Sabtu, 27 Agustus 2011

Please be With Me (Part 5)

 

 

Bias jingga menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma sore bercampur wangi bunga yang begitu kental. Maya mengernyit. Wangi ini familier untuknya. Wangi yang membawanya ke dalam ingatan tentang orang yang paling dia cintai saat ini. Mawar unguu…

Perlahan Maya mencoba bangun. Badannya sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Seiring kesadarannya akan sekeliling, kedua mata beningnya membulat takjub. Kamar ini, telah berubah menjadi sebuah taman bunga yang dipenuhi mawar ungu yang nampak berkilauan ditimpa sinar mentari senja!
Mulut gadis itu masih setengah ternganga saat tiba-tiba TV layar besar di depannya menyala. Musik instrument lagu ‘Beautiful girl’ seketika mengalun lembut, mengiringi puluhan slide demi slide foto-foto dirinya dalam berbagai pose. 

Maya terpaku. Matanya memanas saat membaca baris demi baris puisi di layar itu.

Duniaku berkata: " Senyummu membuatku ada"
Merangkum detik dan waktu
berirama bagai lagu.
Anginku menghembuskan sapa:
"Bahagialah dirimu, wahai wanita!"
Sejumput raga berbalut cinta
disini, berdiri membawa asa.
Hujanku turun meneteskan warna.
Rona pelangi bersemburat ria.
Menyambut tutur sapa,
demi masa kuingin kau melihatku ada.
Apiku mengobarkan rasa.
Hidupmu dalam doaku makin terasa
Duhai bintang terindah dalam semesta!
lelehkan ragaku,
hingga hanya cinta yang tersisa.
Aku...... jatuh cinta!

Air mata kini sudah mengalir turun membasahi pipi tirusnya. Bahagia. Slide di depannya jelas menunjukkan metamorfosa dirinya, dari seorang gadis kecil menjadi seorang wanita muda. Koleksi foto yang ada dalam slide  bahkan lebih banyak dari koleksi foto pribadinya. Maya tahu, sebagian besar Hijiri yang mengambil foto itu. 

Suara langkah kaki yang pelan  membuatnya mengalihkan mata dari keterpesonaan akan slide foto dirinya. Masumi melangkah mendekat. Nampak gagah dan tampan dalam balutan jas putih dengan sekuntum mawar ungu terselip di saku depan. Tersenyum lembut menatapnya.

Maya balas tersenyum.
“Bagaimana kau bisa meyakinkan pihak rumah sakit untuk memasukan semua bunga ini ke kamarku?”

“Hmmm… karena aku mengatakan kepada mereka, bahwa ini adalah obat termanjur untuk kesembuhanmu.”

“Yang benar saja,” decih Maya, masih dalam senyumnya.

“Mau bertaruh denganku?” Masumi mengerling jenaka. “Sekarang kau jawab pertanyaanku dengan jujur, ya.”

“Apa?”

“Apa yang kau rasakan setelah terbangun di tengah taman yang penuh dengan bunga kesukaanmu dan membaca puisi cinta yang kubuat bertahun yang lalu, saat aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padamu?”

“Puisi itu kau yang buat?” Maya membulatkan mata tak percaya mendengar ucapan Masumi.

“Simpan dulu ledekanmu  itu nanti,” tukas Masumi dengan wajah merona. “Jawab saja pertanyaanku dulu. Apa yang kau rasakan?”

“Aku bahagia,” bisik Maya kemudian. “Terima kasih.”

“Merasa bahagia adalah obat yang paling mujarab. Makanya, akhirnya mereka mengijinkanku melakukan semua ini,” jelas Masumi kemudian. “Selain menambahkan embel-embel bahwa jika mereka melarang, mereka sudah berdosa karena menghalangi dua orang yang sedang jatuh cinta untuk bahagia.”

Maya tergelak. “Kurasa dengan melihat tampangmu saja mereka sudah langsung mengiyakan semua permintaanmu. Kalau tidak, wah… badai di pasific sana bisa pindah ke sini.”

Masumi mengangguk. “Kau benar,” ujarnya. “Tampangku memang lebih dari cukup untuk membuat para perawat itu terpesona sehingga tak sanggup menolakku.”

“Ah, sejak kapan kau jadi dewa Narsiscus? Kurasa memang badai sebentar lagi akan sampai ke sini,” cibir Maya. “Dan para perawat itu harus diberi kacamata baru satu persatu.”

“Hei, apa kau mau menyangkal ketampananku sore ini?”Masumi menatap tajam gadis mungil yang kini duduk dengan wajah menahan tawa di depannya itu. “Hanya kau satu-satunya yang tidak memuji penampilanku hari ini. Jadi sebenarnya siapa yang harus diberi kacamata baru?” Masumi merunduk, menatap Maya dengan tatapan yang membuat Maya perlahan menghilangkan senyum gelinya, berganti dengan debaran yang mulai menyapa jantungnya.
“Apa aku harus membuatmu mengakuinya dengan paksa?” kerling Masumi kemudian. Maya mengerut. 

“Kau mau apa?” desisnya, setengah menggertak, setengah takut.

“Membuatmu mau mengakui kalau kau sudah terpesona olehku,” bisik Masumi. Matanya tersenyum jail.

“Hei.. tunggu… Ma… Masum…mmph..”

Protesnya tak terselesaikan karena Masumi sudah menutup bibirnya dengan ciuman yang lembut, menghanyutkan. Perlahan Maya menutup matanya dan mulai membalas ciuman Masumi dengan sama lembutnya.

Marry me..” bisik Masumi saat bibir mereka terpisah. Maya tertegun.

“Menikahlah denganku, Maya,” ulang Masumi seolah takut gadis itu tidak mendengarnya tadi.

Maya masih tertegun. Sejak pertama ia sudah mendengar ucapan Masumi dengan sangat baik.

Jika dalam keadaan normal, ia akan langsung melompat ke dalam pelukan laki-laki itu dan berteriak: iya!  tanpa pikir panjang lagi. Tapi tidak dalam keadaannya yang sekarang. Meskipun hatinya ingin, tapi ia tidak boleh egois. Hidupnya kemungkinan tak akan lama lagi, sementara laki-laki di depannya masih memiliki kehidupan yang panjang membentang dengan semua kesuksesan yang sudah dan akan diraihnya nanti. Dia berhak mendapatkan wanita yang terbaik, yang sehat, yang bisa mendampinginya sepanjang hidupnya nanti. 

