Minggu, 31 Juli 2011

The Cure









Masumi terbangun begitu merasakan tempat di sampingnya kosong. “Mungil? Sayang?”
          Terdengar suara seperti orang muntah dari toilet. Laki-laki itu segera meraih jas kamarnya dan bergegas menuju toilet.
          “Maya, kau kenapa?” tanyanya panik demi melihat istrinya jongkok di kloset, mengeluarkan isi perutnya. Maya tidak menjawab. Ia masih merasa sangat mual sehingga terus muntah untuk beberapa saat. Masumi memanggil pembantunya untuk menyiapkan teh hangat dan memanggil dokter. Lalu menghampiri istrinya yang nampak lemah dan pucat.
          “Tak perlu memanggil dokter,” bisik perempuan itu. Meski wajahnya sedikit pucat dan berkeringat, tapi senyum menghiasi bibir dan matanya. Masumi memapahnya kembali ke tempat tidur.
          “Kemarin dokter bilang, ini akan terjadi di awal kehamilan. Meski aku tidak menyangka secepat ini.”
          “Benarkah?” Masumi jongkok di depan istrinya. Mengusap keringat yang merembes di kening Maya.
          “Iya, jadi jangan khawatir.”
          Tapi tetap saja Masumi khawatir. Maya susah makan sejak itu. Jangankan untuk memasukkan makanan ke mulut, mencium baunya saja sudah membuat perempuan itu sangat mual dan seolah mau muntah.
          Yang bisa dia makan hanyalah beberapa jenis buah, beberapa suap roti, dan susu, itupun karena hasil bujukan mati-matian suaminya.
          “Ayolah, sayang. Makanlah biar sedikit,” bujuk Masumi malam itu. Maya mengernyitkan hidungnya mencium bau makanan yang terhidang di meja. “Kau harus pikirkan kesehatanmu dan si kecil, ya. “
          Baru beberapa suap, perempuan itu sudah berlari ke toilet dan memuntahkannya kembali.***

          Dokter tersenyum menanggapi keluhan suami pasiennya itu.
          “Jangan khawatir, Pak Masumi. Perlahan morning sicknya akan berkurang seiring perkembangan si janin. Asalkan tetap minum susu yang sudah direkomendasikan, dan ada asupan makanan lain meski hanya roti dan buah, itu sudah cukup sampai gejala ini menghilang.”
          “Apa kubilang,” bisik Maya di telinga suaminya.
          “Dan Nyonya tentu saja harus membatasi aktivitas untuk sementara, agar tidak kelelahan karena asupan makanan sekarang tidak begitu baik.”
          Masumi bisa sedikit rileks setelah mendengar penjelasan dokter. Namun tetap saja, ia mengawasi berbagai aktivitas istrinya. Sampai-sampai Maya berjalan agak cepat saja, laki-laki itu menegurnya.
          “Masumiii…’” keluh Maya suatu sore saat suaminya tiba-tiba muncul di dapur dan menyuruh pembantu mereka mengambil alih pekerjaannya membuat makan malam. Laki-laki itu menggendongnya ke kamar mereka. “Kau kan tidak boleh terlalu lelah,” ujarnya tenang. Maya merengut saat lelaki itu mendudukannya di sofa dan jongkok di hadapannya. Maya menempelkan kedua telapan tangannya di pipi suaminya. “Tuan Masumi Hayami,” katanya. “Aku ini hamil, bukannya invalid.
          Masumi tertawa. “Aku tahu,” dikecupnya bibir istrinya lembut. “Tapi aku takut sekali terjadi sesuatu yang buruk padamu dan si kecil,” ujarnya kemudian.
          Maya tersenyum menenangkan. “Kami akan baik-baik saja, benar kan, Masumi Junior?” Maya menunduk dan mengelus perutnya penuh cinta. Masumi menangkap tangan itu dan menggenggamnya erat. “Kau harus baik-baik saja,” dikecupnya jemari istrinya mesra. Lalu ciumannya berpindah ke perut Maya. “Kau juga, sayang. Bantu papa buat ngingetin mamamu biar tidak terlalu cape, ya..”
          Maya tertawa. Lalu menyusupkan tubuhnya ke dalam pelukan suaminya begitu Masumi duduk di sampingnya. Dirasakannya kepalanya dikecup lembut. Maya menengadah, menatap wajah Masumi.
          “Maafkan aku sudah membuatmu khawatir akhir-akhir ini,” bisiknya. “Aku akan lebih hati-hati.”
          Masumi tersenyum. Kepalanya merunduk untuk mencium bibir wanita yang sangat dicintainya itu.***
          Nafsu makan Maya bertambah seiring dengan perkembangan kehamilannya. Dia tidak lagi mengalami morning sick saat memasuki bulan keempat. Meski dengan perut yang mulai membesar, Maya tetap aktif dan menjalani semua kegiatannya dengan ceria.
          “Aku tak sabar menunggunya lahir,’ bisik Maya seraya mengusap foto kandungannya. Sosok bayi mereka semakin jelas. Masumi, mengusap-ngusap perut Maya yang menggembung dengan lembut. “ empat bulan lagi..” ujarnya. “Kita masih harus bersabar.”
          “Sepertinya nanti dia akan jadi bayi yang aktif. Sekarang aja luar biasa..” gelak Maya, merasakan dinding rahimnya ditendang-tendang lembut dari dalam. Mereka tengah duduk berpelukan di sofa dalam kamar. Memandangi sonogram terbaru bayi mereka. Maya tersenyum bahagia mengusap gambar calon bayinya. “Aku senang sekali saat dokter memberitahuku bahwa bayi kita laki-laki. Harapanku terkabul.”
          Masumi mengecup pundak istrinya lembut.
          “Masumi junior.. Dia pasti tampan sepertiku.”
          Maya tertawa. “Kau ini..”
          “ Hei, itu kenyataan.” Ujar Masumi.
          “Kurasa para pegawaimu akan kena serangan jantung semua kalau tahu bos mereka yang menakutkan ternyata cukup narsis.”
          “Hmm.. kurasa mereka tidak akan bilang aku narsis. Tanpa aku tegaskan, mereka sudah tahu pesonaku.”
          “Masumiii…” Maya tergelak. “Jangan kau tularkan kenarsisanmu pada bayi kita nanti!”
          “Tak ada salahnya, kan?” senyum laki-laki itu. Maya memukul lengan suaminya gemas.
          “Kau sudah minum susu?” tanya Masumi kemudian. Maya mengangguk. “Sudah tadi.” Oya, tadi jas pesananmu sudah datang. Aku sampai lupa kalau besok ada acara penghargaan..”
          “Kau masuk nominasi, kan?” tanya Masumi. Maya mengangguk.
          “Hmm.. apa kita harus datang besok?”
          “Tentu saja, mungil. Banyak yang memprediksikan kau akan memborong semua nominasi nanti.”
          “Sebenarnya aku tidak suka acara-acara seperti itu. Apalagi kalau jadi pusat perhatian.”
          Masumi tergelak. “Itu konsekuensi kalau jadi bintang besar.”
          “Apa tidak bisa kita wakilkan saja?’ kerling Maya.
          “Tidak. Lagi pula untukku, saatnya memamerkan istri dan calon anakku, live..”
          Maya mengerucutkan bibirnya. “Narsis lagi..” ujarnya. “Kau lupa, kita masuk majalah lebih dari 3 kali selama aku hamil ini?’
          “Aku bilang juga live… Langsung!”
          “Kau bisa tetap tampil penuh pesona, seperti katamu tadi. Tapi aku? Dengan perut besar begini, mana bisa penuh pesona.”
          Masumi tersenyum dengan binar cinta yang terlihat nyata.
          “Siapa bilang kau tidak mempesona?” ujarnya. “Aku bahkan sudah bisa membayangkan harus memelototi banyak orang yang seenaknya memandangimu dengan mata memuja.”
          “Kau hanya menghiburku,” rajuk Maya. Masumi mengecup pipi perempuan itu.
          “Tidak.. kau memang mempesona, bahkan sangat mempesona.” Terbayang di matanya beberapa kejadian saat mereka pergi bersama, ia harus bersabar melihat banyaknya pandangan memuja dari banyak pria yang terlihat begitu terpesona dengan Maya. Ah, istriku yang cantik, kau tetap tidak menyadari, betapa mempesonanya dirimu, senyum Masumi dalam hati.***

