Sabtu, 16 Juli 2011

Please, Be with Me..







Setting: 3 bulan setelah Maya terpilih menjadi Bidadari Merah



“Kondisiku semakin buruk,” Maya menatap ayumi dengan pandangan getir. Mata ayumi sudah tergenang oleh air mata. “Mungkin malam ini, pementasan terakhirku..”
          “Aku tidak mengijinkanmu berkata begitu!” sergah Ayumi cepat. “kau akan sembuh, Maya. Kita akan segera menemukan kakakmu!”
          “Tadi pagi, dokter bilang prosentasi darah putihku meningkat tajam.  Sepagian ini aku juga terus mimisan. Baru berhenti setelah disuntik. Aku tahu, aku tak punya waktu banyak untuk menunggu,” senyum Maya. Gadis itu kemudian mengeluarkan sebuah map dari tasnya.
          “Sudah aku urus semua. Ini salinan surat wasiatku. Hanya kau yang bisa aku percaya untuk memegang Hak Bidadari Merah, Ayumi. Pengacaraku akan menyerahkan yang aslinya padamu begitu waktunya tiba.”
          “Tidak!” geleng ayumi. “Aku tidak mau menerimanya!”
          “Aku mohon.. Hanya kau yang aku percaya..” mati-matian Maya menahan air matanya agar tidak keluar. Di depannya ayumi sudah terisak-isak. Dengan tangan gemetar, ia menerima amplop itu.
          “Amplop ini tidak akan pernah dibuka. Aku yakin itu..” ayumi menatap Maya dengan pandangan berapi-api. Maya tersenyum. Lalu bangkit dan mengitari meja, untuk kemudian memeluk saingan sekaligus sahabatnya itu. “ Terima ksaih sudah membantuku selama ini, Ayumi. “
          Segera ia berlalu sebelum air matanya runtuh. Sementara Ayumi masih terisak di tempat duduknya. ***
          Maya duduk di depan meja riasnya dengan badan gemertar. Semua sendi tubuhnya terasa sakit. Ya, Tuhan..bisiknya pelan. Hanya malam ini, beri aku kekuatan untuk malam ini..
          Saat Koji memanggilnya karena pertunjukan akan segara di mulai, Maya menjawabnya tanpa melihat pemuda itu, untuk menyembunyikan percikan darah yang baru saja keluar dari hidungnya.
          Masumi duduk terpaku di kursinya.  Berdebar menatap semua gerakan sang bidadari merah di panggung. Bidadarinya, bidadari yang sangat dirindukannya. Sudah tiga bulan berlalu sejak dia memutuskan untuk meninggalkan Maya demi Shiori, yang mencoba bunuh diri saat dia mengatakan ingin memutuskan pertunangan mereka. Tiga bulan dia mati-matian menekan rindunya untuk tidak menemui gadis itu. Rasa sakit masih dirasakannya saat terakhir mereka bertemu. Maya menatapnya, menangis tanpa suara.
          “Mungil…” bisik Masumi. “Sayangku… betapa aku merindukanmu.”
          Dia tidak perduli lagi dengan pandangan cemburu dari Shiori yang duduk di sampingnya.
          Lamunan terurai saat tepuk tangan membahana. Pertunjukkan telah usai. Ini kali terakhir dia bisa melihat gadis itu,  kali terakhir. Karena tiga hari lagi, pernikahannya dengan Shiori akan dilangsungkan.
          Menyadari hal itu, tubuh Masumi bergetar hebat. Terakhir…? Tidak.. aku tidak mau ini untuk yang terakhir.  Kepanikan muncul saat tirai diturunkan, menutupi sosok gadis tercintanya.
          Matanya nyalang menatap ke arah panggung. Tirai kembali dibuka untuk memperlihatkan semua pemain. Gadis yang dirindukannya masuk terakhir. Berada ditengah dengan segala sanjungan dan pujian. Masumi tak mau mengedipkan mata. Gadis itu tidak boleh hilang dari pandangannya, tidak  boleh.
          Jantungnya bedegup kencang, saat dilihatnya sosok mungil tersebut tiba-tiba limbung dan terjatuh, diiringi pekikan panik dari semua.***
          “Akhirnya selesai juga,” bisik Maya terengah di belakang panggung. Lengannya erat memegang tiang panggung untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Akhirnya selesai juga..”
          “Maya mereka memanggilmu!” Kuronoma menengokkan kepalanya dan terheran-heran melihat betapa pucatnya gadis itu. Tubuh Maya nampak gemetar.
          “kau baik-baik saja?” tanyanya mendekat. Maya tersenyum. Mengangguk menenangkan.
          “Ayo kita ke depan..” senyumnya.
          Saat berjalan ke tengah panggung, Maya merasakan pandangannya mulai beriak tak jelas. Kakinya pun seolah tidak menapak, serasa melayang. Dia masih mencoba untuk tersenyum, sebelum akhirnya riak itu berubah jadi kegelapan yang pekat, yang melingkupinya tiba-tiba.***
          “Panggil ambulan!!! Cepaaaaat!!! “ ayumi berteriak panik seraya melompat dari kursinya dan memburu tubuh Maya yang tergeletak, ditopang Kuronoma yang terlihat kebingunga. Diantara semua, hanya Ayumi yang tahu pasti apa yang terjadi dengan Maya.
          Ayumi merangkul tubuh maya dan memeluknya erat. Penonton di bawah berdiri dengan tegang. Sementara Masumi dengan tubuh gemetar mendekat.. nafasnya sesak  dengan perasaan takut yang amat sangat.
          “ Maya bodoh!! Buka matamu… buka bodoh! Kau tidak boleh seperti ini.. Maya..!!”
          Tapi Maya tidak merespon sedikitpun. Tubuhnya terasa dingin. Darah segar mengalir dari hidungnya.
