Sabtu, 17 Desember 2011

My Secret Admirers Part 2

 
 
 
 
Masumi tak lepas menggenggam lengan Maya selama gadis bahu gadis itu dijahit. Dokter memastikan luka itu berasal dari sebuah peluru. Meski hanya menyerempet bahu Maya, namun menimbulkan luka memanjang yang cukup dalam sehingga gadis itu harus mendapatkan beberapa jahitan.

Sesaat setelah menyadari Maya terluka, Masumi segera membopong tubuh Maya dan berlari menuju klinik yang memang tersedia di apartemen tersebut. Sepanjang jalan mencoba meredakan kepanikannya sendiri seraya menenangkan Maya yang meringis kesakitan. Menolak keluar ruangan saat Maya akan ditangani dan bersikeras terus berada di dekat gadis itu.

Siapa yang berniat mencelakaimu, Mungil? Pikirnya gelisah.

Masumi tidak bisa menahan tubuhnya untuk tidak gemetar setiap kali membayangkan kejadian tadi. Untunglah pelurunya meleset dan hanya menyerempet bahu. Seandainya peluru itu…

Untuk kesekian kalinya Masumi menggedikkan kepala. Mengusir bayangan mengerikan yang melintas di otaknya.

Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi, Mungil. Akan kupastikan itu.

Digenggamnya lengan Maya lebih erat. Dokter kini sedang memasangkan perban di atas luka jahitan Maya.

“Selama seminggu ini jangan sampai melakukan gerakan-gerakan yang berbahaya, Nona, agar jahitannya tidak lepas lagi.”

Maya mengangguk. Seorang suster membantu untuk kembali menaikkan lengan blusnya yang robek dan bernoda darah. Saat selesai, Maya baru sadar sepenuhnya akan  keberadaan Masumi. Laki-laki itu masih berada di dekatnya, memperhatikan dengan khawatir dan tak lepas menggenggam tangannya.

Wajah gadis itu merona. Ia tak bisa menghindar saat Masumi mengulurkan tangan dan meraih pinggangnya untuk menurunkannya dari tempat tidur pasien.

Dibawanya Maya untuk duduk di sampingnya, di depan dokter yang sedang menuliskan resep obat.

“Nanti malam mungkin akan sedikit demam. Jadi tolong segera obatnya dibeli.”

Masumi langsung meraih kertas resep yang disodorkan dokter, membuat Maya menarik kembali tangannya yang sudah terulur untuk mengambil resep tersebut.

“Terimakasih, dokter,” Maya membungkukkan badan sebelum beranjak pergi dari ruangan tersebut.

Tiba di luar ruang periksa, gadis itu terpekik saat tiba-tiba Masumi kembali membopongnya.

“Pak Masumi, lepaskan,” desisnya dengan wajah memerah. Masumi terdiam. Wajahnya nampak dingin, menatap lurus ke depan menuju ke arah lift. Terpaksa Maya melingkarkan lengan kanannya di leher Masumi agar dirinya tidak jatuh.

Di depan pintu apartemen, barulah laki-laki itu menurunkan tubuh Maya. Namun lengannya tetap erat memeluk pinggang gadis mungil itu.

“Berapa kodenya?”

Maya tergagap. Seperti dihipnotis, ia menyebutkan kode pintu dan Masumi segera menekannya.

***

BERANINYA KAU!!!

Sesaat, dijauhkannya speaker handphone dari telinganya. Jemari yang menggenggam handphone itu terlihat gemetar.

Ah, aku sudah membuatnya marah.

“Maaf, saya tadi hanya bermaksud menakutinya,” ujarnya kemudian, lirih.

Kau bisa membuatnya terbunuh karena kebodohanmu kali ini!

“Tidak akan terulang. Saya janji ~ ”

Tidak akan terulang? Suara itu terdengar sinis. Kau pikir akan ada lain kali untukmu?

“Saya mohoon,” dadanya berdebar keras. Dia tidak rela jika kepercayaan ini diberikan kepada orang lain. “Saya bersumpah hal ini tidak akan terulang lagi. Saya akan lebih hati-hati.”

Sejenak tidak ada suara. Puntung rokok yang terletak di atas meja menjadi sasaran pelampiasan kegelisahannya. Tembakau bertebaran di atas meja karenanya.

“Hhh.. baiklah. Berhubung hanya kau yang bisa melakukannya, kuberi satu kesempatan lagi. Tapi ingat, jika kejadian hari ini terulang, tidak akan ada lain kali!”

“Saya mengerti. Saya tidak akan mengecewakan anda lagi.”

Senyuman lega mengembang.

Ah, syukurlah! Batinnya bahagia. Kini aku harus lebih hati-hati.

Terbayang saat Masumi Hayami membopong Maya yang terluka seraya berlari dengan wajah panik.

Lengannya mengepal ketat.

***

Maya langsung menuju kamar begitu mereka masuk, bermaksud mengganti bajunya yang sudah robek dan berlumuran darah. Dibukanya lemari lalu  memilih sebuah sweater longgar dari lemarinya. Namun saat hendak membuka risleting belakang blusnya, gadis itu termangu.


Saat di klinik tadi, sakitnya tidak begitu terasa. Mungkin karena pengaruh obat bius. Lagi pula perawat itu sudah membantunya. Namun sekarang?

Maya meringis menahan sakit saat mencoba mengangkat lengan kirinya. Setetes air mata melompat turun.

“Bagaimana ini?” mata bulatnya mengerjap bingung.

 Sekali lagi, gadis itu mencoba mengangkat tangannya. Perlahan kini. Namun belum juga seperempat jalan, kembali ia menurunkan tangannya seraya meringis.

Akhirnya, untuk beberapa lama Maya hanya bisa duduk kebingungan di pinggir tempat tidurnya. Diingatnya Masumi yang menunggu di luar. Sejenak ada niatan untuk meminta tolong. Tapi..

Eh?!

Wajahnya mendadak merona.

Tidak mungkin. Itu tidak mungkin!! Aku ini berpikir apa?

Meskipun panjang risleting itu hanya sampai pertengahan punggung, tetap saja…

Cepat dienyahkannya ide tersebut.

Tapi bagaimana caranya aku bisa membuka bajuku? Pikirnya kembali dengan gelisah.

***

Masumi yang baru saja menyelesaikan pembicaraan dengan Hijiri di telepon menghempaskan diri di sofa dengan resah. Ia memang sudah menyuruh bawahannya itu mengecek semua cctv di area apartemen untuk mencari pelaku penembak Maya. Ia juga sudah meminta Hijiri dan beberapa orang anak buahnya, untuk mengawasi Maya dengan ketat mulai dari sekarang. Tapi itu saja tidak cukup!

Ia tidak akan tenang jika bukan dirinya yang memastikan dengan kepala sendiri kalau Maya memang akan baik-saik saja!

Selain itu…

Masumi memandang pintu kamar Maya yang masih tertutup.

Siapa yang berniat mencelakaimu, Mungil? Mengapa kau tidak mau menceritakannya padaku?

Masumi meremas jemarinya kuat. Tanpa di dapat dicegah, tubuhnya kembali bergetar.

Melihat Maya yang terluka berlumuran darah sudah sangat mengerikan baginya. Ia tidak mau hal itu terulang lagi!

“Jangan sampai!” desisnya.

Laki-laki itu mengusap wajahnya yang berkeringat. Matanya mengitari ruangan utama apartemen apartemen Maya. Tanpa diketahui gadis itu, Masumi memerintahkan Mizuki untuk menyiapkan apartemen terbaik mereka untuk ditempati Maya meski jika mengingat Maya yang hanya sendiri, apartemen ini memang terlalu luas.

Matanya lalu tertumbuk pada rangkaian anyelir merah di atas bufet dekat pintu. Karena masih shock, saat masuk tadi, benda itu luput dari perhatian.

Mendadak hatinya berdesir. Dengan dipenuhi kepenasaran, Masumi mendekat.

Masih terlihat segar. Sepertinya belum lama dikirim. Pikir Masumi.

Siapa yang mengirim bunga ini? Desis hatinya. Tak rela jika ada orang lain yang mengirimkan bunga pada Maya.

Matanya mencari-cari kartu yang mungkin menyertai anylir tersebut saat dikirim. Tapi tidak dia temukan.

Dengan hati yang mendadak dipenuhi perasaan cemburu, Masumi kembali ke sofa. Saat itulah, ia menyadari sebuah kartu kecil yang nampak elegan tergeletak di atas meja di depannya.

Tulisan di dalamnya membuat mata laki-laki itu melebar.

Kau adalah milikku. Ingat itu!
Love
Musubi no Kami

Singkat, tapi sangat menunjukkan rasa kepemilikan si pengirim terhadap Maya, dengan nada sebuah ancaman. Meski kini dadanya seolah terbakar karena rasa cemburu yang langsung menguasai hatinya dan pikirannya, tapi Masumi mencium sesuatu yang tidak wajar.

Orang ini sepertinya menyukai Maya?Apakah orang ini juga yang mengancam keselamatan  Maya? Salah seorang penggemar fanatik?

Masumi mengingat klub fans fanatik Maya Kitajima yang semakin banyak didirikan di seluruh Jepang, bahkan ada klub fanatiknya di luar negeri juga.  Seringkali mereka melakukan hal-hal yang yang ekstrim untuk menarik perhatian artis idola mereka.

Apakah orang ini termasuk salah satunya? Tapi jika sekarang saja dia sudah berani menarik perhatian dengan cara menembak Maya, hal apa lagi yang mungkin dilakukannya?

Masumi merasakan angin dingin melewati tengkuknya. Badannya kembali gemetar dan wajahnya memucat.


Orang itu sudah tahu alamat Maya. Maya tidak aman lagi di sini!