          Dan itu terbukti keesokan malamnya. Dengan gaun hamil yang sederhana tapi sangat pas dikenakan Maya, Perempuan itu tampil begitu mempesona. Masumi mendengar bisikan-bisikan memuji dari beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
          “Cantik sekali, yaa..”
          “Semakin kesini, Maya Hayami semakin menarik. Bahkan saat dia hamil sekalipun.”
          “Beruntungnya direktur Hayami..”
          Infotainment pun berebut untuk mewawancarai mereka.
          “Calon bayi kami sehat, “senyum Maya. “Terima kasih atas doa semuanya.”
          “Perkiraan pertengahan bulan Juli..” Masumi menjawab dengan tenang.
          “Nama?” Maya melirik suaminya. “Kami sudah memikirkan beberapa nama, tapi belum diputuskan yang mana.”
          “Yang penting si kecil lahir dengan sehat dan selamat nanti, “lanjut Masumi. “Juga dengan mamanya..”
          Dengan halus Masumi mengatakan bahwa mereka harus segera masuk ruangan karena acara akan segera di mulai. Dari 7 nominasi, Maya memenangkan 5 diantaranya. Masumi tersenyum bahagia. Kekasih mungilnya sudah mengepakkan sayapnya kini.***
          Bayi kecil yang lucu lahir di pertengahan Juli. Rumah besar Hayami kini selalu hangat dengan tangisan dan celotehan Ryusuke Hayami. Bayi itu kini jadi bintang kecil di rumah tersebut. Eisuke selalu memamerkan si kecil ke setiap kerabat yang berkunjung. Ia begitu bangga dengan cucu pertamanya itu.
          Suara rengekan Ryu membuat Maya segera terbangun dari tidurnya. Diliriknya jam, jam 2 malam. Ryu memang masih sering terbangun di tengah malam. Kalau tidak popoknya basah, dia pasti lapar dan minta digendong.
          Dihampirinya kamar bayi yang terhubung dengan kamarnya. Bayi itu langsung menangis saat melihat wajah mamanya.
          “Apa sayang?” senyum Maya lembut. “Hmm.. popoknya basah yaa.. Sini mama ganti.”
          Dengan penuh kasih sayang ia mengganti popok Ryu. Bayi dua bulan itu langsung tenang begitu merasa nyaman. Maya menggendongnya dan membawanya ke kamarnya. Di sana nampak suaminya yang baru keluar dari ruang kerja, tersenyum melihat bayi kecil dalam gendongan istrinya.
          Laki-laki itu ikut duduk di sofa saat Maya menyusui Ryu.
          “Dia lahap sekali,” komentarnya seraya meraih jemari mungil bayinya.
          “Setelah menangis tentu lapar. Iya, kan Ryu?”
          “Kau pasti lelah, setiap malam harus terbangun untuk menyusui si kecil,” ujar Masumi seraya memeluk bahu istrinya.
          “Ehmm.. tapi ini menyenangkan,” jawab Maya. “Melihat wajahnya saja sudah membuat lelahku hilang. Lagi pula, kau selalu menemaniku,” Maya menoleh, tersenyum pada suaminya. “Terima kasih..”
          “Apapun untukmu, mungil,” Masumi merunduk, mencium bibir istrinya lembut. Maya membalasnya dengan penuh cinta. Ciuman mereka berakhir oleh celotehan Ryu. Keduanya tertawa saat menyadari bayi mereka tersenyum menatap keduanya. Dengan gemas Masumi mencium pipi gemuk Ryu. “Juga untukmu, jagoan kecil.”
          Ryu melonjak-lonjak gembira saat papanya meraihnya ke dalam gendongannya.***

          Kantor Daito. Jam 12.15 siang
          Di dalam ruangannya Masumi bolak balik sambil menggendong Ryu yang menangis. Saat ini Maya sedang di bawah, Kuronoma meminta Maya untuk mengaudisi beberapa pemain baru. Maya memutuskan untuk tidak menerima tawaran drama apapun sebelum Ryu berusia setahun, minimal. Perempuan itu tidak mau kehilangan moment-moment penting perkembangan bayinya. Namun ia tidak bisa menolak perminataan Kuronoma untuk mengaudisi pemain hari ini.  Maya bersikeras membawa Ryu, karena ini pertama kali ia harus keluar cukup lama.  Perempuan itu belum tega meninggalkan Ryu sendiri dirumah, meski ada pengasuhnya.
          Masumi sedikit menyesal mengapa tadi ia menyuruh baby sitternya untuk makan siang. Ryu rewel sejak bayi itu terbangun 5 menit yang lalu.
          Mizuki menawarinya untuk gantian menggendong Ryu. Tapi tangis bayi itu malah kian keras.
          “Aku tidak tahu bagaimana cara Maya menenangkannya. Tapi jika Ryu sedang rewel begini, hanya dengan dipeluk dan ditepuk-tepuk olehnya Ryu bisa langsung tenang.”
          “Setiap ibu pasti tahu bagaimana cara menenangkan anaknya,” senyum Mizuki. Baru kali ini dia melihat atasannya itu nampak kebingungan, membujuk bayi berusia tiga bulan itu berulang-ulang.
          “Ryu sayang, sudah dong nangisnya..” Masumi menepuk-nepuk punggung bayinya lembut. “bentar lagi mama datang, kok. Ryu jangan nangis lagi..”
          Tapi bayi itu tetap menangis.
          Maya yang masuk dengan tergesa membuat laki-laki itu menarik nafas lega.
          Seraya tersenyum, Maya meraih bayinya ke dalam pelukannya.
          “ Wah, jangoan kecil mama kenapa ini?” ujarnya riang. Ryu masih menangis dalam pelukannya.
          “Lapar, ya sayang?” Maya mencium pipi bayinya. Lalu duduk di sofa di depan meja kerja Masumi. Suaminya mengikuti, duduk di sampingnya.
          Ryu masih terisak-isak ketika menyusu. Maya dengan lembut menghapus air mata di pipi Ryu.
          “Ryu kaget, ya? Bangun di tempat asing,” senyumnya. “Ini pertama kali Ryu ke sini, kan?” Maya menoleh ke arah suaminya yang kini tengah asyik mengagumi bayinya dalam pelukan Maya. Dengan lembut digenggamnya jemari mungil Ryu.
          “Pantas saja dia rewel sejak bangun tidur. Dia pasti kaget.”
          “Iya,” anguk Maya. Lalu kembali memandang bayinya. “Sayang,” ujarnya lembut. “ Ini kantor papa, jadi Ryu jangan takut, ya.”
          Si kecil melonjak-lonjak seolah menerti ucapan mamanya, membuat kedua orang tuanya tertawa.
          “Dia seperti mengerti ucapanmu,” ujar Masumi.
          “Siapa tahu dia memang ngerti,” jawab Maya. Masumi menarik tubuh istrinya agar dapat bersender dengan nyaman di bahunya. Sesekali di kecupnya pipi dan bahu Maya dengan penuh cinta, seraya terus memandangi bayi kecilnya penuh kekaguman.
          “Aku masih tidak percaya..” bisiknya Masumi kemudian. Maya menoleh sekilas.
          “Hmm?
          “Dua tahun yang lalu hidupku masih begitu kaku, di kepalaku hanya ada kerja dan kerja, mengabaikan hatiku sendiri dan bergulat untuk memendam cintaku padamu. Sekarang..” Masumi mengecup kembali ujung kepala istrinya. “… Aku memilikimu, memiliki cintamu. Ini keajaiban bagiku.. tak pernah kubayangkan sebelumnya bisa memeluk dan menciummu setiap hari. Jika aku lelah karena pekerjaan, menelponmu dan mendengar suaramu sudah membuat semangatku muncul kembali. Pulang ke rumah, melihat senyummu dan memelukmu membuat semua kepenatanku hilang. Bahkan kini… kau memberiku Ryu. Keajaiban lainnya yang membuat semuanya semakin indah.”
          Maya tersenyum. Mendongak dan mengecup pipi suaminya lembut. “Kau pun keajaiban bagiku, “ bisiknya.” Aku mencintaimu, Masumi Hayami.”
          Masumi merunduk, mencium bibir istrinya dengan cinta yang meluap. “I love you more, Maya” balasnya berbisik.***

          Sore ini begitu cerah. Maya menggendong Ryu memasuki sebuah kafe dan memilih untuk duduk di dekat jendela yang menghadap ke taman yang asri. Sore ini ia akan mengimunisasi Ryu ke dokter. Masumi bersikeras untuk menemani, namun saat ini ia masih di kantornya, agak sedikit terlambat. Jadi mereka janjian di kafe dekat praktek dokter pribadi mereka.
          Ryu nampak senang saat mamanya mendudukkannya di pangkuan, menunjukkan taman yang penuh bunga warna-warni di depannya. Bayi itu menjawab semua ucapan mamanya dengan tawanya yang renyah, membuat Maya ikut tertawa bersamanya.
          Maya bukannya tidak menyadari, beberapa pengunjung mengambil foto mereka. Sebentar lagi pasti foto-foto tersebut sudah beredar di internet. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
          Yang tidak dia sadari adalah sepasang mata sendu yang menatap mereka dari sudut kafe. Mata itu melihat dengan pandangan terluka, melihat sosok bayi yang kini tengan tertawa di pelukan Maya. “Harusnya kau jadi anakku,” bisiknya pedih. “Harusnya yang sedang menggendongmu sekarang adalah aku, bukan Maya. Harusnya aku yang sedang tertawa bahagia bersamamu di sana!”
          Wajah bayi itu mengingatkannya pada laki-laki yang masih sangat dia cintai. Masumi.. betapa bahagianya aku jika yang menjadi ibu dari anakmu itu adalah aku!
Namun wajahnya kemudian mengeras saat memandang Maya. Kau.. semua karena kau! Kau yang membuat Masumi berpaling dariku!
          Dada perempuan itu berdegup kencang saat melihat Masumi memasuki kafe. Wajah laki-laki itu nampak tersenyum, menghampiri Maya yang nampak berdiri menyambutnya. Hatinya perih melihat betapa mesranya Masumi mencium perempuan itu, dan kini nampak meraih bayinya ke dalam gendongannya, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
          Tak tahan melihat pemandangan itu, perempuan itu segera beranjak dan keluar kafe, bergegas memasuki mobilnya.
          “Kita pulang,” perintahnya kepada sopirnya. “ Baik, Nona Shiori.”***