Aku tidak boleh menghambatnya dengan keadaanku yang sedang sekarat ini!

“Masumi.. aku..”

Kalimatnya terputus. Masumi menyentuh bibirnya dengan telunjuk.

“Sstt.. sebelum kau menjawabku, dengarkan aku terlebih dahulu.”

Maya menatap, menunggu.

“Aku tahu hatimu sedang mengatakan, aku berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darimu,  wanita yang sehat, yang bisa menemaniku sepanjang hidupku.”

Maya tergagap. Wajahnya memerah karena Masumi dapat menebak semua dengan benar.

“Kau tahu pasti aku sudah mencobanya, Maya. Mencoba bersama wanita yang semua orang bilang sempurna, jauh lebih baik darimu. Shiory Takamiya, cantik, cerdas, berasal dari kelas yang sama denganku, semuanya sempurna, kecuali satu… aku tidak mencintainya.”

Masumi membelai pipi Maya lembut.

“Banyak wanita sempurna di sekelilingku, Maya. Wanita yang menjadi dambaan banyak pria. Jika aku mau, aku bisa saja memilih satu diantara mereka untuk kujadikan penggantimu. Tapi tidak bisa. Tidak akan pernah bisa. Mungkin mereka memang sempurna Maya. Tapi bagiku mereka bukan yang terbaik. Bukan wanita yang aku cintai. Karena semua posisi itu, wanita yang aku cintai, yang paling sempurna untukku, dan yang paling baik untukku, semua sudah kau tempati tanpa bisa digoyahkan oleh apapun atau siapapun. Termasuk oleh penyakitmu.”

Dikecupnya mata Maya yang sudah basah oleh air mata.

“Aku sekarat, Masumi. Waktuku tak akan lama lagi,” suara Maya terdengar serak.

“Tak peduli berapa lama lagi waktu tersisa buat kita, aku hanya ingin bahagia bersamamu.”

“Aku tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaanmu.”


“Bodoh! Bagaimana mungkin kau jadi penghalang jika hanya kau satu-satunya kebahagianku.”

“Masumi, kumohoon.. jangan memaksakan dirimu untuk menerimaku.”

“Aku sama sekali tidak memaksakan diri, Mungil.” 

Maya tercekat saat melihat air mata mengalir turun ke pipi laki-laki itu. Hatinya bergetar. Ini kali pertama dirinya melihat Masumi Hayami menangis!

“Aku yang egois, karena memaksakan kehendakku padamu. Keegoisan karena terlalu mencintaimu, menginginkanmu. Aku sangat takut berpisah lagi denganmu, Maya. Aku tak mau jauh lagi darimu. Jadi sekarang aku yang memohon. Agar kau mau menerima laki-laki egois ini untuk bersamamu.”

Maya terisak. Dengan gemetar ia mengusap air mata Masumi dengan kedua telapak tangannya. Hatinya berdenyut pedih. 

“Masumi, andai aku bisa,” bisiknya serak. Cepat, Masumi meraih lengan yang kini tengah membelai wajahnya itu lalu mengecup telapak tangan Maya yang basah.

“Kau bisa, sayang. Kau bisa. Dan kupastikan, kita akan selalu bersama.”

“Bagaimana mungkiinnn…?”

“Aku sangat yakin padamu,” sahut Masumi. Suaranya terdengar penuh keyakinan. Maya tergagap saat Masumi mengecup bibirnya kembali. “Kau, wanita yang bisa meraih 1% kemungkinan untuk berhasil. Sekarang kesempatanmu jauh lebih besar! 50%! Kau harus yakinkan dirimu kau bisa sembuh, Maya! Seperti aku yakin padamu.”

“Tapi sekarang lawanku bukan Ayumi,” geleng Maya.”Lawanku adalah Tuhan.. bagaimana mungkin aku bisa menang?”

Masumi tersenyum diantara air matanya.
“Bukan, sayang. Tuhan bukanlah lawanmu. Dia adalah penolongmu. Kau harus yakin, Tuhan akan membantumu, membantu kita. Satu-satunya lawanmu hanyalah keputusasaanmu.”

“Aku tidak putus asa!” sergah Maya.

“Berniat menolak lamaranku dengan alasan kau sebentar lagi mati, apa bukan putus asa namanya?” Masumi menatap kekasihnya dengan senyum dikulum.
Kembali Maya tergagap. “I..i..itu..”

“Jadi, Maya Kitajima. Aku bertanya padamu sekali lagi. Maukah kau menikah denganku?” 

Maya mengerjapkan mata beberapa kali. Menghalau air mata yang kembali siap menyerbu turun. Namun tetap tak terbendung. Pipinya yang belum kering, kembali basah.

“Kuharap kau tidak akan pernah menyesali keputusanmu melamarku hari ini,” bisik gadis itu pelan. Masumi menggeleng.

“Aku akan sangat menyesal jika aku tidak melakukannya,” senyumnya. “Jadi?” laki-laki itu memiringkan kepala. Matanya menatap. Hatinya berharap cemas.

Maya terdiam sejenak. Namun perlahan, sebuah senyum tersungging di bibir pucatnya. 

“Ya..” angguknya kemudian. “Aku mau menikah denganmu.”

Sedetik kemudian tubuhnya sudah berada dalam pelukan Masumi. Laki-laki itu merunduk, menyembunyikan wajahnya, yang juga sudah basah kembali oleh air mata, ke kerimbunan rambut hitam kekasihnya.

“Terima kasih, sayang,” bisiknya penuh kebahagiaan. “Terima kasih..”

Untuk beberapa lama mereka berpelukan. Meresapi kebahagiaan yang sangat nyata terasa diantara kesedihan yang mereka alami sekarang. 

Perlahan Masumi mengurai pelukan. Merogoh saku dalam jasnya mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna biru dan mengambil benda yang tersimpan di dalamnya. Sebuah cincin bermata berlian yang berkilau lembut.