Pemikiran tersebut membuat Masumi segera melompat berdiri. Matanya nyalang ke arah pintu kamar Maya yang tertutup.

Sudah lebih 20 menit gadis itu ada di dalam. Masumi melirik jam  tangannya, lalu berjalan mendekat seraya menajamkan telinga.


Tak terdengar suara apapun. Rasa khawatirnya langsung memuncak.

“Maya?” perlahan diketuknya pintu.

Tak ada jawaban. Jantung Masumi semakin berdebar khawatir. Diketuknya lagi pintu itu, agak keras sekarang.

“Maya? Kau baik-baik saja?”

Bunyi langkah pelan diikuti hendel pintu yang bergerak membuatnya sedikit lega.
Wajah pucat Maya menyembul di pintu.

“Pak Masumi~”

Masumi mengerutkan kening.

“Kau belum mengganti bajumu? Kau bilang tadi…”

“Sa~saya,” potong Maya dengan gugup. Pintu membuka kian lebar. “Saya~tidak bisa mem~buka……resletingnya,” jelas Maya pelan. Rona merah mulai menghiasi pipinya.

“Kenapa?”

“Tangan kirinya~sakit sekali saat digerakkan. Saya~tidak bisa~menarik risleting~nya,” Maya menggigit bibir bawahnya dengan kikuk.

Masumi tersenyum.

“Kau ini,” disentuhnya poni Maya lembut. “Kenapa kau tidak meminta tolong padaku?”

Saat melihat wajah mungil di depannya semakin memerah, Masumi tersadar. Mendadak laki-laki itu pun salah tingkah.

“Ma~maksudku, “ rona merah menulari wajah Masumi. Sejenak mereka berdiri berhadapan tanpa tahu harus berbicara apa. Maya menundukkan wajahnya yang masih memerah.

“Mungil, maksudku…,” Masumi kembali berbicara. “Aku~tidak akan berbuat macam-macam. Hanya membantu membuka…”

Maya mengangkat wajahnya dan mengerjap gelisah.

“Baiklah,” ujarnya kemudian hampir berbisik. Gadis itu maju selangkah dan membalikkan badan membelakangi Masumi.

Kini giliran Masumi yang tergagap. Meskipun ia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak sopan pada gadis mungil ini, tapi tetap saja, dirinya laki-laki.

Beberapa saat dia hanya memandang punggung Maya. Setangah mati mencoba menyingkirkan bayangan tentang apa yang tersembunyi dibalik blus berwarna biru langit tersebut.

“Maya,” bisiknya, serak.

“Ya?”

“Balikkan badanmu.”

Meski keheranan, Maya membalikkan badan. Tertegun saat Masumi mendekat dan mengalungkan kedua lengan ke belakang lehernya, dengan sebelah lengan berusaha untuk tidak menyentuh luka di bahu kirinya.

“Pak Masumi~” desisnya saat didengarnya bunyi resleting yang dibuka. Maya menahan nafas, mencoba meredakan degupan jantung yang terasa berkali-kali lebih cepat dari biasanya.

Maya dapat merasakan nafas Masumi di samping wajahnya.

“Sudah,” Masumi menjauhkan badannya dengan canggung. Efek kedekatan tubuh mereka terlihat jelas di wajahnya yang merona, dan jantungnya yang berdetak ribut.

“Te~rima kasih,” senyum Maya kikuk seraya mundur untuk masuk kembali ke kamar. Tak sampai satu menit kemudian, Masumi mendengar jeritan kecil Maya. Tanpa sadar lelaki itu menerjang pintu dan menghambur masuk.

“Mungil, kau kenapa?!”

Dilihatnya Maya duduk di pinggiran tempat tidur dengan mata basah dan wajah yang kembali kebingungan.

“Saya~tetap tidak bisa membuka~ baju. Sa~kit sekali,” setetes air mata melompat turun ke pipinya.


Masumi menelan ludah.  Lengan kiri blus gadis itu sudah turun sampai ke tengah lengannya, memperlihatkan bahunya yang tertutup perban yang kini terlihat agak bengkak. Sepertinya Maya mencoba meloloskan blus itu ke bawah. Namun karena terlalu ketat, lengan tersebut hanya sanggup turun sampai tengah lengan atas.


“Apakah sakit sekali?”


Maya mengangguk lemah. “Setiap kugerakkan terasa sakit. Apalagi kalau saya mencoba mengangkatnya,” jelasnya kemudian.


Masumi mendesah pelan. Apa boleh buat, batinnya pasrah.


Laki-laki itu mendekat.


“Kau punya gunting?”


Maya mengangguk. Berdiri dan berjalan membuka laci di meja riasnya.


Diserahkannya gunting itu ke tangan Masumi.


“Aku akan menggunting bajumu,” terang Masumi.


Maya mengangguk. Lalu tanpa diminta membalikkan badannya membelakangi Masumi.


“Akan kuganti baju ini nanti,” didengarnya Masumi berucap pelan seraya mulai menggunting dari bagian bawah blusnya,

“Ti~tidak usah, Pak Masumi. Ini..”


“Bagaimanapun aku sudah merusaknya. Aku akan menggantinya!” nada suara Masumi yang tegas dan tersirat tidak mau dibantah membuat Maya terdiam.


Dibelakangnya Masumi diam-diam menelan ludah.


Jantungya berdegup kian kencang saat sedikit demi sedikit, punggung Maya yang putih bersih mulai terbuka.


“Sudah,” Masumi mencoba meredam suara seraknya.


Maya mengangguk gugup. Cepat ia berbalik, menghadap ke arah Masumi. Wajahnya masih nampak merah padam.


“Se~setelah ini saya bisa sendiri,” ujarnya kemudian.


“Kau yakin?” Masumi melirik sweater longgar kuning lembut yang tergeletak di pinggir tempat tidur.


Maya mengangguk.


“Baiklah,” Masumi menatap wajah Maya beberapa saat sebelum dirinya beranjak keluar. “A~aku tunggu… di luar.”


Kembali Maya hanya menjawabnya dengan anggukan. Ditatapnya punggung Masumi sampai laki-laki itu menutup pintu.


Maya menghembuskan nafas kuat-kuat begitu pintu tertutup. Membayangkan kejadian barusan membuat wajahnya kembali memanas.


“Ya, Tuhaaan,” desisnya seraya memegang dadanya yang masih berdegup kencang. Cepat 
diraihnya sweater dan dipakainya dengan hati-hati sambil sesekali meringis. Teksturnya yang elastis membuat baju itu mudah dia kenakan tanpa harus  menggerakkan lengan kirinya terlalu banyak.


Lima menit kemudian gadis itu keluar. Masumi nampak tengah duduk di sofa.


“Apakah pengirim anyelir ini yang mengancammu, Mungil?” pertanyaan itu segera menyambutnya begitu ia mendekat. Maya termangu. Di atas meja tergeletak buket anyelir yang kemarin diterimanya. Mata bening gadis itu kian membulat saat menyadari, Masumi tengah menggenggam kartu yang disertakan dalam buket itu.


“I~tu…,” jawabnya tergagap. Ingatan tentang apa yang sudah dilakukan Musubi no Kami kembali menyadarkannya akan sesuatu.


“Pak Masumi,” desisnya. “Lebih baik anda pergi sekarang.”


“Kau belum menjawab pertanyaanku,” Masumi mengabaikan permintaan Maya. “Apakah orang ini yang mengancammu?”


Maya terdiam. Ia masih belum berani menceritakan tentang Musubi no Kami kepada laki-laki di depannya.


“Jangan menutupinya, Mungil. Saat tersadar tadi pagi, Mizuki sengaja memanggilku hanya untuk mengatakan kalau kau dalam bahaya,” ujar Masumi. “Dan setelah apa yang terjadi di parkiran tadi, aku yakin itu bukan hanya omong kosong.”


Peluru itu bukan ditujukan untukku, tapi untuk Pak Masumi…


Maya ingin mengatakan hal itu tapi mulutnya terasa kelu.


“Itu… hanya seorang fans fanatik yang…”


“Siapapun dia, yang jelas aku tidak mau lagi melihatmu terluka!” potong Masumi tegas. Kengerian yang dirasa saat melihat Maya berlumuran darah kembali membayang. “A~ku… begitu ketakutan tadi, Mungil,” Masumi tiba-tiba mendekat dan memeluk tubuh mungil belahan jiwanya itu. Menurukkan kepalanya di bahu kanan gadis itu.


Maya tertegun merasakan betapa eratnya lengan Masumi melingkari pinggangnya.


Apa hanya perasaanku saja? Pikirnya. Tubuh Pak Masumi gemetar…


“Andai tadi peluru itu sampai… sampai membuatmu…” Masumi tak sanggup meneruskan kalimatnya.


Maya semakin merasakan getaran tubuh laki-laki itu.


“Kalau itu terjadi, aku bisa…gila.”


Suara Masumi terdengar serak. Beberapa lama ia memeluk erat tubuh Maya, ingin meyakinkan dirinya sendiri akan keberadaan gadis itu dan mengenyahkan bayangan mengerikan yang mencengkram pikirannya sejak melihat Maya tertembak.


Pelan, lengan kanan Maya terangkat, memeluk punggung lelaki itu dan menepuknya pelan.


Setelah beberapa saat, Masumi kembali merenggangkan badan mereka.

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, Maya. Sekarang, kemasi pakaianmu!”


“Eh?” Maya mengerutkan keningnya tidak mengerti.

“Orang itu sudah tahu apartemenmu jadi kau sama sekali tidak aman sebelum dia tertangkap. Sementara kau tidak bisa tinggal di sini!”


“Bukankah apartemen ini mempunyai penjagaan berlapis. Tak mungkin seorang fans bisa menerobos masuk”


“Aku tidak mau mengambil resiko. Pokoknya segera kemasi bajumu!’