          Pagi sudah beranjak siang. Maya baru saja berbicara dengan Pak Kuronoma di telepon. Sutradara itu baru saja mengabarkan tentang hasil audisi, dan berharap Maya bisa datang saat pengumumannya sore ini. Maya belum bisa memberi keputusan. Ia harus meminta ijin dulu pada suaminya.
          Tawa ceria Masumi, Eisuke dan Ryu terdengar dari ruang keluarga. Dilihatnya Suaminya tengah asyik mengangkat tubuh Ryu tinggi-tinggi. Bayi itu tertawa gembira, ditimpali oleh ayah dan kakeknya. Hampir setiap weekend, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Terlebih setelah Ryu lahir. Masumi sebisa mungkin mengatur jadwalnya agar tidak ada pertemuan atau rapat yang harus dia lakukan di akhir minggu.
          “Telepon dari siapa?” tanya suaminya saat ia duduk di samping lelaki itu.
          “Pak Kuronoma,” jawab Maya. “Beliau ingin aku hadir di acara pengmuman pemenang sore ini.”
          “Mendadak sekali.”
          “Katanya beliau mencoba menghubungiku sejak kemarin. Tapi entah mengapa telepon rumah kita sama hp ku katanya nada sibuk terus.” Jelas Maya. “Apakah aku boleh datang, Masumi?”
          “Tentu saja. Mau kuantar?”
          “Bisakah?” tanya Maya lagi. Masumi tertawa.
          “tentu saja, mungil. Aku kan tidak kemana-mana sore ini.”
          “Tapi bagaimana Ryu? Kita pasti pulang malam nanti.”
          “Pergilah,” Eisuke menimpali. “Ryu biar ayah yang jaga.”
          “Ayah,” Maya menatap mertuanya, masih ragu. “Nanti ayah repot kalau Ryu tiba-tiba rewel.”
          Eisuke tertawa. “Apanya yang repot? Ryu pasti baik-baik saja.. kalau pun toh rewel, aku kakeknya, aku pasti bisa membuat dia tenang lagi,” Eisuke memandang cucunya, yang kini sedang asyik memainkan leher baju ayahnya, dengan penuh cinta. “Lagi pula, sejak Ryu lahir, kalian belum pernah keluar kencan berdua lagi. Ayo, gunakan waktu kalian untuk kencan juga malam ini.”
          Masumi tersenyum, menatap ayahnya penuh terimakasih. Lalu menoleh kepada istrinya. “Ide ayah bagus. Kita memang belum kencan berdua sejak Ryu lahir, bagaimana?”
          Maya menatap bayinya, masih ragu. Lalu menatap suami dan ayah mertuanya bergantian sebelum akhirnya mengangguk.***

          Masumi menunggu Maya di kursi VIP penonton. Istrinya duduk di kursi juri di panggung sana, sedang fokus memerhatikan MC yang kini tengah mengumumkan pemenang audisi. Melihat sosoknya yang mungil, dengan wajah baby face seperti itu, siapa yang akan menyangka kalau dia sudah menjadi seorang ibu dari seorang bayi laki-laki yang lucu. Wajah mungil itu sering dia pandangi saat terlelap. Tak pernah bosan untuk mengelus dan menciumnya. Wajah yang kerap memberinya berjuta cinta dan kehangatan.
          Bahkan memandangnya seperti ini pun membuatku tak sabar untuk menyentuhnya, senyum Masumi.
          Lamunannya terhenti karena tepukan meriah penonton lainnya. Ternyata pemenang audisi sudah diumumkan.
          “Kau pasti bosan menunggu,” senyum Maya saat mereka keluar ruang pertunjukkan. 
          “Hmm.. sedikit,” jawab Masumi. “Tapi aku punya penawar yang jitu untuk mengusir rasa bosanku.”
          “Apa itu?” Maya menahan langkahnya untuk masuk ke dalam mobil, menatap suaminya penasaran. Dilihatnya Masumi hanya tersenyum misterius.
          “Masumiiii…” rengek Maya. Suaminya tertawa. “Aku tidak akan memberitahumu,” godanya. Maya mengerucutkan bibirnya. Dia tetap berdiri di depan pintu, menolak masuk sebelum suaminya menjawab pertanyaannya.
          “Ayolah, nyonya Hayami. Kalau kau berdiri terus seperti itu, kita akan telat ke pertunjukkan nanti.”
          “Kau sih, main rahasia-rahasiaan,” mau tak mau Maya melangkah masuk. Masumi menahan lengan istrinya sesaat sebelum perempuan itu merunduk untuk masuk ke mobil. Lalu secepat kilat dikecupnya bibir yang masih sedikit merengut itu.
          “Masumiiii…!” Maya berteriak tertahan, matanya memandang panik ke sekeliling, takut ada yang melihat. Namun ia terpaksa pasrah karena ternyata di sekitar mereka masih ada beberapa orang yang berdiri, termasuk beberapa wartawan. Wajahnya memerah.
          Masumi tertawa.
          “Habis kau menggemaskan kalau lagi merajuk seperti itu,” Masumi mengedipkan sebelah matanya. Lalu menutup pintu mobil dan berjalan menuju pintu satunya.
          Bahkan sampai mereka sudah berdua di tempat tidur, siap-siap untuk tidur, Maya masih menuntut jawaban dari pertanyaannya. Perempuan itu menegakkan tubuhnya dan menatap suaminya yang terbaring di sampingnya.
          “Masumi, aku tidak akan membiarkanmu tidur jika tidak menjawab pertanyaanku tadi,” ancamnya. Suaminya malah tertawa.
          “Kenapa kau begitu penasaran?”
          “Tentu saja. Hal yang membuat Masumi Hayami tidak merasa bosan saat terpaksa menunggu pasti sesuatu yang luar biasa.”
          “Memang luar biasa,” jawab Masumi enteng.
          “Masumiiii..” Maya merajuk.
          “Ayolah tidur, aku sudah mengantuk,” ujar Masumi seraya menyamankan posisinya dan mulai memejamkan mata. Maya menarik selimut lelaki itu.
          “Sudah kubilang, aku tidak akan membiarkanmu tidur sebelum menjawabku.”
          Masumi membuka matanya kembali. Ditahannya senyumnya melihat wajah perempuan itu menekuk kesal.
          Perlahan dia bangun, lalu duduk menghadap istrinya.
          “Nyonya Masumi Hayami, kalau kau begitu penasaran, baiklah, aku akan memberi tahumu.”
          Wajah Maya mencerah mendengarnya. Ia sudah siap-siap mendengar jawaban suaminya, namun lelaki itu malah menarik wajahnya mendekat dan mulai menciumi wajahnya.
          “Masumi, kenapa malah menciumiku?” protesnya. Tapi lelaki itu terus mengecupi kedua matanya, menyusuri pipinya dengan hidungnya sehingga ia bisa merasakan nafas laki-laki itu hangat menyapu sepanjang pipinya, lalu bibir laki-laki itu menemukan bibirnya.
          “Penawar jitu dari segala rasa bosanku, semua lelahku, penawar marahku, adalah kau.. “,” bisik laki-laki itu sebelum akhirnya mencium bibir istrinya lembut.
          Maya tertegun. Begitu sadar apa yang sudah terjadi ia tersenyum. Hatinya diliputi kebahagiaan.
          Dibalasnya ciuman suaminya penuh cinta.
          “Kurasa, sekarang aku yang akan membuatmu tidak tidur semalaman,” bisik Masumi seraya merebahkan istrinya di tempat tidur.***

Sabtu, 23 Juli 2011

Dear, Mawar Ungu...

 

 

Masumi menatap wajah cantik di sampingnya yang kini nampak tertidur lelap. Bibir laki-laki itu tersenyum. Perasaan hangat dan bahagia selalu menyeruak di dalam dadanya setiap kali ia memandangi wajah ini. Tidak bosan, dan tak akan pernah.
          Dielusnya pipi halus Maya. Ingatannya kembali ke tadi sore, saat Hijiri datang dan menyerahkan sebuah surat.
          “Ini untuk Mawar Ungu.”
          Kening laki-laki itu berkerut. Mawar Ungu? Sejak ia mengungkapkan jati diri yang sebenarnya pada Maya lebih setahun yang lalu, tak pernah sekalipun ada hal yang dikirimkan kepadanya memakai nama itu. Dan kini tiba-tiba saja muncul sebuah surat?
          Bibirnya tersenyum ketika membaca nama pengirimnya. Maya…
          Mawar Unguku tersayang..
          (Senyum Masumi semakin melebar)
          Rasanya sudah lama sekali aku tidak menghubungimu. Kukabarkan, aku sekarang hidup sangat bahagia. Terima kasihku untukmu, karena berkat semua cinta dan dukungan selama ini, akhirnya aku bisa meraih semua mimpi.
          Aku sudah menikah. Suamiku, meski suka sekali menggodaku sampai membuatku kesal, tapi dia adalah suami yang baik, yang sangat aku cintai. Dia benar-benar suami yang sudah dipilihkan surga untukku.

          (Masumi merasakan dadanya menggembung bahagia) I love you. Too, mungil. Bisiknya pelan. Kembali ia melanjutkan membaca.

          Oya, tujuanku mengirim surat ini adalah, aku ingin meminta pendapatmu. Aku punya masalah yang cukup serius, yang jika aku katakan pada suamiku, kuyakin dia malah akan sibuk memikirkan hal lain, dari pada menjawab pertanyaanku.
          (Kening Masumi berkerut, hp yang tiba-tiba berbunyi pun diacuhkannya karena penasaran dengan apa yang akan ditanyakan istrinya)

          Mana yang kau pikir lebih bagus? Nama Ken untuk anak laki-laki, atau Aiko untuk anak perempuan?

          (Masumi terperangah. Apa? Apakah?.. Jantungnya terasa berdegup lebih kencang)

          Hmm.. Sebenarnya aku lebih suka nama Ken, karena kuharap si kecil ini adalah laki-laki. Tapi aku tetap meminta pendapatmu.
          Love
          Maya Hayami

          Masumi merasa euporia menyegapnya tiba-tiba. Benarkah? Cepat diraihnya handphone untuk segera menelpon istrinya. Sebuah pesan gambar tertulis di layar. Dari Maya.
          Matanya segera menjadi panas saat dilihatnya sebuah foto sonogram di dalamnya. Masih belum nampak jelas, namun catatan di bawahnya membuatnya ingin segera menemui istrinya. Segera!