Masumi meraih lengan kiri Maya dan menyelipkannya di jari manis gadis itu.
“Tak lama lagi kau akan kujadikan milikku sepenuhnya,” senyumnya mengagumi betapa pantasnya cincin itu melingkar di sana.

Maya tersenyum. 

Meski belum begitu yakin apakah menerima lamaran Masumi merupakan keputusan yang tepat atau tidak, namun ia tidak sanggup menolak kebahagiaan yang kini menguasai hatinya. 

Setidaknya walau hanya sebentar saja, ia ingin mereguknya bersama Masumi, laki-laki yang sangat dia cintai.

Meski hanya sebentar… ***


Maya berhasil meyakinkan Masumi untuk pulang beristirahat.

“Kau sangat terlihat lelah, Masumi. Aku tahu kau mengkhawatirkanku, Aku janji, tidak akan berbuat konyol lagi. Keinginanku untuk sembuh jauh lebih kuat  sekarang. Jadi kumohon, pulanglah ke rumah untuk istirahat. Ada dokter dan perawat yang menjagaku di sini. Jadi jangan khawatir.”

Masumi pun bersedia pulang. Dengan perasaan riang karena telah berhasil meyakinkan Maya untuk menerima lamarannya, laki-laki itu mengendarai mobilnya meninggalkan rumah sakit. Banyak yang harus diurus sekarang. Ia tidak berniat menunda pernikahannya dengan Maya. Bahkah kalau mungkin, sebelum Maya menjalankan operasi, perempuan itu sudah resmi menjadi Nyonya Hayami. Tadi pagi, dia sudah berdiskusi banyak dengan dokter yang merawat kekasihnya itu, mempertimbangkan kondisi Maya jika mereka melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Dokter pun sudah setuju asalkan prosesinya tidak membuat Maya kelelahan dan tetap dalam pengawasan medis. Masumi pun sudah meminta ijin untuk menggunakan kapel yang ada di rumah sakit sebagai tempat pernikahan mereka. 

Ingatannya melayang pada Sano. Dia harus diberitahu ! Senyum Masumi. Dirogohnya saku jas untuk meraih handphone. Sepanjang siang, ia menset handphonenya ke silent mode karena tidak ingin ada yang mengganggu rencananya untuk melamar Maya. Kening laki-laki itu berkerut saat dilihatnya ada 40 panggilan tak terjawab dari Sano. Ada apa ini? Pikirnya khawatir.

Panggilan teleponnya tak dijawab. Masumi mencoba lagi.

Hyung…

Suara Sano yang terdengar lemah membuat Masumi segera meminggirkan mobilnya.

“Sano? Kau kenapa? Kau dimana?!”

Hyu..ng… Mi.. Rae…

“Sano?”

Ja..ngan… tinggalkan.. adikku, hyung.. Mi Rae.. dia… 

“Sano, bicara yang jelas!! Kau dimana? Mi Rae kenapa? SANO!!”

Tak ada jawaban. 

Masumi semakin cemas. Suara Sano seperti sedang menahan sakit. “Jangan tinggalkan adikku? Apa maksudnya?” pikirnya kalut. Sebuah pikiran melintas, seketika ia menjadi panik. 

Cepat ditekannya nomor Hijiri. Ada yang sudah terjadi terhadap Sano. Dan itu bukan sesuatu yang baik.

” Segera cek apartemen Sano! Aku baru menelponnya dan kurasa sesuatu yang buruk sudah terjadi!”

Segera setelah menutup telepon, Masumi memutar mobilnya kembali ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi.***


“Maya!”

Pintu yang dibuka dengan keras membuat Maya yang masih memutar slide fotonya terkejut. Dilihatnya Masumi di ambang pintu.

“Masumi? Mengapa kau kembali lagi?”

Laki-laki itu tidak menjawab, hanya berjalan cepat menghampiri dan kemudian memeluknya erat.

“Masumi? Kau kenapa?” tanya Maya keheranan. Masumi tetap membisu. 

“Ma..su..mi?”

“Tidak apa..” bisik Masumi pelan. “Aku hanya baru sadar, aku tidak bisa lama-lama jauh darimu,” lanjutnya seraya mengurai pelukannya perlahan. Sebuah senyum manis sudah menggantikan ekspresi tegang yang ditunjukkannya saat masuk tadi.

Maya terkekeh. “Konyol,” komentarnya. “Masumi, terlalu mencintaiku tidak baik untuk kesehatanmu,” senyum Maya penuh arti.

“Hmmm, mungkin,” angguk Masumi. “Tapi karena mencintaimu juga, hidupku menjadi jauh lebih berwarna. Jadi aku sama sekali tidak keberatan.”

Maya mendesah mendengar jawaban kekasihnya. “Kapan sih, aku bisa menang dari omonganmu?” keluhnya.

Masumi tergelak. Dikecupnya ujung kepala Maya dengan sayang. “Sudahlah. Sudah kuputuskan aku akan menemanimu malam ini. Kau cepat istirahat, Bidadari Bandel! Sudah lewat jam 10.”

Maya mengangguk. Mematikan TV dan mulai merebahkan diri.

“Aku akan tidur di sofa,” bisik Masumi seraya merapikan selimut kekasihnya. “Mimpi indah, sayang,” dikecupnya bibir Maya dengan lembut sebelum kemudian laki-laki itu berjalan menuju sofa dan merebahkan diri di sana.

“Masumi?”

“Hmmm?” dilihatnya Maya menoleh kearahnya, menatap dengan senyuman. 

“Aku mencintaimu,” senyum Maya. Wajahnya nampak merona. “Selamat malam,” lanjut gadis itu sambil terburu-buru memalingkan kembali wajahnya dan memejamkan mata.

Masumi tertegun sejenak, namun sedetik kemudian senyum bahagia menghias bibirnya. “Kurasa aku memang akan mimpi indah malam ini,” gumamnya. 

Masumi sempat terlelap di atas sofa. Namun tidak lama, karena  kemudian sebuah suara gaduh dari arah tempat tidur Maya membuatnya melompat dari tidur. 

