buket dengan antusias. Maya baru menyadari hal itu.

Segera diambilnya kartu dan dibukanya.

Tak sabar rasanya melihatmu memakai gaun itu.
Kau pasti akan terlihat sangat cantik.

Love
Musubi no Kami

Hawa dingin tiba-tiba saja melewati tengkuknya. Tanpa sadar Maya menggigil.

Keiko yang mengintip, ikut membaca, berdecak, “Dia benar-benar tahu segala aktifitasmu! Ah. Kau benar-benar beruntung. Aku juga ingin punya penggemar rahasia sepertimu!”

Maya hanya tersenyum masam.

Kalau saja kau tahu, kau tidak akan berkata seperti itu, Keiko.  bisik hatinya seraya memandangi manajernya yang kini tengah sibuk mengagumi buket bunga yang ada di tangannya.

***

“Cut!”

Maya menghela nafas berat. Bersiap untuk menerima omelan lagi dari sutradaranya. Ini sudah take yang 5.

Pelan Maya memutar wajah. Membayangkan wajah kesal dan marah akan menyambutnya. Namun tanpa diduga, Kazuya Oda, sang sutradara, malah mendekat dengan mimik keheranan bercampur khawatir.

“Hari ini kau kenapa, Kitajima?” tanya laki-laki muda yang sudah menyabet berbagai penghargaan karena film garapannya yang selalu menjadi box office itu. “Ini sama sekali bukan dirimu. Kau yakin kau baik-baik saja?”

“Maaf. Kita coba sekali lagi,” ujar Maya pelan.

“Tidak!’ geleng Kazuya. “Kurasa akan percuma meneruskan scenemu jika kau tidak bisa berkonsentrasi. Kau bisa break syuting hari ini. Kuharap besok, aku bisa melihat aktingmu yang maksimal lagi.”

“Tapi…”

“Istirahatlah, Kitajima!” suara laki-laki itu terdengar tegas. Lalu tanpa mempedulikan protes Maya ia kembali ke kursinya dan memerintahkan sang asisten untuk menyiapkan scene berikutnya.

“Kau baik-baik saja?” Keiko menyambut dengan wajah khawatir saat Maya berjalan menghampiri.

“Sepertinya hari ini aku ingin istirahat. Selain syuting, tak ada jadwal lainnya, kan?”

“Sebenarnya ada,” jawab Keiko. “Sore ini kau akan bertemu dengan pengacara Tachibana untuk membicarakan kontrak ekslusif-mu sebagai bintang iklan shampo ***,” jelas Keiko sambil menyebutkan sebuah merek shampo terkenal.

“Tapi aku bisa mengundurkan jadwalnya!” lanjut gadis itu cepat saat melihat wajah Maya berkerut enggan. “Akan kukatakan kau tiba-tiba sakit, dan… kupikir kau memang butuh istirahat, Maya. Wajahmu sangat pucat.”

“Ya,” Maya mengangguk. “Terimakasih, Keiko Chan.”

Maya membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi.

“Keiko Chan. Hari ini, aku ingin sendiri. Kau tidak usah mengantarku,” ujar Maya saat Keiko mengikutinya ke luar studio.

“Tapi Maya, kau begitu pucat. Setidaknya aku akan mengantarmu sampai ke apartemen.”

“Tidak usah,” geleng Maya. “Aku bisa pulang sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban Keiko, Maya melangkahkan kakinya keluar gedung. Angin dingin segera menerpanya, namun Maya tidak menghiraukan. Gadis itu tertegun sejenak di pinggir jalan, bingung mau kemana. Pulang ke apartemen sepagi ini pasti akan sangat membosankan. Dengan berdiam seharian, pikirannya akan semakin tertuju pada apa yang sudah menimpa Satomi dan Mizuki.

Musubi no Kami…

Mengingat nama itu membuat Maya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Apakah sekarang kau sedang melihatku?

Ada beberapa pejalan kaki di sekitarnya. Semua nampak sibuk dengan langkah tergesa  entah mau kemana. Di seberang, seorang laki-laki setengah baya tengah duduk di bangku dekat taman bersama anjingnya, lalu seseorang berseragam pekerja taman tengah berkutat dengan alat penyemprot hama. Asyik menyemprot rumpun-rumpun bunga yang tertata apik di sana.

Adakah dia diantara orang-orang itu?

Pikiran Maya terus berkecamuk. Gadis itu merasa, kini ia tengah berada di dalam sebuah reality show dimana kamera tersembunyi selalu mengikuti dan memantau semua kegiatannya.

Ya, Tuhan!

Maya mendesah tanpa sadar. Lalu memejamkan mata.

Sampai kapan aku akan seperti ini?

Kepalanya terasa semakin berdenyut saat ia kembali membuka matanya.  Dengan gontai gadis itu kembali berjalan.

Sebuah mobil yang berhenti tiba-tiba di dekatnya membuat Maya melompat kaget. Jantungnya berdetak cepat. Gadis itu sudah bersiap-siap untuk lari andai saja dia tidak mengenali suara yang memanggil.

“Maya!”

