Senin, 08 Agustus 2011

Love You











Masumi menyenderkan tubuh di kursi kerjanya yang empuk dan nyaman. Beberapa dokumen masih menumpuk, namun ia sudah kehilangan minat untuk memeriksanya. Biarlah, pikirnya. Masih ada waktu.
          Pikirannya melayang pada apa yang sudah terjadi selama dua bulan ini…

Dua bulan yang lalu

          Shiori menatap langit biru di luar jendela kamar perawatannya. Wajah perempuan jelita itu tidak lagi pucat, meski kesedihan masih nampak menggayut di sana. Lengan kirinya masih terbebat perban.
          Suara deritan pintu membuat kepala cantik itu menoleh. Senyumnya langsung mengembang saat melihat siapa yang masuk.
          “Masumi,” sapanya.
          Masumi Hayami, laki-laki yang baru masuk membalas dengan senyuman tipis.
          “Bagaimana kabarmu hari ini, Shiori?” tanyanya. Tubuhnya yang menjulang berdiri tak jauh dari tempat tidur Shiori, tanpa berniat mendekat.
          “Aku merasa lebih baik,” jawab Shiori. Gadis itu mencoba menghilangkan kegundahan hatinya melihat Masumi yang hanya berdiri di sana, tanpa berniat mendekat.  Sejak peristiwa percobaan bunuh diri yang dia lakukan, Masumi tidak hanya menjaga jarak  secara psikis, tapi juga fisik. Memang setiap hari Masumi selalu menyempatkan diri untuk menengok, namun tak pernah sekalipun laki-laki itu mendekati tempat tidurnya. Hanya berdiri, dengan senyum yang nampak letih.
          Masumi meletakkan buket bunga lily yang dibawanya di meja kecil dekat tempat tidur Shiori.
          “Untukmu,” ujarnya singkat.
          Shiori menelan kepedihannya. Bahkan bunga pun hanya diletakkan di meja.
          “Terima kasih.”
          Lalu diam. Masumi hanya berdiri mematung, tanpa berniat membuka pembicaraan apapun.
          “Sampai kapan kau akan berdiri disitu tanpa bicara, Masumi?” sindir Shiori pelan. Masumi kembali tersenyum tipis.
          “Tidak ada yang ingin aku bicarakan,” jawabnya singkat, namun cukup menyesakkan bagi Shiori. “Lagi pula, aku tidak akan lama. Syukurlah kalau kau semakin sehat. Aku permisi,” tubuh tegap Masumi berbalik, bersiap pergi.
          “Masumi!” Shiori tak tahan lagi. Dilihatnya Masumi kembali membalikkan badannya.
          “Ya, Shiori?”
          “Sampai kapan kau akan mendiamkanku seperti ini?” tanyanya dengan mata yang mulai berurai air mata. “Kita akan segera menikah, bukan? Aku akan segera menjadi istrimu!  Tak semestinya kau bersikap dingin seperti itu.”
          “Maaf, Shiori. Kita bicarakan itu nanti. Aku masih harus kembali ke kantor. Banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan.”
          “Tidak!” suara Shiori melengking tinggi. “Aku tidak mau selalu dinomorduakan olehmu. Aku calon istrimu! “
          Masumi nampak terdiam. Lalu menghela nafas dalam.
          “Sebenarnya, aku tidak ingin membicarakan tentang hal ini sekarang padamu. Tapi karena kau memaksa, baiklah,” Masumi menatap mata Shiori lekat-lekat. “Aku akan berpura-pura melupakan usahamu untuk bunuh diri dan akan menganggapmu sebagai wanita cerdas yang tahu bagaimana cara menghargai hidup.”
          Shiori terkesiap mendengar ucapan Masumi yang cukup pedas baginya itu.
          “Shiori,” lanjut Masumi. “Kurasa apa yang kita bicarakan di hari kau mencoba melukai dirimu sendiri sudah sangat jelas. Dan aku tidak punya niat untuk mengubahnya. “
          “K..Ka..Kau…” Shiori tergagap saking menahan gejolak hatinya yang dipenuhi kemarahan, juga kesedihan. “Bahkan setelah melihat kondisiku yang seperti ini, kau masih tega untuk meninggalkanku?” desisnya.
          “Maafkan aku,” jawab Masumi. “Sepenuhnya ini kesalahanku, karena sudah memberimu harapan selama ini. Tapi demi kebaikanmu, kebaikan kita semua, aku tidak bisa meneruskan pertunangan kita. Kau berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku. Laki-laki yang mencintaimu.’
          Laki-laki yang mencintaimu. Kalimat itu menohok hati Shiori telak. Masumi memang tidak pernah mencintaiku!
       “Kau kejam, Masumi.”
          “Aku akui itu,” angguk Masumi. “Tapi aku akan menjadi laki-laki yang paling kejam jika aku menuruti kemauanmu untuk melanjutkan pertunangan ini.”
          “Apa maksudmu?”
          “Aku ingin bertanya padamu Shiori,  apakah hatimu pernah benar-benar bahagia selama ini kita bersama? Apakah yang paling sering kau rasakan saat bersamaku? Senang? Sedih? Merasa terabaikan? Jawablah yang sejujurnya, Shiori.”
          Shiori tergugu. Pernah memang ia merasa sangat bahagia saat bersama Masumi. Tapi…
          “Aku yakin hatimu sudah menemukan jawabannya. Jawaban yang sama yang ada dalam hatiku.”
          Shiori mengepalkan lengannya erat.
          “Shiori, pernikahan adalah sesuatu yang harus dibangun atas dasar cinta tulus, dari kedua belah pihak. Minimal, keyakinan untuk bisa membahagiakan pasangannya. Aku sudah mencoba untuk membangun semua itu untukmu, namun aku gagal Shiori. Maafkan aku karena tidak bisa memberikan cinta dan keyakinan itu  untukmu.”
