Sabtu, 16 Juli 2011

For Happiness





Masumi menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sudah penuh. Nampaknya semua yang berkepentingan sudah hadir di sini. Termasuk sosok mungil yang kini tengah duduk di samping Pak Kuronoma. Masumi segera duduk di tempat yang sudah disediakan untuknya. Matanya tak lepas dari si Mungil yang kini tepat ada di depannya. Rambutnya yang biasanya diurai kini diikat ala poni tail. Membuat wajah babyfacenya nampak semakin lucu.
          Merasa ada yang memerhatikan, Maya mengangkat wajahnya yang sejak tadi asyik menekuri naskah yang baru diberikan Pak Kuronoma. Saat dilihatnya Masumi tengah memandanginya, perempuan itu membulatkan matanya, memberi isyarat agar laki-laki itu berhenti memandanginya. Senyum tipis mengembang saat dilihatnya Masumi mengalihkan pandangannya. Kembali ia menekuri naskah, namun tak lama, karena tiba-tiba Hpnya bergetar lembut.
          “ Kau cantik sekali hari ini..”
          Text message dari Masumi. Maya meringis. Diketiknya sebuah kata: “gombal” SEND.
          NEW MESSAGE FROM MASUMI
          “ Biar saja. Toh yang digombalin seneng.”
          Kembali Maya meringis. Dia cuma menjawabnya dengan emoticon yang menggambarkan leletan lidah. Matanya kemudian melihat ke arah Masumi. Laki-laki itu nampak acuh, memerhatikan pegawainya yang sedang menerangkan rencana pementasan drama kolosal yang akan dibintanginya nanti. Sebuah message kembali diterimanya.
          “ Kalau mau puas memandangiku nanti saja. Kalau sekarang bisa-bisa kau dikeluarkan dari rapat!”
          Maya kembali memandang Masumi dengan geram. Laki-laki itu tetap acuh, menyembunyikan senyum di balik telapak  tangannya.***

          Masumi masih membahas detail teknik dengan team lain saat Maya memutuskan untuk ke luar ruangan. Urusannya sudah selesai. Tinggal melakukan audisi untuk melengkapi pemain, dimana dia juga harus ikut sebagai team penilai. Jam menunjukkan pukul 14.47. Saat melihat ke luar jendela, gadis itu berseru tertahan. Salju turun! Dengan semangat yang meluap, segera ia berlari ke luar, ke arah taman yang mengelilingi gedung Daito. Menengadahkan kepalanya menyambut butiran-butiran lembut yang dingin menghinggapi wajah mungilnya. Beberapa saat kemudian ia tenggelam dalam keasyikannya bermain-main dengan salju. ***

          Masumi mengecek ruangannya. Gadis itu tidak ada di sana. HP-nya pun tidak aktif. Kemana, dia? Gerutunya. Padahal mereka sudah janjian untuk pergi ke Izu sore ini dan menghabiskan akhir pekan di sana. Apa dia pulang dulu ke apatemennya? Pikirnya. Lalu diputuskannya untuk menjemput ke sana. Tapi baru saja dia melewati lorong menuju lobi, dilihatnya sosok mungil berbaju hijau tengah asyik melompat-lompat di salju dengan wajah sumringah. Masumi tersenyum. Pelan dibukanya pintu penghubung ke taman samping dan untuk beberapa saat membiarkan dirinya terhanyut dalam pesona gadis mungil di depannya sampai akhirnya gadis itu menoleh ke arahnya dan tersenyum lebar. Maya berlari kecil menghampiri.
          “ Sebenarnya siapa yang ingin memandangi siapa?” goda Maya. Matanya mengerjap jenaka. Masumi tertawa.
          “ Siapa bilang aku sedang memandangimu? “ elaknya. “ Aku tadi cuma heran, kok ada anak kecil yang asyik main salju di kantorku ini. Kupikir tadi anak kecil yang tersesat.”
          Maya merengut. Masumi sepertinya tidak pernah bosan menggodanya dengan sebutan anak kecil. Aku toh tidak pendek-pendek amat. Jika dibandingkan dengan tubuh Masumi yang seperti pohon kalapa, iya, lah, tubuhku seperti liliput jadinya, gerutu Maya dalam hati.
          “ Kalau begitu, kau harusnya waspada," ujarnya kemudian. Masumi mengerutkan kening. “ Waspada?”
          “ Bisa-bisa kau nanti dituntut karena disangka berniat menikahi anak di bawah umur.”
          Masumi tergelak. Dengan gemas ditariknya Maya ke dalam pelukannya. Sesaat menghirup wangi segar yang terpancar dari rambut gadis itu sebelum akhirnya mengecupnya lembut.
          “ Jangan khawatir, aku punya cukup bukti yang bisa kupakai agar mereka tetap mengijinkanku menikahimu.”
          Maya memandanginya, masih dengan tatapan merengut.  Masumi mengeluarkan sebungkus permen dari sakunya dan menyodorkannya ke depan gadis itu.
          “ Tidak mau?”
          Maya tetap terdiam. Masumi memasukkannya kembali ke dalam sakunya. “Bukti pertama,” gumamnya. Maya mengeryitkan dahinya. Sebelum sempat mencerna arti gumaman Masumi, tubuhnya kembali dihela ke dalam rangkulan lelaki itu, dan sedetik kemudian Masumi sudah mencium bibirnya lembut. Maya tersentak, beberapa saat ia terhanyut sampai kemudian menyadari, bahwa mereka berada di tempat yang cukup terbuka.
          Cepat ia melepaskan diri dari ciuman lelaki itu dengan pipi bagaikan kepiting rebus. Masumi tergelak. “Itu bukti kedua, mungil,” ujarnya. “ Mana ada anak kecil yang sedang ngambek mau dibujuk dengan cara seperti tadi.” Kekehnya. Wajah Maya kian merona. Dipukulnya bahu Masumi dengan gemas, namun Masumi dengan sigap menangkap tangan itu dan menggenggamnya erat. “ Kita berangkat sekarang?” senyumnya. Senyum perlahan kembali menghiasi wajah Maya. Gadis itu mengangguk dan masih sambil bergandengan, mereka melangkah menuju tempat parkir.***