Meski masih setengah tersadar dan ruangan pun temaram karena lampu dimatikan, namun Masumi masih bisa melihat seseorang tengah membungkuk di atas tubuh Maya yang kini nampak menggeliat mencoba melepaskan diri. 

Orang itu tengah membekap kepala Maya dengan bantal!!

Sontak Masumi melompat. Mendorong orang tersebut hingga tersungkur ke samping dan menyingkirkan bantal dari wajah kekasihnya.

Maya tersenggal, wajahnya pucat!

“Maya, kau baik-baik saja?” tanya Masumi panik. Maya mengangguk. 

Sadar orang yang hendak mencelakakan Maya masih berada di ruangan itu, Masumi segera menyalakan lampu. Seorang perempuan nampak sedang berusaha untuk bangun.

“Hwang Mi Rae..” desis Masumi begitu melihat dengan jelas wajah perempuan itu. “Apa yang sudah kau lakukan?”

Mi Rae tersenyum tenang. “Menyingkirkan wanita ini agar tidak mengganggu kita, Masumi,” jawabnya. Masumi terbelalak.

“Kau… ??! Mi Rae, Maya tidak pernah mengganggumu atau aku! Kau harus sadar itu!”

“Kau kekasihku, Masumi! Mengapa kau menyangkal hal itu?” jerit Mi Rae. 

“Kau dan aku tidak pernah bersama. Aku tidak pernah menjadi kekasihmu. Kapan kau bisa menyadari hal itu?” sanggah Masumi. 

“Kau berkata begitu hanya karena perempuan penyakitan ini, bukan?” Mi Rae menunjuk Maya yang kini nampak kebingungan. “Tapi jangan khawatir Masumi, kemarin aku sudah mengatakan semua tentang kita. Bahwa kau adalah kekasihku dan kita akan segera menikah.Tapi nampaknya si penyakitan ini tidak mengerti juga, jadi aku bantu kau untuk menyingkirkannya.” 

Dengan Cepat Mi Rae kembali mendekat. Tanpa mempedulikan Masumi, lengan gadis itu terulur meraih leher Maya, seperti hendak mencekik. Namun Masumi tidak mengijinkan itu terjadi. Dengan sigap, Masumi menyambar lengan Mi Rae dan menariknya menjauh. Mi Rae kembali menjerit.

“Masumi, lepaskan. Aku harus membereskan perempuan itu agar dia tidak mengganggu kita lagi!!”
Masumi tak menjawab. 

Meski Mi Rae terus memberontak, laki-laki itu tetap menyeret Mi Rae menjauh dari Maya. Tapi tanpa di duga, Mi Rae menyentakan lengannya sekuat tenaga. Cengkraman Masumi terlepas.

“Kau kekasihku Masumi! Seharusnya kau membantuku memberi pelajaran pada perempuan tak tahu malu itu!!” Mi Rae  berteriak histeris, lalu tanpa diduga mendorong Masumi sekuat tenaga membuat laki-laki itu tersungkur dan membentur ujung sofa.

Maya menjerit khawatir. Tanpa mempedulikan infusan yang masih terpasang di lengannya, gadis itu melompat bangun dan memburu tubuh Masumi yang kini nampak tergeletak di bawah sofa. Tak sadarkan diri.

Namun niatnya untuk mendekati kekasihnya terhenti seketika, saat dilihatnya Mi Rae nampak berdiri gemetar menatap tubuh Masumi yang tidak berdaya. 

“Ma..sumi?” suara Mi rae terdengar menahan tangis. Perlahan gadis itu berlutut, tangannya nampak ragu untuk menyentuh tubuh Masumi. “Masumi..kau kenapa?” Mi Rae mulai mengisak. “Masumi baguun! Kau kenapa? Siapa yang berani menyakitimu?”

Maya tersentak. Perasaannya langsung mengatakan ada yang salah dengan gadis di depannya ini. 

Mi Rae kini menangis tersedu di samping tubuh Masumi. Memanggil-manggil nama lelaki itu.

“Hwang.. Mi.. Rae?” dengan ragu Maya memanggil nama gadis itu. Mi Rae menoleh. Kembali Maya mengernyit heran. Ekspresi wajah gadis cantik di depannya itu sangat jauh berbeda dari ekspresi yang ditunjukkannya tadi. Tidak ada lagi sikap agresif, sorot penuh percaya diri dan ekspresi penuh kebencian  dalam diri Mi Rae. Sebaliknya , yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang nampak ketakutan sekaligus kebingungan, seolah tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi sebelumnya. 

Pertanyaan yang keluar dari mulut Mi Rae kemudian memperkuat dugaan Maya.
“ Masumi kenapa? Siapa yang sudah menyakitinya?”

Maya baru saja hendak membuka mulutnya saat tiba-tiba pintu terbuka. Hijiri melompat masuk dan langsung memburu tubuh bosnya yang tergeletak tak sadarkan diri, diiringi Sano dan beberapa orang berjas putih di belakangnya.

“Kakak, kau kenapa?” Maya membelalak khawatir saat diihatnya kepala Sano yang dibalut perban.

“Aku tak apa-apa Maya,” senyum Sano. “Syukurlah kau baik-baik saja. Aku sangat khawatir Mi Rae berhasil menyakitimu,” lanjutnya kemudian dengan perasaan lega.

“Dari mana kakak tahu kalau Mi Rae berniat untuk…?”

“Akan kuceritakan nanti, Maya,” Sano memberi isyarat kepada adiknya untuk bersabar. Hijiri dan seorang dokter sedang memeriksa Masumi yang masih tak sadarkan diri. Semantara Mi Rae nampak berdiri ketakutan di tengah ruangan. Tangisnya yang memang belum reda kembali kencang saat dilihatnya Sano yang terpincang-pincang menghampiri.

“Sano maafkan aku. Aku.. aku tak kuasa menghentikan Masumi untuk tidak menyakitimu tadi pagi.. Maaf ya, maafkan aku..” isaknya.

“Cukup, Mi Rae. Kau harus menghentikan semuanya.” Sano menghampiri pesawat TV dan memasukkan sebuah CD ke dalam player di bawahnya. “Yang menyakitiku bukan Masumi, Mi Rae, lihatlah!”