          “Maya.. Aku sudah menemukan kakakmu. Dia akan datang sebentar lagi.. Kau akan sembuh Maya… MAYA… kau jangan menyerah!! JANGAN MENYERAAH.. !!! BANGUUUN!!”
          Ayumi menangis histeris. Utako, ibunya mendekat lalu memegang bahu putrinya.
          “Ayumi…”
          “Mana ambulannya? Mengapa begitu lama?” Ayumi menatap ibunya dengan mata penuh air.
          “Sabarlah.. sebentar lagi datang..”
          “Dia tidak boleh mati, maaa… Tidak boleh…”
          Utako memeluk putrinya seraya menangis. Dia baru tahu tentang penyakit Maya dari Ayumi tadi sore. “Maya akan baik-baik saja. Dia akan sembuh sayang.”
          Masumi kian mendekat. Nafasnya memburu saat dilihatnya wajah pucat Maya dalam pelukan ayumi.
          “apa itu darah?” pikirnya saat melihat Ayumi membersihkan cairan merah yang keluar dari hidung Maya. “Kenapa mungilku berdarah?” Pikiran itu terus berkecamuk.
          ‘Dia… kenapa?”pertanyaan lemah itu akhirnya keluar dari mulutnya. Utako yang mendengarnya berdiri, menatap getir laki-laki yang ia tahu, sangat mencintai Maya dengan segenap jiwa raganya itu.
          Diliriknya Shiori yang takut-takut mendekat.
          “Leukeumia akut,” jawab Utako pelan. “Ayumi bilang, kemungkinan Maya tidak akan bisa melewati musim semi ini.
          Suara pekikan tertahan banyak terdengar. Bahkan kemudian suara tangis dan isakan dari penonton di bawah panggung, juga teman teater Maya. Mereka sangat shock mendengar ucapan Utako.
        Masumi merasakan telinganya berdenging. “Anda bilang apa? Siapa yang tidak akan bertahan..? “ gumamnya. Utako menatap laki-laki itu dengan pandangan semakin sedih. Masumi tengah berada dalam keadaan shock.
          Masumi semakin mendekati tubuh Maya. Lalu berjongkok, dan pelan mengambil alih tubuh mungil belahan jiwanya itu dari tangan ayumi.
          “Maya…” dengan lembut dipanggilnya nama gadis itu. “Gadis bodoh, mengapa tidur di panggung seperti ini?” Masumi tersenyum getir. “Apa latihanmu begitu sulit sampai kau tertidur seperti ini?” Di belainya wajah Maya. “Mungil.. bangun… Buka matamu… aku akan mengantarmu pulang..”
          Isak tangis kian terdengar. Ayumi menyusupkan wajahnya di dada ibunya, tak tahan melihat ekspresi Masumi yang seperti itu.
          Shiori terpaku. Tingkah Masumi yang seperti orang linglung membuatnya takut.  Wajah Masumi nampak lembut memandang Maya, meski satu persatu air mata menetes ke pipi laki-laki itu.
          “Mungil… bangun sayang.. Jangan menggodaku seperti ini..” Masumi mengguncang tubuh Maya.
          “Masumi..” Utako menyentuh bahu laki-laki itu.  Dokter dan petugas ambulan sudah datang  lengkap dengan peralatan medis mereka.
          Pelan Kuronoma membantu Masumi untuk bangun. Laki-laki itu masih nampak linglung, memerhatikan petugas medis yang memasang berbagai alat di tubuh Maya.
          Semuanya serasa berubah menjadi gerakan slow motion di matanya. Otaknya jadi sulit mencerna apa yang tengah terjadi. Laki-laki itu pun tetap pada posisinya saat petugas membawa tubuh Maya. Tak bergerak. Bahkan sampai semua penonton keluar dari gedung teater.
          “Masumi ayo pulang,” masih dengan perasaan takut, Shiori menyentuh lengan tunangannya. Tak ada reaksi.
          Sementara Mizuki yang melihat semua itu memandang atasannya dengan rupa khawatir. Dia yakin, jika sesuatu terjadi dengan Maya, boss nya itu akan menjadi gila.
          Lama Masumi terpaku. Bayangan tubuh Maya yang tergeletak terus membayang di matanya, tapi entah mengapa, sekuat tenaga hatinya menolak pikiran yang terus melintas. Dia memilih untuk mengosongkan pikirannya. Lebih baik begini, perintah bawah sadarnya.
          “Ayo pulang..” akhirnya Masumi menemukan suaranya. Lalu laki-laki itu berbalik pergi diikuti Shiori yang tergesa mengejar.***
          Eisuke memandang wajah Masumi yang terdiam menyuap sarapan di depannya. Hatinya berdesir dingin. Wajah itu begitu kosong. Sejak pulang dari pertunjukkan semalam, laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya. Ia sempat khawatir, namun saat diintip ke dalam kamar, Masumi nampak tertidur.
          Baru pagi ini disadarinya putranya itu seperti orang linglung. Tatapan matanya kosong. Wajahnya sekeras batu. Semua gerakannya seolah sudah terprogram.
          Rasa khawatir menyeruak. Ah, si Dingin ini pasti sangat terpukul dengan komanya Maya.
          Berita terakhir tadi pagi, Maya masuk ICCU. Koma.
          Tapi Masumi tak menunjukkan gelaja akan ke rumah sakit.
          “Masumi..” panggil Eisuke akhirnya. “Apa rencanamu hari ini?”
          “Seperti biasa. Bekerja,” jawab Masumi singkat.
          “Bukankah hari ini kau gladi resik di gereja?”
          “Hmm..”
          Dingin. Tanpa reaksi.
          Masumi mengelap mulutnya dengan serbet.
          “Aku pergi..”
