Minggu, 19 Februari 2012

Daddy's Day Out Part 7 - End-







Maya merasa tubuhnya meremang melihat tatapan Shiori. Begitu penuh kebencian. Dia bisa dengan jelas melihatnya.

“Shiori?” kembali perempuan itu memanggil tamunya yang masih nampak lekat memandang ke arahnya. Teringat perkataan suaminya tentang keterlibatan Shiori dalam penculikan yang dia alami.

Menyadari tatapan Shiori yang penuh kebencian, Maya semakin meyakini hal itu.

Suara pintu dibuka memecah keheningan yang melingkupi mereka. Shiori pun kembali tersadarkan dan refleks menoleh ke arah pintu.

Masumi nampak masuk. Meski terkejut dengan keberadaan Shiori di sana, laki-laki itu mampu menyembunyikannya dengan baik.

“Sayang,” Maya tersenyum lebar, menyambut Masumi yang langsung berjalan ke arahnya.

Shiori menyembunyikan kepalan tangannya yang mengetat saat melihat Masumi mengecup pipi Maya dan merangkul pinggang perempuan itu.

“Kau di sini, Shiori,” tanpa melepaskan rangkulan dari tubuh istrinya, Masumi menyapa Shiori.

“Aku ingin melihat keadaan Ryu,” jawab Shiori. “Aku juga ingin~minta maaf langsung padanya. Tapi rupanya Ryu sedang tidur.”

“Rasanya aku pernah mengatakan lebih baik Ryu tidak melihatmu,” ujar Masumi. “Dia tidak menyukaimu.”

Perkataan Masumi yang sangat jelas dan terkesan agak kasar langsung menerima hadiah cubitan kecil di pinggangnya. 

Maya menatapnya dengan pandangan menegur.

“Shiori," dengan cepat dia menyambung perkataan suaminya. “Jika keadaan Ryu sudah membaik dan lebih tenang, kau bisa menemuinya.” 

Maya mengabaikan dengusan pelan di sampingnya.

“Mungkin kau benar,” Shiori mengangguk pelan. Dipandanginya tubuh mungil Ryu yang masih terlelap. perasaan tak rela kembali muncul. 

Seharusnya kau jadi anakku!

Kalimat itu selalu memenuhi pikirannya setiap kali melihat Ryu. Membuat hatinya mengingat semua sakit hati yang dia rasakan terhadap ibu dari anak yang kini terbaring di hadapannya itu. 

Cepat Shiori mengalihkan pandangan dari Ryu sebelum ia lepas kendali dan mengeluarkan semua emosi yang kini bergolak di dadanya.

“Kurasa aku harus pamit sekarang.”

Tergesa, tanpa menunggu reaksi Maya dan Masumi, perempuan itu berjalan ke pintu. Maya yang refleks hendak mengantar mengerutkan kening saat lengannya ditahan. Dia melihat suaminya menggeleng. 

Maya akhirnya hanya melihat tubuh Shiori menghilang di balik pintu yang tertutup dari tempatnya berdiri. Setelah yakin Shiori sudah cukup jauh, perempuan itu menyipitkan matanya sebagai tanda bahwa dia kurang menyukai sikap suaminya terhadap tamu mereka.

“Kau kasar sekali padanya!”

“Aku tidak bisa berbaik hati terhadap orang yang sudah mencoba mencelakai keluargaku,” sahut Masumi santai.

“Sayang, tapi tidak berarti kau bisa sekasar itu,” t sergah Maya. “Aku tidak suka. Untung anak-anak tidak melihat sikapmu tadi. Bisa-bisa mereka menirumu.”

“Mayaa,” Masumi menarik Maya merapat ke dalam pelukannya tapi perempuan itu malah berkelit, melepaskan diri dari rangkulan suaminya. 

Masumi menghela nafas, tahu kalau sang istri sedang protes dan merajuk.

“Baiklah, aku akan memperbaiki sikapku,” ujarnya kemudian, kembali meraih pinggang mungil Maya. Maya masih berkerut menatapnya. 

“Aku janji,” lanjut Masumi, mengangkat sebelah tangannya dan membentuk tanda V dengan telunjuk dan jari tengahnya.

Tangan sebelahnya lagi menarik tubuh istrinya untuk lebih merapat ke tubuhnya.

Perlahan senyuman mulai menghiasi wajah Maya.

“Nah, begitu dong,” Masumi meraih dagu istrinya dan mengangkatnya, membuat perempuan mungil itu menengadah. “Aku tidak suka jika kau marah dan menjauhiku. Menolak untuk kupeluk dan kucium. Aku bisa gila,” bisik Masumi mesra. 

Maya tersipu dengan wajah memerah.

“Gombal,” senyumnya semakin lebar. 

“Hei, aku serius,” Masumi menyelipkan pinggiran rambut Maya yang tergerai ke telinga. “Aku tidak pernah bosan untuk terus memeluk dan menciummu, Maya. Setiap hari, setiap dekat denganmu,” kini jemari Masumi membelai lembut pipi Maya, dan berhenti di sudut bibir istrinya. “Aku sangat mencintaimu, Nyonya Hayami.”

Maya menatap mata suaminya dengan hati menggembung bahagia. Kedua lengannya terangkat untuk merangkul leher Masumi.

“Aku juga sangat mencintaimu, Danna sama. Aku selalu merindukan pelukan dan ciumanmu sehingga setiap hari aku selalu tak sabar menunggu saat-saat bertemu denganmu,” ujarnya lembut. 

Mendengar perkataan Maya, Masumi tersenyum senang. 

“Begitupun aku, Sayang. Kau sangat tahu aku merasa tersiksa jika terpaksa jauh darimu. Terlebih setelah kejadian kemarin. Aku mulai berfikir untuk kembali menyiapkan pengawal pribadi untukmu dan anak-anak yang akan menjaga kalian jika aku sedang sibuk. Aku tidak mau siapapun menyakiti kalian lagi.”

“Jangan konyol!” sergah Maya. “Kau tahu aku tidak suka dibuntuti kemana-mana. Dan kalau kau juga menempatkan pengawal di sekolah anak-anak, aku sangat yakin, mereka juga akan protes. Jangankan pengawal, aku berniat menunggui mereka di hari pertama sekolah saja, Ryu dan Shou sudah mengusirku pulang.”

Masumi tergelak. Dia sangat tahu hal itu. Dirinya bahkan masih ingat betapa marahnya Maya saat tahu ia menempatkan beberapa pengawal pribadi yang diam-diam selalu mengikuti kemanapun istrinya itu pergi di awal pernikahan mereka dulu.

“Tapi aku khawatir Maya,” Masumi mendekap wajah mungil istrinya dengan kedua tangannya yang besar. “Kau tega membiarkan suamimu ini gelisah seharian karena memikirkan keselamatanmu dan anak-anak?”

“Kami akan baik-baik saja, Danna sama. Selama ini juga begitu, kan?”

Masumi diam. Selalu sulit untuk membujuk Maya jika mengenai hal yang satu ini. 

“Berjanjilah padaku kalian akan baik-baik saja,” akhirnya laki-laki itu berujar. Dirundukkannya kepalanya sehingga kini dahinya bersentuhan dengan dahi Maya. 

“Kami akan baik-baik saja,” bisik Maya, mengusap lembut rahang Masumi. “Kau jangan terlalu khawatir.”

Masumi tersenyum. Meski tidak lagi mencoba membujuk, dalam hati dia sudah memutuskan akan tetap menugaskan beberapa kepercayaannya untuk mengawal istri dan anak-anaknya secara diam-diam, seperti dahulu Hijiri yang selalu mengawasi Maya.

“Aku sangat mencintaimu,” bisik laki-laki itu. Mengecup lembut bibir istrinya. 

Maya tersenyum lembut.

“Aku juga, Danna sama. Aku mencintaimu.”

Keduanya lalu tertawa pelan. Maya menyusupkan tubuhnya kian dalam ke dalam pelukan hangat Masumi. Menikmati rasa terlindungi yang diberikan oleh suaminya itu.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata melihat semua dari balik pintu yang sedikit terbuka. Shiori merasakan dadanya bergolak penuh kemarahan melihat sepasang manusia yang berpelukan di depannya. Saat hendak pulang tadi, perempuan itu teringat hadiah untuk Ryu yang belum ia berikan. Namun niatnya untuk kembali masuk terhalang saat melihat Maya dan Masumi yang tengah berpelukan.

Perlahan Shiori kembali menutup pintu. 

Sungguh tidak adil! Hatinya menjerit keras. 

Seharusnya mereka yang menderita setelah apa yang sudah mereka lakukan padaku. Tapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Mengapa Tuhan begitu tidak adil padaku?! 

Air mata mengalir deras membasahi pipinya.  Shiori terus menangis tanpa mempedulikan tatapan keheranan dari beberapa orang yang berpapasan dengannya.

Beberapa jam kemudian, dalam kamarnya yang temaram, Shiori duduk terpekur menatap kelamnya langit malam itu. Berbagai kenangan berputar dalam benaknya. Pertemuan pertamanya dengan Masumi, hari pertunangan mereka, upaya bunuh dirinya saat Masumi berniat memutuskan hubungan, kesedihan saat Masumi meninggalkannya, pernikahannya yang menyedihkan, bergantian dengan bayangan keceriaan keluarga Hayami saat di kebun binatang.

Hatinya kian berdenyut sakit. Betapa bencinya dia mengingat tawa ceria di wajah Maya saat itu.

Kau harus merasakan apa yang aku rasakan, Maya, batin Shiori. Akan kurebut semua milikmu satu persatu agar tawamu yang menyebalkan itu hilang selamanya.

Lengannya mengetat. Sebuah rencana berkelebat.

Tunggulah! Satu-satu semuanya akan kuambil semua darimu!

Membayangkan kesenangan yang akan dia dapatkan dari rencana balas dendamnya membuat Shiori merasa  lebih  tenang. 

Ditutupnya pintu balkon kamar. Rasanya tak sabar untuk menjalankan semua rencana.

Tak berapa lama kemudian, perempuan itu sudah terlelap dengan seulas senyum di bibirnya.

***

“Selamat pagi, Pak Masumi,” Mizuki membungkuk hormat menyambut atasannya yang baru saja datang. “Bagaimana kabar Ryu?”

Sekretaris handal itu sudah mendengar tentang kecelakaan yang menimpa anak sulung keluarga Hayami. Juga tentang penculikan Maya. Hijiri menceritakannya kemarin.

“Saat kutinggal tadi sudah cukup stabil. Meski kalau makan dia masih mengeluh mual dan muntah.”

Mizuki menangkap nada kekhawatiran dari suara atasannya.

“Semoga Ryu cepat sehat lagi,” ujarnya kemudian.

“Terima kasih, Mizuki,” Masumi tersenyum tipis. “Ah, tolong bawakan jadwalku minggu ini. Aku ingin tahu apakah ada yang bisa kita jadwal ulang. Ada hal penting yang harus aku selesaikan dengan segera minggu ini,” perintah Masumi sebelum masuk ke dalam ruang kerjanya. 

Mizuki kembali membungkuk hormat.