          Shiori terisak dengan hati yang kian terkoyak. Namun kali ini, dia mencoba melawan semua kepedihan itu, dan menatap Masumi dengan berani.
          “Jika gadis itu, Maya Kitajima,  tidak pernah muncul di hidupmu, apakah kau akan mencintaiku saat kita bertemu?”
          Masumi terdiam. Terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya menjawab tenang.
          “Saat aku melihat fotomu untuk pertama kali, terus terang aku terpesona, Shiori.  Kau cantik, dan nampak lemah lembut. Tapi jika kupikir, itu keterpesonaan yang wajar saat seorang pria melihat seorang gadis cantik, setiap laki-laki pasti seperti itu,” Masumi terdiam sejenak untuk melihat reaksi Shiori. Gadis itu nampak memperhatikan dengan ekspresi yang sama, penuh kepedihan. Dikuatkannya hati untuk meneruskan apa yang ingin dia katakan. Sudah saatnya aku berterus terang, Pikir Masumi.
“Namun saat aku bertemu Maya,” lanjutnya kemudian. ‘ dia.. tidak hanya membuatku tenggelam dalam pesonanya, tapi tanpa sadar, didekatnya, aku bisa menjadi menjadi diriku sendiri bahkan sejak kali pertama kami bertemu,” ada senyum hangat membias di bibir Masum saat teringat Maya. Shiori kembali menahan kepedihannya. “Hal yang tidak pernah pernah kurasakan saat aku bersama gadis yang lainnya.”
Tiba-tiba saja Shiori merasakan kelelahan luar biasa. Cukup sudah, aku tidak mau lagi terlibat dalam situasi yang menyakitkan seperti ini. Aku menyerah. Aku menyerah Masumi.
Air mata kembali mengucur deras saat dilihatnya punggung Masumi menghilang di balik pintu.***

Menghadapi kemarahan keluarga Takamiya memang tidak mudah.  Namun Masumi yang sudah siap dengan segala resiko, menghadapinya dengan tenang. Awalnya, sulit untuk meyakinkan keluarga itu bahwa keputusannya mengakhiri pertunangan dengan Shiori adalah yang terbaik untuk semua. Terutama Shiori.
Takamiya pun sebenarnya menyadari hal itu. Kenyataan bahwa Masumi Hayami tidak mencintai cucunya, membuatnya tidak yakin laki-laki itu dapat membahagiakan Shiori. Namun dia memiliki tujuan lain dari pernikahan itu. Keuntungan bisnis, disaat perusahaannya mengalami krisis berkepanjangan. Masumi, yang terkenal sebagai pembisnis bertangan dingin, juga Daito yang  termasuk perusahaan paling sukses di Jepang, adalah harapan untuk menyelamatkan perusahaannya.
Masumi yang sudah tahu kondisi perusahaan Takamiya, menawarkan solusi profesional. Keluarga Takamiya tidak punya pilihan banyak selain mengikuti rencana Pangeran Bisnis dari Daito itu, dan juga menerima pemutusan pertunangan laki-laki itu dengan cucunya.
Alhasil, selama dua bulan ini Masumi disibukkan dengan proyeknya menyelamatkan perusahaan Takamiya.  Meski artinya ia harus bekerja ekstra keras karena Daito pun membutuhkannya, tapi dengan segala kecerdasan yang dimiliki Masumi, ia bisa melakukannya dengan sangat baik.
Hal yang paling mengejutkan datang dari ayahnya.
Tadinya Masumi berfikir, akan sulit untuk membuat Eisuke menerima keputusannya membatalkan pertunangan dengan Shiori. Tapi di luar dugaan, Eisuke menerimanya dengan sangat baik. Hal ini cukup membuat Masumi shock sekaligus lega.
Ada hal lain yang nampaknya lebih menjadi perhatian Eisuke. Sang jenderal Besar itu kini nampak selalu ceria. Senyum dan tawanya kerap terdengar membahana di kediaman Hayami yang biasanya suram. Sebenarnya Masumi penasaran, apa yang menyebabkan ayahnya segembira itu. Tapi kesibukan membuat Masumi melupakan kepenasarannya.  Bahkan dalam dua bulan ini, ia tidak punya waktu sedikitpun untuk menemui gadis yang kini sangat dirindukannya. ***

Mayaa…
Masumi mendesah, rindu. Sedang apa dia sekarang? Pikirnya penasaran. Terakhir mereka bertemu di Astoria.  Lebih dari dua bulan yang lalu. Kabar terakhir yang ia terima dari Mizuki, Maya tengah sibuk dengan latihan bidadari merahnya, menjelang pementasan percobaan yang tinggal 3 minggu lagi.
“Maya kini sedang ada di Nara,” lapor Mizuki.
“Di Nara? Lalu latihannya?”
“Pak Kuronoma mengatakan,  Maya meminta waktu seminggu untuk pergi ke desa plum. Dia ingin lebih mendalami pribadi Akoya di sana. Maya sudah berangkat ke sana kemarin siang.”
Masumi termangu mendengar penjelasan Mizuki. Hari ini, rencananya ia ingin menemui Maya. Rasa rindu yang hampir tak tertahankan ini membuatnya tidak bisa berkonsentrasi lagi dengan pekerjaan.  Selama dua bulan ini mati-matian ia menahan rindu agar dapat segera menyelesaikan masalah Takamiya, dan segera terlepas dari beban yang berhubungan dengan keluarga itu.  Tapi ternyata, sekarang Maya malah sedang tidak ada di Tokyo.