          Langkahnya nampak kaku. Pandangan matanya tetap kosong. Wajahnya tanpa ekspresi.
          Saat Gladi resik, lelaki itu seperti robot. Tidak  bicara sedikitpun dan menurut saja semua yang telah dijadwalkan. Shiori bergidik saat melihat betapa kosongnya pandangan Masumi.
          Lelaki itu, meski raganya di sampingnya, tapi jiwanya entah berada di mana.
          Saat gladi resik selesai, tanpa berkata apapun Masumi menuju mobilnya, meninggalkan Shiori yang menahan tangis.
          “Kakek..” isak Shiori. “Apa aku sudah melakukan kesalahan besar?”
          Tuan Takamiya hanya mendesah. Sejak awal dia tahu, kesediaan Masumi menikah dengan cucunya hanya sebagai bentuk tanggung jawab, atas percobaan bunuh diri Shiori.
          Masumi Hayami, melepas cinta sejatinya demi hidup cucunya.
          Dan kini, cinta sejatinyalah yang justru berada di ambang kematian.
          Jika dia jadi Masumi, dia pun akan sangat membenci kenyataan itu. Sama halnya seperti yang tejadi kepada Masumi saat ini. Lelaki itu sedang mencoba mengabaikan kenyataan.
          “Shiori…” akhirnya lelaki itu berkata. “Sudah saatnya kau melepas lelaki malang itu..”
          Shiori menangis sesegukan dalam pelukan kakeknya.***
          Jalanan cukup macet sore itu. Masumi duduk di dalam mobilnya, memandangi lampu jalanan yang satu persatu menyala. Mobilnya berjalan agak lambat. Di perempatan, sebuah big screen memperlihatkan suasana sebuah rumah sakit, dimana seseorang nampak diturunkan dari ambulan dan bergegas dilarikan ke dalam rumah sakit.
          Banyak pengawal yang menghalangi reporter.
          Lalu beberapa dokter nampak bicara. Tayangan seorang gadis yang yang sedang ditangani beberapa orang berpakaian hijau nampak di samping dokter yang sedang bicara.
          “Ah.. itu gadis mungilku..” senyum Masumi. “Apa dia sedang bermain di drama tentang rumah sakit?” pikirnya.
          Sesuatu melintas di pikirannya, Tapi cepat ia enyahkan.
          Mobil mulai melaju lagi, begitu lampu berganti hijau.  Menuju Daito Tower.***
          Koji duduk termangu di depan ICCU. Semalaman dokter mencoba menyelamatkan Maya. Dan sekarang, gadis itu nampak terbaring lemah dengan segala macam peralatan medis di sekujur tubuhnya.
          “Kenapa aku tidak pernah sadar kalau dia sedang kesakitan?” bisiknya pedih. Nafas Maya terlihat berat. Matanya terpejam. Masker yang menutupi hidung dan mulutnya membuat wajahnya terlihat semakin pucat.
          “Apa yang sedang kau impikan sekarang, Maya? Mengapa tidurmu begitu nyenyak? Sampai-sampai kau tidak mendengarkan teriakan teman dan sahabatmu yang terus memanggil namamu? Apakah kau tidak mendengarku? Siapa yang akan kau dengar, agar kau mau membuka matamu?”
          Pikirannya melayang ke sosok Masumi Hayami. Sejak Maya dilarikan ke rumah sakit, lelaki itu tidak nampak.
          Koji mengetatkan gerahamnya. Tiba-tiba saja amarah melingkupinya. “Laki-laki itu… benar-benar keterlaluan!”
          Dengan langkah tergesa ia kemudian meninggalkan ruang ICCU.***
          Brakk!!
          Pintu tiba-tiba terbuka lebar. Koji berdiri dengan wajah menahan emosi. Seorang Satpam tergopoh-gopoh ikut masuk dan mencoba menarik Koji keluar.
          “Ma.. maaf, Tuan. Orang ini memaksa masuk,” ujarnya takut-takut. Masumi yang tengah mempelajari beberapa dokumen menatap dingin ke arah Koji.
          “Biarkan dia masuk,”
          Satpam membungkuk hormat lalu keluar. Koji menghampiri Masumi dengan langkah lebar.
          “Kau benar-benar keterlaluan, Pak Masumi!” desisnya marah.
          “Jaga bicaramu, anak muda,” ujar Masumi dingin.
          “Maya sedang sekarat di rumah sakit, kau bahkan tidak menengoknya sekalipun,”
          “Maya? Dia hanya sedang akting. Dia mungkin sedang memerankan gadis yang sedang sakit sekarang,” jawaban Masumi membuat Koji terbelalak.  Saat melihat mata dan ekspresi Masumi, barulah pemuda itu sadar, laki-laki di depannya sedang mencoba menolak kenyataan.
          Ah.. mungkin dia benar-benar mencintai Maya, sampai-sampai dia tidak mau mengakui bahwa Maya kini memang tengah sekarat.
          Amarahnya surut seketika. Pelan ia mendekati Masumi.
          “Pak Masumi.. Maya tidak sedang berakting,” ujarnya pelan.
          “Apa maksudmu?” Masumi menatap tajam.
          Koji melirik koran yang masih terlipat rapi di meja sofa di sampingnya.  Dia tahu, halaman depan koran itu memuat tentang komanya sang bidadari merah.
          Gambar Maya yang tengah diangkut ke ambulan terpampang besar dengan judul, “ Komanya sang Bidadari”
          “Maya… benar-benar sedang sakit,” bisik Koji seraya menunjukkan artikel itu di hadapan Masumi. Wajah dingin lelaki itu mengeras.
          “Itu… bohong,” suara laki-laki itu seperti sedang tercekik.
          “Tidak Pak Masumi, itu benar. Maya tengah koma di rumah sakit.”