“Pak Masumi..,” Maya memandang dengan tatapan putus asa. “Saya akan baik-baik saja. Tidak perlu pergi  kemanapun.”


Masumi melirik bahu Maya dengan tatapan sengit.


“Kau sudah tertembak seperti itu masih bilang baik-baik saja?”

“Ini…,” Maya tergagap.

Asalkan aku tidak dekat dengan lelaki manapun,  aku akan baik-baik saja…


Kalimat itu hanya mampu disuarakannya dalam hati.


“Kalau begitu aku yang akan membereskan bajumu!” Masumi beranjak menuju kamar tanpa menunggu persetujuan Maya. Maya terperangah.


“Baiklah,” gadis itu berlari menyusul. “Akan saya bereskan bajunya. Tunggu sebentar,”ujarnya seraya masuk kamar.


Tak sampai 15 menit Maya sudah keluar dengan menarik koper. Masumi langsung meraih koper itu dan menjinjingnya.


“Manajemen sudah menyuruh Keiko untuk mengatur ulang jadwal syutingmu. Setidaknya selama seminggu, kau tidak boleh bergerak banyak. Dia juga akan mengabari Oda tentang hal ini.”


“Jadi,  apa yang akan saya lakukan seminggu ini?” Maya merengut tidak suka.


“Anggaplah liburan, sampai orang-orangku bisa menangkap fans gila mu itu.”


“Tapi kita kita pergi ke mana?”


Masumi hanya bisa memikirkan satu tempat, dimana dia sangat yakin, tak akan ada yang bisa menyakiti Maya di sana.


***

Kediaman Hayami…

Maya membaca ukiran nama di samping pintu gerbang yang terbuka otomatis.
Jadi kesini Pak Masumi membawaku, batinnya. Bukan kali pertama memang, dulu saat dirinya kabur dan Masumi menemukannya dalam keadaan demam tinggi, laki-laki itupun membawanya ke sini.

Perlahan mobil yang dikemudikan Masumi memasuki halaman luas yang tertata apik. 

“Apa~tidak apa-apa?” Maya bertanya ragu.

Masumi menghentikan mobil tepat di depan undakan menuju teras yang dilapisi marmer putih.

“Apanya yang tidak apa-apa?”

“Emh, anda membawa saya ke sini?” Maya menatap langsung mata Masumi. “Saya~takut hal ini membuat ayah anda marah.”

Masumi tersenyum sinis.

“Si tua itu mungkin tidak suka, tapi dia tidak akan berani berbuat kasar pada Bidadari Merah.”

Maya mengangkat alisnya tidak mengerti.

“Dia sangat terobsesi pada Bidadari Merah, Maya. Kau pasti sudah mengetahuinya, bukan? Aku yakin dia yang bertepuk paling keras saat kau terpilih jadi Bidadari Merah. Asal kau tahu setiap hari, selama pertunjukanmu, si tua itu tak pernah absen untuk menonton.”

“Benarkah?” Maya membulatkan mata beningnya takjub.

“Dia salah satu fansmu sekarang. Jadi, kupikir ayahku tidak akan membiarkanmu berada di luar sementara ada orang yang berniat mencelakaimu. Di sini adalah tempat teraman untukmu sekarang. Tak akan ada yang berani menerobos masuk untuk mencelakaimu jika orang tidak ingin mati konyol!”

Maya menunduk, menyembunyikan bola matanya yang bergerak gelisah.

Aku mungkin aman, tapi andalah yang akan jadi sasarannya..

“Pak Masumi,” keraguan akan keputusannya mengikuti Masumi kembali membayang. “Saya rasa, lebih baik saya tidak di sini. Tidak bersama…”

“Omong kosong!” Masumi memotong dengan nada agak tinggi. “Kau akan tetap berada di sini, Mungil. Aku sudah menyuruh orang-orangku untuk mengawasimu lebih ketat sejak sekarang tapi itu tidak cukup. Aku sendiri yang harus memastikan keselamatanmu!”

Maya termangu. Meski sangat terharu dengan perhatian Masumi, tapi itu tidak cukup untuk menghapus keresahannya.

Dadanya berdesir saat tiba-tiba jemari lelaki itu merangkum lengannya yang terjalin resah di pangkuan. 

Seketika wajah mungil itu menoleh, dan mendapati Masumi tengah menatapnya dengan sangat lembut.

“Kau percaya padaku, bukan?” bisik laki-laki itu. Sejenak Maya terdiam. Lalu perlahan mengangguk.

Masumi tersenyum puas.

“Jadi  tenanglah. Kau akan baik-baik saja.”

“Asal anda berjanji satu hal padaku,” sahut Maya pelan. Masumi menatapnya.

“Apa itu?”

“Berjanjilah, anda juga akan baik-baik saja.”

Mendengar itu Masumi tertawa.

“Kau ini ada-ada saja, Maya. Tentu saja aku akan baik-baik saja!”

“Jika anda tidak berjanji, saya akan pergi!” tukas Maya keras. Mata beningnya menatap serius, membuat Masumi menghentikan tawanya saat itu juga.

“Jelaskan maksudmu dulu!” tuntut Masumi.

Maya tak segera menjawab. Hatinya berkecamuk ragu, antara menceritakan sepenuhnya apa yang terjadi, atau tetap merahasiakannya pada Masumi. Tapi jika dia bercerita yang sebenarnya, dia yakin, Masumi semakin tidak akan melepaskannya sendiri. Dan akibatnya akan fatal bagi laki-laki itu.

“Melindungi saya…mungkin…bisa membuat anda~dalam bahaya…… juga,” akhirnya Maya menjawab dengan suara gemetar.

Masumi tertegun, tapi beberapa saat kemudian sebuah senyum terukir di bibirnya.

“Maya,” dengan lembut disentuhnya dagu perempuan yang sudah mengisi hatinya belasan tahun terakhir ini. Maya menengadah. Mata gadis itu berkaca-kaca.

“Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir,” Masumi mencoba menenangkan belahan jiwanya. Dengan sama lembutnya, diusapnya air mata yang kini merembes keluar dari sudut mata Maya.

“Anda janji?” mata yang mengerjap resah itu terlihat begitu mempesona. Masumi menahan nafas, mencoba mengendalikan diri untuk tidak menunduk mencium mata yang penuh bintang itu.

“Aku janji,” angguknya kemudian.  Menghembuskan nafasnya pelan lalu dengan berat hati melepaskan sentuhannya di wajah Maya. “Sekarang kita keluar. Kau harus segera istirahat.”

Maya mengangguk. 

Beberapa pelayan yang sudah sejak tadi berdiri menunggu segera menyambut mereka, dengan sigap mengambil koper dan barang lainnya dari bagasi. 

Masumi berbicara pada seorang pelayan untuk menebus obat. Pelayan tersebut segera pergi begitu Masumi menyerahkan resepnya.

“Kalian sudah menyiapkan kamarnya?” tanya Masumi.

“Sudah tuan,” seorang pelayan yang sudah berumur mengangguk hormat. 

“Bagus! Ayo, Maya!”

Maya mengikuti Masumi memasuki rumah mewah tersebut. Menaiki tangga menuju lantai dua.

“Ini kamarmu,” kata Masumi ketika mereka tiba di sebuah pintu besar di lantai dua. Laki-laki itu membukanya dan Maya terperangah.

Kamar itu begitu luas. Dengan jendela-jendela besar yang menghadirkan pemandangan sebuah taman dengan kolam air  mancur yang indah. Tempat tidur, lampu-lampu, meja rias, lukisan, dan tirai-tirai sutra, semua nampak berpadu menciptakan suasana kamar yang sangat nyaman, sekaligus mewah.

“Pak Masumi, ini~” Maya tak bisa berkata-kata melihat kemewahan kamar yang akan ditempatinya.

“Ini tak seberapa jika mengingat yang akan menempatinya adalah seorang bidadari,” senyum Masumi, membuat Maya merasakan panas di kedua pipinya.

“Kamar mandinya sebelah sana!” Masumi menunjuk sebuah pintu yang tersamarkan bersama pintu-pintu lemari. 

Maya mengangguk.

“Istirahatlah. Sebentar lagi kita makan siang.”

“Anda tidak bekerja?” Maya melirik jam antik di samping tempat tidur. Sudah lewat jam 12.

“Hari ini tidak ada yang penting. Aku sudah mewakilkan semua pada wakilku,” jawab Masumi. “Aku akan menemui ayahku dulu.”

Masumi pun keluar setelah memberi instruksi pada seorang pelayan untuk melayani semua keperluan Maya selama gadis itu ada di sini. Bergegas menuju bagian rumah dimana biasanya ayahnya berada.

“Masuk!” suara berat segera menyambut ketukannya di pintu. 

Masumi masuk dan mendapati ayahnya tengah duduk di kursi roda, menghadap ke arah jendela. Memandangi lapangan rumput dengan danau kecil di luar sana.

“Jadi kau bawa gadis itu kemari?” 

Masumi mendengus pelan. Jadi si tua ini sudah tahu!

“Ya, ayah. Karena ayah sudah tahu, aku tidak perlu susah payah lagi menjelaskannya padamu.”

“Dia terluka dan kau bertidak sebagai pahlawan kesiangan. Murahan sekali!”

“Hanya rumah ini yang aman baginya sekarang!” Masumi mengetatkan gerahamnya.

“Mungkin iya!” Eisuke memutar kursi rodanya dan langsung menatap Masumi tajam. “Mungkin juga tidak!” suara itu begitu dalam.

“Maksud ayah?”

“Aku tidak mau keberadaannya di rumah ini membuat keluarga Takamiya berpikiran yang tidak-tidak sehingga mengubah rencana pernikahanmu dengan Shiori. Aku tidak mau mengambil resiko itu!”

Masumi mengepalkan lengan, mencoba menahan amarah yang mulai menguasai hatinya.