Saat baru saja duduk di kursi kerjanya yang empuk, pesan dari Hijiri masuk. 

Semua sudah mulai dijalankan.

Dengan cepat Masumi mengetik balasannya.

Bagus Hijiri. Keluarga Takamiya pasti akan bereaksi keras. Kau sudah siapkan semua bukti?

Tak sampai satu menit balasan dari Hijiri datang.

Bukti dan hasil analisanya sudah ada di tangan kita. Tinggal menunggu ijin untuk mendapatkan bukti terakhir. 

Masumi tersenyum puas. 

Kurasa mereka tidak akan menyulitkan kita. Begitu semua lengkap,  perempuan itu tidak akan bisa berkelit lagi.

Setelah mengingatkan Hijiri untuk tetap waspada, Masumi menyimpan kembali handphonenya lalu menekan tombol di telepon yang akan tersambung langsung dengan Mizuki.

“Jadwal yang aku minta sudah siap, Mizuki? Oh, dan bawakan juga majalah Friday ke ruanganku!”

Tak lama kemudian Mizuki masuk dengan membawa yang dia minta.

Masumi mendecih saat melihat berita utama di cover majalah yang diberikan Mizuki. Meski tak begitu suka dengan apa yang dibacanya, namun harus ia akui, judul berita yang terkesan murahan semacam ini akan langsung menarik perhatian publik.

DENDAM LAMA DAN CINTA TERPENDAM DIBALIK PENCULIKAN MAYA HAYAMI

Foto Shiori Takamiya terpampang jelas di sana.

“Pak Masumi,” Mizuki meletakkan beberapa dokumen yang dia bawa di hadapan atasannya. “Ada yang bisa saya bantu mengenai hal ini?”

“Cukup kau handle jadwalku seminggu ini,  Mizuki. Selebihnya sudah ada yang mengurus.”

“Baiklah,” Mizuki mengangguk paham. Menjadwal ulang semua jadwal atasannya bukan lagi menjadi hal yang sulit baginya.

Sepeninggal Mizuki, Masumi kembali mengambil handphone.

Pagi-pagi sekali dia sudah menjemput dan mengantar Maya untuk membuat laporan tentang penculikannya di kantor polisi. Sebelumnya Yosuke dan Shin dengan pasrah membiarkan diri dikirim ke kantor polisi untuk mengakui semua penculikan yang mereka lakukan, termasuk aksi mereka saat menculik Maya Hayami.

Dugaan keterlibatan Shiori Takamiya pun langsung mencuat. Saat ini, Masumi yakin, beberapa polisi sudah meluncur ke kediaman Takamiya untuk menjemput Shiori.

Maya memutuskan pulang kembali ke rumah mengingat Shou masih belum begitu pulih. Sementara Masumi kembali ke rumah sakit untuk mengecek keadaan Ryu. Setelah cukup tenang meninggalkan anak itu dalam pengawasan rumah sakit, dia memutuskan untuk pergi ke Daito menyelesaikan beberapa pekerjaan. 

Halo, Sayang?

Suara lembut Maya langsung menyambut setelah deringan kedua.

“Bagaimana Shou?”

Demamnya sudah turun. Mudah-mudahan tidak naik lagi nanti.

“Aiko?”

Masih tidur. Ayah bilang tadi saat kita pergi Aiko sempat menangis mencari kita. Syukurlah, tidak lama. Dia tidur di kamar ayah sekarang.

“Nanti siang akan aku sempatkan menengok mereka,” senyum Masumi seraya membayangkan wajah Shou dan Aiko dengan penuh rindu. “Kurasa aku juga akan meminta Ryu untuk dirawat di rumah saja. Jadi kau tidak perlu cape bolak-balik.”

Ya, kupikir juga begitu. Terima kasih. Dan~ Ah, sayang?

“Hmm? Ada apa?”

Barusan petugas pengamanan mengatakan di luar banyak wartawan. Apakah beritanya sudah keluar?

“Ya, aku baru membacanya.”

Aku tidak suka situasi ini.

“Aku tahu. Bersabarlah, Sayang. Semua akan baik-baik saja.”

Kuharap begitu. Berjanjilah kau akan berhati-hati.

“Pasti. Sudah dulu, ya. Aku harus menyelesaikan memeriksa beberapa dokumen sebelum kembali ke rumah sakit untuk mengurus pemindahan Ryu. Aku mencintaimu, Maya.”

Aku juga. Sampai jumpa di rumah sakit.

Masumi tersenyum. Diliriknya dokumen yang tadi diletakkan Mizuki.

Masih banyak yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan masalah Shiori. Dia harus bergegas.

***

“Siapa? Polisi?” Teno Takamiya mengerutkan kening saat mendapat berita ada beberapa polisi yang datang mencari cucunya.

“Untuk apa mereka mencari Shiori?”

“Kami belum tahu, Tuan.”

Bergegas laki-laki pemimpin klan Takamiya itu beranjak menuju ruangan dimana nampak dua orang memakai jas resmi berdiri menyambut.

“Kami membawa surat perintah untuk menangkap Nyonya Shiori Takamiya.”

“Menangkap Shiori?” Tenno Takamiya dengan terkejut memandang kedua polisi di depannya. “Atas tuduhan apa?”

“Penculikan terhadap Nyonya Maya Hayami.”

“Jangan sembarangan bicara!” 

“Maaf, Tuan Takamiya. Segalanya akan dijelaskan di kantor polisi. Sekarang, bisakah kami menemui cucu anda?”

“Jangan harap kalian bisa membawa cucuku!”

“Tuan, kami berhak menggeledah rumah ini dengan paksa jika anda menghalangi.”

Teno Takamiya mengetatkan gerahamnya. Lalu akhirnya meminta seorang pelayan untuk memanggil Shiori.

Maya Hayami...

Ingatan laki-laki itu berputar. 

Maya Kitajima. Perempuan yang membuat Masumi Hayami bertekuk lutut selama bertahun-tahun sehingga cucunya depresi karena patah hati.

Shiori menculiknya? Yang benar saja!

Cucunya begitu lemah, begitu rapuh, tidak mungkin melakukan hal itu!!

Keyakinannya itu membuat amarah Tenno Takamiya kembali naik. 

Keluarga Hayami akan membayar semua ini!

Suara gugup pelayan yang tadi disuruh untuk memanggil Shiori mengalihkan pikirannya.

“Tuan besar, Nona Shiori~tidak ada di kamarnya!”

Seorang pelayan lain nampak masuk dengan wajah yang tak kalah khawatirnya.

“Tuan, penjaga mengatakan di depan banyak sekali wartawan.”

“Apa?!” 

“saya rasa, semua itu disebabkan oleh berita ini,” dengan sikap hormat disodorkannya sebuah majalah.

Melihat foto cucunya terpampang dengan judul headline yang begitu profokatif, Tenno Takamiya merasakan kemarahan langsung memuncak. Wajah tuanya memerah, kedua lengan yang memegang majalah itu bergetar hebat sehingga tanpa sadar membuat apa yang dipegangnya menciut.

Hayami! Kalian akan mendapatkan balasannya!!

“Cepat! Cari cucuku sampai dapat!!”

Teriakannya yang menggelegar segera disambut sigap oleh para bawahan yang sudah berkumpul sejak tadi. 

Segera semuanya menyebar, mencari nona muda mereka yang kini entah berada di mana.

***


“Nyonya, sebenarnya kita mau kemana?” 

Setelah sekian lama memendam kepenasaran, Kitao memberanikan diri bertanya pada Shiori. Tak biasanya Nyonya mudanya itu keluar di pagi buta seperti ini.

“Kau jangan banyak bertanya! Apapun yang aku suruh nanti, ingatlah, jangan mengatakannya pada siapapun!”

Mendengar betapa dinginnya suara Shiori, Kitao tak berani lagi bertanya. Tingkah Shiori  itu memang aneh sejak seharian berada di kebun binatang dua hari yang lalu, dan tiba-tiba keluar  bersama laki-laki - yang seingatnya adalah mantan tunangannya dulu-bersama anak-anak laki-laki itu.

Kini ia harus mengarahkan mobilnya ke rumah sakit. Sehari kemarin, beberapa kali dia mengantar perempuan itu bolak balik ke sana. Terheran-heran saat mengetahui majikannya itu beberapa kali hanya mondar-mandir di loby rumah sakit. 

Terakhir Shiori masuk ke dalam mobil seraya berurai air mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih.

Kini bukan kesedihan yang terlihat di wajah cantik itu. Dinginnya tatapan Shiori dan wajahnya yang cenderung kaku membuat Kitao bergidig.

Mudah-mudahan Nyonya Shiori tidak melakukan hal yang aneh-aneh! Doanya dalam hati.

Saat sudah berada di rumah sakit, Shiori turun tepat di depan loby.

“Kau tunggu aku. Jangan parkir di tempat yang jauh. Begituaku telepon, cepat jemput aku di sini!”

“Baik, Nyonya,” Kitao mengangguk patuh. Lalu menjalankan kembali mobilnya mencari tempat parkir terdekat. Hati laki-laki 30 tahunan itu resah. Instingnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Cukup lama dia menunggu. Hampir dua jam. 

Saat sedang meratapi perutnya yang menjerit minta diisi, tiba-tiba handphone-nya menyala.

“Tunggu aku di depan loby!”

Suara Shiori yang terdengar gugup mebuat kecemasannya bertambah.

Dengan cepat Kitao menuju tempat yang diperintahkan. Beberapa menit dia menunggu sampai sebuah ketukan di jendela membuatnya kembali waspada.

Keningnya berkerut saat melihat siapa yang mengetuk jendela mobil. Seorang wanita berambut pendek dan berpakaian suster.

“Cepat buka pintunya!” 

Nyonya Shiori? Kitao mengenali suara itu.

Refleks dia membuka pintu mobil. 

“Nyonya, apa yang anda lakukan?” Kitao membelalak terkejut saat melihat Shiori menghampiri sebuah kursi roda dimana nampak seorang anak terkulai di sana. 

“Buka pintunya!”

Kitao hanya melakukan apa yang diminta majikannya dengan patuh.

Dia tahu anak itu. Anak laki-laki mantan tunangan Nyonya mudanya yang pernah dia lihat saat pulang dari kebun binatang. Dia juga tahu, anak itu sedang sakit. Jatuh dari tangga di rumahnya. 


Tak sampai 5 menit kemudian, mereka sudah meluncur di jalanan Tokyo yang mulai ramai. Di kursi belakang Shiori memeluk Ryu yang masih tertidur.

“Nyonya, mengapa~anda membawa anak itu? Bukankah dia sedang sakit?”

Shiori tak menjawab. Sibuk melihat lalu lintas di sekelilingnya.

“Nyo~Nyonya?” Kitao kembali mencoba bertanya.

“Sudah aku bilang jangan cerewet!” sergah Shiori, dingin. “Lakukan saja perintahku!”

Kitao mengangguk dengan gugup. Ditambahnya kecepatan mobil menuju tempat yang diinginkan majikannya.

***

Rumah sakit geger.