Masumi membuka hp nya dan menatap foto  Maya yang dia simpan sebagai wallpaper.  Maya nampak  tengah tertawa lepas seraya memegang buket mawar ungu. Hijiri yang mengambil foto itu dan mengirimkan kepadanya. Laki-laki itu kemudian membuka images folder yang penuh dengan gambar Maya, berharap dapat sedikit mengobati kerinduannya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, dia semakin tak bisa menahan keinginannya untuk menemui gadis itu! ***


“Maya Kitajima?” seorang nenek yang ditanyanya di tengah jalan nampak mengerutkan kening. “Ahh… gadis cantik yang datang dari Tokyo itu!!” serunya kemudian. “Dia tinggal di rumah nenek Ashiya, itu.. rumah yang berada di sana..” si nenek menunjuk ke sebuah arah. Rumah yang ditunjukknya terletak agak di atas bukit, agak terpencil dengan rumah yang lainnya.
“Tapi jam segini biasanya nenek Ashiya sedang berkeliling kampung, dan kemarin nona itu ikut bersamanya” terang nenek itu kemudian.
“Berkeliling kampung?”
“Iya, berkeliling kampung. Nenek Ashiya adalah peramu obat. Setiap hari berkeliling untuk meramukan obat-obatan bagi warga yang sakit.”
Masumi memutuskan untuk menunggu di halaman rumah yang ditunjukkan nenek tadi. Rumah sederhana, namun halamannya banyak ditumbuhi tanaman obat. Beberapa gentong tanah liat besar juga nampak berjejer di salah satu sudut. Aroma desa yang begitu segar nyata terasa. Masumi menyenderkan tubuhnya yang penat, setelah hampir semalaman berkendara, ke dinding rumah yang sederhana tersebut. Untuk beberapa saat, Masumi menikmati semua aroma yang begitu menyegarkan itu seraya memejamkan mata.
“Pak… Masumi?”
Sebuah suara yang terdengar ragu menyapa, membuatnya segera membuka mata. Wajah Maya yang keheranan langsung terpampang di depannya. 
Masumi segera menegakkan badan.
“Halo,  Mungil,” senyumnya kemudian. Maya masih menatapnya dengan rupa kebingungan.
“Pak Masumi, sedang apa di sini?”
“Aku? Di sini?...” Masumi menatap gadis didepannya lekat-lekat. Baru disadarinya, Maya kini memakai kimono tsumugi (*) berwarna hijau lumut dengan motif bunga-bunga kecil berwarna putih.  Rambut yang panjang diikat sekenanya. Wajahnya nampak memerah karena pagi cukup terik hari ini, menyisakan butiran keringat halus di dahi.
Masumi menahan nafas. Gadis ini terlihat jauh lebih cantik dari yang terakhir diingatnya. 
Masumi tersenyum. “Aku kesini untuk mencarimu.”
Mata bening di depannya langsung membulat.
“Mencarii… saya? Ada apa? Apa sesuatu telah terjadi dengan ibu Mayuko?”  mata bening itu mendadak bergerak panik. Masumi tergelak mendengar berondongan pertanyaan Maya tadi.
“Tenanglah mungil, “katanya di sela tawanya. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu yang beruntun tadi, apa kau tidak berniat mengundangku masuk? Aku lelah sekali setelah semalaman menyetir sendiri.”
“Pak Masumi kesini menyetir sendirian?” Maya malah balik bertanya.
“Mayaaa…” Masumi menjawabnya dengan mimik memelas. Seketika  Maya tersadar,  bergegas membuka  shoji ** dan mempersilahkan Masumi masuk.  Setelah membuka sepatunya, Masumi naik ke washitsu*** yang cukup luas. Tatami yang melapisinya sangat sederhana, namun terlihat bersih.  Ruangan itu hampir tak memiliki furniture kecuali meja sembahyang lengkap dengan sebuah tempat abu dan foto usang,  yang diletakkan di sebuah sudut.
Masumi langsung duduk di sebuah zabutong ****.
Dilihatnya Maya keluar dan tak lama kemudian masuk lagi dengan membawa minum. Lalu duduk di depannya, melihatnya meminum air segar yang baru disajikan.
“Anda pasti letih sekali,” didengarnya Maya berkata pelan. Ada mimik khawatir di wajah mungil itu.
“Hmmm..” Masumi samar mengangguk. Tapi semua letihku hilang setelah bisa memandangmu seperti ini, Mungil,  bisik hatinya bahagia.
“Jadi, apa yang terjadi di Tokyo sampai anda mencari saya ke sini?” dengan tak sabar Maya kembali bertanya begitu dilihatnya Masumi meletakkan gelas minum di depannya.
Masumi tidak segera menjawab, malah tersenyum dengan mata tak lepas menatap Maya. Dilihatnya perlahan, pipi gadis itu merona merah. Tubuhnya pun mulai terlihat kikuk.
Baru saja Masumi hendak membuka mulutnya, seorang perempuan tua dengan tubuh agak gemuk membungkuk, masuk. Tersenyum ramah pada tamu yang ada di dalam rumahnya.
Masumi berdiri, lalu membungkuk hormat.
“Maaf, merepotkan anda,” ujar Masumi ramah.
Nenek Ashiya terkekeh riang.
“Dalam dua hari kedatangan tamu dari Tokyo merupakan suatu kehormatan anak muda. Duduklah. Kau baru melewati perjalanan panjang.”
“Terima kasih,” Masumi kembali duduk.
“Ah, sudah hampir waktunya makan siang. Aku akan ke dapur untuk masak.”
Maya bergegas berdiri mendengar hal itu.
“Maya. Kau tidak usah membantu. Lebih baik kau siapkan futon untuk tamu kita ini. Lihat wajahnya, dia pasti kelelahan. Suruh dia istirahat dulu.”
“Ah, nenek, Tidak perlu merepotkan. Biar saya mencari penginapan saja untuk istirahat.” Sergah Masumi.