Masumi keluar dari dalam mobil. Untuk sejenak, Maya tertegun di tempatnya berdiri.

“Sedang apa kau di luar di jam seperti ini?” dengan cepat Masumi melangkah mendekat. “Bukankah seharusnya ka sedang syuting?”

“Dari mana anda ta…” Maya tidak meneruskan kalimatnya saat teringat bahwa laki-laki ini adalah pemilik manajemennya. Selain sejak dulu, entah bagaimana, Masumi memang selalu mengetahui jadwalnya secara detil.

“Saya.. agak tidak enak badan, Jadi Pak Oda mengijinkan saya break hari ini.”

Masumi mengamati wajah mungil di hadapannya.

Memang sangat pucat..

Lengan laki-laki itu terulur untuk menyentuh dahi Maya membuat gadis itu kembali terperanjat.

Terlambat untuk menghindar. Telapak tangan Masumi sudah menempel di dahinya.

Tidak panas.. tapi berkeringat.. batin Masumi.

Untuk sejenak Maya terlena dengan sentuhan Masumi di dahinya. Betapa ia merindukan laki-laki ini. Sejak turun dari Astoria, mereka tidak pernah lagi berbicara seperti ini.

Ingatannya tiba-tiba melayang pada sosok cantik yang menjadi tunangan Masumi. Seketika itu juga Maya tersadar. Cepat ia menggedikkan kepalanya dan mundur.

“Anda.. tidak perlu khawatir, Pak Masumi. Setelah istirahat sebentar saya akan baik-baik saja.”

Maya menundukkan wajah untuk menyembunyikan matanya yang mendadak terasa panas.

Masumi masih menatap khawatir.

Ah, Mungil, desah hatinya. Jangan kau tundukkan wajahmu seperti itu. Tahukah kau kalau aku begitu merindukanmu?

Masumi menghela nafas tak kentara. “Aku antar kau sampai ke apartemen,” ujarnya kemudian.

Cepat Maya mengangkat wajahnya. Mengantar pulang? Tidak!!

Gadis itu mendadak panik. Matanya yang tadi sendu kini nampak resah. Refleks matanya memandang sekeliling.  

Musubi no Kami!

“Tidak usah.. tidak perlu.. saya bisa pulang sendiri..!” tubuh Maya bergerak gelisah. Lalu cepat ia membungkuk dalam dan bersiap  pergi.

Jangan sampai orang itu melihat kami!  Pikirnya panik.

Hal itu tak luput dari perhatian Masumi. Terngiang kembali bisikan Mizuki di rumah sakit.

Maya dalam bahaya…

Kalimat itu sudah membuatnya seperti orang gila, memacu mobilnya untuk segara  menemui gadis yang kini berdiri gelisah di hadapannya.

Apa yang kau takutkan, Mungil?

Dada masumi berdenyut pedih. Dari semua hal, yang paling diinginkannya hanyalah melindungi gadis ini dan membuatnya selalu merasa aman. Tapi kini? Dia bahkan tidak tahu apa yang membuat gadis tercintanya ini terlihat begitu ketakutan.

“Tunggu!!” cepat Masumi meraih lengan Maya yang hendak berbalik pergi. “Tak akan kubiarkan kau pulang sendiri, Mungil,” desisnya seraya menarik Maya menuju mobil.

“Tapi, Pak Masumi. Saya tidak bisa pulang dengan… anda!” Maya berusaha menarik diri dari cengkraman tangan Masumi. Tapi percuma. Tubuh mungilnya mana kuat melawan tenaga Masumi.

Akhirnya Maya pasrah duduk di kursi penumpang di depan. Menatap putus asa sosok laki-laki yang kini berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi.

Keduanya tak bersuara saat Masumi membawa mobilnya membelah jalanan Tokyo. Maya meremas lengannya resah. Dalam hati gadis itu berdoa berkali-kali, semoga kali ini Musubi no Kami tidak melihatnya bersama Masumi.

Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Pak Masumi, seperti yang terjadi pada Satomi dan nona Mizuki.. aku.. aku..

Mati-matian Maya berusaha meredakan tubuhnya yang mendadak bergetar hebat. Air mata kembali membayang turun. Cepat ia menggedikkan kepala, mengusir bayangan buruk yang menghantui pikirannya.

Tidak, Tuhan! Kumohon, jangan sampai itu terjadi!

Di sampingnya, Masumi diam terus memperhatikan reaksi Maya lewat sudut matanya. Hati laki-laki itu kembali berdenyut sakit.

Dia sedang ketakutan! Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Tak tahan melihat betapa Maya meremas lengannya sendiri dengan gelisah, Masumi meraih lengan itu dengan sebelah tangannya dan menggenggamnya erat.

Tangannya begitu dingin.., desah Masumi resah.

Maya tersentak kaget. Matanya nyalang menatap wajah tampan di sampingnya dengan pandangan bertanya.

Dilihatnya mata laki-laki itu menatap lurus ke jalanan.

“Pak Masumi, lepaskaann,” desis Maya, mencoba melepaskan genggaman laki-laki itu.