Mata Hwang Mi Rae nampak terbelalak saat melihat adegan yang terpampang di layar TV.

“Tidak.. tidak mungkin. Itu.. tadi pagi.. Masumi yang…,” bola mata Mi Rae berputar cepat, kebingungan.

“Kau lihat baik-baik rekaman itu. Tidak ada Masumi di sana, bukan?” 

Mi Rae jatuh terduduk. Wajahnya nampak semakin bingung. Sano mendekat, lalu berlutut di depan gadis itu. “Selama ini di sisimu tak pernah ada Masumi, Mi Rae. Sejak dulu, yang ada hanya dirimu,”ujar Sano tenang. 

“Tapi…” Mi Rae menatap Sano dengan pandangan memelas. Sano mendekap tubuh Mi Rae erat. Tak kuasa melihat tatapan putus asa gadis itu. Dengan anggukan, ia kemudian mengisyaratkan beberapa orang yang datang bersamanya untuk mendekat.

“Ikutlah bersama mereka, Mi Rae.”

Wajah Mi Rae kembali panik.

“Kemana? Kau akan ikut bersamaku?”

Sano mengangguk. “Aku akan menyusulmu nanti. Jangan khawatir.”

“Sungguh?”

Kembali Sano mengangguk. “Ya, tentu. Aku tak pernah bohong bukan?”

Akhirnya tanpa protes lagi, Mi Rae mengikuti orang-orang tersebut pergi diiringi tatapan sedih Sano.

“Kakak,” suara Maya memaksanya untuk berbalik. Gadis itu nampak berurai air mata. Tanpa perlu penjelasan, Maya sudah dapat memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi.  

Dipeluknya Sano dengan haru.***


“Schizophrenia?”

Sano mengangguk. Menatap Maya dan Masumi bergantian. Masumi sudah tersadar dari pingsannya dan dokter sudah meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Kini mereka duduk di samping tempat tidur Maya. Maya menolak untuk istirahat sebelum kedua laki-laki itu menjelaskan apa yang sudah terjadi tadi.

“Maaf, Hyung. Aku tidak berterus terang padamu saat meminta bantuanmu waktu itu.”

“Aku pikir, masalahnya masih sama dengan 10 tahun yang lalu,” gumam Masumi. “Mengapa jadi separah itu? Bukankah saat aku pergi kondisi Mi Rae sudah jauh membaik?”

“Sebenarnya Mi Rae bukan sekedar depresi. Kami baru menyadari hal itu sepeninggalmu..”

“Apa yang terjadi?”

 “Setelah kau berhasil menyelamatkan Mi Rae dari percobaan bunuh dirinya, sebulan lamanya kau membantu dan menyemangatinya, Hyung, sampai akhirnya keinginannya untuk hidup bisa kembali.  Sejak saat itu Mi Rae menganggap kau sebagai satu-satunya orang yang peduli padanya. Menganggapmu sebagai pelindungnya. Tapi saat kau pergi, sepertinya jiwanya kembali labil dan tidak tenang. Tanpa diduga ia kemudian membangun pertahanannya sendiri, dengan cara yang membuat kami terkejut.”

“Kenapa?” Masumi menatap penasaran.

“Dia menciptakan Masumi Hayami dalam dirinya.”

“Aku tak mengerti,” Masumi menggeleng pelan. 

“Kepribadian Mi Rae jadi terpecah, Hyung. Di dalam dirinya tidak hanya ada Hwang Mi Rae. Tapi juga ada Masumi Hayami.”

Masumi tersentak. Menatap Sano setengah tak percaya. 

“Itu benar.. “ angguk Sano. “Di saat Mi Rae merasa dirinya terancam, atau sedih, atau marah, kepribadiannya seketika berganti menjadi Masumi Hayami. Yang selalu menghibur dan melindungi Hwang Mi Rae. Masumi inilah yang selama 10 tahun ini mengirimkan surat dan hadiah pada Mi Rae.”

“Maksud kakak, yang mengirimkan semua itu, sebenarnya Mi Rae sendiri?” tanya Maya.

Sano mengangguk. 

“Itu… itu…mengerikan..” desis Masumi. 

“Tapi.. Mi Rae yang aku lihat tadi, aku juga merasa sikapnya berubah 1800. Saat mencoba menyerangku dia sangat percaya diri dan agresif. Tapi saat Masumi pingsan, dia nampak kebingungan dan ketakutan,” ujar Maya mengungkapkan keheranannya. “Apa yang mencoba menyerangku adalah ‘Masumi Hayami’-nya Mi Rae?”

“Kurasa bukan,” geleng Sano. “Masumi Hayaminya tidak akan muncul jika yang asli ada di dekatnya. Itulah mengapa, aku berniat mempersatukan Mi Rae denganmu, Hyung. Tadinya kuharap kalau kalian bisa bersama, Mi Rae bisa kembali hanya menjadi Hwang Mi Rae, tanpa kepribadian Masumi Hayami di dalamnya. Aku nekat meski aku tahu kau mencintai Maya. Namun, setelah  melihat betapa dalamnya cinta kalian, aku jadi ragu. Terlebih ketika melihat Hyung  begitu ketakutan saat kau kabur dari rumah sakit, Maya. Aku tidak bisa menjalankan rencanaku lagi. Aku harus kembali ke kenyataan bahwa Mi Rae memang harus ditangani serius oleh orang lain secara lebih profesional.“

“Jika bukan aku, siapa yang ada dalam diri Mi Rae saat menyerang Maya tadi?” tanya Masumi penasaran.

“ Kurasa kondisi kejiwaan Mi Rae lebih rumit.”

“Maksudmu?”

“Mi Rae yang asli sangat rapuh, penakut, dan tidak percaya diri. Rasanya tidak mungkin dia akan diam-diam mengambil video ketika kita sarapan dan mengirimkannya ke Maya. Terlebih, keagresipannya saat itu padamu, Hyung. Itu jelas bukan Mi Rae. Dan kupikir, kepribadian barunya itu muncul saat melihat kalian berpelukan di rumah sakit waktu itu,” jelas Sano.