Papa sayang, dokter bilang umurku baru 10 minggu. Dan aku tumbuh dengan sehat dan kuat..^^

          Segera dipijitnya speed dial Maya. Video Call.
          Senyum manis perempuan itu segera menyambutnya.
          “ Kau curang..” ujarnya segera. “Kau membuatku seperti orang gila sekarang.. Kau dimana?”
          “Aku? hmmmm…” Maya nampak mengedarkan handphonenya, menunjukkan suasana di sekelilingnya saat itu. Mata Masumi melotot saat dilihatnya Mizuki melambaikan tangan seraya tertawa.
          “Kauu…” bisiknya gemas. Maya tertawa lepas. “Cepatlah masuk!”
          Maya muncul dengan senyuman lebar tak lama kemudian. Masumi segera menyeberangi ruangannya untuk meraih perempuan itu ke dalam pelukannya.
          “Kau selalu tahu bagaimana membuatku menjadi laki-laki paling beruntung di dunia ini,” bisiknya. Dirasakannya Maya balas memeluknya erat.
          “Itu karena kau pun sudah menjadikanku wanita paling bahagia di dunia,” balasnya. Masumi tertawa. Wajah Maya nampak merona saat ia dengan mesra menyusuri pipi perempuan itu dengan jemarinya.
          “Kapan kau tahu?”
          “Kemarin, aku pake tespek, biar lebih yakin, aku ke dokter tadi.”
          “Kenapa tidak langsung memberitahuku?” tuntut Masumi. Maya mengerling jenaka. “Kalau langsung memberitahumu tidak seru jadinya,” senyumnya manis. Masumi mengecup bibir itu gemas. Sedetik kemudian, laki-laki itu tiba-tiba saja meraih tubuh istrinya dan dibawanya berputar-putar seraya tertawa bahagia. Maya menjerit panik pada awalnya, namun sedetik kemudian ia ikut tertawa bersama suaminya.
          Wajah Masumi memerah menahan bahagia yang begitu meluap. Pelan di dudukkannya Maya di pinggir meja kerja. Kembali dibelainya wajah Maya. “Kau luar biasa,” bisiknya. Dilihatnya mata perempuan itu berkaca-kaca.
          “Kau bahagia?” tanya Maya.
          “Tentu saja!” tukas Masumi. “Kita akan mempunyai anak, buah cinta kita.”
          Maya menahan harunya saat suaminya menyurukkan wajah di perutnya. Merasakan laki-laki itu mengecup perutnya lembut. Air mata pun menetes saat mendengar perkataan Masumi,” Selamat datang, sayang.”
          Untuk beberapa saat, Masumi menempelkan pipinya di perut istrinya. Lalu kembali tegak setelah mengecup perut itu sekali lagi.
          “Kau tahu, Nyonya? Rasanya Aiko menyenangkan. Dia akan menjadi gadis kecil yang lucu, ceria, baik hati, dan cantik, seperti mamanya.”
          “Hmm, tapi aku ingin Ken. Yang akan sepertimu, memiliki senyummu, wajahmu, ketulusanmu. Jadi nanti kalau kau sedang sibuk kerja, aku masih punya Masumi junior yang bisa kupeluk dan kuciumi setiap waktu.”
          “Bagaimana kalau keduanya?”
          Maya melebarkan matanya. “Kembar? Mungkinkah?”
          Keduanya tertawa bahagia, membayangkan kelucuan calon bayi mereka nanti.
          Masumi tersenyum, kembali memandang wajah  mungul di sampingnya. Wajah  itu terlihat sangat damai. Terlelap dengan bibir tersenyum. Dikecupnya kening perempuan itu sebelum ia pun membaringkan tubuhnya dengan santai di sisi istrinya. Meraih tubuh Maya itu ke dalam pelukannya untuk kemudian ia pun tertidur.***

Rabu, 20 Juli 2011

Please, Be With Me (part 2)



          Kediaman Hayami…
          Eisuke termenung di kamarnya.  Semalam Masumi tidak pulang sama sekali. Membayangkan wajah Masumi yang pucat dan tingkah lakunya yang seperti orang linglung, membuat laki-laki tua itu memutuskan untuk menelepon Mizuki semalam, mencari tahu kondisi anak tirinya itu.
          “Sepulang dari gladi resik, Pak Masumi terus berada di dalam ruangannya,” lapor Mizuki.
          Tetap mengikuti gladi resiknya..
          Eisuke menghela nafas berat. Sejak awal,  jauh di dalam hatinya Eisuke sudah tahu, Masumi tidak pernah dengan sepenuh hati menerima pertunangannya dengan Shiori. Persetujuan anak itu hanya karena “pengabdiannya” untuk Daito. Terakhir, karena kepeduliannya terhadap hidup Shiori. Di balik sikapnya yang dingin, Masumi memiliki hati yang lembut.  Tekanan yang ia, orang yang seharusnya menjadi tempat Masumi berlindung,  berikan, membuat Masumi menyembunyikan kehangatan dan kelembutannya dalam-dalam.  Sikap kerasnya dalam mendidik Masumi, membuat label ‘ayah’ hanya sebatas sebutan saja. Pada kenyataannya, disadari atau tidak, ia selalu memperlakukan Masumi sebagai bawahan, bukan sebagai anak.
          Namun jauh di lubuk hatinya, ia menyayangi Masumi. Kekhawatiran yang amat sangat menghantui saat melihat reaksi Masumi atas komanya Maya.
          Lama Eisuke berfikir, sampai akhirnya ia memutar kursi rodanya.
          “Asa, tolong siapkan mobilku. Kita akan mengunjungi keluarga Takamiya..” ***


         Wajah itu terlihat begitu tenang, meski pucat, namun tetap terlihat sangat cantik di matanya.           Wajah yang  teramat sangat dia rindukan.
          Saat masuk ke ruangan dimana Maya dirawat, Masumi merasakan tubuhnya bergetar. Pandangannya terpaku pada sosok tubuh yang terbaring di depannya. Berharap berkali-kali bahwa sosok itu bukan Maya, bukan gadis mungilnya.
          Harapan yang sia-sia.
          Saat tiba di sisi tepat tidur, saat melihat wajah mungil yang pucat di depannya, Masumi tak dapat lagi mempertahankan harapannya. Tubuhnya tak mampu lagi menahan getaran yang semakin kuat. Masumi limbung. Jika saja tangannya tidak refleks meraih pinggiran tempat tidur Maya, ia pasti sudah jatuh.
          Air mata kembali deras mengalir. Sedikitpun tak pernah terbersit dalam fikirannya, melihat Maya yang diambang kematian seperti ini. Dulu ketika ia terpaksa berpisah dengan gadis itu disaat cinta mereka baru kuncup,  dia masih bisa kuat. Setidaknya Maya ada, berdiri di atas bumi yang sama, hidup di bawah langit yang sama dan bernafas dengan udara yang sama dengannya. Namun jika gadis ini harus pergi, Masumi bahkan tak bisa membayangkan masa depannya sendiri.
          “Apa yang harus kulakukan mungil? “bisiknya. “Jika kau seperti ini, apa yang harus kulakukan untuk meminta maaf  kepadamu?” Masumi menangis. Betapa banyaknya penderitaan yang sudah dia berikan kepada wanita ini.  Meski bukan hal itu yang dia inginkan, tapi kenyataan, itulah yang terjadi. Saat Maya sudah memaafkannya atas kematian ibunya, dan mulai menerima cintanya, kembali ia harus menghancurkan perasaan gadis itu dengan meninggalkannya, untuk menikah dengan wanita lain.
Masumi meraih lengan Maya yang  bebas, menggenggam dan menciuminya penuh kerinduan.
“Kumohon bangun, sayang. Jangan seperti ini..” bisik Masumi disela isakannya. “Kau boleh menghukumku dengan cara apapun, kecuali dengan cara seperti ini. Kumohon… bangunlah. Ini terlalu kejam untukku, Maya,” Masumi menatap wajah pucat Maya. “Jika kau pergi, kau akan membawaku seluruh duniaku bersamamu. Jadi.. kemana lagi aku harus pergi? Kemana lagi?”
Digenggamnya lengan Maya dengan erat.
“Kumohon sayang… sadarlah. Sadarlah!!” ***


Sano melihat semua itu dari balik jendela. Jelas sudah baginya, Masumi mencintai Maya.
Kekhawatiran kembali mendera hatinya. Apakah Maya juga mencintai Masumi? Jika ia, hal ini akan menjadi batu penghalang bagi tujuannya.
Maya? Batu penghalang?
Sano tersenyum sinis.
“Kenapa aku harus khawatir? Aku bahkan tidak mengenalmu, Maya. Mengapa aku harus peduli, kau mencintai laki-laki itu atau tidak? Kesempatan yang sudah aku nanti selama 10 tahun tak akan kubiarkan pergi hanya karena adik yang baru aku temui 10 jam saja!”
“Lagi pula, “ pikirnya lagi, seraya memandang lurus ke tubuh Maya di dalam sana. “ Aku memiliki apa yang tidak dimiliki laki-laki itu, sesuatu yang akan menyelamatkan hidupmu..”
Getar lembut membuat Sano merogoh saku celana untuk meraih handphone. Senyum kembali mengembang saat membaca sms yang baru diterimanya. Ia lalu memutar tubuh, dan beranjak meninggalkan ruang ICCU. ***