Ryu Hayami menghilang dari kamarnya. Semua staf yang terlibat langsung gemetar ketakutan saat sang pimpinan sendiri yang turun tangan mengingat pasien mereka itu adalah anak dari keluarga Hayami yang terkenal sebagai pengusaha paling sukses di Jepang dengan pengaruh yang sangat besar.

Kejadian ini akan membuat Masumi Hayami sangat murka. Dan ini akan berakibat fatal bagi rumah sakit mereka.

Dengan penuh antisipasi, mereka menunggu kedatangan Masumi Hayami. Laki-laki itu datang tak lama setelah pihak rumah sakit meneleponnya. Wajahnya nampak sangat menyeramkan, penuh kemarahan.

Tanpa banyak bicara, Masumi mendengarkan penjelasan pimpinan rumah sakit yang terbungkuk-bungkuk menyambutnya.

“Dan kalian tidak tahu sama sekali siapa yang membawa putraku?” 

Suara Masumi terdengar sangat dingin. 

“Kami sudah mencoba melacak dari CCTV, Tuan Hayami,” jawab sang pimpinan. “Dan kami menemukan ini.”

Gambar seorang suster berambut pendek yang tengah mendorong sebuah kursi roda, dimana seorang anak berbalut selimut tebal keluar dari lift.

Dalam sekali lihat, Masumi sudah bisa mengenali suster yang membawa anaknya itu. Tangannya mengepal ketat.

Shiori.. Ternyata kau masih punya nyali!

“Kami sudah mengutus beberapa petugas keamanan untuk melacak keberadaan perawat tersebut, Tuan.”

Suara pimpinan rumah sakit membuyarkan pikirannya.

“Menjaga seorang pasien anak-anak saja sudah tidak mampu, apalagi mengejar seorang penculik,” Masumi berkomentar dengan tajam. Pimpinan rumah sakit yang berusia setengah baya itu hanya terdiam, menerima dengan pasrah segala kesinisan Masumi.

“Jika sesuatu terjadi dengan anakku, maka bersiaplah kau kehilangan posisimu di rumah sakit ini!”

Diam-diam sang pimpinan rumah sakit meneguk ludah, meski kembali ia hanya membungkuk dengan segan.

Saat itulah sebuah suara lirih terdengar.

“Masumi sama, apa yang terjadi?”

Maya..

Masumi berbalik dan mendapati wajah istrinya yang nampak pucat.

“Apa yang terjadi?” Maya mendekat. “Ryu baik-baik saja, kan?”

“Sayang,” Masumi meraih lengan istrinya. Terasa dingin. 

Jantung Maya berdebar kencang. Ada hal buruk yang terjadi dengan Ryu! Dirinya bisa membaca itu dari sikap suaminya dan dari ekspresi semua yang ada di ruangan itu.

Cepat perempuan itu melepaskan tangannya dari genggaman Masumi dan memburu kamar anaknya.

Wajah perempuan itu semakin pucat saat melihat tempat tidur anaknya yang kosong.

“Masumi,” perlahan Maya kembali berbalik, menatap suaminya dengan penuh tanya. “Dimana~ Ryu?” Air mata mulai merebak di kedua mata beningnya. “Kenapa dia tidak ada?”

“Maya,” Masumi menarik Maya ke dalam pelukannya. “Kau harus tenang, Sayang.”

“Tapi Ryu kemana?!” Maya berontak dari pelukan suaminya. “Dimana Ryu kita, Masumi?”

Masumi menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan istrinya.

“Sayang, seseorang sudah membawa Ryu.”

“Apa?” Maya menatap suaminya dengan wajah yang berubah panik. “Siapa? Kemana Ryu di bawa? Masumi, Ryu sedang sakit. Siapa yang membawanya?!!”

Maya mulai terlihat menangis histeris. Masumi kembali memeluk tubuh yang kini gemetar itu erat-erat, mencoba menenangkan.

“Tenanglah, Sayang. Hijiri dan juga polisi sedang berusaha mencarinya. Ryu akan baik-baik saja.”

Semua tidak akan baik-baik saja sebelum Ryu kembali dalam pelukanku! jerit Maya dalam hati. 

Aku hanya ingin anakku kembali sekarang juga!!

***


“Kau jangan kemana-mana! Selama aku di sini, kau harus siap kapanpun aku butuhkan!” pesan Shiori sebelum masuk ke dalam rumah pribadinya di pinggiran kota Tokyo. Ryu masih tertidur dalam gendongannya. Dengan cepat perempuan itu masuk dan menuju lantai dua, tempat dimana dia akan membaringkan bocah itu.

Beberapa lama dipandanginya wajah Ryu. Bayangan wajah Masumi segera memenuhi pikirannya. 

“Kau benar-benar mirip ayahmu,” Shiori bergumam pelan. Sedikit menelan kepedihan mengingat semua yang sudah dia alami bersama Masumi. 

Lengan perempuan itu terulur untuk menyentuh rambut ikal Ryu. Namun di tengah jalan terhenti. Ryu tiba-tiba bergerak dan mengerang pelan.

“Mamaaaa…”

Shiori membeku. Teringat sikap Ryu yang begitu memusuhinya perempuan itu begitu takut melihat reaksi yang akan ditunjukkan Ryu sekarang.

Sambil menahan nafas dilihatnya mata Ryu yang mulai terbuka.

“Mamaaa,” Ryu kembali memanggil mamanya. Shiori mengetatkan geraham, tak suka.

Akhirnya mata itu terbuka. Sejenak terlihat kebingungan dengan apa  yang dia lihat, sampai akhirnya anak itu menyadari kehadiran Shiori di dekatnya.

Ryu mulai terlihat ketakutan.

“Mamaa! “ anak itu mulai mengisak. Mencoba beringsut menjauh tapi tubuhnya yang masih lemah nampak sulit untuk bergerak.

“Ryu?” Shiori beranjak untuk duduk di sisi tempat tidur, tapi reaksi Ryu kembali membuatnya terpaku.

“Nggaaak!! Mamaaaa!!! Mama dimana?!!” anak itu mulai menangis.

“Mamamu ga ada di sini!” tukas Shiori kesal. “Jadi jangan terus menjerit mencari mama!! Yang ada cuma tante! Tidak ada mama!”

Melihat Shiori yang emosi membuat Ryu semakin mengkerut takut. Namun bibir mungilnya terus memanggil mama, tanpa henti, seiring air matanya yang mengalir terus di pipinya yang pucat.

Shiori mencoba menahan diri, kembali mengukir senyum di bibirnya.

“Tante akan baik sama Ryu, kok. Jangan cari mama lagi, ya.”

Ryu menggeleng kuat. Senyuman Shiori seketika memudar.

Saat berkutat dengan kekesalan yang kembali timbul, tiba-tiba tubuh Ryu melenting, melompat bangun dari tidurnya ke arah yang berlawanan dengan tempat Shiori duduk.  Namun tak lama. Baru saja kaki mungilnya berhasil menyentuh lantai, tubuh kecil itu langsung ambruk diiringi dengan suara seperti hendak muntah.
 
Shiori terkejut. Refleksnya yang memang kurang bagus membuatnya terlambat mencegah perbuatan Ryu. 

Cepat perempuan itu memburu tubuh Ryu yang kini tergeletak di lantai.

Anak itu sedang muntah-muntah hebat! Wajah pucatnya semakin pucat sementara air mata terus mengalir deras.

“Ryu!!” Shiori memekik panik. Sesaat hanya diam dengan bingung sampai akhirnya memberanikan diri meraih tubuh Ryu.

“Nggaaaa!!!” Ryu memekik kencang. Nada ketakutan yang teramat sangat terdengar dalam suaranya. Tubuhnya meronta saat Shiori mengangkatnya kembali ke tempat tidur.

Saat Shiori berhasil membaringkan anak itu, Ryu sudah tidak berontak lagi. Tubuhnya lemas dan matanya tertutup rapat.

Dada Shiori berdebar kencang.

“Ryu?” dengan gugup diguncangkannya tubuh mungil Ryu. Tak ada reaksi. Nafas anak itu nampak lemah dan suhu badannya meningkat.

“Ryu? Bangun,” sekali lagi Shiori mengguncang tubuh bocah itu. Ryu tetap pada keadannya semula.

Kepanikan mulai menjalar. Dengan gemetar dan ketakutan Shiori keluar kamar, lalu berteriak memanggil sopirnya.

Laki-laki itu tergopoh menghampiri.

“A`ada apa, Nyonya?”

“Anak itu~ anak itu..”

Melihat Nyonya mudanya yang nampak ketakutan, tanpa membuang waktu Kitao melesat masuk ke dalam kamar. Terkejut saat melihat keadaan bocah yang dibawa nyonyanya itu.

“Nyonya, sebaiknya cepat dikembalikan ke rumah sakit,” sarannya kemudian takut-takut. “Anak ini pingsan.”

“Tidak!!” geleng Shiori. “Tidak boleh dikembalikan ke rumah sakit!!”

“Tapi, Nyonya..”

“Cepat kau panggil dokter! Siapapun! Dan pastikan kau tidak bercerita macam-macam!!” Shiori memandang tajam sopirnya itu.

“Nyonya, anak itu..”

“CEPAT LAKUKAN PERINTAHKU!!”

Nada yang tidak bisa dibantah lagi. Akhirnya dengan patuh Kitao mengangguk dan bergegas keluar. Hatinya benar-benar resah. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu, bukan hanya majikannya saja yang akan mendapat masalah besar, tapi juga dirinya!

Ah, apa yang harus aku lakukan!!

Dipacunya mobil untuk mencari dokter yang diinginkan majikannya.

***

Maya berkeras untuk ikut meski Masumi sudah melarangnya.

“Masumi,” mata yang masih banjir air mata itu memandang dengan tatapan memohon. “Ijinkan aku ikut. Aku harus ikut, Masumi. Ryu pasti membutuhkanku nanti. Dia pasti ketakutan.”

“Sayang, kita bahkan belum tahu kemana Shiori membawanya. Aku tidak mau kau kelelahan.”

“Aku tidak peduli!” sergah Maya. “ Aku tidak bisa berdiam diri saja sementara anakku sedang ketakutan di luar sana!  Danna sama, ijinkan aku ikut. Aku mohoon.”

Masumi nampak masih menimbang. 

Setelah histeris saat mengetahui Ryu diculik, Maya sempat hampir kehilangan kesadaran. Namun perempuan mungil itu mati-matian menguatkan diri. 

Masumi tidak terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya itu. 

Di sisi lain, ia juga tahu, akan sangat sulit baginya untuk membujuk Maya tetap menunggu di rumah. Dia tahu betul apa yang dirasakan perempuan itu sekarang. Kecemasan dan ketakutan yang sedang dirasakan Maya, juga dirasakannya saat ini. Masumi bahkan tidak berani membayangkan sesuatu yang lebih buruk terkait dengan kondisi Ryu, terjadi pada anaknya itu. 

“Baiklah, Sayang,” akhirnya laki-laki itu berujar. “Tapi kau harus berjanji untuk mencoba tenang.”

Maya mengangguk. “Aku janji. Terima kasih.”

Direngkuhnya tubuh mungil Maya ke dalam pelukan sebelum akhirnya keduanya beranjak menuju mobil yang sudah menunggu seraya masih saling berangkulan.