“Sudah kukatakan, aku tidak akan menikahi Shiori Takamiya!”

“Aku tidak menyangka kau berniat membuang cucu seorang milyader demi gadis yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri itu!”

Masumi tersentak. Wajahnya mendadak pucat. 

Eisuke tertawa sinis.

“Jangan pikir aku tidak tahu kau membatalkan pertunanganmu dengan Shiori karena kau jatuh cinta pada gadis yang kini kau bawa ke rumah ini Masumi!”

“Jadi ayah sudah tahu,” desis Masumi. Sejenak menimbang apa yang harus dikatakannya sebelum akhirnya menarik nafas panjang. 

“Baiklah, aku tidak akan menyangkal. Aku~memang mencintai Maya. Jauh sebelum aku memutuskan untuk bertunangan dengan Shiori.”

“Apapun yang kau katakan sekarang tak akan mengubah kenyataan KAU~harus menikahi Shiori!”

“Bertunangan dengan Shiori adalah kesalahan, dan aku akan memperbaiki kesalahan itu dengan mengakhirinya!”

“Kesalahan atau bukan, kewajibanmu sebagai seorang Hayami untuk tetap menikahinya!”

“Tidak!” geleng Masumi tegas. “Aku tidak mau menjerumuskan Shiori pada ambisi kalian. Sudah cukup aku menyakitinya selama ini. Aku juga tidak ingin menjalani sebuah pernikahan yang tidak didasari cinta. Aku~tidak akan menikahinya!”

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Tanggal pernikahan kalian sudah diumumkan,” suara Eisuke terdengar sinis.

“Apapun, Ayah. Akan aku lakukan apapun agar pernikahan itu tidak terjadi.”

“dan kau akan menikahi gadis itu? Maya?”

Masumi tertegun. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

“Kau tidak yakin bukan?” kembali Eisuke tersenyum sinis. “Gadis itu membencimu setelah apa yang sudah kau lakukan pada Mayuko dan Ibunya.”

“Aku akan melindunginya seumur hidupku!” desis Masumi. “Tak peduli apakah dia mencintaiku atau tidak!”

Perkataannya dijawab dengan tawa sinis Eisuke yang membahana di ruangan tersebut.

“Dengar, Ayah. Aku tidak mau menjalani hidup seperti ayah. Mencintai seseorang sepenuh hati, tapi yang ayah lakukan hanyalah menyakiti dan menjadi musuhnya seumur hidup. Menikahi perempuan yang tidak dicintai demi mendapatkan penerus tapi kemudian menyia-nyiakan perempuan itu. Terobsesi pada sesuatu yang bukan milikmu, melakukan segala cara untuk mendapatkannya meski harus membuat perempuan yang kau cintai menderita,” Masumi terdiam sejenak, melihat reaksi ayahnya.

Eisuke membisu.

“Tidak ayah,” geleng Masumi kemudian.” Aku tidak akan sebodoh ayah. Aku mungkin pernah menyakitinya di masa lalu, tapi kupastikan itu tidak akan terjadi lagi. Aku akan memperjuangkan cintaku meski ditolak berkali-kali. Dan aku bersumpah, apapun yang terjadi, aku akan selalu berada disampingnya untuk melindunginya.”

Masumi berbalik, berniat untuk meninggalkan ruangan itu sebelum kekesalannya benar-benar meledak.

“Berhati-hatilah, Masumi. Kau tidak akan tahu apa yang akan dialami gadis itu di rumah ini!”

Masumi tertegun, lalu kembali berbalik. Menantang tatapan ayahnya dengan sorot mata yang menyala penuh kemarahan.

“Dan ayah tidak akan tahu apa yang bisa kulakukan jika kau berani menyakitinya meski seujung rambut sekalipun!” desisnya. “Dan jika itu terjadi, akan kupastikan kau akan menyesal telah mengangkatku sebagai anakmu!”

Setelah mengatakan itu, Masumi keluar dengan langkah lebar seraya menutup pintu dengan keras. Meninggalkan Eisuke sendirian dalam keterpakuan. 

Selama dua puluh tujuh tahun membesarkan Masumi, ia tahu, anak angkatnya itu memendam dendam yang teramat besar atas kematian ibunya. Tapi baru kali ini ia mendengar Masumi mengancamnya langsung seperti tadi. 

Ingatannya melayang pada sosok gadis mungil pemeran Bidadari Merah yang kini berada di rumahnya.

Ah, meskipun tak ada hubungan darah, tapi rupanya takdir membawa kami pada jalan yang sama. 

Diputarnya kursi roda, kembali memandang danau kecil di luar.

Bidadari merah…Aku dan Masumi, kami sama-sama sudah terperosok dalam pesonamu. Terperosok dengan sangat dalam…

***

Setelah makan siang bersama Maya, Masumi mendapat telepon dari wakilnya. Ada urusan yang harus dia tangani sendiri.

“Maaf, begitu selesai aku segera pulang,” Masumi merasa sedikit was-was meninggalkan Maya sendirian setelah apa yang dikatakan ayahnya tadi. “Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk meneleponku.”

Maya tersenyum. 

“Saya akan baik-baik saja,” katanya. “Jangan khawatir.”

“Dokter bilang kau harus banyak istirahat. Jangan memaksakan diri melakukan sesuatu agar kau bisa cepat pulih.”

“Saya tahu,” angguk Maya. “Pergilah.”

Masumi menatap wajah Maya beberapa lama. Seolah ingin memastikan kalau gadis itu memang akan baik-baik saja. 

“Pak Masumi?” Maya balas menatap dengan wajah memerah.

“Hmm?”

“Sampai kapan anda akan berdiri menatap saya seperti itu?” kata gadis itu seraya tersenyum gugup. “Jika anda terus seperti itu, mungkin saya akan benar-benar menghilang karena gugup dan malu,” lanjutnya setengah bercanda.

Masumi merasakan sentakan di hatinya. Meski tahu Maya hanya bercanda, tapi sungguh, dirinya sangat tidak menyukai candaan Maya yang seperti itu. 

“Meski kau hanya bercanda, tapi aku harap kau tidak mengulangi candaanmu yang seperti itu,” gumamnya dingin.

“Eh?” nampak gadis di depannya sedikit terkejut.

“Kau tidak akan menghilang dari hadapanku. Tidak akan pernah! Aku akan pastikan itu!!”

“Pak Masumiii..”

“Aku pergi,” Masumi memaksakan diri untuk beranjak dari hadapan Maya. “Istirahatlah,” betapa inginnya ia menyentuh pipi Maya yang nampak kemerahan di hadapannya, tapi dia tahu, saat ini ia masih harus menahan diri.

“Hati-hati,” angguk Maya, mengantar Masumi dengan senyumnya sampai punggung laki-laki itu menghilang di balik pintu.

Maya menghela nafas panjang. Dengan kepenatan yang tiba-tiba menyergap, gadis itu duduk di sofa depan tempat tidurnya. 

Musubi no Kami…

Hanya dalam hitungan hari, orang itu sudah berhasil membuat hidupnya seperti dalam mimpi buruk. 

Denyutan di bahu kiri membuat Maya meringis.

Peluru itu pasti ditujukan untuk Pak Masumi, batinnya dengan dada berdegup kencang. Ia benar-benar merasa bersyukur Masumi membantunya mengambilkan barang-barangnya yang jatuh saat itu sehingga laki-laki itu terhindar dari bahaya. 

Kali ini kami beruntung. Tapi sampai kapan? 

Keresahannya tak kunjung reda.

Sampai Musubi no Kami mendapatkan apa yang dia inginkan, siapapun tak akan ada yang bisa aman di dekatnya.

Dan yang dia inginkan adalah aku…

Maya tertegun. 


…Segera kita akan bertemu sayang, kau akan segera  mengenalku, dan mencintaiku, seperti aku mencintaimu..


Saat ini Maya benar-benar berharap pertemuannya dengan Musubi no Kami akan terjadi dalam waktu dekat.

Sebelum orang itu menyakiti orang-orang yang aku sayangi lagi.. Menyakiti Pak Masumi..

Air mata tiba-tiba merebak.

Dengan lelah, Maya berdiri dan berjalan menuju tempat tidur.

Dibaringkannya tubuhnya yang penat. Berharap tidur dapat menghilangkan semua pikiran buruk dari kepalanya.

Mungkin karena pengaruh obat yang baru diminumnya setelah makan siang tadi, gadis itupun dengan cepat terlelap.

***

Sebuah mobil terparkir tak jauh dari kediaman Hayami. Sejak mobil yang membawa Masumi Hayami dan Maya memasuki gerbangnya, tak sedetikpun orang yang berada di dalamnya beranjak dari sana. Mata yang tertutup kacamata hitam itu terus mengawasi rumah mewah tersebut, sampai kemudian, ia melihat mobil Masumi keluar dari gerbang.

Gadis itu tidak bersamanya, senyumnya puas.

Perlahan, ia mulai menjalankan mobil. Dengan hati-hati mengikuti kemana Masumi pergi.

Ah, ini kan?

Dia tertawa. Harusnya aku sudah tahu! Batinnya senang.

Diinjaknya pedal gas dan dalam hitungan detik, ia sudah melewati mobil Masumi, membelah jalanan dan dengan cepat menghilang di balik tikungan.

***

Maya terbangun saat ada yang mengetuk pintu.

“Maaf, Nona. Apakah Nona ingin membersihkan diri? Tuan Masumi berpesan, karena luka Nona masih basah, saya harus membantu Nona untuk membersihkan diri,” seorang pelayan yang masih muda muncul dari balik pintu.

Maya merasakan badannya lengket, dan dia memang butuh mandi.

“Terima kasih,” senyumnya. “Badan saya memang terasa sangat lengket.”