Kuronoma membuka pintu sebuah apartemen dan mempersilahkan Sano masuk duluan.
          “Kau bisa tinggal di apartemen ini selama kau mau,” ujarnya.
          Sano menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Apartemen itu cukup luas dengan jendela lebar di sisi kanannya. Sebuah pantry kecil berada di sisi lain, di bawah tangga yang melingkar menuju lantai dua yang terbuka  yang merangkap kamar tidur.
          “Ini apartemen siapa?”  tanyanya.
          “Kami menyewa apartemen ini untukmu.”
          “Kami?”
          “Persatuan Drama Nasional..”
          “Seharusnya tidak usah, aku bisa menyewa sendiri.”
          “Tidak. Kau di disini untuk menolong adikmu. Dan adikmu… kondisinya saat ini membuat kami sangat khawatir. Kami tidak ingin kehilangan salah satu bintang terbaik negeri ini. Jadi kenyamananmu selama berada di Jepang, menjadi tanggung jawab kami.”
          “Sehebat itukah adikku?” gumam Sano. Mendengar itu Kuronoma tersenyum.
          “Kau rupanya benar-benar tidak mengenal adikmu..”
          “Aku sudah lama meninggalkan Jepang. Aku pun hanya sekali bertemu Maya, saat ia baru dilahirkan. Terus-terang, jika detektif yang kalian sewa tidak datang, aku lupa kalau aku sebenarnya punya adik.”
          “Jadi kalian hanya saudara satu ayah?”
          Sano mengangguk. “Setelah bercerai dengan ibuku, ayah menikahi ibunya Maya. Tak lama setelah Maya lahir, aku dibawa ibu ke Korea. Sejak saat itu aku tidak pernah mendengar kabar mereka lagi.”
          “Pantas saja kau tidak tahu apa-apa.”
          “Jadi, apa dia benar-benar hebat?”
          “Aktris paling berbakat yang pernah aku temui  seumur hidupku,” jawab Kuronoma. “ Dia bisa mengubah kesempatan yang hanya 1 % menjadi sebuah kenyataan karena tekad dan semangatnya yang luar biasa. Aku harap… ia bisa memakai tekad dan semangat  itu untuk mengatasi penyakitnya sekarang.”
          Sano tidak berkomentar. Pikirannya melayang ke adegan yang dia lihat di dalam kamar ICCU tadi. Pelan laki-laki itu membalikkan badannya. Menatap Kuronoma.
          “Ada seorang laki-laki yang datang tadi pagi. Dia terlihat sedikit linglung, seperti sangat terpukul dengan keadaan adikku. Siapa dia?”
          “Laki-laki? Seperti apa dia?”
          “Tinggi, tampan, tapi sepertinya dia jauh lebih dewasa dibanding Maya. Apa dia pacar Maya?”
          Kuronoma mengerutkan keningnya.  Ingatannya melayang pada Masumi Hayami, dan reaksinya saat Maya pingsan setelah pertunjukkan.
          “Yang kau maksud, mungkin… Masumi Hayami.”
          Diam-diam Sano tersenyum. Jadi benar, Masumi Hayami…
          “Apa hubungannya dengan Maya? Mengapa dia sepertinya sangat… mencintai adikku. Apa mereka pacaran?”
          Kuronoma menghela nafas berat.
          “Ceritanya sangat panjang…” ujarnya di ujung helaan nafasnya.
          “Aku punya waktu banyak untuk mendengarkan,” senyum Sano. “Itupun jika anda tidak keberatan..” ***
          Sano termenung di depan televisi lama setelah Kuronoma pergi. “Jadi begitu,“ desahnya. Terngiang cerita Kuronoma tadi. Masumi dan Maya saling mencintai. Hanya saja, Masumi sudah punya tunangan dan besok, adalah hari pernikahan mereka.
          Ternyata dibalik semua kesuksesan karirnya, kisah cinta Maya tidak lebih dari kisah cinta yang menyedihkan.
          “Bagaimana ini?” pikir Sano. Lengannya bergerak meraih handphone dari atas meja. Menatap seraut wajah di wallpaper dengan hati resah. “Apa yang harus kulakukan?” bisiknya pada wajah itu. “Satu-satunya kesempatanku. Apakah aku harus menyerah?
          Semua rencana yang mulai tersusun di kepala raib sudah.
Menikah besok… Jika saja hanya ada Maya, urusannya akan lebih mudah. Tapi perempuan ini, tunangan Masumi Hayami, dari cerita Kuronoma, keluarga Takamiya adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Belum lagi menghadapi keluarga Hayami, dan waktu yang kurang dari 24 jam sebelum pernikahan itu. Ah.. kenapa semuanya jadi begini rumit?
          Sano merasa kepalanya berdenyut sakit. Baru ia sadar, sejak sampai di Jepang kemarin, ia belum makan dengan benar. Teringat perkataan Kuronoma bahwa di lemari es sudah tersedia makanan jadi,  ia pun segera membuka benda itu dan mengeluarkan sekotak pizza untuk dipanaskan di dalam microwave. 
Sano sedang menikmati potongan pizzanya yang kedua saat handphonenya berbunyi. ***

Masumi duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit. Kepalanya tertunduk dengan jemari terjalin erat di lutut. Rambut dan pakaian yang biasanya rapi, kini nampak kusut. Sejak melihat Maya tadi pagi, tidak sedetikpun Masumi meninggalkan ruang tunggu. Terus duduk di tempatnya sekarang, menunduk, memejamkan mata.  Berdoa.
Sejak melihat kondisi Maya yang terbaring tak berdaya di ruang yang penuh dengan alat-alat medis tadi, kesadaran Masumi perlahan kembali. Meski terasa sakit, ia mulai menerima kenyataan bahwa gadis tercintanya kini tengah diambang kematian. Batinnya terpukul. Selama ini, ia sanggup melakukan apapun untuk melindungi gadis itu,  mampu melumpuhkan lawan sekuat apapun yang berniat menyakiti Maya. Tapi kondisi Maya sekarang membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan Tuhan!
Ia kalah telak!
          Air mata kembali menetes di pipi Masumi yang tirus.  Entah sejak kapan, hatinya mulai merangkai percakapan dengan Tuhan. Ia memang sudah lupa bagaimana cara berdoa, karena sejak lama tak pernah ia lakukan. Tapi hari ini, diantara keputusasaannya, sesuatu telah membimbingnya untuk berharap, meminta dan memohon untuk keselamatan Maya.
          Sebuah suara memaksanya untuk mengangkat wajahnya. Terperangah saat melihat siapa yang datang menghampiri dengan wajah yang sulit diartikan. Saat tersadar dari rasa terkejut, terlambat baginya untuk mengeringkan matanya yang basah.
          “Ayah..” desis Masumi. Eisuke terlihat tersenyum samar.
          “Kita harus bicara, Masumi.”
          “Tak ada yang harus dibicarakan.”
          “Tentu saja ada, “ tukas Eisuke. “ Ini tentang pernikahanmu.”
          Mendadak hati Masumi berdesir dingin. Eisuke tersenyum sebelum membalikkan kursi rodanya dan menjauh. Dengan setengah hati Masumi berdiri, mengikuti laki-laki tua itu.
          Matahari sore itu masih terasa terik. Namun pepohonan yang rindang di taman rumah sakit membuat udara terasa lebih sejuk.  Masumi berdiri kaku, menatap ayah tirinya dengan rupa tak mengerti.
          “Mengapa ayah melakukan itu?”
          “Apa kau tidak suka dengan keputusanku?” Eisuke balik bertanya. “Kupikir kau tidak pernah menginginkan pernikahanmu dengan Shiori.”
          “Aku memang tidak menginginkannya!” sergah Masumi. “Tapi aku tidak mengerti, mengapa ayah berinisiatif membatalkan pernikahan itu, padahal dulu ayah yang memaksaku untuk menerimanya.”
          “ Katakankah aku berubah pikiran.”
          “Apa tujuan ayah?”
          “Apakah selalu harus ada tujuan untuk setiap tindakanku, Masumi?”
          “Aku mengenal ayah dengan baik. Jadi jangan mencoba membohongiku.”
          Eisuke menghela nafas berat. Memandang wajah Masumi yang nampak semakin menyedihkan dibanding saat terakhir ia melihatnya kemarin.
          “Apakah kau akan percaya padaku, jika aku mengatakan semua ini kulakukan untukmu?”
          Ekspresi Masumi berubah, seolah baru saja mendengar sesuatu yang paling aneh dalam hidupnya. Eisuke kembali menghela nafas melihat ekspresi Masumi. Ia tidak menyalahkan ketidakpercayaan anak itu.
          “Terserah kepadamu kalau kau tidak percaya,” ujarnya kemudian. “Aku kesini hanya untuk mengatakan kepadamu, bahwa pernikahanmu telah dibatalkan. Keluarga Takamiya akan mengadakan konferensi pers malam ini. Kalau kau tidak mau hadir, tak apa.”
          Eisuke memberi isyarat kepada Asa untuk mendekat. Asa yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka bergegas mendekat dan bersiap untuk membawa tuannya pergi.
          “Masumi, “ Eisuke kembali menatap wajah putranya sebelum pergi. “Maya Kitajima  gadis itu sangat kuat.  Dia akan sembuh..”
          “Eh..?” Masumi kembali tidak percaya akan apa yang dia dengar. “Laki-laki itu…”  ditatapnya sosok di balik punggung Asa yang semakin menjauh.  “Apa tadi… dia berusaha…… menghiburku?”
          Rasa herannya terusik oleh deringan handphone di sakunya. Wajahnya seketika menegang sebelum sedetik kemudian, dia berlari sekuat tenaga menuju ruang ICCU.***

          Rei menyambutnya di depan ruang ICCU. Ruangan itu tertutup, begitu juga jendelanya, ditutupi oleh tirai.
          “Ada apa?” Masumi bertanya panik. “Apa yang terjadi ?!”
          “Saya tidak tahu, Pak Masumi. Saat saya kembali dari kantin tadi, saya melihat banyak dokter dan perawat terburu-buru masuk ke sana,” meski mencoba untuk tenang, suara Rei terdengar gemetar. Wajahnya pucat.
          Jantung Masumi berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai  merembesi keningnya. Kepanikan mulai merayap naik.
          “Aku harus masuk.. aku harus masuk..” bisiknya berulang-ulang sebelum akhirnya berlari menuju pintu  ruang ICCU.
          “Pak Masumi, jangan!” cegah Rei, tapi terlambat. Laki-laki itu sudah menerjang masuk.  Seketika semua orang yang ada di dalam menoleh terkejut.
          “Apa yang terjadi,” tanya Masumi dengan suara gemetar. “Apa terjadi dengan Mayaku?”
          Dua orang perawat laki-laki mendekat dan menghalangi Masumi untuk masuk lebih dalam.
          “Maaf tuan, dokter sedang mencoba memeriksa Nona Kitajima. Anda tidak boleh masuk.”
          “Tapi apa yang terjadi dengannya? Katakan padaku!!” teriak Masumi tak sabar,  menolak untuk keluar.
          “Anda mengggangu kerja dokter, Tuan!” seorang perawat berkata tegas. “Tolong ijinkan dokter memeriksa nona Kitajima dengan tenang, DAN ANDA HARUS MENUNGGU DI LUAR..”
          Masumi akhirnya mengalah.  Ia mundur dan menatap pintu yang kemudian ditutup dengan perasaan khawatir teramat sangat. Meski terhalang oleh tubuh beberapa dokter yang berdiri di samping tempat tidur Maya, tapi cukup memberinya gambaran bahwa mereka tengah mencoba melakukan sesuatu pada tubuh gadis itu.
          “Kau kenapa, mungil..?” rintihnya perih. “Kumohon.. kau harus bisa bertahan.”
          Masumi masih berdiri di depan pintu sampai akhirnya pintu itu terbuka 20 menit kemudian. Seorang dokter mendekat, lalu tersenyum. Senyum itu ramah sebenarnya, tapi tidak bagi Masumi. Ketakutan membuat senyum ramah itu berubah menjadi senyum paling mengerikan  dalam pandangannya.  Ia tidak berani bertanya apapun.
          Masumi menahan nafas, bersiap, saat dokter mulai berbicara.
          “Nona Kitajima…........ baru saja tersadar dari komanya..” ***