Seorang laki-laki muda, berbadan cukup tegap melangkah mendekati bagian informasi. Wajahnya terlihat lelah dengan tas besar tersampir di punggungnya.
          “Maaf, dimanakah Nona Maya Kitajima dirawat?” tanyanya pada seseorang di bagian informasi.
          “Nona Maya Kitajima? Apakah anda salah seorang fansnya?”
          “bukan,” gelengnya. “Saya… kerabatnya.”
          “Siapakah nama anda?”
          Kening laki-laki itu berkerut. Sangat mengherankan jika pihak rumah sakit mennyakan nama orang yang akan menjenguk pasien.
Gadis didepannya seolah memahami keheranannya.
          “Maaf, tuan. Hari ini banyak wartawan yang pura-pura menjadi kerabat Nona Kitajima hanya untuk mengambil gambar kondisi terakhir nona Kitajima. Jadi atas permintaan keluarga, kami harus berhati-hati menanyakan setiap orang yang berniat menjenguk. Kami pun sudah dibekali nama-nama yang diperbolehkan datang. Jadi jika tuan tidak termasuk ke dalam daftar nama tersebut, mohon maaf, anda tidak bisa menjenguk nona Kitajima.”
          Laki-laki itu menghela nafas.
          “Apa saja juga perlu memperlihatkan kartu identitas?”
          “Tentu saja.”
          Dikeluarkannya kartu identitas lalu meyerahkannya ke depan gadis itu.
          “Saya Sano Kitajima, saya yakin saya sangat diperbolehkan masuk,” katanya dengan percaya diri.
          Gadis di depannya terperangah sesaat sebelum akhirnya dengan cepat meraih gagang telepon dan menekan sebuah nomor.***