“Ini desa terpencil, anak muda,” nenek Ashiya kembali terkekeh. “Penginapan terdekat bisa menempuh jarak dua jam dari sini. Sudahlah, kau istirahat saja. Biar Maya menyediakan futon untukmu,” ujar nenek itu lagi sebelum akhirnya beranjak menuju dapur.
Maya menatap wajah Masumi. Ada lingkaran hitam di sekeliling mata kelam itu, pertanda kalau laki-laki itu kurang istirahat. Wajahnya pun nampak kurus.
“Maafkan saya,” bisik Maya kemudian. Masumi mengerutkan kening.
“Untuk apa?”
“Saya....terlalu terkejut melihat anda berada di sini, sampai-sampai tidak memperdulikan kalau anda lelah.”
“Sudahlah, aku mengerti kok,” senyum Masumi.
“Akan saya siapkan futonnya dulu, “ Maya beranjak menyeberangi ruangan dan membuka lemari geser yang berada di sisi sebelah kiri. Diambilnya sebuah futon dan menggelarnya. Masumi memerhatikan dengan hati menghangat. Maya mempersiapkan futon untukku. Sebelum ini, bahkan untuk bermimpi membayangkan hal ini pun aku tidak berani.
Setelah membereskan selimut dan bantal, gadis itu kembali berdiri. Tersenyum manis ke arahnya.
“Istirahatlah dulu , Pak Masumi. Akan saya bangunkan saat makan siang nanti,”
Masumi mengangguk. Tubuhnya memang sangat letih dan matanya mengantuk sejak tadi.
Saat Maya menggeser fusuma,***** lelaki itu memanggil namanya.
Maya menoleh, menghentikan gerakan tangannya menggeser pintu kayu geser berlapis kertas itu.
“Tujuanku datang ke sini… hanya untuk melihatmu,” Masumi tersenyum hangat.
Maya tertegun, beberapa saat hanya berlutut menatap Masumi sambil mencoba mencerna ucapan laki-laki itu barusan.  Dadanya berdebar kencang saat melihat tatapan Masumi yang terlihat sangat lembut.
Keduanya masih bertatapan saat Maya perlahan menggeser fusuma sampai seluruhnya menutup, memisahkannya dengan Masumi yang kemudian merebahkan dirinya di atas futon. Tak lama kemudian laki-laki itu sudah terlelap dengan senyuman tipis di bibirnya.***

Jam di tangannya menunjukkan pukul dua lebih tujuh.
Badannya terasa lebih segar setelah membersihkan diri. Masumi menggeser fusuma dan melihat sekeliling. Tak ada seorangpun.  Bekas makan siang pun nampak sudah dibereskan. Dilihatnya ada bagian shoji yang terbuka di sayap kanan washitsu. Ada beranda di sana, menghadap ke sebuah kolam ikan kecil dan kebun tanaman obat yang nampak hijau.
Masumi bergerak melangkah. Senyumnya mengembang saat melihat sosok mungil yang dicarinya tengah asyik memperhatikan nenek Ashiya memetik beberapa tanaman. Masih dalam balutan tsumigi hijaunya. Hanya saja kini rambutnya digelung sederhana. Menyisakan anak-anak rambut di sekitar leher dan wajahnya yang putih bagai porselen.
Seketika perhatiannya tersedot pada sosok mungil itu. Senyum Maya kerap menghiasi bibir merahnya., matanya yang bersorot penuh semangat, pipinya yang merona, gerak tubuhnya yang nampak lembut dan menawan.  Dia suka semua itu. Suka cara Maya berkedip dan menggerakkan kepalanya, suka cara dia berbicara, cara dia tertawa, semuanya. Semuanya yang ada padamu, mungil.. aku memujanya.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat Maya menoleh, dan tersenyum.
“Ah, Anda sudah selesai mandi?” sapa Maya riang.  Masumi beringsut turun dan berjalan mendekati kedua perempuan itu.
“Anda terlihat lebuh segar!” Maya menatap dengan binar mata yang membuat Masumi menahan nafasnya sejenak.
“Air di sini sangat segar. Beda dengan air di Tokyo,” komentar Masumi.
“Tentu saja,” timpal nenek Ashiya. “Air di sini langsung mengalir dari gunung. Belum terkena polusi apapun,”
“Anda tahu? Bahkan kita bisa meminumnya langsung tanpa takut sakit,” sahut Maya.
“Ah, Maya,” tiba-tiba nenek Ashiya menegakkan kepalanya seolah teringat sesuatu. Lalu menoleh ke arah Maya. “Bukankah kemarin kau bilang ingin melihat tempat yang menjadi sumber air di sini?”
“Iya, Nek. Aku sangat ingin melihatnya. Nenek bilang mata air itu tidak pernah kering selama beratus-ratus tahun.”
“Memang betul. Nah, mumpung matahari tidak begitu terik lagi, kau bisa ke sana sekarang. Tinggal menyusuri jalan setapak di sebelah kuil yang tadi kita lewati, ke arah hutan,  kau bisa mencapai mata air itu.”
“Hmm..  nenek tidak ikut?’
Nenek Ashiya tertawa. “Nenek masih harus meramu obat untuk Pak Hirasawa. Biar besok kita bisa langsung memberikannya. Ajaklah Masumi bersamamu.”
Maya melirik Masumi.
“Anda… maukah menemani saya melihat mata air itu?”
Masumi tersenyum. “Dengan senang hati, Maya.”
Mereka berjalan bersisian. Untuk beberapa saat tak ada yang berbicara. Masumi diam-diam melirik Maya, mengagumi rona pipinya yang seakan tak pernah lekang dari penampilan gadis itu.