***

Dalam waktu tak kurang dari setengah jam, rekaman CCTV yang menggambarkan sosok seorang suster berambut pendek yang membawa Ryu Hayami pergi sudah ditayangkan hampir di setiap news channel di seluruh Jepang, lengkap dengan ciri-ciri mobil yang membawa mereka meninggalkan rumah sakit.  Diikuti  dengan di sharenya rekaman itu di berbagai jaringan internet. Berbagai kecaman bahkan kutukan langsung datang dari semua penjuru Jepang, semua menghujat suster penculik yang berani membawa bocah kecil tak berdaya yang sedang sakit.

Di ruangannya Tenno Takamiya terhenyak. 

Baru saja dirinya memasang pernyataan perang terhadap keluarga Hayami secara terang-terangan melalui pengacara keluarga, menyangkal dengan yakin semua tuduhan terhadap cucunya, kini malah satu bukti telak telah disaksikan oleh semua rakyat di negeri ini. Meski nampaknya Shiori sudah berusaha menutupi identitas, namun tetap saja, orang yang mengenal Shiori Takamiya akan dapat mengetahui  siapa suster itu jika dilihat lebih seksama. 

Adanya berita di majalah Friday sebelumnya, banyak yang kemudian melakukan spekulasi untuk mengungkap identitas asli sang suster. Hampir semua menunjuk pada orang yang sama.

Shiori Takamiya.

Tenno Takamiya mengusap keningnya yang berpeluh sejak tadi, padahal AC di ruangan pribadinya sudah di set di suhu yang terdingin. Otak tuanya berputar cepat mencari jalan untuk menyelamatkan cucu kesayangannya itu.

Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan Shiori saat ini, tetap saja dirinya tidak rela jika Shiori sampai harus mendekam di penjara. 

Harus ada cara!  Kedua lengannya terkepal erat di atas meja. Matanya berkilat-kilat dengan rencana.

Segera pemimpin tertinggi keluarga Takamiya itu meraih telepon di hadapannya dan jemarinya menekan nomor yang sudah dia dia hafal di luar kepala.

Nomor yang dihubunginya sepagian ini tidak juga aktif.

“Di mana kau, Shiori?” desahnya dengan cemas yang memuncak.

Ditekannya nomor lain. Kali ini tidak sampai dua kali nada panggil , seseorang langsung menyapa.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Takamiya?”


***




Dengan tegang Shiori memperhatikan dokter yang sedang memeriksa Ryu. Kerut yang muncul di kening dokter setengah baya itu semakin membuatnya gugup.

“Sudah separah ini kenapa tidak di bawa ke rumah sakit?” tuntut dokter itu setelah meletakkan semua peralatan yang tadi digunakannya.

“Ah.. saya rasa tidak begitu parah, dokter,” Shiori menjawab lirih. 

Sang dokter mendelik.

“Tidak parah?!” nadanya sedikit tinggi. “Nyonya, anak anda tidak sadarkan diri! Kepalanya mengalami trauma yang cukup berat. Jika tidak segera diberi perawatan intensif, nyawanya akan terancam!”

“Ti-tidak bisakah dirawat di rumah saja?”

“Dirawat di rumah? Nyonya, apa anda benar ibu anak ini?” kini sang dokter memandang Shiori penuh selidik.

Shiori tergagap. 

“T-tentu saja,” jawabnya cepat.

“Kalau memang anda ibunya maka cepatlah bawa dia ke  rumah sakit!”

Dengan enggan akhirnya Shiori mengangguk. Kitao yang sejak tadi berdiri diam, menghela nafas lega tidak kentara.

Saat dokter itu pamit, Shiori menarik nafas lega.

“Cepat kau tebus obat ini ke apotik!”

“Lho? Nyonya? Bukankah kita akan membawa anak itu ke rumah sakit?” Kitao menatap majikannya tidak mengerti.

“Ke rumah sakit? Kau pikir aku sebodoh itu membawanya ke rumah sakit sekarang.”

“Ta-tapi nyonya!”

“Turuti perintahku dan jangan banyak bicara!” desis Shiori membuat Kitao bergegas keluar dari kamar. Sepanjang perjalanan ke apotik sopir itu berpikir keras. Jelas-jelas dokter mengatakan kalau nyawa anak itu terancam jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, tapi nyonyanya malah…

Ah, Nyonya Shiori sudah menculik anak itu, jadi pasti dia tidak berani mengambil resiko pergi ke rumah sakit, pikirnya.

Tiba-tiba Kitao tersentak kaget. Kakinya refleks menginjak rem sehingga mobil itu berhenti mendadak. Untunglah, lalu lintas tidak ramai sehingga tidak ada mobil yang dirugikan karena perbuatannya itu.

Menculik? Ya, Nyonya Shiori sudah menculik anak itu!!

Matanya terbelalak dengan kepanikan yang tiba-tiba menyergap. Sejak melihat nyonyanya itu keluar dari rumah sakit memakai kostum aneh dan membawa Ryu, dia memang sudah tahu, Shiori menculik anak itu. Tapi baru sekarang ia menyadari, resiko dan akibat yang akan dia terima jika polisi menemukan mereka.

Membantu penculikan anak!

Dan Kitao sangatlah tahu, apa yang akan didapatnya dengan menyandang predikat tersebut.

Laki-laki itu kemudian bergidig, ngeri.


***


Tak sulit menemukan jejak Shiori. 

Semenjak tayangan tentang pencarian suster yang membawa Ryu Hayami  disiarkan di berbagai stasiun televisi, banyak laporan yang mengatakan melihat mobil yang dicurigai. Dengan kecekatan orang-orang Masumi, dan juga polisi, akhirnya mereka menemukan sebuah alamat.

Dengan cepat Masumi memacu mobilnya menuju alamat yang disebutkan Hijiri. Berusaha untuk tetap tenang mengingat di sampingnya, Maya duduk diam sejak tadi. Sesekali perempuan itu mengusap sudut matanya, menghapus airmata yang masih sesekali turun.

“Sayang,” Masumi meraih jemari istrinya dengan sebelah tangannya. “Hijiri sudah berhasil menemukan kemana Shiori membawa Ryu.”

Maya menegakkan tubuhnya dan menoleh dengan pandangan berharap.

“Benarkah?”

Masumi mengangguk. “Kita sedang ke sana sekarang.”

“Syukurlaah,” Maya mengusap kembali air mata yang meloncat ke pipinya. Hatinya sudah tidak sabar untuk melihat dan memeluk Ryu. Berharap meski Shiori sudah membawa Ryu, namun perempuan itu akan tetap berbaik hati merawat Ryu yang sedang sakit sampai ia dan Masumi tiba.

Seolah memahami pikiran istrinya, Masumi kembali meremas jemari mungil Maya.

“Ryu akan baik-baik saja, Sayang,” bisiknya kemudian. 

Maya mengangguk. “Ya,” bisiknya, lebih untuk meyakinkan diri sendiri. “Ryu pasti baik-baik saja.”

Keduanya kembali terdiam sementara mobil yang mereka tumpangi semakin melaju kencang membelah keramaian lalu lintas Tokyo.


***


Tenno Takamiya bergerak cepat.

Begitu orang yang disuruhnya untuk mencari Shiori melaporkan lokasi keberadaan cucunya itu, dia bergegas kesana dengan membawa orang-orang kepercayaannya. Terlambat sedikit saja akan membuat cucu kesayangannya mendapat masalah besar.

Laki-laki tua itu menarik nafas lega saat melihat tidak ada polisi, atau keluarga Hayami di depan rumah pribadi Shiori. Diperintahkannya orang-orang yang bersamanya berjaga-jaga di sekeliling rumah dan melaporkan apapun yang sekiranya mencurigakan.

Didapatinya Shiori di kamar pribadinya di lantai dua. Tengah sibuk mencoba memasukkan obat yang tadi dibeli Kitao ke mulut Ryu. Anak itu sepertinya setengah  tidak sadar dan selalu memuntahkan kembali apa yang ditelannya sejak tadi.

Kitao berdiri cemas di samping tempat tidur.

“Tu-tuan besar?” Kitao yang pertama menyadari kehadiran pemimpin keluarga Takamiya itu.

Shiori yang mendengar suara Kitao cepat mengangkat wajahnya.

“Ka-kek?” wajah cantiknya semakin pucat. Perlahan perempuan itu menurunkan tubuh Ryu yang berada di atas pangkuannya, lalu beringsut turun dari tempat tidur. 

Mata tajam Tenno Takamiya menyapu sosok Ryu yang terbaring tak berdaya di tempat tidur, beberapa saat memperhatikan tubuh mungil itu. Melihat wajah Ryu yang pucat dengan bibir sedikit membiru, Takamiya yakin, keadaan anak itu tidak baik.

Lalu pandangannya beralih ke wajah cucunya yang tak kalah pucatnya.

“Kakek, aku…,” dengan gugup Shiori membalas tatapan kakeknya. 

Tenno Takamiya mendekat. Ketika sampai di sisi tempat tidur lelaki tua itu membungkuk untuk menyentuh badan Ryu. Betapa terkejutnya dia saat meraba lengan bocah itu. Dingin.

“Kitao,” lelaki itu memanggil sopir cucunya sambil masih terus memeriksa tubuh Ryu. Nafas bocah itu sangat lemah. Dia harus segera mengambil tindakan jika tidak ingin masalah yang lebih rumit menimpa Shiori.

“Cepat bawa anak ini ke rumah sakit!” perintahnya dengan tegas. Kitao bergegas mendekat. Bersiap melaksanakan perintah majikannya.

“Tidak!!” Shiori menggeleng keras seraya melompat ke atas tempat tidur untuk memeluk Ryu. “Jangan bawa dia! Jangan bawa dia!!”

Gerakan tangannya yang hendak meraih Ryu ditepis kuat lengan kakeknya. 

“Ka-kek?” Shiori tersentak. Seumur hidup tak pernah kakeknya itu menepis tangannya seperti tadi.

“Kau sudah cukup membuat kekacauan, Shiori. Jangan buat semuanya semakin parah.”

“Tapi kakek, aku menginginkan anak ini!”

“Dia bukan anakmu!” Tenno Takamiya menatap tajam cucunya. “Dan anak ini sedang sakit!  Dia harus dibawa ke rumah sakit!”

“DIA ANAK MASUMI!!” jerit Shiori. “DAN AKU MENGINGINKANNYA UNTUK JADI MILIKKU!! HARUSNYA DIA JADI ANAKKU, KAKEK!!” Shiori mulai histeris.

Tenno Takamiya mati-matian menguatkan hati. Dia paling tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Sekali dulu, saat Masumi meminta pemutusan pertunangan dengan Shiori, adalah kali pertama ia mengabaikan keinginan Shiori yang tetap ingin mempertahankan pertunangan itu demi menghindari tragedi yang lebih buruk dari percobaan bunuh diri yang dilakukan Shiori, meski resiko yang dia terima adalah melihat penderitaan Shiori selama berbulan-bulan setelahnya. Dirinya kemudian bersumpah bahwa itu adalah kali pertama dan terakhir dia mengabaikan keingianan Shiori, namun sekarang, sekali lagi, ia dihadapkan oleh dilema yang paling tidak disukainya ini. Menjauhkan Ryu berarti mengabaikan keinginan Shiori. Tapi jika tidak dilakukan, ia tidak dapat memikirkan cara lain untuk menyelamatkan Shiori dari masalah besar yang sudah dibuatnya.