          Pak Kuronoma menyambut Sano di depan ruang ICCU. Ditatapnya Sano penuh selidik membuat Sano sedikit jenggah.
          “Maaf, ada yang salah dengan wajah saya?”
          Pak Kuronoma menggeleng, lalu tersenyum.
          “Anda memang kakaknya Maya,” ujarnya setelah beberapa saat.
          “Bagaimana anda bisa seyakin itu?”
          “Mata dan ekspresi wajah anda sangat mirip dengannya, polos, seperti anak kecil yang tidak memiliki prasangka buruk terhadap orang. Untuk Maya, ekspresi seperti itu membuatnya menjadi gadis yang sangat lovable bagi orang yang mengenalnya, tapi jika jatuhnya pada anda… ehmm..”
          Sano  meringis. Tanpa sadar ia menggaruk kepalanya.
          “Saya mengerti.. karena hal itu membuat saya beberapa kali terlibat masalah yang sangat konyol.”
          “Heh.. tak jauh berbeda dengan adikmu,” kekeh Pak Kuronoma. “Ah.. kita ngobrol lebih lanjut nanti saja. Aku penasaran, kenapa selama ini kau tidak pernah muncul menjenguk adikmu, dan Maya pun tidak pernah bercerita tentang kakaknya. Ayolah, Dokter sudah menunggu kita.”
          Sano mengekor langkah sutradara handal itu. Menemui dokter yang mengangani Maya, mendengarkan penjelasannya.
          “Untuk leukeumia akut seperti yang diderita adik anda, perkembangannya sangat cepat, dan mematikan,” dokter berhenti untuk melihat ekspresi laki-laki di depannya. “ Biasanya dalam hitungan minggu, jika tidak segera ditangani, maka akibatnya akan sangat fatal. Untuk kasus nona Kitajima, saya kagum atas ketahanan tubuhnya. Sejak divonis menderita penyakit ini, beliau menolak untuk menjalani kemoterapi dengan alasan pementasan. Meski dengan resiko sel darah putihnya semakin mengganas namun nona Kitajima bisa bertahan sampai saat ini.”
          “Apa pencangkokan sumsum tulang akan membuatnya sembuh?” tanya Pak Kuronoma.
          “Untuk penderita yang langsung menjalani pengobatan begitu terdiagnosa, maka 50% sampai 85% penderita akan merespon baik pada pengobatan. Beberapa kasus penyakit akan muncul lagi setelah 5 tahun, namun dengan pencangkokan sumsum tulang, hal itu akan terhindari.”
          “Tapi adik saya tidak melakukan kemo. Padahal ini sudah dua bulan sejak dia didiagnosa,” ujar Sano.
          “ Itulah yang saya kagumi dari nona Kitajima, semangatnya untuk bertahan membuatnya mampu melewati dua bulan ini. Good news nya, perkembangan sel darah putihnya jauh lebih lambat dari yang kami perkirakan. Itu akan sangat membantu pengobatannya nanti. “
“Tapi anak itu koma sekarang,” gumam Pak Kuronoma.
“Pasien yang menderita penyakit ini membutuhkan istirahat dan ketenangan. Kesibukan Nona Kitajima dengan pementasannya bisa saya bayangkan, sangat luar biasa. Fisiknya yang sudah sakit semakin lemah karena kelelahan, dan akhirnya anfal seperti ini.”
“Dasar anak bodoh! Padahal kalau dia terus terang, kami bisa menunda pemenatasan..”
“Nona Kitajima tahu, pengobatannya akan memakan waktu yang sangat lama. Mungkin itu yang jadi pertimbangan beliau kenapa memaksakan diri untuk tetap melanjutkan pementasan.”
“Anak itu.. selalu memikirkan orang lain..” Pak Kuronoma mesih menggerutu. Terus terang, dalam hatinya ia merasa sangat bersalah, merasa tidak peka terhadap keadaan gadis itu. “Ah, Maya.. ternyata kemampuan aktingmu yang luar biasa itu kau gunakan juga untuk menutupi penyakitmu ini,” bisik hatinya sedih.
“Secepatnya kami akan memeriksa kemungkinan anda untuk menjadi donor Tuan Kitajima. Jika memang cocok, maka kita tinggal berharap nona Kitajima secepatnya sadar dari koma.”***
          Di ruangannya, Masumi masih terpekur di kursi. Koji sudah sejak sejam yang lalu pergi, setelah memperlihatkan headline koran hari ini.
          “Pak Masumi.. Maya tidak sedang berakting…”
          “Maya… benar-benar sedang sakit… Maya tengah koma di rumah sakit.”
          “ Leukeumia akut… kemungkinan tidak akan bisa melewati musim semi ini..”
          Semua kalimat itu terus terngiang di kepalanya.  Membuat dadanya sakit, lebih sakit dari saat ia terpaksa harus berpisah dengan gadis itu. Rasanya sangat sesak, hampir membuatnya tercekik karena tidak bisa bernafas.
          Nafas laki-laki itu tersenggal. Diremasnya koran yang masih tergeletak di depannya. “Tidak !!” gelengnya berkali-kali. “Maya hanya sedang pendalaman akting, seperti saat ia memerankan Hellen Keller dulu, dia tidak benar-benar sakit. Dia tidak boleh sakit.. tidak boleh.. “
          Gadis itu tersungkur. Hidungnya terus mengeluarkan darah…
          Tubuh Masumi bergetar hebat.
          Brangkart… Paramedis yang sibuk memasangkan beberapa alat di tubuh Maya… Ayumi yang menangis..
          Masumi menekan dada kirinya yang terasa semakin sakit. Jemarinya tanpa sadar meremas kemeja mahal yang ia pakai.
          “…tidak akan melewati musim semi…”
          “Tidak mungkin… Maya gadis yang kuat. Dia sangat sehat!” gelengnya lagi. “Itu tidak mungkin.. Maya tidak benar-benar sakit..”
          Pandangannya tertumbuk pada koran yang tadi diremasnya. Gambar Maya yang sedang dimasukkan ke dalam ambulan, masih dalam kostum Bidadari Merahnya. Gambar itu perlahan membias, hampir tak terlihat, terhalang genangan air mata yang beberapa detik kemudian  meluncur deras.  Sebuah kesadaran merasuki perlahan, namun menghantamnya dengan sangat keras.
          Jiwanya terguncang hebat, seiring getaran tubuhnya yang semakin kuat.
           “Aa… aaa…aaa…,” suara Masumi pelan, tersendat, oleh gejolak emosi yang semakin lama, gelombangnya semakin besar.
          “Aaaaa….aa…aaa……AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!
          Akhirnya laki-laki itu tak bisa lagi bertahan. Dengan histeris ia berteriak keras.. berusaha melepas semua sesak yang begitu menyakitkan dada. Tidak hanya itu, semua benda yang ada di sekitarnya menjadi sasaran pelampiasan emosinya. Buku, asbak, koran, vas bunga, bahkan laptop yang tergeletak di atas mejanya berterbangan ke segala penjuru ruangan, seiring teriakan yang membahana, air mata bercucuran deras di pipinya yang pucat.
          Seorang satpam yang sejak tadi berjaga di depan ruangannya, atas perintah Mizuki, terperanjat kaget. Bergegas memburu pintu ruangan bos nya namun urung untuk masuk saat sebuah benda melayang ke arahnya.
          Cepat ditutup kembali pintu. Gemetar.
          Meski tak jelas, ia dapat meraba, bahwa bosnya sedang mengamuk.
          Dihampirinya meja yang biasa ditempati Mizuki, lalu menekan sederet nomor.
          “Hallo.. Nona Mizuki?...” ***