 “Entahlah, aku tak tahu kepribadian  siapa lagi yang dia ciptakan sekarang lanjut Sano kemudian sambil menggeleng. “Yang jelas, Mi Rae menciptakan sebuah kepribadian yang sangat berbeda dengan dirinya yang asli. Sosok baru ini terlihat lincah, ceria, mandiri, dan agresif.”

Sano berhenti sejenak. Laki-laki itu meringis merasakan sakit di kepalanya. 

“Sama seperti Masumi Hayami, kepribadiannya yang baru juga bertugas untuk melindungi Mi Rae yang asli,” lanjutnya beberapa saat kemudian. “Mi Rae sangat terpukul saat melihat kau dan Maya berpelukan di rumah sakit. Saat itu  Masumi-nya tidak muncul untuk melindungi, jadi Mi Rae yang lainlah yang muncul, untuk memastikan tidak ada yang akan menjauhkan Masumi Hayami dari Mi Rae asli.”

 “ Jadi maksud kakak, Hwang Mi Rae memiliki… tiga… kepribadian?”

Sani mengangguk.  Maya menutup mulutnya yang ternganga saking terkejutnya.

Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Masumi tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat melingkupi. 

“Sementara aku titipkan Mi Rae di bagian psikiatri rumah sakit ini, agar aku mudah menengoknya. Lalu setelah operasi Maya, aku akan membawanya pulang ke Korea dan merawatnya di sana.”

“Kakak…”

Sano mendesah agak sebal melihat cara  kedua orang di depannya itu menatapnya.

“Jangan menatapku seperti itu! Kalian seperti tidak tahu saja bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan sepenuh hati!”

Masumi tersenyum mendengar ucapan Sano. 

“Kau benar,” angguknya. “Tak peduli orang mengatakan kita gila, yang penting bisa bersama orang yang paling kita cintai, itu lebih dari cukup,” digenggamnya lengan Maya lembut. Gadis itu ikut tersenyum, menatap kekasihnya penuh haru. 

“Begitulah,” ringis Sano. “Tapi kau lebih beruntung, Hyung. Orang yang paling kau cintai itu balas mencintaimu. Sedang aku…?”

“Suatu saat Mi Rae akan menyadari ketulusanmu, “ hibur Masumi.

“Kuharap begitu,” angguk Sano. “Semoga…”
 
Maya hanya menatap kedua lelaki di depannya dengan perasaan yang mengharu biru***


“Menikah?” mata bening Maya membulat, menatap kekasihnya tak percaya. “Secepat itu?”

“Kau pikir setelah melamarmu kemarin apa yang akan kulakukan selain menikahimu?”

“Tapi.. tidak secepat ini!”

“Aku sudah menunggumu lebih dari 7 tahun, Maya! Aku tidak mau menundanya lagi.”

“Masumi, tidak bisakah kita menunggu sampai aku sembuh? Setidaknya sampai kita yakin hasil operasiku nanti berjalan baik?”

“Tidak!” geleng Masumi tegas. “Kita harus menikah sebelum jadwal operasimu minggu depan. Kakakmu sudah setuju, dokter juga sudah mengijinkan. Tak ada masalah, kan?”

“Tapi aku tidak setuju!” sergah Maya. “Aku tidak mau!”
Masumi menghela nafas panjang. Lalu berdiri untuk berpindah duduk dari kursi ke sisi tempat tidur kekasihnya.

“Aku mengerti alasanmu menolak menikah minggu ini. Alasan yang sama yang kau pakai saat mencoba menolak lamaranku kemarin, bukan?”

“Syukurlah kalau kau sadar!” sahut Maya ketus.

“Alasanku memaksamu juga sama,” lanjut Masumi tanpa mempedulikan wajah kekasihnya yang merengut. “Kau tahu perasaanku saat ini yang selalu tersingkir saat dokter hendak memeriksamu dan membicarakan kesehatanmu? Selalu Sano atau Pak Kuronoma yang dipanggil. Bukan aku! Dan aku harus sabar menunggu laporan dari kakak dan walimu itu. Aku tidak mau seperti itu terus. Aku ingin akulah yang pertama kali tahu tentang apapun keadaanmu. Aku ingin aku ikut dalam semua keputusan medis yang dokter berikan untukmu agar aku bisa memastikan semua keputusan itu adalah keputusan yang terbaik untukmu. Aku juga tidak ingin lagi diusir saat perawat datang untuk membantumu membersihkan diri..”

Wajah Maya memerah. “Dasar mesum!” potongnya cepat.

Masumi nampak tertegun mendengar komentar Maya, wajahnya nampak bingung. Namun beberapa saat kemudian rona merah menulari wajah tampannya. “Kau ini..” desisnya. “Aku sedang berbicara serius sempat-sempatnya  berpikir yang tidak-tidak,” imbuhnya kemudian. 

“Siapa yang berpikir yang tidak-tidak,” sergah Maya. “kau yang mulai kan?”

“Ya..ya.. baiklah,” Masumi berdehem untuk mencoba meminimalisasi rona hangat yang masih menjalari wajahnya. “Tapi benar, kan? Kalau aku sudah resmi jadi suamimu, aku tidak akan diusir lagi saat mereka akan membantumu membersihkan diri. Sebaliknya, aku yang mungkin akan mengusir mereka!” diam-diam Masumi menahan senyumnya seraya menikmati rona merah yang semakin menghiasi wajah Maya.

Maya melengoskan wajahnya menyembunyikan rasa malu yang semakin menyergap.

Masumi terkekeh. “Kau cantik sekali kalau sedang malu begitu.”

“Masumiii!!” Maya kontan menghadiahi Masumi dengan pelototannya membuat laki-laki itu semakin tergelak.

“Tuh, benar, kan? Kau tidak serius,” tuduh Maya. 

Masumi menggeleng. “Siapa bilang aku tidak serius?” sanggahnya. Wajahnya kembali tenang dengan tatapan yang sungguh-sungguh.”Aku serius saat mengatakan semua itu, Mungil. Aku tidak ingin lagi dinomorduakan untuk segala urusan yang menyangkut dirimu.”

“Kalau kau memaksakan diri untuk menikahiku, kau orang yang akan pertama kali terluka kalau aku sampai…,” Maya menghela nafas, tak kuasa melanjutkan ucapannya.