Dia yakin, jika tertangkap, keluarga Hayami tidak akan melepaskan Shiori begiu saja. Apalagi dengan saksi dan bukti yang ternyata sudah begitu lengkap dimiliki keluarga Hayami.

“Maaf Shiori, kau tahu kakek sangat tidak suka mengabaikan keinginanmu. Tapi jika sekarang kakek harus memilih, kakek lebih baik menjauhkan anak itu darimu dari pada melihatmu masuk penjara.”

“Masuk penjara?” Mata Shiori membulat. 

“Kau sudah menculiknya, Shiori. Apa kau tidak sadar hal itu?”

Kini mata perempuan cantik itu mengerjap gelisah. Saat memutuskan membawa Ryu, yang ada dalam pikirannya hanyalah cara untuk menyakiti Maya, dan bayangan betapa bahagianya jika dia bisa memiliki anak itu untuk dirinya sendiri.

Tak terpikirkan jika salah satu resiko yang akan didapatnya adalah masuk penjara!

“Áku tidak mau masuk penjara, kakek, ” desisnya mulai ketakutan.

“Karenanya lepaskan anak itu,” sahut kakeknya. “Dan ikut dengan kakek sekarang.”

“Melepas… Ryu?” Shiori terlihat ragu. Ia sungguh tidak rela jika harus mengembalikan Ryu pada Maya. Sama saja dengan membiarkan perempuan itu bahagia dan dia sangat tidak rela!!

“Aku tidak mau, Kek!” 

Jawaban Shiori membuat kakeknya terkejut. Dilihatnya mata yang tadinya gelisah itu kini nampak dingin.

“Aku akan tetap membawa anak ini, dan aku yakin, aku tidak akan masuk penjara. Kakek punya banyak koneksi di kepolisian, kan? Kita juga punya pengacara yang handal. Mereka tidak akan  mampu menjebloskan seorang Takamiya ke penjara!”

Tenno Takamiya menghela nafas tak kentara. Jelas sekali kalau Shiori tidak memahami kondisi saat ini dan mengabaikan siapa pihak yang sudah dia rugikan. Tak ada pilihan lain…

“Aiba! Ninomiya!!” dipanggilnya dua pengawal pribadi yang setia menunggu di luar. Dua laki-laki tegap berpakaian resmi dengan sigap masuk. 

“Bawa Nona Shiori ke mobil!” perintah Takamiya. “Dan kau Kitao! Segera bawa anak ini ke rumah sakit! Kau minta bantuan Matsumoto di luar. Dia tahu apa yang harus dilakukan!”

“Baik!” ketiganya segera bergerak. Shiori menjerit histeris saat kedua pengawalnya memegangi dan menyeretnya ke luar. Jeritannya semakin kencang saat melihat Kitao membawa Ryu.

“Jangan bawa dia!! Lepaskan!! Jangan bawa anak itu! Dia milikku!! DIA MILIKKU!!!”

Tapi apalah arti tenaga seorang Shiori dibanding tenaga kedua orang pengawal yang sudah terlatih. Dengan terus meronta lemah, perempuan itu diseret keluar. 

Tenno Takamiya mengikuti dari belakang.

Namun betapa terkejutnya mereka saat tiba di luar, sudah berjejer banyak mobil dengan polisi yang sudah siaga. Masumi dan Maya pun sudah tiba. Nampak berdiri dengan tegang di samping mobil mereka.

“Ryu!!” Maya memekik saat melihat anaknya berada dalam gendongan salah seorang yang baru keluar itu. Tubuhnya bergerak maju tapi Masumi menghalangi. Takut jika Takamiya, terutama Shiori berbuat nekad jika mereka berbuat gegabah.

“Sabar, Sayang. Sebentar lagi.”

“Tapi Ryu,” Maya mengerjap gelisah. “Dia sepertinya tidak sadarkan diri, Masumi,” air mata kembali melompat turun. Hatinya cemas bukan main melihat keadaan anaknya sekarang.

Begitu juga Masumi. Dadanya berdegup resah melihat anaknya terkulai lemah di pangkuan sopir pribadi Shiori. Hanya saja, dengan kenyataan bahwa Takamiya membawa banyak pengawal, meski sebagian sudah mereka lumpuhkan, namun tidak menutup kemungkinan, masih ada yang lain di belakang mereka.

Seorang petugas polisi maju.

“Tuan Takamiya. Mohon anda menyerahkan Nyonya Shiori Takamiya kepada kami atas tuduhan percobaan penculikan Nyonya Hayami dan penculikan Ryu Hayami.”

Shiori resah menatap kakeknya.

“Jangan biarkan mereka membawa aku, Kakek!” suaranya penuh permohonan bercampur panik. “Kakek, jangan biarkan mereka membawaku!!”

Tenno Takamiya memejamkan mata. Dia sudah berencana mengirim Shiori jauh ke luar negeri agar terhindar dari masalah ini. Saat ini sebuah paspor atas nama Midori Aizawa sudah siap untuk Shiori lengkap dengan semua kartu indentitas baru yang akan diperlukan cucunya dalam pelarian nanti. Juga selembar tiket penerbangan kelas ekonomi menuju Inggris sudah dikantonginya. Semua keperluan Shiori pun sudah siap. Jika saja ia berhasil membawa Shiori dari sini tanpa diketahui polisi, maka cucunya itu akan aman untuk sementara waktu sampai kasus ini mereda. 

Tak disangkanya polisi dan keluarga Hayami begitu cepat menemukan tempat persembunyian Shiori.

Suara rengekan Shiori kembali membuat mata Tenno Takamiya terbuka. Ditatapnya wajah cucunya dengan hati mendadak pilu.

“Maafkan kakek, Shiori.”

Shiori terbelalak kaget. 

“Kakek?” nada perempuan itu terdengar tak percaya. 

“Kau harus ikut mereka!” 

“Tidak!!” geleng Shiori panik. “Kakek tidak bisa menyerahkanku pada mereka! Kakek harus menolongku. Aku tidak mau masuk penjara!!”

Tenno Takamiya mengetatkan jemarinya. Bagaimanapun dia tidak bisa berkelit sekarang. Menutupi kesalahan Shiori yang sudah jelas terlihat sama halnya dengan menurunkan pamor kewibawaan Takamiya di depan umum. Kasus Shiori sudah sangat memalukan, jangan sampai masyarakat semakin melihat keburukan Takamiya yang lain lagi.

Dua orang petugas polisi bergerak maju untuk membawa Shiori. Perempuan itu berontak. Entah mendapatkan tenaga dari mana, perempuan itu menjadi sangat beringas. Meronta dari penjagaan pengawalnya dan berlari sekuat tenaga ke arah Kitao yang sudah mendekat ke arah Masumi untuk menyerahkan Ryu.  

Maya yang melihat itu menjerit.  Dia yakin, Shiori akan merebut Ryu dari tangan Kitao. Secepat kilat perempuan itu berlari untuk menghalangi. Masumi tersentak kaget, terlambat untuk menahan Maya. Sementara Shiori yang melihat gerakan Maya tanpa diduga menubruk seorang polisi dan secepat kilat merebut pistol yang sedang digenggam polisi itu dan mengarahkannya pada Maya.

Terlambat untuk menghindar.

Maya dapat merasakan benda panas menembus bahu kirinya saat letusan pistol terdengar. Perempuan itu menghentikan larinya dan tertegun. Perlahan menunduk dan melihat cairan merah keluar dari bahu kirinya. Pandangannya berubah beriak. Perempuan itu masih sempat melihat banyak polisi mengerubungi Shiori. 

Suara teriakan panik suaminyalah yang didengarnya terakhir kali sebelum semuanya benar-benar gelap.

***


Tenno Takamiya hanya bisa menahan kesedihan saat melihat cucu kesayangannya digiring masuk sel tahanan. Shiori menghiba, meminta pertolongan sang kakek.

“Kakek, aku tidak mau masuk penjara! Lakukan sesuatu, Kek!”

Kakeknya hanya bisa menunduk, lalu berbalik pergi seraya mengusap sudut matanya yang basah. 

“Kakek?” Shiori termangu seolah tak percaya saat melihat tubuh kakeknya yang malah berbalik dan pergi meninggalkannya. “Kakek? Kakek mau kemana? Kakek? Jangan tinggalkan Shiori di sini sendirian! Kakeeekk!!”

Tenno Takamiya mempercepat langkahnya, tak tega mendengar jeritan mengiba Shiori. Tapi sungguh, tak ada yang bisa dia perbuat sekarang selain menyediakan pengacara yang paling handal yang ada di negeri ini untuk membantu memperingan hukuman Shiori kelak. Kesalahan Shiori tidak bisa ditutupi lagi. Seluruh Jepang sudah tahu apa yang sudah diperbuat. Opini sudah terbentuk. Tidak ada jalan keluar.

Sesampainya di dalam mobilnya yang nyaman, sekretaris setianya memberitahu kabar terbaru:

Nyonya Hayami sedang menjalani operasi  mengeluarkan peluru dari bahunya sedangkan Ryu Hayami sudah mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisinya.

Hatinya kian teriris perih saat wajah cantik cucunya terpampang di halaman depan sebuah situs infotainment, lengkap dengan potongan-potongan  gambar CCTV yang memperlihatkan aksinya saat menculik Ryu Hayami, juga foto saat Maya Hayami dilarikan memasuki ruang IGD.

DENDAM CUCU SANG JUTAWAN, AKANKAH AKHIRNYA TERBALASKAN?

Ribuan, bahkan jutaan komentar masuk dengan cepat. Hampir semua menghujat Shiori. Itu sangat wajar terjadi mengingat Maya Hayami adalah public figure yang banyak disukai selama ini. Bakatnya yang luar biasa serta pribadinya yang tetap low profile meski sudah menjadi aktris terkenal dan menikah dengan salah seorang konglomerat Jepang membuatnya memiliki banyak fans di seluruh penjuru Jepang. Apa yang menimpanya sekarang memicu banyak simpati, sekaligus hujatan untuk Shiori. Terlebih Shiori telah membahayakan keselamatan seorang anak kecil yang tidak berdosa.

Tenno Takamiya menghela nafas berat. Sedikitpun dia tidak menyangka, Shiori yang sejak kecil terlindungi dengan begitu baik, agar tidak terluka dan tersakiti, kini harus mengalami dingin dan suramnya tembok penjara. Mungkin memang salahnya yang sudah sangat memanjakan Shiori sehingga cucunya itu sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk berdamai dengan penderitaan sedikitpun. Menjadikannya pribadi yang egois dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. 

Penyesalan selalu datang belakangan. 

Kembali nafas berat lelaki tua itu terdengar, sampai-sampai sang sekretaris yang duduk di depannya, di samping sopir, melirik dengan prihatin. 

Mata tuanya yang kini berselimut duka menyapu jalanan di luar jendela mobil. 