          Mizuki bergegas masuk ke dalam Daito Tower. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Saat tiba di lantai teratas, tempat direktur berkantor, seorang satpam bergegas menyambut.
          “Bagaimana dia?” tanya Mizuki.
          “Sudah tidak mengamuk lagi nona. Tapi saya semakin khawatir. Di dalam sunyi  sekalii.. saya tidak berani masuk.”
          “Tak apa. Terimakasih,  Pak Nitami, anda boleh pulang sekarang.”
          Tanpa mengetuk, Mizuki masuk ke ruangan Masumi. Seperti yang dibayangkannya, ruangan itu sangat berantakan. Meja kaca di depan sofa pecah berantakan. Beberapa lukisan terjatuh dari gantungannya. Mizuki mengerutkan kening.  Masumi tak terlihat.
          “Pak Masumi?” Mizuki mendekati meja kerja Masumi pelan. Tak ada jawaban. Mizuki melongokkan kepalanya ke balik meja, disanalah laki-laki itu berada. Terhalang kursi kerjanya, duduk sambil memeluk kaki, menyenderkan sebagian kepalanya ke dinding, menatap kosong ke luar jendela, ke arah kaki langit di kejauhan yang mulai sedikit membiaskan warna matahari.
          Kondisi laki-laki itu sangat mengenaskan. Wajahnya pucat, sarat dengan kepedihan. Mizuki belum pernah melihat orang yang sedang sekarat sebelumnya, tapi ia yakin, wajah Masumi saat ini mewakili gambarannya tentang orang sekarat.
          “Pak Masumi…” panggil Mizuki pelan. Masumi tak bereaksi.
          “Pak Masumi, lebih baik anda segera pulang sebelum para pegawai datang. Tidak baik jika mereka melihat anda seperti ini.”
          Masumi tetap tidak menjawab. Hanya helaan nafasnya yang berat terdengar samar.
          “Akan saya panggilkan sopir anda di rumah untuk menjemput.”
          Mizuki bergerak hendak meraih telepon, namun gerakan tangannya terhenti saat tersadar, benda itu sudah berpindah dari atas meja ke ujung ruangan dekat pintu. Hancur berantakan.
          Setelah menghela nafas, akhirnya ia meraih handphone dari saku baju. Namun gerakan jemarinya mencari contact number di phonebook terhenti ketika mendengar Masumi bertanya pelan.
          “ Apakah…… Juliet bisa bertemu Romeo di alam sana?”
          Mizuki menoleh. Laki-laki itu bicara padanya tanpa mengubah posisi sedikitpun. Tetap menerawang ke luar jendela.
          “Maaf, pak Masumi?” tanyanya tak mengerti.
          “Juliet…… setelah Romeo mati, ia bunuh diri. Apakah mereka berhasil bertemu di sana?”
          Mizuki terperangah. Apa yang sedang dipikirkan bosnya ini? Apakah ia…
          “Pak Masumi, apakah anda berniat untuk..”
          “Jawab saja Mizuki! “ potong Masumi keras.
         Mizuki tergagap. Sejenak ia berpikir untuk mencari jawaban dari pertanyaan aneh bos nya itu. 
          “Kurasa… begitu. Mereka bertemu.”
          “Apakah mereka akan tetap saling mengenal? Bagaimana Juliet bisa menemukannya? Bukankah orang yang mati jumlahnya sangat banyak? Bagaimana ia bisa menemukannya diantara orang sebanyak itu? Bagaimana…”
          “Pak Masumi!” kini giliran Mizuki yang memotong ocehan bosnya. Suara perempuan itu terdengar galak. Dengan cepat sang sekretaris handal berjalan memutari meja, dan berjongkok di hadapan bosnya. Meraih wajah pucat Masumi, memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari luar jendela ke arahnya.
          Masumi menatapnya kebingungan.
          “Dengarkan saya baik –baik, pak Masumi. Maya… belum meninggal.”
          “A..pa?”
          “MA..YA… BE.. LUM… ME…NING…GAL!!” ulang Mizuki dengan suara keras. “Jadi berhentilah berfikir untuk meniru Juliet dan mulailah membenahi diri anda yang berantakan itu!”
          Mata Masumi mengerjap cepat. Suara keras Mizuki cukup ampuh mengembalikan kesadarannya akan kenyataan. Maya.. Koma.
          “Tapi… dia… tidak akan… bisa…me..le… melewati…”
          “Tidak bisa melewati musim semi?” lanjut Mizuki. “Itu perkiraan dokter Pak Masumi. Perkiraan manusia! Anda lupa, yang kita bicarakan ini adalah Maya? Perempuan yang bahkan bisa mengubah kemungkinan yang hanya 1% saja menjadi kenyataan? Jangan katakan kalau anda sekarang mulai meragukan kekuatannya.”
          “Dia.. koma..”
          Mizuki menghela nafas berat. Ditatapnya Masumi dengan kasihan. Laki-laki yang biasanya keras dan dingin, sekarang tak ubahnya seperti seorang anak kecil yang tengah dilanda ketakutan yang luar biasa. Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya. Hampir bisa dipastikannya, jika Maya benar-benar sampai meninggal, laki-laki ini, jika tidak nekad mengakhiri hidupnya sendiri, maka ia akan berakhir di rumah sakit jiwa.
          Dikeluarkannya sebuah amplop dari dalam tas untuk kemudian disodorkan ke depan Masumi.
          “Ini kondisi terakhir Maya. Penyakitnya memang akut, tapi di luar perkiraan, perkembangannya sel kankernya lebih lambat dari yang diperkirakan. Keadaannya sekarang lebih banyak dikarenakan aktifitasnya yang terlalu berat dua bulan terakhir ini. Secara garis besar kondisinya cukup stabil dan kemungkinan untuk bertahan cukup besar. Terlebih…kakaknya sudah datang.”
          Masumi meraih amplop itu dengan tangan bergetar.
          Mizuki berdiri. Beberapa saat menatap bosnya yang kini tengah memandangi amplop di depannya.
         “Pak Masumi, selama ini anda adalah sebagian dari kekuatannya. Jika sekarang anda seperti ini, saya yakin gadis itu akan sangat sedih.”
          Masumi tertegun mendengar ucapan Mizuki.
          “Lagi pula, jika Maya sampai meninggal dan anda sampai melakukan perbuatan konyol seperti Juliet, saya yakin, meski kalian bertemu di alam sana, Maya tidak akan sudi bertemu dengan anda dan bahkan mungkin akan berbalik membenci anda karena seperti yang anda tahu, Maya adalah orang yang sangat menghargai kehidupan. Ingat itu baik-baik, Pak Masumi.”
          Setelah berkata begitu, Mizuki berbalik pergi.
          “Akan saya telepon sopir anda untuk menjemput,” katanya sebelum keluar dan menutup pintu, meninggalkan Masumi sendiri yang tengah dengan sekuat tenaga, berusaha mencerna kata-kata sekretarisnya itu.***