“Sudah kubilang aku tidak memaksakan diri,” ujar Masumi. Dihelanya wajah Maya untuk melihat ke arahnya. “Menjadikanmu milikku adalah keinginanku satu-satunya Maya, sejak lama.”

“Sudah kubilang jangan terlalu mencintaiku,” Maya mulai mengisak. 

“Sudah terlambat, sayang. Aku sudah terlanjur mencintaimu.”

“Aku tidak ingin meninggalkanmu dalam kesedihan nanti.”

“Jika kau pergi tanpa mengijinkanku untuk menyematkan namaku bersamamu, baru aku akan sangat sengsara,” sahut Masumi. “Dan aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku,” lanjutnya kemudian.

“Kau berhak bahagia, Masumi.”

“Aku hanya akan bahagia jika bersamamu. Jadi jangan halangi itu.”

“Masumiii.. kau keras  kepala! Kau egois!”

“Aku memang harus egois untuk bisa bersamamu.”

“Masumiiii..” Maya menatap kekasihnya putus asa. “Sepertinya aku sudah salah menerima lamaranmu kemarin,” desahnya dengan air mata masih berurai.

“Tidak, Maya. Kau tidak salah!” sebuah suara membuat keduanya menoleh. Di ambang pintu, nampak seorang laki-laki tua di atas kursi roda, menatap keduanya dengan senyum.

“Pamaan…?”

“Ayah?”

Kontan  Maya dan Masumi berpandangan.

“Ayah?” Maya menatap Masumi tak percaya. 

“Dia ayahku,” angguk Masumi. “Kenapa kau memanggilnya paman? Kau kenal dia?”

“Betul, Maya. Aku adalah ayahnya Masumi,” Eisuke tersenyum seraya menggerakkan kursi rodanya mendekat.

Mata Maya membulat tak percaya. Menatap Masumi dan Eisuke bergantian. “Jadi.. paman ini adalah… ayahnya.. Masumi?” tanyanya seperti tidak mendengar perkataan Eisuke. 

“Jadi selama ini aku..? “ Maya kian terbelalak. “Aduuuh…,” gadis itu menutup mukanya. Merasa malu menyadari selama ini dia sering sekali memaki Masumi di depan Paman es krimnya itu.

Eisuke tergelak.

“Tenanglah, Mungil. Rahasiamu aman di tanganku,” kekehnya kemudian. Kini giliran Masumi yang menatap kekasih dan ayahnya bergantian.

“Kalian saling mengenal?”

Maya hanya mengangguk. Masih menyembunyikan wajahnya.

“Gadis mungil ini teman bicaraku selama ini, Masumi. Dia gadis yang menyenangkan,” terang Eisuke. “Seandainya aku tahu lebih dulu kalau kalian saling mencintai, aku mungkin tidak akan memaksamu untuk bertunangan dengan Shiory,” lanjut Eisuke.  

Maya mengangkat wajahnya dengan  terkejut. Begitu juga dengan Masumi.

“Menikahlah dengan Masumi, Maya,” Eisuke mendekati tempat tidur Maya. “Ini adalah permintaan dari seorang ayah yang tidak ingin lagi melihat anaknya menderita,” lanjut Eisuke.

“Ayaah,” Masumi menatap ayahnya setengah tak percaya.

“Paman, tapi..”

“Jika kau menolak anakku, sama saja dengan melemparnya ke dalam penderitaan tak berujung. Kau tega melakukan itu pada Masumi, Maya?”

“Tentu saja tidak!” geleng Maya.

“Karena itu, terimalah si Dingin ini menjadi suamimu. Kau mau kan?”

Maya terdiam dengan bingung. Ditatapnya Eisuke lekat-lekat. Ada kesungguhan di sana. Lalu pelan pandangannya berlabuh di wajah kekasihnya. Wajah yang sangat dicintainya. Betapa dia ingin membuat wajah itu selalu tersenyum bahagia.

“Kau yakin kau tidak akan menyesal Masumi?” tanyanya penuh keraguan.

“Kau sudah tahu jawabanku Maya. Untuk apa kau tanyakan lagi?”

Maya terdiam. 

“Mayaa…?”

Masumi mengangkat dagu Maya. Dilihatnya gadis itu kembali berurai air mata.

“Masumii, hatiku menginginkanmu sepenuhnya, tapi logikaku mengatakan tidak. Aku harus bagaimana? Aku bingung. Jika aku menuruti kata hatiku, aku merasa menjadi perempuan yang sangat egois, Masumi. Sangat egois.”

“Turuti kata hatimu, Maya. Bukankah sudah aku katakan, tak apa jika untuk bahagia kita menjadi sangat egois. Aku pun begitu. Kita, adalah  dua orang egois yang sama-sama ingin bahagia. Cocok bukan?” senyum Masumi.

Maya tersenyum diantara air matanya.

“Jadi?” Masumi menatap kekasihnya lembut. Menanti. Sekali lagi, Maya memandang ayah dan anak itu bergantian. Kedua laki-laki itu juga tengah menatapnya dengan senyum.

“Baiklah,” angguk Maya akhirnya. “Kita menikah minggu ini.”

Eisuke tertawa gembira. Semetara Masumi langsung menarik gadis mungil itu ke dalam pelukannya.

Air mata kebahagiaan melompat ke pipi laki-laki itu.***


Dengan biaya ekstra Masumi berhasil membuat semua persiapan untuk pernikahannya. Cincin pernikahan yang dirancang khusus untuknya dan Maya, gaun pengantin Maya, bunga, pendeta, semuanya siap untuk prosesi pernikahan yang akan dilangsungkan besok.

Ayumi dengan gembira ikut membantu Maya mendesain gaun dalam waktu singkat. Dan kini, gaun pengantin itu sudah manis tergantung di kamar Maya.

Dari tempat tidurnya, Maya memandangi gaun itu dengan ekspresi berubah-ubah. Terkadang senyum manis tersungging di bibirnya, namun beberapa saat kemudian, wajahnya murung, dengan gurat kesedihan yang nyata.

“Calon pengantin harusnya tersenyum,” sebuah suara lembut mengejutkan gadis itu. Senyumnya mengembang saat dilhatnya Sano masuk dan melangkah menghampiri.