“Kau sangat cantik memakai tsumugi itu,” entah dari mana keberanian itu muncul, menggerakkan lidahnya untuk mengungkapkan keterpesonaannya akan Maya. Rona di pipi Maya kian memerah.
“Anda mengolok-ngolok saya,” sergah Maya kemudian. “Memakai tsumugi lusuh begini mana bisa dibilang cantik.”
“Hmm.. sepertinya kau harus mulai sedikit mempercayai pendapat orang.”
“Tapi kalau pendapat itu berasal dari anda, rasanya sulit untuk dipercaya,” sungut Maya. Masumi tergelak.
“Apakah aku separah itu, Mungil?” gelaknya. Dilihatnya Maya memiringkan kepala cantiknya sebelum menjawab.
“Sebenarnya tidak,” geleng Maya kemudian. “Jika dipikirkan, sebenarnya apa yang anda katakan hampir selalu benar. Hanya saja… seringnya saya selalu telat menyadarinya.”
Gelak Masumi memelan, menyisakan senyum di bibirnya.
“Jadi.. sekarang apa kau percaya?”
“Kecuali sekarang!” sergah Maya. “Dilihat dan dipikirkan dari manapun, saya ragu apakah pujian anda itu benar atau tidak. Memakai Tsumugi lusuh, badan dan wajah saya lengket karena keringat setelah sepagian ikut nenek Ashiya mengobati warga desa,  jangan-jangan anda mengatakan itu hanya dengan membandingkan saya dengan nenek Ashiya.”
Masumiterkekeh di sampingnya.
“Kurasa pendapat anda akan berubah jika pembandingnya adalah Ayumi, atau…tunangan anda..”
Masumi kembali melirik wajah mungil di sampingnya. Sekilas tadi, dia mendengar nada kesedihan dalam perkataan Maya.
Namun ekspresi Maya di sampingnya terlihat biasa saja.
“Hmm… mungkin kau benar,” sahut Masumi kemudian, masih tak melepaskan tatapannya dari wajah Maya. Dilihatnya wajah itu menegang, lalu merunduk sedih meski hanya untuk beberapa detik saja.
Diam-diam Masumi menahan senyum. Timbul keinginan untuk menggali perasaan Maya lebih dalam. Ekspresi Maya yang ditunjukkannya sekilas tadi menyiratkan bahwa sedikit banyak, gadis itu tidak menyukai apa yang barusan dikatakannya.
“Baik Ayumi ataupun Shiori, mereka sama-sama cantik. Sangat cantik malah. Dengan tubuh tinggi semampai, wajah sempurna, dan rambut yang indah, siapapun yang melihat mereka pasti memiliki pendapat yang sama, kecantikan mereka luar biasa,” Masumi memutuskan untuk melanjutkan rencananya memancing ekspresi Maya. Dan berhasil! Wajah Maya nampak menekuk,  ada bias tidak suka terpancar di sana.
“Sedangkan kau…”
“Sudahlah!” sergah Maya cepat. “Saya sudah tahu betul bagaimana penampilan saya tanpa anda harus mendeskripsikannya sekalipun!” Maya melirik Masumi sebal sebelum mempercepat langkah meninggalkan laki-laki itu.
“Hei, aku kan belum selesai bicara!” seru Masumi.
“Tak perlu! Saya sudah tahu apa yang akan anda katakan!” balas Maya sambil berbelok ke samping kuil, memasuki jalan setapak menuju hutan.
“Hei.. hei..” Masumi bergegas menyusul. Tak memerlukan waktu lama baginya untuk kembali menjajari langkah gadis itu.
“Aku baru tahu, selain keras kepala, kau juga ternyata sok tahu,” senyumnya kemudian. Maya menghentikan langkah, menoleh cepat dan menatap Masumi dengan mata bulatnya.
“Siapa yang sok tahu?” ujarnya kemudian dengan ketus. “Bukankah anda akan mengatakan kalau saya pendek, wajah  pas-pasan, dan…”
“Dan kau sangat mempesona!” potong Masumi cepat, membuat Maya terperangah kaget.
Rona pipi gadis itu terlihat semakin nyata.
“Jangan menatapku seolah aku ini pembohong besar,” keluh Masumi. Mati-matian ia menahan keinginannya untuk menyentuh pipi  yang terlihat demikian menggoda di depannya. Ah, benar-benar.. desahnya putus asa. Apa kau tidak menyadarinya, Maya, wajahmu itu, sungguh sudah sangat menawanku . Aku bisa gila jika harus terus menerus menahan diri seperti ini.
“Kenyataannya memang..”  Maya tertegun, tidak meneruskan perkataannya. Gadis itu memalingkan wajahnya dari pandangan Masumi dengan gugup.
Masumi mulai tersadar. Ia  terbawa suasana hatinya sesaat tadi.
Kembali laki-laki itu tersenyum menyadari wajah Maya yang merah padam.
“Sudah kukatakan kau harus mulai mempercayai pendapat orang, Mungil, termasuk pendapatku tadi,”  bisik Masumi. Sekali lagi Maya menoleh, namun tak berkomentar apapun.
“Siapapun yang mengenalmu, akan mengatakan hal yang sama denganku. Kau memang sangat mempesona, Maya,” lanjut Masumi lagi. Dadanya berdebar kencang menyadari dirinya tengah mencoba mengungkapkan perasaannya kepada gadis itu. 
Maya hanya terdiam. Ekspresinya sulit dibaca kini.
Tanpa berkata apapun, Maya kembali melangkah. Masumi mendesah dengan hati penasaran. Apakah Maya bisa memahami ungkapan perasaanku tadi?
Dengan gemas ia kembali menjajari langkah Maya. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Di kiri kanan jalan setapak mulai dipagari pohon-pohon yang cukup besar. Sinar matahari pun terasa tak begitu terik lagi.