          Meskipun sudah sadar, tapi dokter masih harus memantau kondisi Maya selama 24 jam ke depan sehingga di putuskan, Maya masih harus berada di ruang ICCU.  Dokter sudah melepaskan alat bantu pernafasannyanya. Dan gadis itu masih tertidur karena pengaruh obat sejak tersadar kemarin sore.
          Masumi  kesal setengah mati. Dokter hanya memperbolehkan Kuronoma dan Sano untuk mendengarkan penjelasan medis tentang kondisi Maya. Sano memang kakaknya, tapi Pak Kuronoma?
          “Saat Maya masuk ICCU,  Pak Kuronomalah yang menandatangani semua berkas Maya sebagai wali,” jelas Mizuki, yang datang untuk mengantarkan pakaian yang dipesan Masumi. Masumi hanya menjawabnya dengan membuat garis lurus di bibir. Tak bisa protes lagi karena memang dia tidak punya hubungan apapun dengan gadis itu. Bahkan hubungan kekasih sekalipun tidak,  meski sebagian orang tahu betapa ia mencintai Maya.
          Ia hanya bisa menunggu Kuronoma memberitahukannya tentang kondisi Maya.
          “Jika kondisinya stabil, satu minggu lagi Maya bisa menerima pencangkokan sumsum tulang,” jelas Kuronoma tanpa diminta.
          “Apa itu akan membuat Maya sembuh?” tanya Masumi penuh harap.
          “Pengobatan Maya bisa dibilang agak terlambat,” Kuronoma melihat wajah Masumi semakin menegang. “Jadi kesempatannya tidak sebesar pasien lain yang segera melakukan pengobatan begitu didiagnosa.”
          “Apa itu buruk?” tanya Masumi lagi, sedikit ngeri.
          “50 persen...” jawab Kuronoma cepat. “Maya hanya memiliki kesempatan 50 persen untuk sembuh.”
          Masumi tercekat. 50 persen… Itu artinya Maya juga memiliki kesempatan 50 persen untuk… gagal?
          Tanpa sadar Masumi jatuh terduduk.  Baginya berita itu menusuk jantungnya kian dalam. Mayanya hanya memiliki kesempatan 50 persen untuk hidup! Tidak, Maya tidak boleh mati! Dia harus hidup! Jika tidak…
          “Pak Masumi, “ Kuronoma menatap lelaki didepannya dengan simpati. “Anda harus tenang, dokter bilang semangat Maya untuk sembuh sangat besar.  Ditambah lagi prosentasi kecocokan donor juga besar. Kemungkinan, tubuh Maya akan merespon baik pencangkokan itu. Tinggal kita berharap saja, kondisi Maya stabil selama persiapan operasi.”
          Masumi menghela nafas. Benar, aku harus tenang. Aku harus percaya Maya bisa melalui semua ini dengan baik.
          Tubuh Maya di balik kaca nampak tenang. Hati Masumi sedikit lega, melihat tidak ada lagi selang aneh yang terpasang di hidung gadis itu.
          Sebuah langkah mendekat membuatnya menoleh.  Masumi mengenal siapa yang datang. Sano, kakak Maya.
          Merasa belum berkenalan secara layak,  Masumi sedikit membungkuk, memperkenalkan diri.
          “Maaf, kemarin saya belum memperkenalkan diri saya saat pertama kali kita bertemu. Saya Masumi Hayami.”
          Sano tersenyum, lalu balas membungkuk, ” Saya Sano Kitajima.”***

           Langit-langit yang putih bersih serta bau obat menyambutnya saat ia membuka mata. Untuk sesaat ia kebingungan. Namun setelah mencoba mengumpulkan ingatannya, perlahan ia mulai menyadari situasi.
          “Ini pasti rumah sakit,” pikirnya.  Perlahan matanya berkeliling, ke arah botol infusan  yang tergantung di samping kirinya, meja kecil dan jambangan bunga, jendela yang memperlihatkan langit yang begitu biru di luar sana,  beberapa lukisan di dinding, dan sofa cantik di dekat jendela.
          “Sepertinya ruangan ini terlalu bagus untuk ruang rawat inap di rumah sakit,” pikirnya heran. Pelan ia mencoba mengubah posisi tidurnya, namun gerakannya terhenti saat menyadari dirinya tidak punya kekuatan cukup untuk menggerakkan badannya. Saat itulah, sebuah suara menyapa pelan.
          “Maya…”
          Hatinya berdesir. Suara itu begitu dia kenal.
          “Tidak mungkin,” desis hatinya pelan.
          Namun sosok tubuh yang kini muncul di samping kiri tempat tidur membuat Maya tertegun. Masumi Hayami,  memandangnya dengan di matanya yang terlihat lelah.
          “Ah, syukurlah kau sudah bangun, Mungil,” ada nada kelegaan dalam suara laki-laki itu.
          “Masumi…,” bisik Maya pelan. “ Kenapa… kau ada di sini?”
          “Kau pikir, aku harus berada di mana disaat kau seperti ini?” senyum Masumi.
          “Bukankah kau… kau… “
          Kalimatnya terputus saat tiba-tiba Masumi menyurukkan kepala di sela-sela bahunya. Kedua lengan laki-laki itu menyelusup ke bawah badannya, memeluk erat.
          “ Satu-satunya tempat dimana aku ingin berada adalah di sampingmu Maya. Hanya di sampingmu.”
          Maya terkesiap. Dirasakannya tubuh Masumi yang tengah memeluknya bergetar. Ada cairan hangat yang membasahi lehernya.
          “ Masumi…”
          “Tak peduli kau akan pergi kemana, aku akan selalu bersamamu. Aku tidak akan pernah meningalkanmu lagi, Maya.”
          “Masumiii…” ujar Maya pelan. “Beraaat…” ringisnya.
          Mendengar itu, perlahan Masumi bangun. Maya masih bisa melihat mata Masumi yang basah.         
          “Maafkan aku,” senyum laki-laki itu. “Kau pasti masih sangat lemah,” dibelainya pipi Maya dengan lembut. “Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu.”
          Masumi tidak beranjak sedikitpun dari sisi tempat tidur saat dokter memeriksa Maya.
          “Kondisi nona Kitajima harus benar-benar fit saat operasi nanti. Jadi kami mohon, jangan membuatnya berfikir terlalu rumit. Dia harus selalu dalam keadaan tenang,” jelas dokter. Sano sudah ada di sana.  Memandangi wajah mungil Maya dalam diam sambil mendengarkan penjelasan dokter. Begitu dokter pergi, wajahnya terangkat, menatap Masumi yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Beberapa saat setelah dokter pergi,  Maya kembali tertidur.
          “Adikku harus tenang. Kurasa, itu tidak akan dia dapatkan jika anda ada di sini, Pak Hayami.”
          Suara itu pelan, tapi sanggup membuat Masumi terperangah.
          “Apa maksudmu?”
          “Pernikahan anda,” jawab Sano tenang. “Bukankah seharusnya anda sudah bersiap untuk acara itu?”
          “Tidak akan ada pernikahan,” sahut Masumi cepat. “Itu sudah dibatalkan.”
          Kini giliran Sano yang terperangah.
          “Benarkah? Kenapa?”
          “Hmm.. kurasa aku tidak punya kewajiban untuk mengatakan alasannya kepadamu,” jawab Masumi dingin. Sano tersenyum.
          “Anda benar,” angguknya. “Anggap saya tidak pernah bertanya.”
           Sano berusaha menyembunyikan kelegaan yang menyergap hatinya mendengar berita itu. Rupanya, nasib baik sedang berpihak  padanya. Setelah memandangi wajah Maya beberapa saat, Sano pun keluar. Meninggalkan Masumi yang kini telah kembali menarik kursi ke sisi tempat tidur, dan duduk disana seraya menggenggam  jemari Maya.***