“Kakak,” sapanya hangat. Sano duduk di samping tempat tidur adiknya. Kemudian terdiam, menatap adiknya dalam senyum.

“Ada apa?” Maya bertanya dengan wajah memerah. “Mengapa kakak memandangku seperti itu?”

“Aku hanya masih tidak percaya, besok aku akan mengantarmu ke altar,” jawabnya pelan. “Padahal kita baru saja bertemu, dan aku…… belum sempat memanjakanmu lebih lama.”

“Kakak…,” Maya tersenyum bahagia mendengar ucapan Sano. “Aku tak keberatan kalau kakak tetap memanjakanku.”

“Heh, kau ini. Tentu saja suamimu yang akan memanjakanmu nanti,” gelak Sano, mengacak rambut Maya dengan sayang. “Kau harus bahagia, Maya. Aku akan selalu berdoa untuk itu.”

“Kakak juga harus bahagia,” sahut Maya. Sano menjawabnya dengan senyum.

“Bagaimana kabar Mi Rae?” tanya Maya kemudian, hati-hati. Sano yang sedang menerawang menoleh, lalu menghela nafas dalam.

“Dia tetap asyik bersama dunianya,” desahnya pelan. Ada rona kesedihan di matanya.

“Apa ‘Masumi’ masih bersamanya?”

Sano mengangguk. Lalu mendesah lagi. “Wajahnya sangat bahagia jika sedang bersama Masumi-nya.”

Maya meraih lengan kakaknya dan menggenggamnya hangat.

“Kurasa,” lanjut Sano. “Jika merengut Masumi-nya akan membuat Mi Rae sedih, lebih baik aku biarkan saja dia seperti itu.”

“Jangan seperti itu, Kak,” sahut Maya. “Kakak jangan putus asa.”

Sano menatap adiknya sesaat sebelum akhirnya senyum kembali mengembang di bibir laki-laki itu. “Ah, kau benar,” angguknya. “Aku tidak boleh putus asa. Kita, tidak boleh putus asa.”

Maya tertawa, sadar kalau kakaknya setengah menyindirnya tadi.

“Aku pun akan tetap berusaha, Kak. Jangan khawatir.”

“Itu lebih baik. Tetaplah bahagia, kau harus berjanji padaku, ya.”

“Aku janji,” angguk Maya mantap. “Kakak juga, janji padaku untuk bahagia.”

OK,” senyum Sano. “Pinky promise?” Sano mengacungkan jari kelingkingnya. Maya tergelak. Mengacungkan kelingkingnya dan mengkaitkannya dengan kelingking kakaknya. 

Keduanya tergelak riang.***


Musik pernikahan mengalun lembut. Maya melangkah menuju altar di tengah kapel yang kini sudah disulap menjadi tempat pernikahan yang indah yang dipenuhi dengan rangkaian mawar ungu. Tak banyak orang yang diundang. Kuronoma, pasangan Himekawa, Ayumi, Bu Mayuko, Genzo, Mizuki, dan teman-teman Maya dari teater Mayuko dan Ikkakuju. Hijiri pun hadir, duduk di belakang terpisah dari yang lainnya. 

Masumi berdiri tegak di depan altar, menunggu Maya dengan hati berbunga. Matanya berbinar penuh cinta memandang calon pengantinnya yang berjalan pelan digandeng oleh sang kakak. Wajah Maya dirias dengan baik oleh Ayumi sehingga mampu menonjolkan kecantikan alami Maya di balik wajah tirusnya. Kebahagian yang nyata terlihat membuat Maya terlihat bersinar pagi itu. 

Di setiap langkahnya, Maya terus memantapkan hati, bahwa sekarang dirinya tengah menapaki jalan yang benar, yang akan membawanya dan juga Masumi, menuju kebahagiaan mereka.

Genggaman hangat Masumi menambah keyakinannya.
“Kuserahkan adikku satu-satunya kepadamu, Hyung. Bahagiakan dia,” Maya mendengar suara kakaknya berbisik lirih, dibalas dengan anggukan Masumi yang mantap. “Tentu saja, aku akan selalu membahagiakan Maya.”

Semuanya dengan khidmad mengikuti jalannya prosesi pernikahan. Maya meneteskan air mata saat mendengar Masumi mengucapkan janji pernikahannya tanpa ragu sedikitpun. 

“Maya Kitajima. Bersediakah kau menerima laki-laki ini, Masumi Hayami, sebagai suamimu dalam suka maupun duka? Bersamanya dalam sedih dan gembira. Dan selalu menjaganya baik dalam sehat maupun sakit?”

Mata kelam di depannya begitu memancarkan cinta dan kesungguhan. Maya merasa dirinya tak berdaya menolak semua perasaan haru dan bahagia yang menyerbu hatinya kini.

“Ya,” angguk Maya. “Saya bersedia.”

Tepuk tangan mengiringi Masumi mencium pengantinnya dengan hangat. Kedua mata laki-laki itupun nampak basah. 

“Terima kasih sudah memberiku kebahagiaan sebesar ini,” bisik laki-laki itu di ujung ciumannya. Maya tersenyum. “Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu, Masumi. Karena mau menerimaku yang seperti ini.”

“Kau bahagia?” tanya Masumi. Maya berbinar menatapnya.

“Sangat,” angguknya mantap. Beberapa saat keduanya berpelukan sambil berpandangan mesra, tanpa peduli para undangan yang memperhatikan mereka dalam senyum. 

Lengan Maya masih melingkari leher Masumi saat tiba-tiba gadis itu berbisik,” Aku sangat mencintaimu, Masumi.” 

Lemah. 

Tubuh gadis pun itu terkulai dalam pelukan suaminya.

“Maya? Sayang?” Masumi berbisik pelan. Tangannya gemetar meraih wajah istrinya yang tersuruk di dadanya.

Air mata menetes saat dilihatnya wajah mungil gadis itu sangat pucat. Matanya terpejam erat. Cairan merah segar keluar dari hidungnya.

Beberapa dokter segera berlari mendekat.

Masumi memeluk tubuh istrinya erat. Laki-laki itu menangis.***

       *** Bersambung ke part 6***