Sebuah suara membuat Maya terperanjat. Gadis itu menghentikan langkah. Tangannya refleks menyambar lengan Masumi dan menggenggamnya erat. Sesaat Masumi terkejut dengan reaksi Maya, namun kemudian tertawa kecil.
Dibalasnya genggaman tangan gadis itu.
“Jangan takut. Itu hanya suara monyet,” ujar Masumi pelan. Maya nampak masih meredakan rasa terkejutnya.
“Monyet?”
Masumi mengangguk. Dihelanya Maya untuk melanjutkan kembali langkah mereka.  Maya menurut, sampai beberapa saat kemudian ia menyadari bahwa tangan berada dalam genggaman Masumi.
Gadis itu mencoba melepaskan diri. Namun tangan itu tak bergemig, malah menggenggamnya kian erat.
Setelah mencoba beberapa kali tanpa hasil, nampaknya gadis itu kemudian menyerah.  Masumi diam-diam tersenyum saat lengan Maya kembali tenang dalam genggamannya.
“Bagaimana latihan bidadari merahmu, Mungil?” tanya Masumi setelah beberapa saat keduanya hanya terdiam.
“ Latihan kami lancar, saya  senang Pak Kuronoma mengijinkan saya untuk datang ke sini selama seminggu di sela-sela latihan kami,” jawab Maya.
“Itu yang ingin aku tanyakan. Mengapa kau memutuskan untuk kembali ke sini? Apakah latihanmu dengan Bu Mayuko dulu tidak cukup?”
“Dulu saya hanya mendalami perasaan bidadari merah. Sedikit sekali waktu yang  saya pakai untuk mendalami kehidupan keseharian Akoya, selain kisah cintanya. Jadi saya pikir, tak ada salahnya mencoba merasakan hidup sebagai Akoya, meski pun hanya seminggu. Dan saya beruntung, bisa bertemu dengan nenek Ashiya, yang ternyata juga adalah peramu obat.”
“Hmm.. jadi kau berniat tinggal selama seminggu di sini?”
“Sebenarnya kalau mungkin sih lebih lama lagi. Sayang Pak Kuronoma tidak mengijinkanku meninggalkan latihan lebih dari satu minggu,” Maya mengerutkan hidungnya lucu.
“Itu artinya aku cuma punya waktu tiga hari,” gumam Masumi, membuat Maya melemparkan tatapan heran padanya.
Masumi tersenyum. Diremasnya lengan Maya dalam genggamannya dengan lembut.
“Tapi kurasa aku bisa menyuruh Mizuki mengatur ulang jadwalku lagi, jadi aku bisa pulang kembali ke Tokyo di waktu yang sama denganmu,” ujarnya riang tanpa mempedulikan tatapan keheranan Maya.
“Anda belum mengatakan padaku mengapa anda datang ke sini,” didengarnya Maya berkata pelan. Mereka masih bergandengan, tepatnya, Masumi masih menggenggam lengan Maya, berjalan pelan menyusuri jalan yang semakin lama semakin menanjak.
“Bukankah sudah kukatakan aku datang untuk menemuimu?”
“Iya, tapi pasti ada tujuannya kan, menemui saya?”
“Sampai kapan kau bicara akan bicara seformal itu padaku, Maya?”
“Pak Masumiiii…,” Maya mengeluh kesal. “Kenapa sih, tidak anda jawab saja langsung pertanyaan saya?”
“Hhh.. baiklah, “Masumi menghela nafas pelan.  Lalu terdiam beberapa saat, berfikir sambil berusaha untuk meredakan kegugupannya. Sungguh memalukan, pikirnya. Aku, direktur Daito yang tidak pernah kesulitan untuk melobi klien manapun, kini sulit sekali mencari kata-kata untuk menyatakan perasaanku sendiri.
Namun akhirnya ia memutuskan untuk bicara jujur.
“Maya,” kembali laki-laki itu menghela nafas. Meredakan jantungnya yang berdegup kian kencang. Tanpa disadari genggamannya pada lengan Maya kian mengetat.
“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, maukah kau menjawab pertanyaanku dulu dengan jujur?”
“ Anda ini bertele-tele sekali,” sungut Maya.
“Jawab saja, mau atau tidak?” sergah Masumi kesal.
“Itu semua tergantung pertanyaan anda,” jawab Maya.
“Ya sudah, aku pun tidak akan mengatakan padamu alasanku datang ke sini.”
“Ih, merajuk,” ledek Maya.
“Siapa yang merajuk, aku cuma minta kau jawab pertanyaanku dulu, susah amat sih,” Masumi membela diri.
“Pertanyaan dijawab pertanyaan. Jika cara anda menjawab pertanyaan orang seperti itu, saya jadi ragu apakah benar anda itu Direktur Daito.”
“Mayaaa…!” Masumi melotot menatap gadis mungil yang kini nampak mengulum senyuman geli.
“haah..baiklah. Lagipula saya memang penasaran mendengar alasan anda jauh-jauh datang ke sini hanya untuk bertemu dengan saya,” akhirnya Maya mengalah. Lalu menoleh memandang Masumi. “Jadi apa pertanyaannya?”
“Sudahlah, lupakan pertanyaannya,” ujar Masumi sambil merengut.
“Maraaahh…,” Maya melompat selangkah ke hadapannya. Masumi tahu gadis itu kini tengah tersenyum memandang wajahnya.
“Aku akan jawab langsung pertanyaanmu,” ujar Masumi lagi. Wajah yang  berada di hadapannya itu berubah antusias.
“Aku menemuimu di sini karena…… karena…,” Masumi menelan ludah. Mengumpulkan keberaniannya untuk melanjutkan kalimatnya. Maya menunggu dengan mata bersinar penuh keingintahuan.
“Aku menemuimu di sini karena aku sangat merindukanmu!”