          Bandara sangat ramai siang itu. Sano menunggu dengan sabar di pintu kedatangan. Sepuluh menit kemudian, wajahnya berseri saat melihat sosok tinggi ramping  muncul diantara rombongan penumpang yang berjalan keluar. Dilambaikan tangannya dengan semangat.
          “Mi Rae! Di sini!”
          Hwang Mi Rae, gadis yang dipanggilnya tertawa lebar, kemudian berlari  kecil seraya mendorong trolinya.
          “Sano!”
          Nafasnya terengah saat tiba di depan Sano.
          “Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?”
          Mi Rae mengangguk semangat. “Perjalanan paling menyenangkan sepanjang hidupku,” jawabnya lugas. “Terima kasih, kau sudah mau bersusah payah mengirimiku tiket ke Jepang.”
          “Hmm…” Sano tersenyum lembut,  menatap wajah cantik di depannya. “Itu karena aku tahu, datang ke sini adalah hal yang paling kau inginkan, Mi Rae.”
          “Kau memang orang yang paling mengerti aku,” senyum Mi Rae.
          Sano mengacak rambut pendek Mi Rae lembut. Lalu diraihnya troli yang dibawa Mi Rae.
          “Kau pasti lelah. Kita langsung ke apartemenku,” ujarnya.
          “Wow, kau tinggal di apartemen?” Mi Rae mengangkat alisnya dengan antusias yang hanya di jawab Sano dengan senyuman.
          Di dalam taksi yang membawa mereka ke apartemen, Sano tak lekang memandangi wajah Mi Rae yang bersemangat, mengamati suasana kota yang mereka lalui sepanjang perjalanan.
          “Mungkin tidak ya? Aku bisa bertemu dengannya?” tiba-tiba Mi Rae bergumam pelan. Lalu mengalihkan pandangannya dari luar jendela ke wajah Sano.
          “Dia ada di sini kan, Sano? Di kota ini?”
          Pertanyaannya kembali hanya dibalas Sano dengan senyuman.
          “Kau tahu Sano? “ ujar Mi Rae lagi. Lengan kanan gadis itu terulur menyentuh pergelangan lengan kirinya, yang dihiasi gelang anyaman bermotif tradisional, dengan bandul berbentuk bulan dan bintang yang terbuat dari kayu. Pelan disingkapnya gelang itu, dan memperlihatkan  bekas luka yang memanjang di baliknya. “Aku sangat berharap bisa bertemu dengannya, dan bisa bersamanya kini.”
          Sano melengos untuk menyembunyikan kecemburuan yang mulai merajai hatinya.***


Maya merasakan sakit di tubuhnya sedikit berkurang setelah menerima beberapa obat pagi tadi. Dokter mengatakan bahwa kakaknya, Sano, sudah datang dan sudah menjalani pemeriksaan untuk menentukan kecocokannya menjadi donor. Hasilnya, dalam seminggu, Maya sudah bisa menjalani operasi pencangkokan.
          Tempat tidurnya ditinggikan sehingga gadis itu bisa bersender dengan nyaman. Sepagian Maya menunggu kedatangan Sano, tapi kakak yang tidak pernah ditemuinya itu tidak kunjung datang. Rasa penasaran yang teramat sangat mengusik hatinya. Seperti apa rupa Sano? Maya ingat, dulu sekali ibunya berkata, bahwa Sano sangat mirip dengan ayahnya.
          Diliriknya jam di atas televisi.  Sekali lagi ia berfikir, kamar ini terlalu mewah. Entah siapa yang meminta ia dirawat di ruangan VVIP ini. “Nanti saat suster datang, aku akan meminta untuk pindah kamar. Aku tak akan sanggup membayar biayanya,” pikir Maya.
          Suara pintu yang dibuka membuyarkan semua pikirannya saat itu. Dengan antusias ia melihat ke arah pintu yang pelan terbuka. “Mungkinkah Sano?” pikirnya penuh harap pada sesosok tubuh yang perlahan masuk.
          Dadanya berdesir hebat.***

          Masumi berjalan pelan mendekati tempat tidur Maya. Menatap gadis yang kini juga tengah memandangnya dengan rupa heran.
          “Kau sudah bangun…” sapa Masumi pelan. Sejak Maya tersadar, dan dokter mengatakan kondisinya cukup baik, Masumi memutuskan untuk pulang sebentar hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Lalu terburu-buru kembali ke rumah sakit. Pekerjaannya di Daito dia percayakan kepada Mizuki, yang akhirnya dengan sukarela bolak-balik ke rumah sakit saat ada dokumen-dokumen penting yang harus diurus Masumi.
          “Apa… yang kau lakukan di sini?” Maya menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan sesaat setelah dia tersadar kemarin.
          Masumi tersenyum. Ia sudah sampai di samping tempat tidur Maya kini. Menatap wajah Maya dengan hati yang berdetak pedih. Wajah yang biasanya merona merah itu kini nampak pias. Begitu juga bibirnya.
          Sekuat tenaga Masumi menahan tangis yang begitu menyesakkan dada.
          “Aku merindukanmu,” bisik Masumi. “Satu-satunya obat jika hati sedang rindu pastinya harus bertemu dengan orang yang dirindukan bukan?” Masumi tersenyum manis.
          Maya tidak membalas senyum itu. Keningnya masih berkerut heran membuat Masumi bertanya.
          “Kenapa, mungil? Apa aku salah? Apa kau tidak merindukanku?”
          “Tentu saja salah!” sergah Maya cepat. “Kau seharusnya bersama istrimu sekarang, bukankah kau…”
          Kalimat Maya terputus karena tiba-tiba saja, Masumi merunduk dan memeluknya erat. Kepala laki-laki itu menyusup di leher Maya, sehingga Maya dapat merasakan hembusan nafas Masumi yang hangat di sana.
          “ Ma..su..mi?”
          “Kau satu-satunya yang aku inginkan untuk menjadi istriku, Maya. Hanya kau..” Maya mendengar Masumi berbisik pelan.
          “Tapi Masumi, bagaimana dengan pernikahanmu dengan nona Shiori?”
          Masumi mengangkat kepalanya dari leher Maya. Hati Maya kembali berdesir saat dilihatnya mata Masumi basah.
          “Kurasa Shiori tidak sudi lagi menikah dengan laki-laki yang nyaris gila,” senyumnya miris. Maya kembali mengerutkan kening.
          “Apa maksudmu?”
          “Maya..” Masumi membelai pipi Maya dengan lembut. “Saat kau terpaksa  menikahi wanita yang tidak kau cintai dan menahan kerinduan yang teramat sangat, yang mungkin tak akan pernah terobati seumur hidup, lalu kau melihat orang yang kau cintai tersungkur pingsan dihadapanmu, dan dihadapkan pada kenyataan bahwa kemungkinan besar orang itu akan meninggalkanmu selamanya,  Kau pikir apa yang akan terjadi padaku? Bahkan sang Jenderal Besar saja menjadi sangat ketakutan sehingga berinisiatif untuk membatalkan pernikahanku.”
          “Apa.. yang terjadi denganmu?” kening Maya masih berkerut tak mengerti.
          Masumi menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum manis.
          “Hanya kegilaan sesaat karena sangat takut kau tinggalkan..”
          Deg.. Maya merasa jantungnya berdetak kuat mendengar perkataan Masumi. Pelan perempuan itu mencoba mengurai pelukan Masumi.
          “Masumi… kau pasti sudah tahu penyakitku,” bisiknya dengan suara bergetar.
          “Kau akan baik-baik saja, mungil,” senyum Masumi.
          Maya menggeleng. “ Tidak, kau harus tahu kalau..”
          “Kau tidak akan pergi kemana-mana!” sergah Masumi, terdengar yakin. 50 persennya adalah untuk meyakinkan dirinya sendiri. Masumi menegakkan tubuhnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur Maya. “Kau akan sembuh, Maya. Akan kupastikan hal itu.”
          “ Masumi, ku harap aku bisa seyakin itu…”
          “Maya,” Masumi menggenggam jemari Maya lembut. “Kau harus percaya, mungil. Kau punya banyak kesempatan untuk sembuh. Dokter bilang kondisimu cukup stabil untuk menjalani operasi pencangkokan dan kakakmu, Sano,  dia donor yang memiliki kecocokan yang tinggi denganmu. Jadi, kau…akan…sembuh. “
          Maya menemukan senyum yang begitu menenangkan di bibir Masumi.
          “Percayalah akan hal itu, Mungil..”
          Maya membalas senyuman Masumi, lalu perlahan mengangguk. Entah mengapa, keyakinan Masumi mulai menulari hatinya. Pertama kalinya dalam dua bulan ini, Maya merasa bahwa dirinya akan sembuh.***

          Maya menatap taman bunga yang indah di luar jendela kamar. Meskipun berada di lantai 5, area ruang VVIP dikelilingi taman bunga membuat suasana terasa begitu menenangkan. Akhirnya Maya tahu, Masumi lah yang menginginkan dia dirawat di kamar semewah ini untuk kenyamanannya.
Kondisi Maya semakin membaik. Kini Masumi bisa sedikit meluangkan waktunya untuk menengok kantornya di Daito. Maya mendengar dari Mizuki, bahwa selama ia tak sadarkan diri, Masumi tidak sedetikpun meninggalkan rumah sakit, sampai-sampai Mizuki harus bolak-balik untuk menyerahkan beberapa dokumen penting.
Maya tersenyum. Meskipun Masumi pernah terpaksa hampir menikah dengan Shiori, namun tak sedetikpun Maya ragu akan cinta laki-laki itu kepadanya. Penderitaan selama dua bulan ini lebih dikarenakan karena penyakitnya, dan kenyataan bahwa ia akan meninggalkan lelaki yang teramat dicintainya itu untuk selamanya.  Hatinya begitu menderita membayangkan akan seperti apa Masumi setelah kematiannya nanti.

Deg!
Kematiannya…
Saat bersama Masumi tadi, ia merasa optimisme merasuki jiwanya dengan begitu besar. Tapi setelah laki-laki itu pergi, keraguan kembali menghampiri.  Ia tahu penyakit ini bisa berakibat sangat fatal. Terlebih ia tidak segera melakukan pengobatan yang semestinya. Sano memang sudah siap menjadi donor, tapi itu tidak menjamin dirinya akan sembuh.  Meski pun mungkin operasinya  berhasil,  tetap saja penyakit ini akan terus membayangi hidupnya.
Masumi laki-laki yang baik. Ia berhak mendapatkan wanita yang sehat, yang bisa mendampinginya seumur hidup.
Maya merasakan hatinya berdenyut sakit. 