“Akan saya siapkan air mandinya,” pelayan itu bergegas ke kamar mandi. Tak berapa lama kemudian terdengan suara air mengucur.

“Ah, saya bantu, Nona!” ujarnya lagi saat dilihatnya Maya berusaha membuka sweaternya. 

 “Apa  Pak Masumi sudah pulang?” Maya melirik jam di samping tempat tidur.
“Belum, Nona,” geleng pelayan itu. “Tadi beliau menelepon dan mengatakan akan pulang sebelum makan malam.”

Maya tersenyum. Meski agak risih karena tidak pernah ditemani mandi oleh siapapun sebelum ini, tapi dalam keadaannya sekarang, kehadiran Rika, pelayan muda yang ditugaskan Masumi untuk membantunya, benar-benar membuatnya lega. Dengan cekatan Rika membantunya mengganti perban, dan membantunya berpakaian.

“Saya sedang sekolah perawat, Nona,” senyum gadis itu saat Maya memuji kecekatannya mengoleskan obat dan mengganti perban. “Tuan Besar dan Tuan Muda bermurah hati menyekolahkan saya setelah tahu cita-cita saya menjadi seorang perawat.”

“Yang kau maksud Tuan Besar, itu tuan Eisuke Hayami, ya?”

“Betul, Nona.”

Dari apa yang selama ini didengarnya tentang Presiden Direktur Daito Enterprise itu, ini kali pertama Maya mendengar tentang kebaikan Eisuke Hayami. Tapi ia tidak ingin bergosip tentangnya sekarang.

“Apa Nona ingin makan di kamar, atau di ruang makan?” tanya Rika kemudian setelah Maya rapi dalam pakaiannya.

“Di ruang makan saja, terima kasih,” jawab Maya.

“Baiklah. Akan saya beritahu kalau makan malamnya sudah siap,” senyum Rika. “Permisi, Nona.”

Maya mengangguk. Selang berapa lama, gadis itu merasa bosan terus  berada di kamar. Meskipun badannya terasa agak hangat setelah mandi tadi, tapi diputuskannya untuk keluar, sekedar melihat-lihat suasana kediaman Hayami ini.

Diambilnya handphone dan ditekannya nomor Masumi. Laki-laki itu sudah memasukkan nomornya sebelum ia pergi kerja tadi.

“Maya? Ada apa? Apakah kau baik-baik saja?

Suara laki-laki itu yang terdengar khawatir membuat Maya tertawa.

“Saya baik-baik saja, pak Masumi,” jawabnya. “Saya menelepon anda untuk minta ijin, apakah… emh.. saya boleh…melihat-lihat di sekitar rumah anda?”

“Kenapa? Apa kau merasa bosan?

Maya meringis. 

“Iya, “angguknya. “Di kamar terus seharian sungguh membosankan.”

Didengarnya Masumi tertawa.

“Tentu saja, Mungil. Kau boleh jalan-jalan melihat-lihat rumah, asalkan kau cukup kuat dan tidak memaksakan diri.”

Gadis itu mengangguk, meski tahu Masumi tak mungkin melihatnya.

“Saya baik-baik saja,” ujarnya kemudian, menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

“Mintalah Rika atau Naoko menemanimu. Sebentar lagi aku pulang.”

“Ungh!” Maya kembali mengangguk. Tersenyum puas seraya melangkah keluar kamar. 

Dia tidak bisa menemukan Rika, dan tidak tahu yang mana pelayan yang bernama Naoko. Jadi diputuskannya untuk berjalan-jalan sendirian. Taman bunga yang asri dengan kolam air mancur yang dia lihat dari kamar sungguh menggodanya untuk datang sejak pertama kali dia melihatnya. Dengan menerka-nerka jalan, akhirnya ia sampai juga di tempat itu.

Mata beningnya membulat kagum.  Taman itu ternyata lebih luas dari perkiraannya. Rumput hijau berpadu dengan warna warni bunga yang ditata artistik. Beberapa aliran air, entah dari mana berasal, berliku-liku diantara rumpun-rumpun bunga untuk kemudian bermuara di kolam air mancur di tengah taman. 

Udara di sekitarnya penuh dengan aroma bunga. Dalam sekejap, Maya sudah jatuh cinta pada tempat ini.

Perlahan gadis itu berjalan menapaki rumput hijau, menikmati keindahan berbagai jenis bunga di sana. 

Matanya melebar takjub melihat rumpun mawar berwarna kuning.

“Cantiknyaaaa!” desisnya kagum. Ini kali pertama dirinya melihat mawar kuning secerah itu. 

Ah, tapi tak secantik mawar ungu! Batinnya kemudian. Perasaan rindu menggelayuti hatinya. Sudah lama ia tidak menerima mawar ungu dari pengagum rahasianya itu.

Maya baru saja hendak berpindah ke rumpun bunga berikutnya, saat sebuah suara berat menyapa.

“Tak kusangka bisa bertemu denganmu di tempat ini!”

Cepat Maya berbalik. 

Matanya berbinar melihat siapa yang berada di belakangnya.

“Paman!!” pekiknya gembira seraya berlari mendekat.

“Lama tidak bertemu, Mungil,” Eisuke melebarkan senyumnya. “Apa kabarmu?”

***

Masumi menatap resah telepon yang baru disimpannya.

“Shiori terus menerus menanyakanmu. Hari ini kau belum menengoknya, Masumi.”

Bahasa Teno Takamiya memang halus, tapi menyiratkan kesan sebuah perintah yang tak mau diabaikan.

Dirinya berusaha menyelesaikan semua urusannya di kantor secepat mungkin hanya untuk satu hal: agar dia bisa cepat pulang untuk bertemu dengan Maya!
Tapi dia pun tidak bisa mengabaikan Shiori. 

Dia sudah berjanji dalam hati untuk membantu perempuan itu agar bisa segera pulih. Setelah itu, dia yakin, dia bisa meninggalkan Shiori tanpa perasaan bersalah.

Diliriknya jam. Masih dua jam menuju makan malam. Diputuskannya untuk menengok Shiori sebentar. Jika tidak, dia yakin, Teno Takamiya tidak membiarkannya melewati malam ini dengan tenang.

Dia harus berada di rumah sebelum makan malam!

Oshima sudah menunggunya di depan lift di area parkir khusus.

“Ke kediaman Takamiya!” perintahnya yang langsung dijawab Oshima dengan anggukan.

“Baik, Tuan.”

Mobil mewah itupun segera melaju meninggalkan area parkir yang berada di basement tersebut. Oshima menjalankannya dengan tenang, sampai ketika mobil itu harus menaiki tanjakan menuju pintu keluar, jantung laki-laki itu berdebar keras.

Rem yang diinjaknya begitu mencapai jalan datar, tak berfungsi!

Mobil itu meluncur cepat ke arah pintu gerbang yang masih terhalang palang otomatis.

“Oshima!!” Masumi berteriak kaget. Tangannya refleks berpegangan agar tubuhnya tidak terpental meskipun sabuk pengaman ketat melingkarinya.

Namun Oshima berhasil menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi supir pribadi seorang Masumi Hayami. Mobil itu berhasil berhenti tepat sebelum menabrak palang pembatas setelah menabrak beberapa pot bunga dan menyerempet area pembatas pos penjagaan.

Masumi keluar dengan wajah pucat pasi.

“Apa yang terjadi, Oshima?”

Oshima, dengan tak kalah pucatnya membungkuk panik. 

“Maaf, Tuan Muda. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi~remnya sepertinya tidak berfungsi.”

“Apa?”

“Akan segera saya cek!”

Dengan sigap, Oshima mengecek kondisi mobil, terbelalak saat melihat kabel rem sudah terputus.

“Tuan,” desisnya. “Ada yang sudah memotong kabel rem~mobil.”

Laki-laki itu memandang wajah tuannya dengan keterkejutan yang jelas terlihat di kedua matanya.

***

Maya menatap laki-laki setengah baya di depannya dengan takjub. 

“Jadi~ anda adalah~ Tuan~ Eisuke Hayami?”

Senyuman tipis terukir di bibir Eisuke.

“Betul, Maya. Aku adalah Eisuke Hayami.”

“Saya~ ah, maafkan saya. Selama ini mungkin~ saya kurang~,” Maya benar-benar terkejut sehingga bingung apa yang harus dikatakannya kini di depan laki-laki tua yang selama ini dikenalnya sebagai paman es krim.

“Ah, aku tidak suka kau bersikap formal padaku, Maya. Bersikaplah seperti biasanya. Aku menyukai dirimu yang periang dan memperlakukanku dengan begitu hangat.”

“Tapi~saat itu saya tidak tahu kalau anda adalah~”

“Aku tetap laki-laki tua yang sama yang merasa senang saat kau bersedia menemaniku makan es krim, Maya.”

“Benarkah? Tapi yang saya dengat tentang anda, anda adalah…”

“Kejam dan tidak berperasaan?” Eisuke memotong perkataan Maya dengan senyum terus terukir di bibirnya. “Menurutmu, orang seperti apa aku ini, Maya?”

“Emh.. sebagai Paman Es Krim..?”

“Paman Es Krim?” Eisuke menaikan sebelah alisnya. Dilihatnya wajah Maya merona.

“Maaf, saya selalu lupa menanyakan nama Paman, jadi~karena tidak tahu nama Paman, saya selalu menyebut Paman sebagai Paman Es Krim.”

Eisuke tertawa terbahak-bahak melihat kepolosan gadis di depannya, membuat wajah Maya semakin merona.

“Baiklah, Mungil. Menurutmu, apakah aku seperti apa yang kau dengar tentang Eisuke Hayami?”

Maya menggeleng.

“Paman Es Krim yang saya kenal sangat baik, ramah, dan hangat. Paman yang sangat menyenangkan!” Jawab Maya lugas. “Memang berbeda dengan apa yang orang-orang katakan tentang Eisuke Hayami.”