Tapi Masumi tak bergemig. Genggamannya malah semakin erat. Dia tak mau melepaskannya. Sebaliknya, yang ingin dia lakukan adalah memeluk Maya, agar tubuhnya yang terlihat gemetar ketakutan itu mereda. Dan itu tidak mungkin dilakukannya sekarang.

“Pak Masumiii…,” Maya tetap berusaha untuk menarik tangannya. Namun semakin ia berusaha keras, semakin kuat Masumi mencengkramnya.

“Diamlah, Mungil! Kau mengganggu konsentrasiku!”

Ucapan Masumi membuat Maya mau tak mau menghentikan usahanya.

Kembali keduanya terdiam.

Meskipun perasaan takut masih kuat mencengkram, namun Maya menyadari, genggaman tangan Masumi yang hangat sedikit banyak mampu meredam getaran tubuhnya.

Mobil mereka mulai memasuki komplek apartemen mewah milik Daito yang kini ditinggali Maya. Masumi memasukkan mobilnya ke area parkir penghuni. Namun lama setelah mobil berhenti dengan aman, Masumi masih menggenggam lengan Maya.

“Pak Masumi, kita sudah sampai,” bisik Maya. “Saya harus segera keluar.”

Masumi masih tak bergemig. Maya meresakan lengannya diremas, lembut.

“Mungil,” Masumi memanggil lirih. Maya menoleh. Perlahan wajah Masumi memutar memandangnya. “Apa kau percaya padaku?” tanya laki-laki itu pelan. Maya balas memandang tak mengerti.

“Katakan padaku, Maya. Apakah kau mempercayaiku?”

Pandangan Masumi terasa tajam menusuk, sekaligus membuat hati Maya berdebar melihat betapa mata itu menatapnya dengan pandangan penuh kerinduan yang tak lagi disembunyikan.

Anda laki-laki yang aku cintai, pelindungku, Mawar Unguku..

“Y~ya. Saya mempercayai anda,” jawab Maya pelan. Tak ada keraguan dalam suaranya.

“Jika saat di Astoria kau yang memintaku untuk menunggu, kini aku yang akan meminta hal yang sama padamu. Maukah kau menungguku? Sebentar lagi, hanya sebentar lagi.”

Mata Maya membulat. Dadanya berdebar kian cepat.

Pak Masumi memintaku untuk menunggunya? Apakah artinya ini…

Maya tak berani membayangkan kalau lelaki itu ternyata mencintainya juga. Namun genggaman tangannya, pandangan yang penuh rindu yang tertuju padanya, membuat khayalannya melambung tinggi kini.

"Setelah semua masalahku selesai, aku akan segera menemuimu. Jadi, kuharap.. kau mau menungguku.”

Ada kesungguhan di mata Masumi, membuat Maya akhirnya mengangguk pelan.

“Saya… akan menunggu…anda,” bisiknya kemudian

Dirasakannya jemari Masumi meremas lengannya sekali lagi sebelum akhirnya dengan melepasnya.

“Terima kasih,” senyum Masumi.

Mereka berpandangan untuk beberapa lama. Keduanya tak lagi mampu menahan tatapan penuh rindu dan cinta yang sama-sama mereka pendam.

Maya bahkan melupakan masalah Musubi no Kami. Terpesona oleh mata Masumi yang begitu lembut menatapnya.

“Sa~saya harus segera keluar,” bisik Maya akhirnya dengan wajah merona. Enggan, Masumi melepaskan tatapannya dan keluar untuk membukakan pintu bagi gadis mungil itu.

“Kau istirahatlah,” senyum Masumi. Maya mengangguk dengan gugup.

“Terima kasih sudah mengantar.”

Saking gugupnya Maya tak menyadari kalau dirinya tidak memegang tasnya dengan benar sehingga beberapa benda berjatuhan dari dalam tas.

“Ah!!” Maya hendak membungkuk mengambilnya.

 “Biar aku saja!”

Gadis itu tertegun karena dilihatnya Masumi sudah berjongkok untuk mengambil compact mirror, ballpoin dan buku notes kecil yang terjatuh tadi.

“T~terima kasih.”

Saat itulah terdengar bunyi tembakan. Maya merasakan sebuah benda berkelabat dari arah depan, melewati bahunya. 

Gadis itu memekik kaget.

Refleks Masumi menarik lengannya sehingga ia ikut berjongkok.

Dipeluknya Maya erat-erat. Dirasakannya jantung Maya bwrdebar kencang.

Setelah beberapa lama dan bunyi tembakan tidak terdengar lagi, Masumi merengangkan pelukannya dan memandang Maya yang kini nampak pucat.

“Kau baik-baik saja?” suara lelaki itu terdengar khawatir. Namun sedetik kemudian Masumi merasakan jantungnya seolah melompat ke leher.

Lengan kanannya yang mencengkram pundak kiri Maya sudah berlumuran darah!

“Maya!” pekiknya panik saat melihat lengan baju Maya kini sudah memerah oleh darah.

Wajah gadis itu nempak berkerut menahan sakit.

***


Bersambung ke part 2