Kedatangan Sano membuat Maya sedikit bisa mengalihkan perhatiannya siang itu.  Air mata menetes haru saat melihat Sano, satu-satunya keluarga yang tersisa,
“Mengapa.. kau menangis?” tanya Sano heran.
“Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu…… kakak.”
Hati Sano berdesir lembut. Suara dan pandangan Maya saat memanggilnya kakak terdengar begitu tulus. Ada perasaan senang dengan cara  Maya memanggilnya itu.
“ Maaf, kita harus bertemu dalam keadaan seperti ini,” bisik Maya lagi.
Sano tersenyum.
“Kau tak perlu minta maaf,” ujarnya pelan.
Dilihatnya Maya menatapnya dalam, membuat Sano merasa jenggah dan salah tingkah.
“Apa kau benar-benar mirip dengan ayah?” Maya tiba-tiba bertanya.
“Eh?”
“Ibuku pernah mengatakan bahwa kau mirip dengan ayah. Aku  tidak pernah ingat bagaimana rupa ayah, karena beliau meninggal saat aku masih sangat kecil.”
Sano termangu. “Kau benar-benar tidak ingat?”
Maya menggeleng pelan. Dilihatnya Sano membuka kalung berliontin yang dipakainya, dan membuka liontinnya. Disodorkannya benda itu ke hadapan Maya. Ada foto seorang laki-laki di sana, berdampingan dengan foto seorang bayi kecil imut. Kedua foto kecil itu nampak usang dimakan usia.
“Ayah memberikannya padaku saat aku akan pindah ke Korea,” jelas Sano.
Maya merasakan matanya memanas. Wajah laki-laki di foto itu memang sangat mirip dengan Sano.
“Bayi di sampingnya…… itu kamu.”
Maya terperangah. “Benarkah?”
“Mungkin karena ayah sadar, aku kemungkinan besar tidak akan kembali ke Jepang, maka ayah memberikan liontin ini padaku. Beliau ingin aku selalu mengingat kalian.”
Maya manatap foto ayahnya untuk beberapa lama, kemudian menutup liontin dan menyerahkannya kembali ke tangan Sano.
“Bolehkah… aku… memelukmu?” tanya gadis itu ragu. Sano terkejut.
“Maaf jika permintaanku terdengar tidak sopan. Tapi… selama ini aku hanya punya ibu, aku tidak pernah tahu..bagaimana rasanya punya seorang ayah, atau kakak laki-laki, jadi…” harapan  Maya menciut saat melihat ekspresi Sano. “Tak apa jika .. keberatan. Aku tidak akan…”
Sano bergerak maju. Sedetik kemudian gadis itu sudah berada dalam pelukannya. Air mata kembali membasahi wajah Maya. Lengan gadis itu terulur, balas memeluk tubuh kakaknya.
“Jadi rasanya begini…” bisik Maya haru. “begitu..hangat..”
Sano menahan air mata yang mengancam turun saat didengarnya Maya  berbisik dalam pelukannya. “Terima kasih… kakak.”***

Maya sedang menatap liontin yang diberikan Sano kepadanya saat Masumi masuk. Laki-laki itu nampak segar dalam balutan bajunya yang santai.
“Apa itu?” Masumi bertanya seraya duduk di sisi Maya dengan punggung bersender di kepala tempat tidur. Lengannya dengan santai merangkul bahu gadis yang masih asyik menatap foto dalam liontin.
“Foto ayahku,” jawab Maya, memperlihatkan benda itu kepada Masumi. “Kakak yang memberikannya padaku.”
“Sangat mirip dengan Sano,” komentar Masumi. Maya mengangguk setuju. “Terus, siapa bayi lucu ini?” tanya Masumi lagi.
“Itu aku,” senyum Maya. Masumi meraih liontin itu untuk melihatnya lebih dekat.
“Benarkah?” Masumi memperhatikan foto itu lekat-lekat, lalu menoleh untuk memerhatikan wajah Maya. “Wah, waktu bayi ternyata kau selucu ini..”
Maya tersenyum riang.
“Hmm… anak perempuan kita nanti pasti akan selucu ini,” Masumi bergumam. Senyum Maya seketika membeku. Gumaman Masumi, meski pelan, namun baginya seperti pukulan yang keras menghujam hati.
“Masumi..”
“Ah, aku lupa!” Masumi mengacuhkan ekspresi sedih Maya yang sebenarnya dia sadari. Laki-laki itu merogoh saku jaketmyanya, mengeluarkan sebuah kotak berudru biru tua dan membukanya di hadapan Maya.
Sebuah kalung, berangkaikan kata I Love You, Maya.
Hadiah paling sederhana yang pernah diterimanya dari Masumi, namun kali ini, pesan yang ada dalam kalung itu membuat Maya ingin menangis, antara bahagia dan sedih.
Lengan Maya bergetar saat mengeluarkan kalung itu dari kotaknya.
“Kau suka?” tanya Masumi lembut. Maya mengangguk.
“Sangat..” bisiknya penuh haru. Masumi mengambil kalung itu untuk mengalungkannya di leher Maya.
“Aku harap, dengan memakai kalung ini kau akan selalu ingat, kalau aku sangat mencintaimu,” bisik Masumi. Dikecupnya pundak Maya lembut begitu selesai mengaitkan kalung tersebut.  Maya terisak.
“Masumi…” Maya menengadah menatap wajah tampan Masumi yang kini sudah menggeser duduknya hingga mereka berhadapan.
“Hmm...?”
“Kumohoon.. jangan terlalu baik padaku. Jangan membuatku semakin sulit untuk… meninggalkanmu nanti.”
Masumi mengusap pipi pucat Maya yang sudah basah oleh air mata.
“Aku sudah mengatakannya, bukan? Kau tidak akan pergi kemana-mana. Satu-satunya tempatmu pergi adalah ke sisiku..”
“Masumii…”
Protes Maya terputus oleh ciuman laki-laki itu di bibirnya. Masumi menciumnya dengan sangat lembut, membuat Maya tak berdaya dengan kelembutan dan kehangatan yang ditawarkan. Mata gadis itu terpejam, meski air mata terus mengalir. Mengikuti nalurinya, Maya mulai membalas ciuman Masumi.
Sementara itu Sano pelan menutup pintu kamar perawatan adiknya. Sejak tadi dia berada di sana, memperhatikan sepasang manusia yang berada di dalamnya dengan perasaan campur aduk.
“Sano!” sebuah suara di belakangnya membuatnya terlonjak kaget. Cepat dia memutar tubuh. Hwang Mi Rae berdiri di sana dengan senyuman lebar.
“Mi Rae!” Sano menyapa dengan terkejut. “Bagaimana kau tahu aku di sini?”
“Aku membututimu..” jawab Mi Rae santai.
“Apa?”
“Salahmu sendiri, mengapa cuma nge drop aku di apartemen lantas pergi begitu saja. Jadi aku membuntutimu. Yaa.. meski akhirnya aku kehilangan jejakmu karena taksi yang aku tumpangi leletnya minta ampun, tapi aku ingat kau pernah menyebutkan nama rumah sakit tempat adikmu di rawat, maka aku langsung ke sini. Payahnya, resepsionis di bawah sana tidak mengijinkan aku untuk masuk. Ukh, rupanya adikmu orang penting, ya, sampai-sampai tidak sembarang orang bisa jenguk.”
“Lalu kenapa kau bisa ada di sini?”
Mi Rae tersenyum bangga. “Itu karena aku pintar,” jawabnya dengan tertawa.
“Tapi ngomong-ngomong,” Mi Rae menghentikan tawanya. “Mengapa tadi kau tidak jadi masuk? Ayolah, aku ingin bertemu dengan adikmu,” tanpa menunggu persetujuan Sano, Mi Rae bergerak maju dan meraih handle  pintu dengan cepat. Sebelum sempat Sano melarang, gadis itu sudah masuk, mengejutkan kedua orang di dalam yang nampak tengah berbincang.
Maya dan Masumi menatap gadis yang baru masuk tadi dengan heran. Tubuh Maya segera bergerak, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Masumi. Namun laki-laki itu tetap diam. Lengannya tetap kokoh melingkari perut Maya dan membuat gadis itu tetap bersender nyaman di dadanya.
Sano masuk belakangan dengan rupa tegang. Sementara Mi Rae menatap dua orang yang duduk di tempat tidur dengan mulut ternganga. Perhatiannya lebih kepada Masumi, yang juga tengah menatapnya dengan pandangan keheranan.
“Masumi…” desis Mi Rae pelan.
Maya  mengerutkan kening, mendongak menatap Masumi.
“Kau mengenalnya?” bisiknya bertanya. Masumi tidak segera menjawab. Dia menatap wajah gadis asing itu lekat-lekat, mencoba menggali ingatannya. Lalu setelah gagal merecall memorinya akan gadis yang seperti mengenalnya itu, Masumi menggeleng. “Tidak, aku tidak mengenalnya,” jawabnya,  juga dalam bisikan.
Sano maju dengan ragu, mengenalkan Mi Rae.
“Maya.. Pak Masumi, kenalkan.. ini… Hwang Mi Rae. Dia.. temanku dari Korea.”
Maya tersenyum ramah.
“Rupanya teman kakak,” ujarnya. “Maaf tidak bisa  menyambutmu dengan layak, tapi… Selamat datang di Jepang.”
Mi Rae tidak menggubris sambutan Maya. Hatinya mendadak berdenyut penuh kemarahan. Masumi… dia tidak mengenalku. Mengapa?! Harusnya kau mengenalku!! Mengingatku!!!
Pandangan Mi Rae perlahan beralih ke wajah Maya. Entah dari mana kebencian yang begitu besar terhadap perempuan yang kini tengah dalam pelukan Masumi itu tiba-tiba menguasai hatinya. Beberapa saat mereka berpandangan, sebelum akhirnya Mi Rae berlari keluar, diikuti Sano yang meminta maaf terlebih dahulu, meninggalkan  Maya dan Masumi yang semakin keheranan melihat tingkah keduanya.
Sesaat tadi, Maya melihat bara kebencian di mata Hwang Mi Rae.
“Kau kenapa?” tanya Masumi saat merasakan tubuh Maya yang gemetar.
“Mata gadis tadi… apa kau melihatnya, Masumi? Kenapa aku merasa dia sepertinya… membenciku?”***

                     ***** bersambung ke part 3 *****