“Jadi? Menurutmu mana yang benar?”

Maya terdiam. Memandangi laki-laki tua di depannya, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk diucapkan.

“Mungkin keduanya benar,” jawabnya kemudian. Eisuke terdiam, menunggu jawaban gadis di depannya lebih banyak lagi. “Selama ini, meski saya belum pernah bertemu dengan Paman sebagai seorang Eisuke Hayami, dari apa yang saya dengar dari banyak orang dan apa yang saya lihat saat Paman berusaha merebut hak pementasan Bidadari Merah dari Bu Mayuko, sebagai seorang pengusaha, mungkin memang anda sekejam dan sedingin yang dibicarakan. Meski yang saya rasakan berbeda. Entah mengapa, sebagai Paman Es Krim, Paman sangat berbeda. Seperti orang lain. Mungkiin… sebenarnya, dibalik sikap kejam dan dingin seorang Eisuke Hayami, Paman adalah seseorang yang hangat, baik hati, dan menyenangkan.”

Diam-diam Eisuke tersenyum.

Gadis di depannya benar-benar polos. Tak heran jika Masumi sampai kalang kabut melindungi gadis ini.

Hmm.. menarik! Sebuah pikiran melintas di kepalanya.

Kini saatnya kau tahu Masumi, apakah keputusanmu membawa gadis ini kemari adalah keputusan yang tepat atau tidak!

Senyumnya semakin mengembang. Perasaannya mengatakan bahwa hari-harinya setelah ini tidak akan lagi menjemukan.

***


Tembok di sebelahnya menjadi sasaran kekesalannya. Namun sedetik kemudian, dia  meringis.

“Aku tidak memperhitungkan keberadaan sopir itu,” desisnya. Harusnya di tahu, orang sekaliber Masumi Hayami selalu mempekerjakan orang-orang terbaik.

Diperhatikannya kerumunan orang di sekitar mobil. Beberapa petugas keamanan nampak sibuk dengan alat komunikasi mereka. Sementara Masumi Hayami berdiri di tengah kerumunan, sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Tak terluka sedikitpun.

“Heh, selalu saja beruntung!”

Sambil terus memendam kekesalan, dirinya beranjak dari tempat persembunyiannya. Melangkah dengan tenang menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kejadian.

***
Akhirnya diputuskan untuk tidak mendatangi kediaman Takamiya. Kejadian yang hampir membuatnya celaka tadi membuat Masumi tak ingin pergi kemana pun selain menemui Maya dan melihat wajah mungil gadis itu.

Sebuah pesan pendek permintaan maaf dikirimnya ke nomor Teno Takamiya. Tanpa menyebutkan alasan dan kapan dirinya akan menyempatkan diri menengok Shiori. Hatinya sedang sangat tidak tenang. Dan satu-satunya obat penenangnya hanyalah Maya.

Sebuah taksi mengantarya kembali ke Kediaman Hayami dan mendapati tatapan keheranan Asa yang melihatnya turun dari taksi.

“Tuan Muda? Apa yang terjadi dengan mobil anda?”

“Masuk bengkel!” jawab Masumi cepat, tak berniat menceritakan apapun pada asisten ayahnya itu.

Bergegas ia menuju lantai dua. Tak sabar ingin melihat wajah mungil gadis tercintanya itu.

“Tuan Muda,” Rika, yang kebetulan tengah mengambil beberapa vas bunga yang dipajang di beberapa sudut di lantai tersebut membuatnya urung mengetuk pintu.

“Nona Maya sedang berada di taman barat, Tuan.”

Masumi teringat Maya yang meminta ijin untuk berjalan-jalan di sekitar rumah sebelumnya.

“Siapa yang menemaninya?” tanyanya kemudian.

“Sepertinya tadi, Nona Maya tengah berbincang dengan Tuan Besar di sana.”

“Apa?” Masumi tersentak kaget. Secepat kilat ia menuruni tangga dan melesat ke arah taman barat. 

Semoga si tua itu tidak melakukan sesuatu yang tidak-tidak!

Maya nampak tengah duduk di sebuah bangku taman dekat air mancur. Eisuke bersamanya.

“Eh?”

Masumi mengerutkan kening. Maya nampak tengah tertawa riang, ditimpali dengan tawa Eisuke yang terbahak.

“Ah, kau sudah pulang, Masumi,” Eisuke masih sempat menyapa disela tawanya saat melihat kedatangan anan angkatnya itu. “Kau terlihat tegang, ada apa? Takut kalau aku melakukan hal yang tidak-tidak pada si Mungil ini, ya?” ujarnya kemudian dengan ringan. 

Masumi mengetatkan gerahamnya.

“Tenang saja, Masumi. Gadis mungilmu ini baik-baik saja, kok,” kekehnya kemudian.

Maya tersenyum. Gembira melihat kedatangan laki-laki itu.

“Selamat datang,” sambutnya dengan binar mata ceria. Masumi balas tersenyum. Hatinya terasa hangat.

“Kau baik-baik saja, Maya?” laki-laki memandang wajah Maya yang nampak pucat.

Maya mengangguk.

“Saya baik-baik saja.”

“Lebih baik kau kembali ke kamarmu, Maya. Wajahmu masih pucat, dan aku yakin, badanmu pun masih lemas,” ujar Masumi seraya mendekat. “Aku antar ke kamarmu.”

Maya tertegun, memandang tangan Masumi yang kini terulur di depannya sebelum kemudian menyambut tangan itu dan berdiri.

“Paman, saya masuk dulu,” pamit Maya pada Eisuke. 

“Masumi, kau benar-benar pengganggu!” gerutu Eisuke seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Maya.

Maya tergelak pelan.

“Istirahatlah, Mungil. Kau pasti lelah dengan kejadian hari ini.”

“Baik, Paman. Terima kasih,” angguk Maya. Sementara disampingnya Masumi terheran-heran. 

Paman? Mungil? 

Namun ditelannya rasa heran itu. Segera dihelanya Maya menjauh.

“Oh, Masumi!” seruan Eisuke menghentikan langkah keduanya.

“Besok orang dari butik akan datang untuk memastikan rancangan baju pengantinmu. Aku harap, apapaun yang akan kau lakukan besok, kau bisa menyempatkan diri untuk pulang!”

Perkataan Eisuke membuat Maya membeku seketika. Seolah disadarkan akan status laki-laki di sampingnya, gadis itu pelan melepaskan diri dari genggaman lengan Masumi. 

Masumi mengetatkan gerahamnya. Menatap sengit ke arah ayah tirinya sebelum kembali berbalik dan kembali menyambar lengan Maya, meninggalkan Eisuke yang diam-diam tersenyum di belakang mereka.

Tanpa bicara keduanya berjalan menuju kamar Maya.

“Pak Masumi,” Maya kembali mencoba lepas dari genggaman Masumi. “tolong lepaskan tangan saya,” bisiknya kemudian lirih. Dadanya mulai sesak dengan kesedihan karena kembali diingatkan, bahwa laki-laki yang sangat dicintainya ini akan menikah dengan perempuan lain sebentar lagi.

Alih-alih melepaskan tangan Maya, Masumi malah kian mengetatkan jemarinya di pergelangan tangan gadis itu. Wajahnya terlihat dingin.

“Pak Masumi,” Maya kembali berusaha menarik lengannya, namun kemudian meringis saat merasakan jemari laki-laki itu semakin kuat mencengkram.

Masumi membuka pintu kamar.

“Masuklah,” ujar laki-laki itu pelan. Maya menurut. Masumi yang masuk belakangan menutup pintu.

Maya berdiri kikuk di tengah ruangan, memperhatikan Masumi yang berjalan ke arah jendela besar di samping ruangan untuk kemudian menutupnya.

“Udaranya sangat dingin,” kembali Masumi berkata pelan. “Sangat tidak baik untuk kondisi badanmu yang sedang lemah.”

Maya tidak berkomentar. Gadis itu berjalan pelan menuju pinggiran tempat tidur.

“Bagaimana bahumu?” Masumi mendekat. 

“Tadi Rika membantu mengganti perbannya,” jawab Maya. “Dia cekatan sekali.”

“Dia belajar di sekolah perawat,” jelas Masumi.

“Ya, Rika tadi cerita kalau anda dan Paman membiayainya sekolah.”

Masumi tersenyum tipis. Seakan diingatkan pada keakraban Maya dan ayah tirinya tadi, laki-laki itu menatap gadis mungil di depannya lekat-lekat.

“Kau akrab sekali dengan ayahku. Apakah~kalian pernah bertemu sebelumnya?”

“Ya,”angguk Maya. “Sebelum pentas percobaan Bidadari Merah, kami beberapa kali ngobrol. Tapi saat itu, saya tidak tahu kalau beliau adalah Eisuke Hayami.”

“Sungguh?” mata Masumi membulat takjub. “Apa yang kalian obrolkan?”

“Itu~emh,” tiba-tiba saja wajah Maya memerah, mengingat sering kali ia memaki Masumi di depan Eisuke saat itu. “Beberapa hal tentang Bidadari Merah, dan ya~ kami ngobrol hal-hal yang ringan, sambil makan es. Beliau menyenangkan.”

Mata Masumi semakin membulat. Menyenangkan? Eisuke Hayami?

“Aku hampir tak percaya kalau orang yang kau ceritakan tadi adalah ayahku,” ungkapnya kemudian membuat Maya mau tidak mau tersenyum.

Memandang wajah tampan Masumi di depannya membuat dadanya berdebar halus. Sejenak memanjakan diri menikmati wajah itu.

Besok orang dari butik akan datang untuk memastikan rancangan baju pengantinmu…

Terngiang ucapan Eisuke tadi. Cepat Maya memalingkan wajahnya.