          Sano berdiri di depan kaca yang membatasinya dengan ruang dimana Maya dirawat. Setelah bertemu dengan dokter kemarin, ia sempat masuk beberapa saat, berdiri di samping tubuh gadis yang sebagian darahnya, sama dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Adik yang hanya pernah dia lihat saat Maya baru lahir dulu.  Tak pernah terpikirkan, mereka akan kembali bertemu dalam kondisi seperti ini.
          Pelan dia mendesah. Mereka hanya saudara satu ayah. Apakah mungkin ia akan bisa jadi donor? Bagaimana kalau ternyata hasilnya tidak cocok? Adakah kemungkinan lain Maya akan sembuh?
         Bunyi langkah di belakangnya membuatnya menoleh. Sesosok laki-laki tinggi pelan menghampiri. Sekilas wajah laki-laki itu nampak sangat suram dan terkesan dingin.
          Laki-laki itu sampai di sampingnya, tapi mengacuhkannya.  Dilihatnya mata laki-laki itu terpejam sejenak, untuk kemudian pelan terbuka. Sungguh, Sano yakin, tubuh laki-laki disampingnya nampak gemetar. Penasaran ia kembali menoleh, menatap langsung wajah laki-laki di sampingnya. Sano terkesiap, setelah melihat jelas wajah itu.  Masumi Hayami… desisnya dalam hati. Meski wajah itu terlihat semakin matang dibanding 10 tahun yang lalu, tapi ia yakin, laki-laki yang baru datang ini adalah Masumi Hayami. Apa yang dilakukannya di sini?
          Saat dia melihat tetesan air mata melompat turun di pipi Masumi, sekelebat pemikiran terlintas. Apakaah…?
          Cepat pandangannya beralih ke tubuh Maya di dalam sana, lalu kembali melihat laki-laki di sampingnya yang kini menggumamkan nama Maya dengan suara bergetar. Apa yang dipikirkannya semakin jelas, laki-laki ini mencintai Maya!
          Seketika lengannya terkepal. Bertemu dengan Masumi Hayami adalah sesuatu yang sangat dia nantikan 10 tahun terakhir ini!  Tapi kenyataan bahwa Masumi Hayami mencintai adiknya justru membuatnya semuanya akan berantakan.
          Bergegas Sano keluar dari ruangan itu. Apakah Maya mencintainya juga? Pikir Sano cepat. Ia harus mencari  tahu. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang lagi. Jadi secepatnya ia harus mencari tahu, perasaan Maya terhadap laki-laki  itu.
          Langit menjelang siang begitu biru, menyambut di luar loby rumah sakit. Sano menengadahkan kepala, menatap ke arah awan tipis yang berarak. “Akhirnya… “ pikirnya seraya memejamkan mata. “Akhirnya kesempatan itu datang juga..”
               Sebuah senyum tersungging di bibirnya, masih menatap birunya langit di atas sana. ***