Shioriku tersayang, akan kulakukan apapun agar kakekmu yang tidak berguna ini bisa meringankan penderitaanmu sekarang…

Setetes air mata melompat ke pipinya yang keriput sebelum akhirnya kepalanya berputar untuk melihat ke arah sopirnya.

“Putar arah!” perintahnya kemudian. “Antar aku ke kediaman keluarga Hayami!”

Sang sopir termangu untuk beberapa saat sebelum akhirnya bisa mencerna apa yang diperintahkan majikannya. Dengan gesit, diputarnya arah mobil menuju tempat yang diinginkan oleh sang pemimpin klan Takamiya itu.

***

Masumi meremas jemarinya yang terasa sangat dingin.
Pintu kamar operasi masih tertutup padahal sudah hampir sejam yang lalu Maya didorong masuk ke sana untuk menjalani operasi. Meskipun paramedis di ambulan mengatakan kondisi istrinya stabil, tapi tetap saja, kepanikan merayapi hatinya. Berkali-kali laki-laki itu mengenyahkan pikiran buruk yang melintas hilir mudik di kepalanya.

Dia perempuan kuat! Mayaku seorang yang kuat! Dia akan baik-baik saja!

Bibi Michi yang ditugaskan menjaga Ryu baru saja mengabarkan kalau kondisi anak itu perlahan membaik. Ryu sempat mengalami dehidrasi karena terus menerus muntah. Namun kini sudah teratasi dan anak itu sedang tidur setelah diberi obat. 

Syukurlah

Sedikit kelegaan membuatnya bisa sedikit bernafas. Kembali matanya menatap pintu ruang operasi, berharap pintu itu segera terbuka dan dokter keluar mengantarkan istrinya yang segar bugar.

Harapannya terkabul! 

Tak berapa lama kemudian pintu ruang operasi terbuka, membuat lelaki itu segera melompat berdiri. Wajah cerah dokter yang keluar membuat Masumi semakin meyakini bahwa istrinya memang akan baik-baik saja.

“Pelurunya sudah berhasil kami keluarkan dan kondisi istri anda sangat baik.”

Masumi menarik nafas lega. Setelah mengatakan bahwa Maya mungkin akan sadar dari pengaruh obat bius sekitar sejam lagi, dokter yang sudah lama menjadi salah satu dokter kepercayaan keluarga Hayami itu pun berlalu. Maya didorong keluar beberapa saat kemudian dan langsung dipindahkan ke kamar yang sudah disediakan, sebuah kamar VVIP yang luas, dimana Ryu juga ditempatkan di sana.

Dipandanginya wajah Maya yang masih nampak pucat. Perlahan jemarinya membelai lembut pipi perempuan itu, lalu merunduk mencium kening, pipi, hidung, dan bibirnya dengan lembut.

“Cepat bangun, Sayang. Aku rindu,” bisiknya penuh cinta. Dibelainya rambut hitam Maya sebelum akhirnya menegakkan badan dan berbalik melihat tempat tidur yang satunya, dimana Ryu terbaring di sana. Kelegaan kembali menghampiri saat melihat pipi anak itu mulai nampak memerah. 

Masumi melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukannya pada Maya. 

“Tuan Muda,” Bibi Michi yang sejak tadi memperhatikan dengan haru berjalan menghampiri. “Tuan Muda istirahatlah. Nyonya dan Tuan Muda Ryu biar saya yang jaga.”

Masumi menggeleng.

“Terima kasih, Bi. Tapi saya ingin disini sampai mereka sadar. Bibi istirahatlah di rumah. Biar Oshima yang mengantar Bibi pulang. Saya sangat mengandalkan Bibi untuk menjaga Shou dan Aiko.” 

“Tapi, Tuan Masumi. Anda belum istirahat beberapa hari terakhir ini,” Bi Michi menatap khawatir majikannya.

“Saya belum bisa benar-benar tenang jika belum melihat Maya dan Ryu sadar, Bi,” ujar Masumi. “lagi pula…’” laki-laki itu melirik sofa empuk besar yang ada di salah satu sudut kamar,” saya bisa beristirahat di sana,” senyumnya kemudian. “Jadi jangan khawatir."

Pelayan setia itu tidak lagi memaksa. “Baiklah Tuan Muda. Jangan mengkhawatirkan Tuan Shou dan Nona Aiko. Bibi akan menjaganya dengan baik selama Nyonya sakit.”

“Terimakasih, Bi.”

Setelah Bibi Michi keluar, Masumi menghampiri sofa dan melemaskan badannya di sana. Menunggu anak dan istrinya tersadar. Terbayang kembali kejadian dalam tiga hari terakhir ini. Tak pernah sedikitpun dirinya menyangka, setelah delapan tahun berlalu, ternyata Shiori masih menyimpan kebencian dan dendam atas apa yang pernah terjadi. Meskipun dulu dirinya sudah berusaha untuk membantu Shiori keluar dari depresi pasca percobaan bunuh dirinya dan mencoba membuat perempuan itu memahami bahwa pertunangan mereka memang lebih baik diputuskan, ternyata hal itu tidak cukup membuat Shiori menerima semua dengan tegar. Dari apa yang terjadi sekarang, sepertinya dendam perempuan itu begitu besar sehingga mampu melakukan penculikan terhadap istri dan anaknya, bahkan dari cerita Bi Michi, Ryu dan Shou bersikeras mengatakan bahwa Shiori merencanakan menyingkirkan Maya untuk selamanya.

Masumi sangat bersyukur semua itu tidak terjadi. Tuhan masih bermurah hati menyelamatkan Maya dan Ryu.

Saat asyik tenggelam dalam pikiran yang berkecamuk, di atas meja, handphonenya nampak bergetar lembut.

Sebuah e-mail masuk. Dari Hijiri.

Shiori sudah ditahan.

Masumi termenung. Menarik nafas berat. Meskipun dirinyalah yang menyeret Shiori ke penjara, hatinya tidak sedikitpun senang karenanya. Shiori adalah perempuan yang seumur hidupnya berada dalam limpahan harta, kenyamanan,  dan perlindungan keluarga. Berada di dalam penjara akan menjadi siksaan yang sangat berat baginya. 

Namun itulah harga yang harus dibayar Shiori atas kejahatan yang telah dia lakukan. 

Laki-laki itu meletakkan handphonenya kembali di meja setelah meminta Hijiri terus memantau semua perkembangan, termasuk mencari tahu langkah apa yang akan dilakukan keluarga Takamiya untuk menyelesaikan kasus yang menyeret cucunya itu.

Suara erangan lembut dari tempat tidur Maya membat laki-laki itu melompat bangun dan bergegas menghampiri istrinya.

“Maya? Sayang?”

Kelopak mata Maya nampak bergerak-gerak sebelum kemudian perlahan terbuka.

“Danna sama?”

“Iya, sayang. Ini aku,” Masumi tersenyum dengan keharuan yang menyeruak dadanya. “Syukurlah kau sudah sadar.”

Maya nampak mengerutkan kening. Perempuan itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Matanya membulat saat akhirnya dia teringat peristiwa sebelum dirinya tertembak.

“Ryu?!” Mata bulatnya bergerak panik. Badannya bergerak mencoba untuk bangun.

“Shhh… sayang tenanglah,” dengan cepat Masumi menahan. “Ryu baik-baik saja. Dia sedang tidur” senyumnya seraya melirik ke samping kirinya, tempat dimana Ryu berada. 

Maya mengikuti lirikan suaminya. Airmatanya menetes saat melihat anak sulungnya terbaring di dekatnya.

“Syukurlah,” bisiknya lega. “Aku sangat takut dia kenapa-kenapa.”

“Dokter bilang dia akan baik-baik saja, Sayang, Jangan khawatir.”

“Bantu aku bangun, Masumi.”

Masumi menatap istrinya heran.

“Aku ingin memeluknya,” bisik Maya. 

“Sayang, tapi kau…”

“Masumi, kumohon,” pandangan Maya begitu menuntut sehingga mau tak mau Masumi meraih tubuh mungil itu dan membantunya bangun. 

Sekuat tenaga Maya mengabaikan tubuhnya yang lemas dan pandangannya yang berputar. Ia sangat ingin memeluk Ryu. Meski Masumi mengatakan Ryu baik-baik saja, tetap saja, ia ingin mendekapnya erat untuk dapat merasakan detak jantung dan hangat nafasnya serta mencium aroma tubuh buah hatinya itu. Hanya dengan cara seperti itu Maya dapat menenangkan hatinya dan meyakini bahwa anaknya memang baik-baik saja. 

Masumi membantu Maya untuk bersandar di tempat tidur Ryu dan mengangkat tubuh anak itu agar berada di pangkuan Maya. 

Maya mendekap tubuh anaknya dengan tangannya yang bebas. Air mata kembali menetes. Diciuminya pipi bocah itu dengan penuh cinta dan dihirupnya aroma khas putranya itu dengan penuh rindu. Merasakan detak lembut jantungnya dan bersyukur tak henti-hentinya atas keselamatan yang masih diberikan Tuhan pada putra sulungnya itu.

Perlahan tubuh Ryu bergerak. Matanya terbuka.

“Mamaa,” bisiknya lemah saat melihat wajah mamanya yang tengah menatapnya lembut.

Maya tersenyum. “Iya, Sayang. Ini mama.”

“Mama jangan kemana-manaa,” Ryu mulai mengisak. Samar-samar teringat saat terbangun sebelumnya ia berada di tempat yang tidak dia kenal, bersama tante jahat yang ditakutinya.

“Tidak sayang, Mama tidak akan kemana-mana. Mama akan temani Ryu terus.”

Ryu mengangkat tengannya untuk membelai pipi Mamanya. “Mama janji?” tanyanya dengan ketakutan yang masih membayang di kedua matanya yang bening. 

Maya mengangguk.” Mama janji, Sayang.”

Masumi yang sejak tadi memperhatikan mendekat.

“Papa juga ada di sini, lo.”

Ryu cepat menoleh dan tertawa kecil melihat papanya. Masumi tergelak pelan. Membungkuk untuk mencium pipi Ryu. “Ryu jangan takut lagi. Papa dan Mama akan selalu menjaga Ryu.”

Masumi dapat memahami ketakutan yang dialami Ryu sekarang. Teringat dirinya dulu yang sangat ketakutan saat menjadi korban penculikan. Meskipun akhirnya selamat, namun saat itu, ayahnya sama sekali tidak peduli akan rasa takut dan trauma yang dialaminya kemudian. Ia tidak ingin Ryu mengalami ketakutan dan trauma berkepanjangan yang sama seperti yang dia alami akibat kejadian ini.

Tidak hanya Ryu, shock yang dirasakan Shou saat melihat kakaknya terjatuh tidak boleh dibiarkan. Juga Aiko. Meskipun anak itu sepertinya belum paham dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Karena itu dalam hati ia berjanji, jika Ryu dan Maya sudah benar-benar sehat, ia akan membawa semuanya untuk berlibur. 

Masumi kemudian mengangkat wajahnya untuk menatap istrinya.