Apa yang kau lakukan, Maya! Tegur hatinya. Berhentilah bermimpi!

Dadanya kembali terasa sesak. Matanya pun panas.

“Mungil?” Masumi terkejut melihat perubahan wajah Maya. “Kau baik-baik saja?” 

Maya menggerakkan kepalanya, menghindar dari sentuhan jemari Masumi.

Laki-laki itu tertegun. 

“Saya baik-baik saja,” dalam hati Maya menyumpah mengapa suaranya terdengar begitu serak. “Hanya~tiba-tiba sedikit~pusing,” kalimat terakhir diucapkannya dengan setengah berbisik karena tenggorokannya serasa terisi penuh dengan cairan. Bahkan tanpa bisa di cegah, air mata mulai melompat turun satu-satu ke pipinya yang pucat.

“Maya!” Masumi kian khawatir.  Lengannya yang kembali terangkat hendak merangkum wajah mungil yang bersimbah air mata itu kembali mengawang di udara, teringat bagaimana Maya menghindarinya tadi.

“Saya ingin istirahat, Pak Masumi. Maaf,” bisik Maya lirih, berusaha menekan isakannya.

Masumi tergagap. 

“Kalau begitu aku akan meninggalkanmu sendiri,” ujarnya kemudian. Jemarinya terkepal, mati-matian menahan keinginannya untuk meraih Maya ke dalam pelukan. “Istirahatlah,” laki-laki itu mulai beranjak keluar. Di pintu, kembali ia berbalik, memandang Maya yang masih tertunduk seraya terisak di sisi tempat tidur.

“Maya.”

Wajah mungil itu terangkat. Masumi terkesiap. Wajah yang kini bersimbah air mata itu nampak begitu mempesona di matanya.

“Maya~aku…,” laki-laki itu tergagap. Lupa dengan apa yang ingin dikatakannya pada Maya.

Maya masih menatapnya. Air mata masih mengalir dari kedua bola mata beningnya.

Masumi menghela nafas pelan, mencoba meredakan debaran hatinya sebagai imbas dari keterpesonaannya.

“Istirahatlah~,” akhirnya hanya itu yang bisa dia ucapkan sebelum menutup pintu kamar.

Masumi menyenderkan tubuhnya di pintu kamar. Menekan dadanya yang masih berdetak kencang.

“Mayaa~,” bisik hatinya. Padahal Maya berada tak lebih dari 5 meter di balik pintu ini, dan sepuluh detik yang lalu mereka baru saja bersama. Namun sekarang, ia harus menahan keinginannya mati-matian untuk kembali berbalik, membuka pintu, dan menghambur menemui gadis itu.

***

Masumi baru saja ganti baju seusai mandi saat pintu kamarnya diketuk. 

“Ya!”

Rika membungkuk hormat saat masuk ke dalam kamar majikannya.

“Tuan muda, maaf. Nona Maya demam.  Panasnya cukup tinggi.”

Masumi tercekat. Meski dokter sudah mengatakan kemungkinan itu, tetap saja kini dirinya merasa sangat khawatir.

Bergegas ia menuju kamar Maya. Nampak gadis itu terbaring dengan wajah berkeringat. Setengah tidak sadar.

“Maya?” Masumi mendekat. Terkejut menyadari betapa panasnya badan Maya.“Apa dia sudah meminum obatnya?”

Rika mengangguk. “Sudah, Tuan Masumi.”

“Bagus. Kau boleh istirahat. Biar aku yang menjaganya.

Sepeninggal Rika, Masumi duduk di samping Maya, meraih jemarinya dan meremasnya lembut.

“Bertahanlah, Mungil,” bisiknya penuh kekhawatiran. 

Maya menggumamkan suara-suara tak jelas. Masumi mengetatkan genggamannya. Sebelah lengannya terulur untuk mengusap keringat di kening Maya.

Mulut Maya bergerak-gerak, mengucapkan sesuatu. 

“Apa, Mungil?” Masumi bertanya lembut.

Maya bergumam, masih tak jelas. 

Masumi mendekatkan telinganya ke bibir gadis itu.

“ jangaan…,” suara Maya terdengar sangat lemah. “Jangan sakiti mereka….”

Kening Masumi berkerut. Apa maksudnya?

“Nona Mizuki~,” kembali Maya mengerang resah. “Maaf~maaf~ Satomi~.”

Apa ini? Masumi menatap wajah pucat Maya dalam-dalam. Mengapa kau meminta maaf pada Mizuki dan Satomi, Maya?

Wajah Maya nampak sangat resah dalam ketidaksadarannya.

“Jangaan~ ku~mo~hoon.”

Apakah kau ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Satomi dan Mizuki, Maya?

Teringat saat mereka bertemu di rumah sakit. Maya nampak sangat shock dan panik. Bahkan cenderung ketakutan.

Apa yang sebenarnya kau alami, Mungil? Aku tidak suka melihatmu begini gelisah tanpa tahu harus berbuat apa…

Penyelidikan Hijiri pun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Pemeriksaan CCTV di area apartemen tidak bisa melacak sosok yang menembak Maya tadi pagi. Pelaku rupanya sangat cerdik, berhasil mengacaukan sensor CCTV sehingga tidak bisa menangkap aksinya.

Sama halnya dengan masalah penggemar rahasia Maya. Orang yang mengirimkan anyelir merah. Selalu orang yang berbeda yang memesan pengiriman. Dan juga selalu memesan dari tempat yang berbeda-beda.

Setidaknya aku tahu, orang ini sudah beberapa kali mengirimkan bunga pada Maya, batin Masumi dengan perasaan  sesak yang ia hafal betul, merupakan akibat dari kecemburuannya.

“………ngan saki~ti… tolong,” gerakan tubuh Maya semakin gelisah. Masumi membungkukkan badannya.

“Maya, tenanglah,” bisiknya.

“Ja~ngan.. kumohoo~n.”

Masumi tak tahan lagi. laki-laki itu memposisikan badannya sendiri sehingga terbaring di samping Maya. Lalu dengan hati-hati mengangkat kepala Maya dan menggeser posisinya agar dapat bersandar nyaman di lengannya yang kokoh.

Dipeluknya tubuh mungil yang gemetar dalam tidurnya itu. 

“Tenanglah, Sayang. Aku akan selalu menjagamu. Jangan takut lagi,” bisiknya seraya mengecup ujung kepala Maya.

Untuk beberapa saat, Maya masih bergerak gelisah dalam pelukannya sebelum akhirnya tenang dan kemudian tertidur.

***

Kazuya marah-marah saat dirinya terpaksa harus menjadwal ulang semua rencana syutingnya karena ketiadaan Maya. 

“Jangan mentang-mentang dia artis terkenal jadi bisa mengacak-ngacak schedule orang seenaknya!” semprotnya pada Keiko sesaat setelah ia mendapatkan pesan, tepatnya, perintah, dari Daito Entertainment tentang pe re-schedule-an ini.

Keiko yang kebetulan ada di dekatnya akhirnya hanya pasrah menerima kemarahan sutradara itu.

“Apakah sepenting itu sampai harus merusak jadwal orang?” ujar Kazuya, masih menggerutu.

“Sepertinya,” angguk Keiko, menyembunyikan kebenaran tentang insiden penembakan Maya. Sebagai asisten pribadi Maya, gadis itu merupakan satu-satunya orang yang diberitahu Maya tentang keadaan yang sebenarnya.

Perintah untuk tidak menceritakan kejadian sebenarnya datang langsung dari Masumi Hayami.

Keiko bahkan tahu, kalau kini Maya tinggal di kediaman Hayami.

“Inilah yang aku tidak suka. Orang-orang terlalu memanjakan artis yang dianggap menghasilkan keuntungan besar. Bikin mereka tambah besar kepala saja.”

Keiko meringis. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi kekesalan Kazuya. Untunglah, laki-laki berbadan tegap dan tampan itu kemudian berlalu dari hadapannya, membuat Keiko tanpa sadar menghela nafas lega.

Kazuya  masuk ke dalam ruang pribadinya di studio itu dan menghempaskan tubuhnya yang tiba-tiba penat ke atas satu-satunya sofa yang menghiasi ruangan itu. Kekesalan terbesarnya bukan karena harus menschedule ulang jadwal syutingnya. Ini bukan kali pertama haus mereschedule syutingnya. Dengan keahlian dan kecerdikan yang dia miliki,  Kazuya masih tetap bisa bekerja dengan sangat baik meski harus berulang kali merombak jadwal. 

Tapi kenyataan bahwa Maya akan absen dari studionya dalam waktu yang menurutnya cukup lama, membuatnya gusar. Produksi film kali ini adalah kali ketiga dirinya bekerja sama dengan gadis mungil pemegang hak pementasan bidadari merah itu. Awalnya, ketertarikannya pada gadis itu dianggapnya sebagai ketertarikan seorang sutradara terhadap seorang aktris yang sangat berbakat. Namun entah sejak kapan, dirinya seperti mendapatkan semangat tambahan saat menyadari bahwa Maya Kitajima akan bersamanya hari ini, meski dalam seting pekerjaan, selalu terpaku pada ekspresinya saat berakting, juga terpesona pada kepolosan dan keceriaannya.

Ada masalah penting yang harus segera di selesaikan…

Penjelasan Keiko tidak bisa membuatnya tenang. 

Tanpa sadar, Kazuya sudah menggenggam handphone dengan ID call Maya yang siap dia tekan.

Manajemen sudah memberitahuku tentang masalah ini, Keiko juga. Akan aneh kalau aku menanyakannya langsung, batinnya resah.

Diliriknya jam. 

Sudah hampir jam setengah sepuluh. Studio pun sudah sangat sepi. 

Apakah dia masih bangun?

Kazuya berdiri dan mondar-mandir di sana seraya memainkan slide handphone-nya gelisah. Lalu kembali membuka phonebook dan memandangi nomor Maya.