Maya mundur selangkah tanpa sadar. Wajah nampak terkejut, mulutnya sedikit menganga dan matanya bulat menatapnya. Namun tiba-tiba..
Kreeekk..!!
Bunyi ranting patah membuat Maya semakin kaget. Rupanya kakinya menginjak sepotong dahan kering kecil hingga patah. Saking kagetnya, pijakan Maya menjadi kurang kuat dan ia mulai oleng. Sebelum Masumi tersadar dengan apa yang terjadi, miringnya jalan yang mereka tapaki membuat tubuh Maya limbung menubruknya. Hasilnya,  Masumi pun kehilangan keseimbangan. Tangannya masih sempat merengkuh tubuh Maya sebelum akhirnya tubuh keduanya terjerembab ke tanah dan bergulingan ke arah jalan yang menurun beberapa kali.
Maya terpekik panik. Reflek lengan Masumi semakin erat memeluknya, seolah takut tubuh mungil itu terluka akibat tubuh mereka yang terguling tanpa kendali. Sebelah lengannya melindungi kepala gadis itu dan sebelah lagi memeluk pinggang Maya erat.
Gulingan mereka terhenti berkat sebuah batang kayu yang melintang menahan laju tubuh keduanya. Masumi mengerang, merasakan benturan yang cukup keras di kepalanya. Saat bergulingan tadi, beberapa kali ia membentur dan melindas benda keras, yang membuatnya merasa sakit sekujur tubuh.
Dalam pelukannya Maya terdiam tak bergerak.
“Maya?” dengan susah payah Masumi mencoba bangun. Meraih tubuh Maya yang nampak lemas.
“Maya?” diguncangnya tubuh itu itu pelan. “Kau baik-baik saja?” hatinya cemas melihat betapa pucatnya wajah gadis itu.
Masumi menghela nafas lega saat dilihatnya mata Maya mulai terbuka.
“Benar-benar tidak romantis,” gumam Maya pelan. Masumi mengerutkan keningnya heran.
“Gadis lain biasanya mendengarkan pernyataan rindu seorang laki-laki sambil mendengarkan musik romantis, atau sambil makan malam di restoran yang temaram, atau minimal, sambil menerima buket bunga yang indah. Sedangkan ini? Hhh… sudah di dalam hutan, pake acara jatuh segala.”
Masumi terperangah. Meskipun sambil bersungut, namun mata bening Maya yang kini menatapnya, nampak berbinar jenaka.
Masumi meringis. Lalu lengannya terangkat untuk mengacak rambut Maya lembut.
“Kau  ini,” ujarnya pura-pura kesal. “Setidaknya hargai sedikit, kek, usahaku tadi. Tidak tahu apa, jantungku berlompatan tak keruan saat mengatakan itu.”
“Mengatakan apa?” Maya mendongak, menggodanya.
“Maya Kitajima!” pelotot Masumi. Maya tergelak. Matanya kian berbinar riang.
“Aku sungguh-sungguh ingin mendengarnya lagi,” ujarnya kemudian. Masumi menghela nafas.
“Kau harus bertanggung jawab karena memaksaku mengatakannya lagi.”
“Siapa takut,” tantang Maya.
“Aku merindukanmu.”
“Sekali lagi.”
“A-ku-me-rin-du-kan-mu.”
“hmmmm?”
“AKU RINDU KAMU, MAYA KITAJIMAAAA!!” teriak Masumi, setengah kesal. Dan reaksi Maya selanjutnya kembali membuatnya kaget.
Gadis itu memeluknya erat!
Dengan keharuan yang tiba-tiba meluap, Masumi mengetatkan pelukannya. Di dengarnya Maya terisak di sela lehernya. Cairan hangat menetes satu-satu membasahi  bahunya.
“Aku pun sangat merindukan anda,” didengarnya Maya berbisik. Hati Masumi menggembung bahagia.
“Dua bulan ini aku sungguh sangat ingin bertemu, tapi anda sulit sekali untuk ditemui. Bahkan setelah pertunangan anda dibatalkan pun,  Anda seperti menghilang. Aku sangat khawatir, aku sangat sedih. Kupikir anda sudah melupakanku.”
“Bodoh, aku tak mungkin melupakanmu, Maya,” Masumi mengecup bahu gadis itu lembut. “Dua bulan ini akupun begitu tersiksa karena merindukanmu.”
“Lalu mengapa Anda tidak pernah menemuiku!” sergah Maya tiba-tiba. Gadis itu merenggangkan pelukannya, menatap Masumi dengan wajah bersimbah air mata.
“Maafkan aku, Mungil. Aku hanya ingin semua cepat selesai dan segera bisa menyelesaikan semua urusanku dengan keluarga Takamiya. Makanya aku menguatkan hati untuk tidak menemuimu dulu dua bulan ini. Tapi aku tak tahan. Hampir gila rasanya harus memendam rindu terus menerus sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyusulmu ke sini.”
“Apa sekarang, semuanya sudah selesai?”
“Hampir. Sedikit lagi.”
“Lalu mengapa anda kemari? Harusnya selesaikan dulu urusan anda dengan...”
          “Maya Kitajima!” potong Masumi cepat. Dipandanginya wajah Maya dengan gemas.
          “A..apa?”
          “Kau ini plin-plan sekali. Baru saja kau marah-marah karena aku tidak menemuimu dua bulan ini. Sekarang, setelah aku di sini, kau malah protes dengan keberadaanku. Benar-benar, deh..”
          “Habisnya…” Maya menunduk malu. “Nanti urusan anda dengan keluarga Takamiya tidak selesai-selesai dan.. dan.. anda..”
          “Kau takut aku tidak pernah lepas dari keluarga Takamiya?”
          Maya mengangguk pelan.
          “Apa kau cemburu pada Shiori?”