“dan Mama juga,” dikecupnya kening perempuan itu penuh cinta. “Jangan khawatir. Papa pasti akan menjaga kalian dengan lebih baik lagi.”

Senyum Maya kian lebar diantara air matanya. “Mama tahu,” bisiknya kemudian. “Terima kasih.”

Untuk beberapa lama Masumi membiarkan Maya melepaskan kerinduannya pada Ryu sebelum akhirnya mengingatkan perempuan itu bahwa baik dia maupun Ryu masih harus istirahat. 

Maya pun menuruti suaminya dan kembali ke tempat tidurnya setelah Ryu kembali tertidur dengan tenang di pangkuannya.

Masumi merapikan selimut di tubuh istrinya. 

“Istirahatlah,” bisiknya lembut. Dikecupnya bibir mungil Maya pelan. “Aku mencintaimu, Maya.”

“Aku juga,” balas Maya dengan berbisik. “Aku juga mencintaimu, Danna sama.”

Keduanya saling bertukar senyum sebelum bibir mereka kembali merapat dalam ciuman yang lembut dan penuh kerinduan.

***



Eisuke sedang membacakan sebuah buku cerita bergambar untuk Shou dan Aiko di ruang keluarga saat salah seorang pelayan memberitahukan kedatangan Tenno Takamiya.

“Tuan Takamiya?” kening laki-laki tua itu berkerut.

Segera setelah Bi Michi menggantikannya menemani kedua cucunya, meski Aiko agak sedikit rewel, Asa membantu mendorong kursi rodanya menuju ruang tamu.

Kedua laki-laki yang yang hampir pernah menjadi besan itu berjabat tangan. Sejak putusnya pertunangan Masumi dan Shiori delapan tahun yang lalu, mereka seperti memiliki kesepakatan tak tertulis, untuk saling menjauh satu sama lain. Dalam urusan bisnispun, keduanya berdiri sebagai dua perusahaan yang cenderung bersaing.

“Aku tidak akan berbasa basi,” ujar Takamiya setelah Eisuke mempersilahkannya duduk. “Kau pasti sudah bisa menebak maksud kedatanganku ke sini.”

Eisuke tersenyum. Raut wajah Takamiya terlihat sangat mendung dan dia memakluminya mengingat apa yang sedang dihadapi laki-laki itu.

“Jika yang kau maksud tentang kasus cucumu, kurasa kau salah alamat.”

“Aku tahu, tapi setidaknya, kau bisa membantuku membujuk menantumu agar tidak memperpanjang masalah ini. Cucuku Shiori memang sudah melewati batas, tapi kupastikan, jika kasus ini bisa kita selesaikan dengan cara kekeluargaan, Shiori tidak akan lagi menampakkan dirinya di depan keluarga kalian.”

“Takamiya san,” Eisuke menegakkan badannya dan memandang tamunya. “Jika saja Shiori berhenti saat usaha penculikannya terhadap Maya gagal, mungkin masalah ini bisa kita selesaikan secara kekeluargaan dan kita akan sangat mudah menghapus nama Shiori dari kecurigaan sebagai dalang penculikan menantu dan cucuku. Tapi Shiori sudah melangkah terlalu jauh. Kurasa, hukum akan tetap menjeratnya meski kami tidak mempermasalahkannya sekalipun.”

Sebenarnya Tenno Takamiya mengetahui hal itu dengan jelas. 

“Kau benar,” wajah lelaki itu semakin mendung. Eisuke dapat melihat mata tuanya yang berkaca-kaca. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan cucuku, Hayami san,” keluhnya kemudian. “Membayangkannya berada di penjara membuatku sangat sedih. Andai boleh, aku rela menggantikannya menjalani hukuman” 

“ Jika kau terus melindunginya dengan cara seperti itu, Shiori mungkin akan melakukan kesalahan yang sama kelak,” Eisuke berujar cepat, membuat Tenno Takamiya termangu. “Sudah saatnya kau membiarkan Shiori menanggung akibat dari perbuatannya agar Shiori sadar dan mulai berfikir serta bertindak lebih dewasa , Takamiya san,” lanjut Eisuke. 

“Aku dan kau, sama-sama membuat kesalahan ketika mendidik penerus kita," Eisuke kembali berujar setelah untuk beberapa saat keduanya terdiam. "Aku, dengan tangan besiku dulu,  membiarkan Masumi tumbuh menjadi laki-laki yang dingin dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Membuat anak itu membenciku, memendam dendam yang dalam atas kematian ibunya. Seandainya saat itu aku tetap memaksakan kehendakku, menyuruhnya untuk tetap menikahi Shiori, tak dapat aku bayangkan, akan seperti apa kehidupan mereka sekarang. Yang pasti Shiori akan lebih menderita dari apa yang dia alami sekarang. Bukan bermaksud merendahmu, Takamiya san, tapi sekarang, aku sangat bersyukur saat itu Masumi nekad menentangku dan bersikeras untuk memperjuangkan cintanya pada Maya. Karena berkat gadis itu, aku masih bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga di usiaku yang sudah renta ini. Anakku Masumi semakin memperhatikanku dan melupakan dendamnya akan kekejaman yang sudah aku lakukan pada ibunya. Aku juga dikelilingi cucu-cucu yang begitu aku sayangi, dan juga sangat menyayangiku,” Eisuke berhenti untuk menghapus air mata yang membayang di sudut matanya. 

“Dan kau Takamiya san. Kau besarkan cucumu dengan perlindungan yang berlebihan. Meski dengan alasan badannya yang lemah, namun kau sudah merampas haknya untuk bisa menentukan kehidupannya sendiri dan menjadi wanita yang mandiri dan tegar. Mungkin kini saatnya kau menebus kesalahanmu padanya. Meski dengan cara yang begini menyakitkan, asalkan kau tetap mendukungnya selama dia menjalani hukuman, aku yakin, perlahan Shiori pun akan menjadi lebih kuat.”

Tenno Takamiya termenung. Mencerna semua perkataan Eisuke. Harus diakuinya, saingan bisnisnya ini sudah banyak berubah. Menjadi lebih bijaksana. Tidak ada lagi raut wajah ambisius dan licik darinya. Yang ada hanyalah raut muka penuh kebahagiaan.

Sosok mungil yang berlari ke arah mereka mengalihkan perhatian keduanya. Teriakan Bi Michi terdengar di belakangnya.

“Nona Aikoo.. Tuan besar sedang ada tamuu!”

Aiko menumbruk kaki kakeknya dan memeluknya. Wajahnya yang mungil nampak bersimbah air mata saat menengadah menatap kakeknya.

“Kakeeekk…,” rengeknya. Asa membantu Eisuke menaikkan Aiko ke pangkuannya. Gadis kecil itu langsung merangkul leher kakeknya erat. “Aiko mau ketemu mamaaa. Culuh mama pulaang…!”

“Aiko,” Eisuke dengan lembut menghapus air mata di pipi cucunya. “Mama Aiko sedang sakit sayang. Dokter bilang harus tidur di rumah sakit,” Eisuke mencoba menjelaskan. Mata Aiko membulat.

“Cakit? Cepelti kakak liu?” tanyanya di sela isakannya.

Eisuke mengangguk.

Tanpa di duga, tangisan Aiko malah semakin kencang. 

“Culuh mama tidulnya di lumaaahh…! Aiko mau cama mamaa..!!”

Tenno Takamiya memperhatikan keduanya dari tempat duduknya. Eisuke nampak sangat sabar saat menenangkan cucunya.

Ah benar-benar sudah berubah, desahnya. Betapa cinta tulus sudah mampu mencairkan hati seorang Eisuke Hayami yang terkenal sekeras baja.

Shioriku juga sama,  memiliki orang-orang yang mencintainya dengan tulus. Semoga dengan itu dia mampu melewati semua dengan tegar.

Kembali dipandanginya Eisuke yang kini tengah memeluk cucunya sambil  mengucapkan kata-kata menghibur dengan lembut.

***

Selama seminggu Masumi bolak-balik antara rumah-kantor-dan rumah sakit. Maya bersikeras tidak mengijinkan Masumi menginap menemani mereka mengingat Shou dan Aiko di rumah. 

“Aku  tidak begitu parah, Masumi,” ujarnya beralasan. “Selain luka operasi yang masih basah, yang lainnya baik-baik saja, dan aku bisa menjaga Ryu kalau-kalau dia membutuhkan sesuatu di malam hari. Kami toh sekamar.”

Masumi  tidak bisa memaksa lagi. Terlebih saat mendengar Aiko rewel ingin bertemu mama dan papanya. Setelah memastikan beberapa pengawalnya siaga di sekitar rumah sakit, ia pun akhirnya pulang.

Tenno Takamiya mengadakan konferensi pers khusus untuk meminta maaf pada keluarga Hayami atas perbuatan Shiori yang hampir saja membahayakan nyawa Maya dan Ryu Hayami. Laki-laki itu juga mengeluarkan pernyataan bahwa meski keluarga Takamiya sudah menyiapkan satu tim pengacara handal untuk Shiori, namun  dirinya tidak akan ikut campur dalam keputusan hukum yang akan diterima cucunya itu nanti dan sudah menyerahkan semua pada pihak yang berwajib.  Pihak Hayami pun hanya mengeluarkan pernyataan sederhana yang mengungkapkan kelegaan mereka karena keadaan Maya dan Ryu yang sudah membaik, juga harapan bahwa kasus ini akan selesai dengan baik, demi kebaikan semua pihak.

Sehari setelah kedatangannya ke rumah Masumi, Tenno Takamiya datang ke rumah sakit, menemui Maya dan Masumi untuk meminta maaf secara pribadi. Dirinya lega saat menerima perlakuan yang begitu bersahabat dari suami istri tersebut, terutama simpati yang diperlihatkan Maya Hayami atas keadaan Shiori. Kini dirinya dapat melihat dengan jelas, alasan mengapa Masumi Hayami begitu setia selama bertahun-tahun mencintai gadis yang sempat dianggapnya tidak memiliki kelebihan apapun.

Ketulusan..  itu yang membuatnya nampak begitu bersinar.
 
***

Maya dengan tidak sabar menunggu suaminya datang menjemput. Hari ini baik dirinya maupun Ryu sudah diperbolehkan pulang. Maya sudah tidak sabar. Dia begitu rindu pada Shou dan Aiko meskipun setiap hari dia berlama-lama melihat kedua bocah itu berceloteh melalui video call

“Papa kok lama?” keluh Ryu yang sejak tadi bolak-balik melihat ke pintu. 
Maya tersenyum. 

“Sabar, Sayang,” ujarnya meski dirinya sama tak sabarnya dengan anak sulungnya itu. “Mungkin macet di jalan.”

Baru saja dia selesai bicara, sosok yang ditanyakan sudah muncul di pintu. Tersenyum lebar melihat anak dan istrinya sudah rapi.

“Siap pulang?”

“Tentu!” angguk Maya mantap. 

Ketiganya kemudian beriringan keluar dengan gembira. Sepanjang jalan Ryu berceloteh tentang ini itu. Mengomentari apapun yang dilihatnya di luar mobil mereka membuat kedua orang tuanya seringkali tergelak karenanya. 