          “Kau yakin?” Masumi menatapnya tak percaya. Maya tersenyum tenang. “Kau pikir aku tidak bisa?”
          “Entahlah,” geleng Masumi. "Terakhir kau memasak, perutku sakit selama seminggu, ‘ ujarnya kemudian dengan mimik serius. Maya mendecih,” perasaan gak gitu-gitu amat deh. Berlebihan banget!”
          “ Sudahlah, biar aku saja yang masak,” senyum Masumi seraya mengambil alih celemek dari tangan tunangannya. Maya menahan benda itu. “Tuan Masumi yang terhormat, “gadis itu memandang mata Masumi tajam. “ Ayo taruhan, jika ternyata kau menyukai masakanku, kau harus merelakan gengsimu untuk menemaniku naik carousell minggu depan di Disneyland,” Maya tersenyum mengingat tunangannya itu paling anti menemaninya melakukan hal-hal yang dianggap kekanak-kanakkan. Masumi nampak berfikir sejenak.
          “Kalau aku yang menang?”
          “Hmm.. kau boleh meminta apapun dariku,” jawab Maya.
          “Kau serius?” mata Masumi mengerjap jenaka. Maya mengerucutkan bibirnya. “Aku serius,” jawab gadis itu.
          “Kalau begitu siap-siaplah untuk memenuhi permintaanku, segera setelah aku memutuskan apakah makanan yang kau buat memenuhi seleraku atau tidak, malam ini!”
          Maya tersenyum penuh keyakinan. “Siapa takut?” Diulurkannya tangannya untuk menjabat tangan tunangannya. “Siap-siaplah untuk naik carousell minggu depan,” kekehnya. Segera setelah mengusir kekasihnya keluar dari dapur, gadis itu sudah mulai asyik meracik makan malam mereka.
          Satu jam kemudian Maya menemui Masumi yang tengah asyik memelototi laptop di ruang tengah. Dengan lembut, Maya duduk di pinggir tunangannya itu, menutup laptop dan mencium pipi Masumi.
          “Ini weekend, sayang,” bisiknya. “Jadi lupakan pekerjaannmu sebentar.”
          “Hmm, kau tidak mengijinkanku membantumu tadi, jadi apa yang bisa kulakukan?”
          “Apapun selain memelototi grafik-grafik rumit tadi,” jawab Maya. Lalu gadis itu berdiri seraya menarik lengan Masumi.
          “Makan malammu sudah siap, “senyumnya.
          “Apa aku harus memakan obat anti sakit perut dulu?” goda Masumi. Maya mengerucutkan bibirnya sebentar, lalu kemudian tertawa. “Yang harus kau siapkan adalah mentalmu untuk menemaniku naik carousell minggu depan.”
          “Kurasa kau pun harus menyiapkan mentalmu malam ini,” Masumi balik menggoda. Maya tertawa. “ itu tidak akan terjadi.”
          Masumi berdecak kagum begitu melihat hidangan yang ditata manis di maja makan.
          “Dilihat dari penampakannya sih cukup meyakinkan,” komentarnya.
          “Tunggu sampai kau merasakannya,” sahut Maya.
          Tak berapa lama kemudian, Masumi harus mengakui bahwa hasil masakan gadis itu luar biasa lezat. Ditatapnya Maya dengan binar cinta yang semakin meluap.
          “Apa kau diam-diam kursus memasak?” tanyanya.
          Maya tersenyum misterius, “bisa dibilang begitu.”
          “Maksudmu?”
          “Kau tahu? Aku selalu berfikir, suatu saat nanti, jika aku menikah, aku tidak mau suami dan anak-anakku melulu makan makanan yang disediakan pembantu. Aku ingin menyiapkan sarapan mereka, membuatkan mereka makan malam, menyiapkan bekal sekolah, atau bekal piknik dengan tanganku sendiri. Makanan yang layak dimakan,” jelas Maya dengan penekanan di kalimat terakhirnya.
          Masumi tergelak, namun ia  merasakan dadanya menggembung karena bahagia.
          “Dan saat kita mulai dekat, Masumi. Dengan selera makanmu yang tingkat tinggi, aku diam-diam selalu menemui koki restoran jika makanannya kau puji. Untungnya, mereka dengan suka rela mau memberiku resepnya. Merekalah yang jadi guruku.”
          Masumi berdiri, lalu berjalan memutari meja untuk menarik Maya ke dalam pelukannya. “Aku tidak tahu kau berusaha begitu keras untuk membuatku bahagia,” bisiknya. “Terima kasih.”
          Maya tersenyum, balas melingkarkan lengannya di leher tunangannya. Memejamkan matanya saat keningnya dikecup dengan penuh cinta.
          “Dan kau tuan Masumi, jangan sampai kau memakai berbagai alasan untuk kabur dari kewajibanmu menemaniku naik carousell minggu depan.”
          “Siapa takut?” decih Masumi. “Kau minta apapun tidak ada yang tidak bisa kulakukan,” ujarnya dengan nada menantang.
          “Benarkah?” Maya mengerjap jenaka. Pandangannya lalu mengarah ke maja makan, ke arah piring-piring kotor yang menunggu untuk dicuci. “Kalau begitu, sekarang tugasmu untuk membereskan meja dan mencuci piring-piring kotor itu.”
          Diam-diam Masumi mengeluh. Gadis ini pintar sekali membuatnya tak berkutik karena kata-katanya sendiri. Dengan gemas dipijitnya hidung Maya. “Kurasa aku tidak akan pernah bisa menang darimu, Mungil,”keluhnya, ditanggapi dengan gelak tawa Maya yang renyah.***