8 komentar:

  1. OMG, bagaimana kelanjutannya yach..... another sad story....hikshikshiks...Be strong Maya.....Wake Up Masumi ayo kasih kekuatan buat Maya.... :(

    BalasHapus
  2. waaah...masak maya mati? jangan dong .. hiks hiks.. Eh, salam kenal ya sis..aku nunggu lanjutannya lho.^^

    BalasHapus
  3. hohohohoho kereeeeeeennnnnnnn ga bakalan mati deh Maya kan kakaknya dah ketemu tgl donorin sumsumnya kan....*sotoy*

    Makasih ff nya salam kenal

    LANJOOOOOTTTTTTTTTTTTTTT....XD

    BalasHapus
  4. Salam kenal ya sist Avira.....makasih ff nya....lanjutkan ya..hehe..trus masak maya mati...hiks...jangan dong...

    BalasHapus
  5. haduhhh sedih bangeeettt T__T masa baru dapat BM maya meninggal leukemia?? korea banget huhuhu! btw salam kenalnya semua berlumuran air mata ni hehehe
    anita f4evermania

    BalasHapus
  6. Salam kenal juga semua..
    Sebenarnya idenya dari film Jepang juga sih.. 1 liter of tears.. Jadi ngayal kalo Maya sakit parah.. Masumi bakal kayak gimana ya.. Secara ngeliat Maya ma orang lain aja wajahnya dah super memelas gitu.. he..he..

    BalasHapus
  7. ternyata kakaknya maya kenal sama Masumi????? n kayaknya punya dendam pribadi.....wah jangan2 dia urung buat nolong Maya demi balas dendam sama Masumi lagi gawat deh........

    BalasHapus