Wajah Maya semakin cerah saat mobil mereka memasuki halaman rumahnya yang asri. 

“Akhirnya,” gumamnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku bisa pulang ke rumah juga.”

“Kau senang?” tanya suaminya.

“Tentu saja!” jawab Maya cepat. “Tak ada yang lebih menyenangkan selain berada di rumah,” senyumnya kemudian.

Mobil berhenti tepat di depan teras. Ryu langsung melompat keluar diiringi teguran mamanya yang khawatir.

“Aku baik-baik saja, Maaaa!” seru bocah itu sambil berlari cepat ke dalam rumah. “Shouuuu!!! Aikoooo!!! Kakeek!! Bi Michiii!! Naokooo!!!” 

“Ryu! Hati-hati, Sayang! Badanmu masih lemah!” Maya hanya bisa menatap punggung anaknya yang masuk ke dalam rumah dan tidak mengacuhkan ucapannya. Sedetik kemudian ia dan suaminya tergelak mendengar Ryu memanggil nama semua orang yang tinggal di rumah mereka. Keduanya lalu beranjak masuk seraya bergandengan tangan.

Saat tiba di ruang keluarga, didapatinya Ryu turun dari tangga dengan terheran-heran.

“Mama, semua orang kok tidak ada?” tanyanya dengan kebingungan. 

“Oya?” Maya pun mengedarkan matanya melihat kesekeliling. Baru disadarinya suasa rumah yang senyap. Biasanya, jika dia, suaminya, atau anak-anaknya pulang, akan ada pelayan yang langsung menyambut mereka. 

“Eh, iya. Kok sepi ya? Pa, pada kemana mereka?” Maya menoleh ke arah suaminya. 

Masumi menggeleng dengan wajah yang juga terlihat heran.

“Entahlah. Tadi papa kan langsung dari kantor,” sahut laki-laki itu. “Mungkin sedang di halaman belakang?”

Tanpa menunggu jawaban istrinya, Masumi mendahului mereka menuju halaman belakang mereka yang berupa taman luas yang dihiasi berbagai macam bunga. Maya menggandeng lengan Ryu, mengikuti langkah suaminya.

Teriakan gembira Aiko dan Shou langsung menyambut ketiganya menginjakkan kaki di teras belakang. Maya terkejut dan untuk beberapa saat terpaku melihat halaman belakang rumahnya sudah dihias indah. Beberapa meja yang penuh hidangan diletakkan di sana. 

Rupanya semua sudah menyiapkan pesta kejutan untuk menyambut kepulangan dirinya dan Ryu dari rumah sakit.

Dua sosok mungil dalam kostum pinguin, yang berlarian ke arahnya segera mengalihkan keterpanaannya. 

“Mamaaaa!!!” 

Maya memeluk keduanya erat dan menciumi mereka penuh rindu.

“Ayo cini mamaa… “ Aiko menarik Maya menuju sebuah meja. Di sana tergeletak dua buah kado besar.

“Kakak juga, ayoooo!” Shou menarik lengan kakaknya.

Para pelayan yang berdiri rapi membungkuk saat Maya mendekat, mengatakan bahwa mereka senang melihat Nyonya dan Tuan muda mereka kembali pulang dengan keadaan sehat.

“Terima kasih,” senyum Maya terharu.

Aiko dengan susah payah mengambil kado yang berwarna pink dan menyerahkannya pada Maya. “Ini buat mama. Kakak Cou dan Aiko yang buat!” senyumnya malu-malu. Maya berbinar menatap hadiahnya dan segera membukanya. 

Sebuah lukisan yang dibingkai dengan indah. Lukisan anak-anak yang menggambarkan enam orang yang sedang bergandengan tangan dengan hiasan bunga-bunga dan awan serta matahari.

“Ini Aikoo!” Aiko menunjuk gambar yang paling kecil, dengan rambut panjang yang ikal. “Ini kakak Liu, ini Kakak Cou, ini papa, ini mama, dan ini kakeeekk!” jelasnya riang.

Di atas lukisan itu tertulis sebuah kalimat, yang Maya tahu, itu tulisan Shou.

“Buat Mama tersayang, dari Shou dan Aiko”

Maya mengangkat pandangannya dari lukisan itu dengan air mata bahagia yang menetes ke pipinya. Diletakkannya lukisan itu di meja di diraihnya kembali kedua buah hatinya itu dengan keharuan yang meluap.

“Terima kasih, Shou, Aiko,” bisiknya lembut. “Mama senang sekali. Hadiahnya sangat bagus,” senyumnya kemudian. “Dan mama sayaaaaang sekali sama kalian.”

“Buat kakak Liu jugaaa...,” kini Aiko meraih kado berwarna biru dan diserahkannya pada kakaknya.

“Apa ini?” Ryu dengan wajah sumrigah membukanya. Namun kemudian keningnya berkerut saat melihat isi kadonya. 

Sebuah kostum pinguin, sama seperti yang sekarang dipakai oleh kedua adiknya.

“Ayo pake, Kaaak!” Shou meraih kostum itu dan menyerahkannya pada Ryu.

“Apa sih? Aku gak suka!” Ryu mengerutkan keningnya tidak suka. Aiko mendekat dan memegang tangan kakak sulungnya itu.

“Kakak jadi pinguin cama Aiko cama Kakak Cou,” suara imutnya terdengar begitu lucu. “Mama  cuka pinguiiinn,” bujuknya lagi.

Ryu menoleh ke arah mamanya yang sedang senyam-senyum melihat ketiganya. Lalu ke arah papa dan kakeknya yang juga sedang menatapnya dalam senyum.

“Ayo, papa bantu kakak pake bajunya, ya,” Masumi mendekat. Menggandeng lengan Ryu untuk masuk. Ryu terlihat ingin protes tapi tidak jadi. Dengan pasrah dibiarkannya papanya membantunya ganti baju.

Lima menit kemudian bocah itu keluar dengan malu-malu dalam kontum pinguinnya. Eisuke sudah siap dengan kameranya dan langsung memotret cucu sulungnya itu.

“Kakeeekkk,” Ryu protes dengan wajah memerah. Pekik senang kedua adiknya menyambut dan keduanya nampak berjalan dengan gaya penguin menghampirinya, lalu berputar-putar gembira tanpa menghiraukan wajah kakak mereka yang sedikit merengut. 

Siang itu, halaman belakang rumah mereka dipenuhi oleh gelak tawa.  Semuanya bersyukur sudah bisa melewati cobaan yang sempat mendera keluarga mereka dengan baik, dan kembali bisa berkumpul tanpa kurang suatu apapun.

***

Maya menutup buku cerita yang baru dibacanya dengan hati-hati. Tersenyum saat melihat ketiga buah hatinya sudah terlelap. Malam ini mereka cepat terlelap. Pasti karena kelelahan karena sampai sore mereka bergembira di halaman belakang.

Masumi, yang juga menemani mereka ikut tersenyum seraya perlahan bangun dari tempat tidur. 

“Aku akan memindahkan mereka ke kamar masing-masing,” bisiknya pelan, takut membangunkan ketiganya.

Maya mengangguk. Ikut bangun untuk membukakan pintu bagi suaminya yang menggendong Shou. Mengikutinya sampai Shou terbaring dengan nyaman di tempat tidurnya. 

Diselimutinya Shou sementara Masumi kembali ke kamar mereka untuk membawa Ryu. 

Setelah yakin ketiganya tidur dengan nyaman di kamar masing-masing, keduanya kembali ke kamar mereka. 

Saat sama-sama sudah naik ke atas tempat tidur, Masumi menarik tubuh mungil istrinya mendekat dan memeluknya erat.

“Terimakasih,” bisiknya lembut seraya mengecup ujung kepala Maya.

“Untuk apa?”

“Untuk tetap berada di sampingku,” jawab Masumi pelan. Terbayang saat Maya tertembak.

“Aku tidak akan kemana-mana,” sahut Maya lembut. Perempuan itu kian mendekatkan diri ke tubuh suaminya, membiarkan kedua lengan laki-laki itu melingkari tubuh mungilnya kian erat.

“Aku tahu,” angguk Masumi. “Tetaplah selamanya di sampingku.”

Maya memiringkan tubuhnya untuk melihat wajah suaminya dalam keremangan kamar mereka. Wanita itu menangkap keresahan di mata suaminya. 

“Danna sama,” Maya mengangkat lengan kirinya dan perempuan itu seketika meringis merasakan denyutan pelan di bahunya. Masumi segera menangkap lengan itu dan pelan membawanya ke dadanya, menggenggamnya erat di sana. “Hari itu. saat pertama kali melihatmu di lembah plum, Akoya langsung menyadari tentang belahan jiwa seperti kata nenek. Saat dunia tengah kacau balau, Dewa menitiskan seorang anak yang kemudian turun ke bumi. Saat itu separuh jiwa ini terpisah dari yang lainnya bagai Ying dan Yang yang terbelah dua. Jiwa yang terbelah masing-masing menempati raga yang berbeda. Suatu ketika saat Yin dan Yang bertemu kembali, maka Dewa pun menjadi manusia, menghasilkan kehidupan baru demi kelanjutan dunia. Saat itu seperti kata nenek, sebuah kekuatan ajaib akan bekerja. Kekuatan yang saling memanggil belahan jiwa satu dan lainnya. Keduanya akan saling tertarik tanpa peduli usia maupun status. Separuh jiwa yang menginginkan belahannya...** bisikan Maya yang mengucapkan sepotong dialog Akoyanya membuat dada Masumi berdebar hangat. 

Perempuan itu menatap mata suaminya lekat-lekat. “Selamanya… selalu menginginkanmu, Selalu ingin bersamamu. Kekasihku.”

Masumi merasakan dadanya sesak oleh keharuan dan kebahagiaan. Perlahan wajahnya merunduk untuk meraih bibir manis istrinya. 

“Aku juga kekasihku. Ingin selamanya bersamamu,” bisiknya sesaat sebelum mencium lembut kekasihnya.

“Aku mencintaimu,” bisik mereka bersamaan ketika  bibir mereka terpisah.  Keduanya tergelak kecil untuk kemudian menyamankan tubuh masing-masing, bersiap untuk tidur.

“Selamat tidur, Sayang,” bisik Masumi kembali mengecup ujung kepala istrinya. “Mimpi indah.”

Maya menyusupkan kepalanya ke dada suaminya.

“Selamat tidur, Danna sama.”

Keduanya segera terlelap ke alam mimpi. Bersiap untuk menyambut esok hari yang diyakini akan bersinar cerah. Mungkin memang akan ada hujan dan badai di antara hari-hari yang akan mereka jalani nanti. Tapi dengan kekuatan cinta mereka, yang selalu mereka pupuk sehingga semakin hari semakin berkembang dan kokoh, mereka sangat yakin, selebat apapun hujannya, sekuat apapun badainya, akan dapat mereka lewati bersama. Dan seperti saat ini, setelah hujan berlalu, matahari akan bersinar lebih cerah dengan membiaskan warna pelangi yang akan menambah keindahan hari-hari mereka.


**Daddy Days Out – The End**



** Mengutip dari dialog Akoya di sinopsis betsu 19-Ruang baca Topeng Kacaku ^^