6 tahun kemudian.

          Tawa penuh kegembiraan terdengar dari halaman belakang. Maya membuka pintu kaca yang membatasi dapur dengan beranda belakang lebih lebar. Menghirup udara segar yang penuh dengan aroma segar bunga-bunga yang menghiasi halaman belakangnya. Menyenderkan tubuhnya di pilar beranda, memerhatikan tiga orang yang nampak asyik bermain lempar bola di atas rerumputan. Satu orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki berumur lima tahun nampak asyik menyemangati bocah perempuan cilik, yang tertatih-tatih membawa bola. Lalu mereka bersorak saat si kecil berhasil memberikan bolanya kapada ayahnya yang langsung menggendongnya tinggi. Gelak tawa ketiga orang itu membuat Maya tersenyum bahagia.
          Perempuan itu kembali memeriksa meja penuh dengan menu sarapan lezat yang sudah ia siapkan di beranda, lalu berjalan menghampiri tiga orang yang paling penting dalam hidupnya itu.
          “Sarapan sudah siap!” serunya riang. Direntangkannya lengan untuk menyambut ketiganya yang segera berhamburan ke arahnya.
          Matahari pun tersenyum penuh kehangatan.

6 komentar:

  1. Mantaps......thanks ff nya Sist....

    BalasHapus
  2. wowww ini menyenangkan sekali keluarga kecil yg bahagia .......thanx sista....ngebacanya jadi pengen ikutan jadikeluarga mereka..... :)

    ditunggu cerita2 selanjutnya ....

    BalasHapus
  3. T.T seperti ini ......aku pingin akhir yang bahagiaaaaaa ..........

    BalasHapus
  4. I love this story, dibaca berulang-ulang juga ngga ngebosenin ^^

    BalasHapus