Minimal, mendengar suaranya akan membuatku sedikit tenang, pikirnya lagi. Tapiii…Argggg!! Brengsek!

Dilemparnya handphone tak bersalah itu ke atas sofa. 

Aku bisa gila kalau terus menerus memikirkannya seperti ini, hati laki-laki itu terus menerus menceracau. Kembali dia meraih handphonenya. 

Aku sutradaranya! Minimal aku berhak mendengar penjelasan langsung darinya, pikirnya kemudian.

Setelah menghela nafas dalam-dalam, ditekannya nomor Maya.

Di nada panggil kelima, teleponnya bersambut.

“Hallo?”

Suara laki-laki.

Jantung Kazuya serasa berhenti berdetak. 

Kenapa orang lain yang mengangkat handphone gadis itu? Apakah tadi aku menekan nomor yang salah?

“Maaf, Tuan Oda. Maya sudah tidur. Jika ada yang penting, besok saja telepon lagi.”

Suara itu begitu tegas. Lalu telepon ditutup.

Kazuya terhenyak di kursinya.

Apa ini? Siapa laki-laki itu?

Tiba-tiba saja Kazuya merasa udara di sekitarnya berubah menjadi sangat panas.

***

Maya merasakan badannya sakit saat terbangun. Terlebih dengan pundak  kirinya. Terasa sangat kaku.

“Kau sudah bangun?” sebuah suara lembut membuatnya melebarkan mata mencari arah suara. Nampak Masumi berdiri di depan jendela, tersenyum lembut ke arahnya. Sosoknya yang tinggi dan tegap nampak seperti disirami  sinar matahari pagi.

Begitu menyilaukan. Sungguh merupakan sebuah pemandangan pagi yang indah.

Maya mencoba bangun.

“Jangan bangun dulu, Mungil,” Masumi bergegas menghampiri dan menahan gerakan Maya dengan lembut. “Kau demam semalaman. Tidurmu pun gelisah. Jadi lebih baik kau baringan saja hari ini.”

Maya menghentikan gerakannya dan kembali berbaring. Telapak tangan Masumi yang lebar menyentuh dahinya.

“Syukurlah, demammu sudah turun,’ bisik laki-laki itu.

Lengan Masumi tak juga pergi dari dahinya. Bahkan perlahan, mulai membelai rambutnya, lalu turun ke pipinya. Menyentuhnya dengan sangat lembut.

Maya merasakan wajahnya memanas. 

“P`Pak Masumi,” bisiknya gugup.

“Hmmm?” seolah tidak mengerti kegugupan Maya, Masumi mendekatkan wajahnya ke wajah mungil gadis itu. 

Maya semakin gelagapan. Menahan nafas dan berusaha sebisa mungkin menjauhkan kepala sehingga semakin terbenam di bantal besar yang menyangganya. Namun itu tak membuat perbedaan yang besar, jarak wajah mereka tetap tidak berkurang.

Saat itulah Maya melihat memar di sudut dahi laki-laki itu.

Sontak lengannya terangkat, menyentuh memar itu.

“Ini~kenapa?”

Ada nada khawatir dalam suara Maya.

Kini giliran Masumi yang menahan nafasnya. Jantungnya  berdebar semakin kencang, terpesona pada mata bening Maya yang membulat melihat ke arahnya.

“Oh ini,” Masumi meraih jemari Maya yang menyentuh dahinya, lalu menggenggamnya lembut. “Aku~ kemarin terbentur pintu.”

Memar itu didapatkannya saat mobilnya hampir memporak-porandakan gerbang keamanan Daito.

“Eh~?” Mata Maya semakin membulat. Kini menatap langsung ke arah matanya membuat Masumi diam-diam meneguk ludah, mati-matian menahan diri untuk tidak mengecup kedua bola mata bening itu. “Anda? Terbentur?” nada suara Maya terdengar sangsi.

“Kenapa?” balik bertanya. “Memangnya aneh kalau orang terbentur pintu?”

Maya terkikik.

“Kalau saya mungkin tidak aneh. Tapi anda~?”

Masumi memandangi wajah gadis di bawahnya dengan, pura-pura melotot. 

“Kau sudah berani mentertawakanku, ya?” bisiknya gemas.

“Bukaaan.. tapii~,” Maya mencoba mengurai tawanya. Kemudian melepaskan jemarinya yang masih digenggam Masumi dan kembali menyentuh memar lelaki itu. Membelainya perlahan.

“Sakit?” tanyanya. Masumi menggeleng.

“Tidak," jawabnya setengah berbisik. Perlakuan Maya yang begitu lembut kembali mempesonanya. Tanpa sadar, wajahnya semakin mendekat, hingga dapat merasakan hangatnya hembusan nafas gadis itu di wajahnya.

“Maya~,” bisiknya. 

Wajah merona Maya semakin membuatnya tidak bisa mengendalikan perasaan. Terlebih, gadis itu hanya terdiam dengan gugup. 

Wajah mereka semakin dekat, Maya mulai memejamkan mata dengan jantung yang semakin sibuk berlompatan.

“Mayaa~,” suara Masumi terdengar semakin serak. Lelaki itu pun memejamkan matanya sedetik sebelum bibir mereka bersentuhan.

Keduanya merasakan dunia mereka berhenti berputar saat itu juga.

Mereka bahkan tidak menyadari pintu yang terkuak pelan di belakang mereka. Eisuke menahan pintu saat menyadari apa yang sedang terjadi di dalam. Sesaat hanya bisa terpaku untuk kemudian kembali menutup pintu itu.

Seulas senyum misterius terukir di bibir tuanya saat memutar kursi rodanya menjauh dari depan kamar Maya.

Di ruang kerjanya, laki-laki itu mengeluarkan handphone dan mulai menelepon. Matanya berkilat penuh rencana.

***

Menjelang siang, Maya merasakan badannya mulai sedikit segar. Gadis itu berkeras bangun dari tidurnya untuk menghirup udara di luar.

Masumi tak bisa menahannya. Meski dengan sedikit kesal, laki-laki itu akhirnya membantu Maya bangun.

“Kau ini keras kepala!” gerutunya yang hanya disambut oleh tawa pelan Maya.

“Lo?” Maya melirik jam dinding di atas televisi. Sudah hampi tengah hari. “Pak Masumi tidak bekerja?”

“Ini hari Sabtu, Mungil. Mana ada yang bekerja di hari Sabtu.”

“Bukannya anda orang yang gila kerja? Kalau tidak salah, Nona Mizuki pernah mengatakan, Sabtu-Minggu pun anda selalu lembur di kantor.”

Masumi mendengus. “Kali pengecualian, Mungil.”

“Pengecualian?”

“Ya,” angguk Masumi. “Untuk apa aku lembur di kantor jika ada hal lain yang tidak ingin aku lewatkan di rumah.”

“Eh? Apakah akan ada acara di sini?” Maya menatap heran.

“Tidak,” geleng Masumi. “Tidak akan ada acara apapun.”

“Lalu? Hal apa yang tidak ingin anda lewatkan?” Maya menatap Masumi dengan matanya yang bulat.

“Menemanimu, Mungil,” jawab Masumi kalem. “Aku ingin menemanimu di rumah.”

Rona merah kembali menyerbu wajah Maya. Pandangan Masumi yang lembut mengingatkannya kembali pada apa yang mereka lakukan tadi pagi.

Dengan gugup Maya mendahului Masumi berjalan keluar kamar, meninggalkan Masumi yang hanya tersenyum menyadari kegugupan gadis itu.

Kini dia sangat yakin, Maya memiliki perasaan yang sama dengannya.

Tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, dia akan memperjuangkan cinta mereka kini.

“Hei! Tunggu aku!,” Masumi cepat menyusul gadis itu keluar. Di ruang tamu, langkah mereka terhenti. 

Eisuke Hayami nampak berada di sana, bersama beberapa orang sedang berbincang.

“Ah!,” Eisuke tertawa melihat kedatangan keduanya. “Baru saja aku akan menyuruh Asa untuk memanggilmu, Masumi.”

Masumi menatap ayahnya dengan waspada, Ia mengenal siapa yang sedang bersama ayahnya itu.

Matanya melirik Maya dengan gelisah.

“Mereka datang untuk memastikan rancangan baju pengantinmu, Masumi.”

Maya terpaku di tempatnya dengan wajah pucat. Masumi menatap Eisuke dengan geram.

“Pernikahanmu kurang dari sebulan lagi, Masumi. Gaun Shiori bahkan sudah hampir selesai, tinggal bajumu,” Eisuke seolah tidak melihat betapa geramnya anak angkatnya itu, terus saja berceloteh. “Aku tak sabar melihat pernikahan kalian nanti. Pasti Shiori akan sangat cantik dengan gaun pengantinnya. Betul, kan, Masumi?”

Masumi tidak menjawab. Ingin rasanya saat itu juga ia melempar laki-laki tua di depannya jauh-jauh.

Namun kekhawatirannya akan Maya membuatnya menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh.

“Sa~saya permisi dulu,” didengarnya Maya berkata dengan suara gemetar. Tanpa menunggu jawaban, gadis itu bergegas pergi.

Masumi tersentak kaget.

“Maya, tunggu!”

Setelah melemparkan pandangan geram sekali lagi pada ayahnya, laki-laki itu bergegas mengejar.

Di ambang pintu, hampir saja ia menabrak tubuh Maya yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Maya?” 

Rika masuk dengan buket anyelir merah di tangannya.

“Maaf, ada kiriman untuk Nona Maya.”

Tanpa sadar Maya melangkah mundur sehingga tubuh mungilnya menubruk Masumi yang berdiri tepat di belakangnya.

Wajah Maya nampak semakin pucat.


***Bersambung ke part 3***