          “Pak Masumiii..!”
          “Kau cemburu bukan?”
          Maya merengut. “Apa aku harus mengatakannya?”
          Masumi tergelak. Lalu kembali direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya. Dirasakannya lengan Maya merangkul punggungnya lembut.
          “Tak apa. Aku senang, kok, dicemburui.”
          Dirasakannya Maya memukul punggungnya pelan.
          “Aku mencintaimu Maya. Sangat mencintaimu,” bisik Masumi penuh perasaan. Maya mengangguk-angguk di dadanya. Masumi merasakan dadanya hangat.
          “Hei, kau menangis lagi?” senyumnya. Kepala cantik itu nampak menggeleng.
          “Pembohong,” desis Masumi .” Hei, sudah. Angkat kepalamu!”
          Maya kembali menggeleng.
          “Mayaaa.. kemejaku basah nanti.”
          Akhirnya Maya mengangkat kepalanya. Menatap Masumi dengan mata berbinar indah. Ada pancaran cinta di sana, yang membuat Masumi merasakan jantungnya kembali berlompatan tak karuan.
          “Aku juga sangat mencintaimu, Pak Masumi,” bisik Maya, malu-malu. Wajahnya merona merah.
          Kini dada Masumi seolah meledak karena bahagia.
          Pelan, ia menundukkan wajah. Tak tahan untuk mengecup bibir mungil nan merah yang pernah diciumnya diam-diam dulu. Yang kerap membuatnya sangat tersiksa hanya dengan mengenang manisnya bibir itu. Yang sudah membuatnya merana karena menyangka tak akan pernah merasakannya lagi.
          Sikap Maya yang diam membuatnya semakin berani. Wajah mereka kian mendekat dan…
          “Ahhh!!”
          Cepat Masumi menarik kepalanya dengan kaget. Mata Maya nampak terbelalak menatapnya.
          “Berdarah!” seru gadis itu. Lengannya cepat terulur ke arah dahinya.
          “Dahi anda berdarah, aduuuh… bagaimana ini?!” Gadis itu meronta bangun dan mendekap kepalanya dengan panik. Masumi meraba dahinya. Ujung jemarinya merasakan cairan hangat di sana.
          “Maya, tak apa-apa. Tidak begitu parah, kok,” ujar Masumi mencoba menenangkan kepanikan Maya. Tapi nampaknya gadis itu tidak mendengar.
          “Aku tidak bawa sapu tangan.. aduuh.. anda harus segera diobati..ah.. kita kembali saja ke rumah! Nenek Ashiya pasti bisa mengobati anda.. ya..ya.. kita kembali saja.”
          “Maya!” Masumi dengan gemas menarik kembali gadis itu ke dalam pelukannya. “Kau ini berisik sekali,” bisiknya sebelum akhirnya bibirnya memangut bibir Maya. Dirasakannya kedua lengan Maya menegang, mencengkram kemejanya erat. Namun beberapa saat kemudian, kedua lengan Maya berpindah, melingkari lehernya, seiring melemasnya bibir gadis itu yang mulai membalas ciumannya lembut.
          Wajah keduanya merona saat ciuman mereka terlepas. Untuk menutupi rasa malunya, Maya menyusupkan kepalanya ke dada Masumi. Masumi tertawa, mendekapnya erat dan mengecup hangat ujung kepala Maya.
          “Kita pulang,” bisiknya lembut.
          Maya mengangkat wajahnya. Mengangguk.
          Masumi mendahului bergerak bangun dan…
          “Arghhh...!” keningnya berkerut menahan sakit.
          “Kenapa?” Maya menatap panik.
          “Kurasa… kakiku… terkilir,” ringis Masumi. “Apa kau bisa menggendongku pulang?”
          “Apaaaaa???!!” ***


          Sebulan kemudian.

          Tepuk tangan membahana memenuhi ruangan pertunjukkan di gedung Daito. Maya menutup mulutnya, menahan pekikan girang saat Bu Mayuko mengumumkan bahwa dialah yang mendapatkan peran Bidadari Merah dan mendapatkan hak pementasannya. Ratusan blitz kamera segara menghujaninya. Lampu panggung pun menyorot tubuh mungilnya yang dibalut gaun berwarna ungu muda.
          Maya menyambut pelukan dari rivalnya, Ayumi, yang mengucapkan ucapan selamatnya dengan tulus.
          Turun dari panggung, Masumi menyambutnya dengan pelukan hangat. Maya menatapnya dengan mata berbinar bahagia.
          “Selamat, sayang,” senyum Masumi. “Kau pantas mendapatkannya.”
          “Semua karenamu, Masumi. Kau yang selalu mendukungku selama ini, terima kasih,” Maya balas tersenyum diantara genangan air matanya. Dengan lembut, Masumi menghapus air mata kekasihnya, lalu merunduk, mencium bibir mungil itu dengan penuh perasaan.
          Tepuk tangan dan ratusan blitz mengabadikan adegan itu.
          Seminggu yang lalu, sehari setelah pertunjukkan percobaan, Masumi resmi melamar Maya. Dan kemarin, mereka mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan pertunangan mereka.
          Penantiannya selama delapan tahun terbayar dengan indah.
          Masumi menatap kekasihnya dengan cinta yang meluap.
          “Love you,” bisiknya.Bahagia.


                                      *** Love you_ end***


(*) Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.
** Penyekat/ pintu dorong yang dilapisi kertas yang tembus cahaya. Jika dipasang permanen maka berfungsi sebagai jendela.
*** ruangan serba guna yang merupakan ruangan utama dalam struktur rumah tradisional Jepang.
****Alas duduk  khas Jepang.
*****Sejenis shoji, bedanya, dalam  fusuma, kertas yang digunakan tidak tembus pandang.

1 komentar: