Rabu, 20 Juli 2011

Please, Be With Me (part 2)



          Kediaman Hayami…
          Eisuke termenung di kamarnya.  Semalam Masumi tidak pulang sama sekali. Membayangkan wajah Masumi yang pucat dan tingkah lakunya yang seperti orang linglung, membuat laki-laki tua itu memutuskan untuk menelepon Mizuki semalam, mencari tahu kondisi anak tirinya itu.
          “Sepulang dari gladi resik, Pak Masumi terus berada di dalam ruangannya,” lapor Mizuki.
          Tetap mengikuti gladi resiknya..
          Eisuke menghela nafas berat. Sejak awal,  jauh di dalam hatinya Eisuke sudah tahu, Masumi tidak pernah dengan sepenuh hati menerima pertunangannya dengan Shiori. Persetujuan anak itu hanya karena “pengabdiannya” untuk Daito. Terakhir, karena kepeduliannya terhadap hidup Shiori. Di balik sikapnya yang dingin, Masumi memiliki hati yang lembut.  Tekanan yang ia, orang yang seharusnya menjadi tempat Masumi berlindung,  berikan, membuat Masumi menyembunyikan kehangatan dan kelembutannya dalam-dalam.  Sikap kerasnya dalam mendidik Masumi, membuat label ‘ayah’ hanya sebatas sebutan saja. Pada kenyataannya, disadari atau tidak, ia selalu memperlakukan Masumi sebagai bawahan, bukan sebagai anak.
          Namun jauh di lubuk hatinya, ia menyayangi Masumi. Kekhawatiran yang amat sangat menghantui saat melihat reaksi Masumi atas komanya Maya.
          Lama Eisuke berfikir, sampai akhirnya ia memutar kursi rodanya.
          “Asa, tolong siapkan mobilku. Kita akan mengunjungi keluarga Takamiya..” ***


         Wajah itu terlihat begitu tenang, meski pucat, namun tetap terlihat sangat cantik di matanya.           Wajah yang  teramat sangat dia rindukan.
          Saat masuk ke ruangan dimana Maya dirawat, Masumi merasakan tubuhnya bergetar. Pandangannya terpaku pada sosok tubuh yang terbaring di depannya. Berharap berkali-kali bahwa sosok itu bukan Maya, bukan gadis mungilnya.
          Harapan yang sia-sia.
          Saat tiba di sisi tepat tidur, saat melihat wajah mungil yang pucat di depannya, Masumi tak dapat lagi mempertahankan harapannya. Tubuhnya tak mampu lagi menahan getaran yang semakin kuat. Masumi limbung. Jika saja tangannya tidak refleks meraih pinggiran tempat tidur Maya, ia pasti sudah jatuh.
          Air mata kembali deras mengalir. Sedikitpun tak pernah terbersit dalam fikirannya, melihat Maya yang diambang kematian seperti ini. Dulu ketika ia terpaksa berpisah dengan gadis itu disaat cinta mereka baru kuncup,  dia masih bisa kuat. Setidaknya Maya ada, berdiri di atas bumi yang sama, hidup di bawah langit yang sama dan bernafas dengan udara yang sama dengannya. Namun jika gadis ini harus pergi, Masumi bahkan tak bisa membayangkan masa depannya sendiri.
          “Apa yang harus kulakukan mungil? “bisiknya. “Jika kau seperti ini, apa yang harus kulakukan untuk meminta maaf  kepadamu?” Masumi menangis. Betapa banyaknya penderitaan yang sudah dia berikan kepada wanita ini.  Meski bukan hal itu yang dia inginkan, tapi kenyataan, itulah yang terjadi. Saat Maya sudah memaafkannya atas kematian ibunya, dan mulai menerima cintanya, kembali ia harus menghancurkan perasaan gadis itu dengan meninggalkannya, untuk menikah dengan wanita lain.
Masumi meraih lengan Maya yang  bebas, menggenggam dan menciuminya penuh kerinduan.
“Kumohon bangun, sayang. Jangan seperti ini..” bisik Masumi disela isakannya. “Kau boleh menghukumku dengan cara apapun, kecuali dengan cara seperti ini. Kumohon… bangunlah. Ini terlalu kejam untukku, Maya,” Masumi menatap wajah pucat Maya. “Jika kau pergi, kau akan membawaku seluruh duniaku bersamamu. Jadi.. kemana lagi aku harus pergi? Kemana lagi?”
Digenggamnya lengan Maya dengan erat.
“Kumohon sayang… sadarlah. Sadarlah!!” ***


Sano melihat semua itu dari balik jendela. Jelas sudah baginya, Masumi mencintai Maya.
Kekhawatiran kembali mendera hatinya. Apakah Maya juga mencintai Masumi? Jika ia, hal ini akan menjadi batu penghalang bagi tujuannya.
Maya? Batu penghalang?
Sano tersenyum sinis.
“Kenapa aku harus khawatir? Aku bahkan tidak mengenalmu, Maya. Mengapa aku harus peduli, kau mencintai laki-laki itu atau tidak? Kesempatan yang sudah aku nanti selama 10 tahun tak akan kubiarkan pergi hanya karena adik yang baru aku temui 10 jam saja!”
“Lagi pula, “ pikirnya lagi, seraya memandang lurus ke tubuh Maya di dalam sana. “ Aku memiliki apa yang tidak dimiliki laki-laki itu, sesuatu yang akan menyelamatkan hidupmu..”
Getar lembut membuat Sano merogoh saku celana untuk meraih handphone. Senyum kembali mengembang saat membaca sms yang baru diterimanya. Ia lalu memutar tubuh, dan beranjak meninggalkan ruang ICCU. ***

Kuronoma membuka pintu sebuah apartemen dan mempersilahkan Sano masuk duluan.
          “Kau bisa tinggal di apartemen ini selama kau mau,” ujarnya.
          Sano menebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Apartemen itu cukup luas dengan jendela lebar di sisi kanannya. Sebuah pantry kecil berada di sisi lain, di bawah tangga yang melingkar menuju lantai dua yang terbuka  yang merangkap kamar tidur.
          “Ini apartemen siapa?”  tanyanya.
          “Kami menyewa apartemen ini untukmu.”
          “Kami?”
          “Persatuan Drama Nasional..”
          “Seharusnya tidak usah, aku bisa menyewa sendiri.”
          “Tidak. Kau di disini untuk menolong adikmu. Dan adikmu… kondisinya saat ini membuat kami sangat khawatir. Kami tidak ingin kehilangan salah satu bintang terbaik negeri ini. Jadi kenyamananmu selama berada di Jepang, menjadi tanggung jawab kami.”
          “Sehebat itukah adikku?” gumam Sano. Mendengar itu Kuronoma tersenyum.
          “Kau rupanya benar-benar tidak mengenal adikmu..”
          “Aku sudah lama meninggalkan Jepang. Aku pun hanya sekali bertemu Maya, saat ia baru dilahirkan. Terus-terang, jika detektif yang kalian sewa tidak datang, aku lupa kalau aku sebenarnya punya adik.”
          “Jadi kalian hanya saudara satu ayah?”
          Sano mengangguk. “Setelah bercerai dengan ibuku, ayah menikahi ibunya Maya. Tak lama setelah Maya lahir, aku dibawa ibu ke Korea. Sejak saat itu aku tidak pernah mendengar kabar mereka lagi.”
          “Pantas saja kau tidak tahu apa-apa.”
          “Jadi, apa dia benar-benar hebat?”
          “Aktris paling berbakat yang pernah aku temui  seumur hidupku,” jawab Kuronoma. “ Dia bisa mengubah kesempatan yang hanya 1 % menjadi sebuah kenyataan karena tekad dan semangatnya yang luar biasa. Aku harap… ia bisa memakai tekad dan semangat  itu untuk mengatasi penyakitnya sekarang.”
          Sano tidak berkomentar. Pikirannya melayang ke adegan yang dia lihat di dalam kamar ICCU tadi. Pelan laki-laki itu membalikkan badannya. Menatap Kuronoma.
          “Ada seorang laki-laki yang datang tadi pagi. Dia terlihat sedikit linglung, seperti sangat terpukul dengan keadaan adikku. Siapa dia?”
          “Laki-laki? Seperti apa dia?”
          “Tinggi, tampan, tapi sepertinya dia jauh lebih dewasa dibanding Maya. Apa dia pacar Maya?”
          Kuronoma mengerutkan keningnya.  Ingatannya melayang pada Masumi Hayami, dan reaksinya saat Maya pingsan setelah pertunjukkan.
          “Yang kau maksud, mungkin… Masumi Hayami.”
          Diam-diam Sano tersenyum. Jadi benar, Masumi Hayami…
          “Apa hubungannya dengan Maya? Mengapa dia sepertinya sangat… mencintai adikku. Apa mereka pacaran?”
          Kuronoma menghela nafas berat.
          “Ceritanya sangat panjang…” ujarnya di ujung helaan nafasnya.
          “Aku punya waktu banyak untuk mendengarkan,” senyum Sano. “Itupun jika anda tidak keberatan..” ***
          Sano termenung di depan televisi lama setelah Kuronoma pergi. “Jadi begitu,“ desahnya. Terngiang cerita Kuronoma tadi. Masumi dan Maya saling mencintai. Hanya saja, Masumi sudah punya tunangan dan besok, adalah hari pernikahan mereka.
          Ternyata dibalik semua kesuksesan karirnya, kisah cinta Maya tidak lebih dari kisah cinta yang menyedihkan.
          “Bagaimana ini?” pikir Sano. Lengannya bergerak meraih handphone dari atas meja. Menatap seraut wajah di wallpaper dengan hati resah. “Apa yang harus kulakukan?” bisiknya pada wajah itu. “Satu-satunya kesempatanku. Apakah aku harus menyerah?
          Semua rencana yang mulai tersusun di kepala raib sudah.
Menikah besok… Jika saja hanya ada Maya, urusannya akan lebih mudah. Tapi perempuan ini, tunangan Masumi Hayami, dari cerita Kuronoma, keluarga Takamiya adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Belum lagi menghadapi keluarga Hayami, dan waktu yang kurang dari 24 jam sebelum pernikahan itu. Ah.. kenapa semuanya jadi begini rumit?
          Sano merasa kepalanya berdenyut sakit. Baru ia sadar, sejak sampai di Jepang kemarin, ia belum makan dengan benar. Teringat perkataan Kuronoma bahwa di lemari es sudah tersedia makanan jadi,  ia pun segera membuka benda itu dan mengeluarkan sekotak pizza untuk dipanaskan di dalam microwave. 
Sano sedang menikmati potongan pizzanya yang kedua saat handphonenya berbunyi. ***

Masumi duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit. Kepalanya tertunduk dengan jemari terjalin erat di lutut. Rambut dan pakaian yang biasanya rapi, kini nampak kusut. Sejak melihat Maya tadi pagi, tidak sedetikpun Masumi meninggalkan ruang tunggu. Terus duduk di tempatnya sekarang, menunduk, memejamkan mata.  Berdoa.
Sejak melihat kondisi Maya yang terbaring tak berdaya di ruang yang penuh dengan alat-alat medis tadi, kesadaran Masumi perlahan kembali. Meski terasa sakit, ia mulai menerima kenyataan bahwa gadis tercintanya kini tengah diambang kematian. Batinnya terpukul. Selama ini, ia sanggup melakukan apapun untuk melindungi gadis itu,  mampu melumpuhkan lawan sekuat apapun yang berniat menyakiti Maya. Tapi kondisi Maya sekarang membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan Tuhan!
Ia kalah telak!
          Air mata kembali menetes di pipi Masumi yang tirus.  Entah sejak kapan, hatinya mulai merangkai percakapan dengan Tuhan. Ia memang sudah lupa bagaimana cara berdoa, karena sejak lama tak pernah ia lakukan. Tapi hari ini, diantara keputusasaannya, sesuatu telah membimbingnya untuk berharap, meminta dan memohon untuk keselamatan Maya.
          Sebuah suara memaksanya untuk mengangkat wajahnya. Terperangah saat melihat siapa yang datang menghampiri dengan wajah yang sulit diartikan. Saat tersadar dari rasa terkejut, terlambat baginya untuk mengeringkan matanya yang basah.
          “Ayah..” desis Masumi. Eisuke terlihat tersenyum samar.
          “Kita harus bicara, Masumi.”
          “Tak ada yang harus dibicarakan.”
          “Tentu saja ada, “ tukas Eisuke. “ Ini tentang pernikahanmu.”
          Mendadak hati Masumi berdesir dingin. Eisuke tersenyum sebelum membalikkan kursi rodanya dan menjauh. Dengan setengah hati Masumi berdiri, mengikuti laki-laki tua itu.
          Matahari sore itu masih terasa terik. Namun pepohonan yang rindang di taman rumah sakit membuat udara terasa lebih sejuk.  Masumi berdiri kaku, menatap ayah tirinya dengan rupa tak mengerti.
          “Mengapa ayah melakukan itu?”
          “Apa kau tidak suka dengan keputusanku?” Eisuke balik bertanya. “Kupikir kau tidak pernah menginginkan pernikahanmu dengan Shiori.”
          “Aku memang tidak menginginkannya!” sergah Masumi. “Tapi aku tidak mengerti, mengapa ayah berinisiatif membatalkan pernikahan itu, padahal dulu ayah yang memaksaku untuk menerimanya.”
          “ Katakankah aku berubah pikiran.”
          “Apa tujuan ayah?”
          “Apakah selalu harus ada tujuan untuk setiap tindakanku, Masumi?”
          “Aku mengenal ayah dengan baik. Jadi jangan mencoba membohongiku.”
          Eisuke menghela nafas berat. Memandang wajah Masumi yang nampak semakin menyedihkan dibanding saat terakhir ia melihatnya kemarin.
          “Apakah kau akan percaya padaku, jika aku mengatakan semua ini kulakukan untukmu?”
          Ekspresi Masumi berubah, seolah baru saja mendengar sesuatu yang paling aneh dalam hidupnya. Eisuke kembali menghela nafas melihat ekspresi Masumi. Ia tidak menyalahkan ketidakpercayaan anak itu.
          “Terserah kepadamu kalau kau tidak percaya,” ujarnya kemudian. “Aku kesini hanya untuk mengatakan kepadamu, bahwa pernikahanmu telah dibatalkan. Keluarga Takamiya akan mengadakan konferensi pers malam ini. Kalau kau tidak mau hadir, tak apa.”
          Eisuke memberi isyarat kepada Asa untuk mendekat. Asa yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka bergegas mendekat dan bersiap untuk membawa tuannya pergi.
          “Masumi, “ Eisuke kembali menatap wajah putranya sebelum pergi. “Maya Kitajima  gadis itu sangat kuat.  Dia akan sembuh..”
          “Eh..?” Masumi kembali tidak percaya akan apa yang dia dengar. “Laki-laki itu…”  ditatapnya sosok di balik punggung Asa yang semakin menjauh.  “Apa tadi… dia berusaha…… menghiburku?”
          Rasa herannya terusik oleh deringan handphone di sakunya. Wajahnya seketika menegang sebelum sedetik kemudian, dia berlari sekuat tenaga menuju ruang ICCU.***

          Rei menyambutnya di depan ruang ICCU. Ruangan itu tertutup, begitu juga jendelanya, ditutupi oleh tirai.
          “Ada apa?” Masumi bertanya panik. “Apa yang terjadi ?!”
          “Saya tidak tahu, Pak Masumi. Saat saya kembali dari kantin tadi, saya melihat banyak dokter dan perawat terburu-buru masuk ke sana,” meski mencoba untuk tenang, suara Rei terdengar gemetar. Wajahnya pucat.
          Jantung Masumi berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai  merembesi keningnya. Kepanikan mulai merayap naik.
          “Aku harus masuk.. aku harus masuk..” bisiknya berulang-ulang sebelum akhirnya berlari menuju pintu  ruang ICCU.
          “Pak Masumi, jangan!” cegah Rei, tapi terlambat. Laki-laki itu sudah menerjang masuk.  Seketika semua orang yang ada di dalam menoleh terkejut.
          “Apa yang terjadi,” tanya Masumi dengan suara gemetar. “Apa terjadi dengan Mayaku?”
          Dua orang perawat laki-laki mendekat dan menghalangi Masumi untuk masuk lebih dalam.
          “Maaf tuan, dokter sedang mencoba memeriksa Nona Kitajima. Anda tidak boleh masuk.”
          “Tapi apa yang terjadi dengannya? Katakan padaku!!” teriak Masumi tak sabar,  menolak untuk keluar.
          “Anda mengggangu kerja dokter, Tuan!” seorang perawat berkata tegas. “Tolong ijinkan dokter memeriksa nona Kitajima dengan tenang, DAN ANDA HARUS MENUNGGU DI LUAR..”
          Masumi akhirnya mengalah.  Ia mundur dan menatap pintu yang kemudian ditutup dengan perasaan khawatir teramat sangat. Meski terhalang oleh tubuh beberapa dokter yang berdiri di samping tempat tidur Maya, tapi cukup memberinya gambaran bahwa mereka tengah mencoba melakukan sesuatu pada tubuh gadis itu.
          “Kau kenapa, mungil..?” rintihnya perih. “Kumohon.. kau harus bisa bertahan.”
          Masumi masih berdiri di depan pintu sampai akhirnya pintu itu terbuka 20 menit kemudian. Seorang dokter mendekat, lalu tersenyum. Senyum itu ramah sebenarnya, tapi tidak bagi Masumi. Ketakutan membuat senyum ramah itu berubah menjadi senyum paling mengerikan  dalam pandangannya.  Ia tidak berani bertanya apapun.
          Masumi menahan nafas, bersiap, saat dokter mulai berbicara.
          “Nona Kitajima…........ baru saja tersadar dari komanya..” ***

          Meskipun sudah sadar, tapi dokter masih harus memantau kondisi Maya selama 24 jam ke depan sehingga di putuskan, Maya masih harus berada di ruang ICCU.  Dokter sudah melepaskan alat bantu pernafasannyanya. Dan gadis itu masih tertidur karena pengaruh obat sejak tersadar kemarin sore.
          Masumi  kesal setengah mati. Dokter hanya memperbolehkan Kuronoma dan Sano untuk mendengarkan penjelasan medis tentang kondisi Maya. Sano memang kakaknya, tapi Pak Kuronoma?
          “Saat Maya masuk ICCU,  Pak Kuronomalah yang menandatangani semua berkas Maya sebagai wali,” jelas Mizuki, yang datang untuk mengantarkan pakaian yang dipesan Masumi. Masumi hanya menjawabnya dengan membuat garis lurus di bibir. Tak bisa protes lagi karena memang dia tidak punya hubungan apapun dengan gadis itu. Bahkan hubungan kekasih sekalipun tidak,  meski sebagian orang tahu betapa ia mencintai Maya.
          Ia hanya bisa menunggu Kuronoma memberitahukannya tentang kondisi Maya.
          “Jika kondisinya stabil, satu minggu lagi Maya bisa menerima pencangkokan sumsum tulang,” jelas Kuronoma tanpa diminta.
          “Apa itu akan membuat Maya sembuh?” tanya Masumi penuh harap.
          “Pengobatan Maya bisa dibilang agak terlambat,” Kuronoma melihat wajah Masumi semakin menegang. “Jadi kesempatannya tidak sebesar pasien lain yang segera melakukan pengobatan begitu didiagnosa.”
          “Apa itu buruk?” tanya Masumi lagi, sedikit ngeri.
          “50 persen...” jawab Kuronoma cepat. “Maya hanya memiliki kesempatan 50 persen untuk sembuh.”
          Masumi tercekat. 50 persen… Itu artinya Maya juga memiliki kesempatan 50 persen untuk… gagal?
          Tanpa sadar Masumi jatuh terduduk.  Baginya berita itu menusuk jantungnya kian dalam. Mayanya hanya memiliki kesempatan 50 persen untuk hidup! Tidak, Maya tidak boleh mati! Dia harus hidup! Jika tidak…
          “Pak Masumi, “ Kuronoma menatap lelaki didepannya dengan simpati. “Anda harus tenang, dokter bilang semangat Maya untuk sembuh sangat besar.  Ditambah lagi prosentasi kecocokan donor juga besar. Kemungkinan, tubuh Maya akan merespon baik pencangkokan itu. Tinggal kita berharap saja, kondisi Maya stabil selama persiapan operasi.”
          Masumi menghela nafas. Benar, aku harus tenang. Aku harus percaya Maya bisa melalui semua ini dengan baik.
          Tubuh Maya di balik kaca nampak tenang. Hati Masumi sedikit lega, melihat tidak ada lagi selang aneh yang terpasang di hidung gadis itu.
          Sebuah langkah mendekat membuatnya menoleh.  Masumi mengenal siapa yang datang. Sano, kakak Maya.
          Merasa belum berkenalan secara layak,  Masumi sedikit membungkuk, memperkenalkan diri.
          “Maaf, kemarin saya belum memperkenalkan diri saya saat pertama kali kita bertemu. Saya Masumi Hayami.”
          Sano tersenyum, lalu balas membungkuk, ” Saya Sano Kitajima.”***

           Langit-langit yang putih bersih serta bau obat menyambutnya saat ia membuka mata. Untuk sesaat ia kebingungan. Namun setelah mencoba mengumpulkan ingatannya, perlahan ia mulai menyadari situasi.
          “Ini pasti rumah sakit,” pikirnya.  Perlahan matanya berkeliling, ke arah botol infusan  yang tergantung di samping kirinya, meja kecil dan jambangan bunga, jendela yang memperlihatkan langit yang begitu biru di luar sana,  beberapa lukisan di dinding, dan sofa cantik di dekat jendela.
          “Sepertinya ruangan ini terlalu bagus untuk ruang rawat inap di rumah sakit,” pikirnya heran. Pelan ia mencoba mengubah posisi tidurnya, namun gerakannya terhenti saat menyadari dirinya tidak punya kekuatan cukup untuk menggerakkan badannya. Saat itulah, sebuah suara menyapa pelan.
          “Maya…”
          Hatinya berdesir. Suara itu begitu dia kenal.
          “Tidak mungkin,” desis hatinya pelan.
          Namun sosok tubuh yang kini muncul di samping kiri tempat tidur membuat Maya tertegun. Masumi Hayami,  memandangnya dengan di matanya yang terlihat lelah.
          “Ah, syukurlah kau sudah bangun, Mungil,” ada nada kelegaan dalam suara laki-laki itu.
          “Masumi…,” bisik Maya pelan. “ Kenapa… kau ada di sini?”
          “Kau pikir, aku harus berada di mana disaat kau seperti ini?” senyum Masumi.
          “Bukankah kau… kau… “
          Kalimatnya terputus saat tiba-tiba Masumi menyurukkan kepala di sela-sela bahunya. Kedua lengan laki-laki itu menyelusup ke bawah badannya, memeluk erat.
          “ Satu-satunya tempat dimana aku ingin berada adalah di sampingmu Maya. Hanya di sampingmu.”
          Maya terkesiap. Dirasakannya tubuh Masumi yang tengah memeluknya bergetar. Ada cairan hangat yang membasahi lehernya.
          “ Masumi…”
          “Tak peduli kau akan pergi kemana, aku akan selalu bersamamu. Aku tidak akan pernah meningalkanmu lagi, Maya.”
          “Masumiii…” ujar Maya pelan. “Beraaat…” ringisnya.
          Mendengar itu, perlahan Masumi bangun. Maya masih bisa melihat mata Masumi yang basah.         
          “Maafkan aku,” senyum laki-laki itu. “Kau pasti masih sangat lemah,” dibelainya pipi Maya dengan lembut. “Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu.”
          Masumi tidak beranjak sedikitpun dari sisi tempat tidur saat dokter memeriksa Maya.
          “Kondisi nona Kitajima harus benar-benar fit saat operasi nanti. Jadi kami mohon, jangan membuatnya berfikir terlalu rumit. Dia harus selalu dalam keadaan tenang,” jelas dokter. Sano sudah ada di sana.  Memandangi wajah mungil Maya dalam diam sambil mendengarkan penjelasan dokter. Begitu dokter pergi, wajahnya terangkat, menatap Masumi yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Beberapa saat setelah dokter pergi,  Maya kembali tertidur.
          “Adikku harus tenang. Kurasa, itu tidak akan dia dapatkan jika anda ada di sini, Pak Hayami.”
          Suara itu pelan, tapi sanggup membuat Masumi terperangah.
          “Apa maksudmu?”
          “Pernikahan anda,” jawab Sano tenang. “Bukankah seharusnya anda sudah bersiap untuk acara itu?”
          “Tidak akan ada pernikahan,” sahut Masumi cepat. “Itu sudah dibatalkan.”
          Kini giliran Sano yang terperangah.
          “Benarkah? Kenapa?”
          “Hmm.. kurasa aku tidak punya kewajiban untuk mengatakan alasannya kepadamu,” jawab Masumi dingin. Sano tersenyum.
          “Anda benar,” angguknya. “Anggap saya tidak pernah bertanya.”
           Sano berusaha menyembunyikan kelegaan yang menyergap hatinya mendengar berita itu. Rupanya, nasib baik sedang berpihak  padanya. Setelah memandangi wajah Maya beberapa saat, Sano pun keluar. Meninggalkan Masumi yang kini telah kembali menarik kursi ke sisi tempat tidur, dan duduk disana seraya menggenggam  jemari Maya.***

          Bandara sangat ramai siang itu. Sano menunggu dengan sabar di pintu kedatangan. Sepuluh menit kemudian, wajahnya berseri saat melihat sosok tinggi ramping  muncul diantara rombongan penumpang yang berjalan keluar. Dilambaikan tangannya dengan semangat.
          “Mi Rae! Di sini!”
          Hwang Mi Rae, gadis yang dipanggilnya tertawa lebar, kemudian berlari  kecil seraya mendorong trolinya.
          “Sano!”
          Nafasnya terengah saat tiba di depan Sano.
          “Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?”
          Mi Rae mengangguk semangat. “Perjalanan paling menyenangkan sepanjang hidupku,” jawabnya lugas. “Terima kasih, kau sudah mau bersusah payah mengirimiku tiket ke Jepang.”
          “Hmm…” Sano tersenyum lembut,  menatap wajah cantik di depannya. “Itu karena aku tahu, datang ke sini adalah hal yang paling kau inginkan, Mi Rae.”
          “Kau memang orang yang paling mengerti aku,” senyum Mi Rae.
          Sano mengacak rambut pendek Mi Rae lembut. Lalu diraihnya troli yang dibawa Mi Rae.
          “Kau pasti lelah. Kita langsung ke apartemenku,” ujarnya.
          “Wow, kau tinggal di apartemen?” Mi Rae mengangkat alisnya dengan antusias yang hanya di jawab Sano dengan senyuman.
          Di dalam taksi yang membawa mereka ke apartemen, Sano tak lekang memandangi wajah Mi Rae yang bersemangat, mengamati suasana kota yang mereka lalui sepanjang perjalanan.
          “Mungkin tidak ya? Aku bisa bertemu dengannya?” tiba-tiba Mi Rae bergumam pelan. Lalu mengalihkan pandangannya dari luar jendela ke wajah Sano.
          “Dia ada di sini kan, Sano? Di kota ini?”
          Pertanyaannya kembali hanya dibalas Sano dengan senyuman.
          “Kau tahu Sano? “ ujar Mi Rae lagi. Lengan kanan gadis itu terulur menyentuh pergelangan lengan kirinya, yang dihiasi gelang anyaman bermotif tradisional, dengan bandul berbentuk bulan dan bintang yang terbuat dari kayu. Pelan disingkapnya gelang itu, dan memperlihatkan  bekas luka yang memanjang di baliknya. “Aku sangat berharap bisa bertemu dengannya, dan bisa bersamanya kini.”
          Sano melengos untuk menyembunyikan kecemburuan yang mulai merajai hatinya.***


Maya merasakan sakit di tubuhnya sedikit berkurang setelah menerima beberapa obat pagi tadi. Dokter mengatakan bahwa kakaknya, Sano, sudah datang dan sudah menjalani pemeriksaan untuk menentukan kecocokannya menjadi donor. Hasilnya, dalam seminggu, Maya sudah bisa menjalani operasi pencangkokan.
          Tempat tidurnya ditinggikan sehingga gadis itu bisa bersender dengan nyaman. Sepagian Maya menunggu kedatangan Sano, tapi kakak yang tidak pernah ditemuinya itu tidak kunjung datang. Rasa penasaran yang teramat sangat mengusik hatinya. Seperti apa rupa Sano? Maya ingat, dulu sekali ibunya berkata, bahwa Sano sangat mirip dengan ayahnya.
          Diliriknya jam di atas televisi.  Sekali lagi ia berfikir, kamar ini terlalu mewah. Entah siapa yang meminta ia dirawat di ruangan VVIP ini. “Nanti saat suster datang, aku akan meminta untuk pindah kamar. Aku tak akan sanggup membayar biayanya,” pikir Maya.
          Suara pintu yang dibuka membuyarkan semua pikirannya saat itu. Dengan antusias ia melihat ke arah pintu yang pelan terbuka. “Mungkinkah Sano?” pikirnya penuh harap pada sesosok tubuh yang perlahan masuk.
          Dadanya berdesir hebat.***

          Masumi berjalan pelan mendekati tempat tidur Maya. Menatap gadis yang kini juga tengah memandangnya dengan rupa heran.
          “Kau sudah bangun…” sapa Masumi pelan. Sejak Maya tersadar, dan dokter mengatakan kondisinya cukup baik, Masumi memutuskan untuk pulang sebentar hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Lalu terburu-buru kembali ke rumah sakit. Pekerjaannya di Daito dia percayakan kepada Mizuki, yang akhirnya dengan sukarela bolak-balik ke rumah sakit saat ada dokumen-dokumen penting yang harus diurus Masumi.
          “Apa… yang kau lakukan di sini?” Maya menanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan sesaat setelah dia tersadar kemarin.
          Masumi tersenyum. Ia sudah sampai di samping tempat tidur Maya kini. Menatap wajah Maya dengan hati yang berdetak pedih. Wajah yang biasanya merona merah itu kini nampak pias. Begitu juga bibirnya.
          Sekuat tenaga Masumi menahan tangis yang begitu menyesakkan dada.
          “Aku merindukanmu,” bisik Masumi. “Satu-satunya obat jika hati sedang rindu pastinya harus bertemu dengan orang yang dirindukan bukan?” Masumi tersenyum manis.
          Maya tidak membalas senyum itu. Keningnya masih berkerut heran membuat Masumi bertanya.
          “Kenapa, mungil? Apa aku salah? Apa kau tidak merindukanku?”
          “Tentu saja salah!” sergah Maya cepat. “Kau seharusnya bersama istrimu sekarang, bukankah kau…”
          Kalimat Maya terputus karena tiba-tiba saja, Masumi merunduk dan memeluknya erat. Kepala laki-laki itu menyusup di leher Maya, sehingga Maya dapat merasakan hembusan nafas Masumi yang hangat di sana.
          “ Ma..su..mi?”
          “Kau satu-satunya yang aku inginkan untuk menjadi istriku, Maya. Hanya kau..” Maya mendengar Masumi berbisik pelan.
          “Tapi Masumi, bagaimana dengan pernikahanmu dengan nona Shiori?”
          Masumi mengangkat kepalanya dari leher Maya. Hati Maya kembali berdesir saat dilihatnya mata Masumi basah.
          “Kurasa Shiori tidak sudi lagi menikah dengan laki-laki yang nyaris gila,” senyumnya miris. Maya kembali mengerutkan kening.
          “Apa maksudmu?”
          “Maya..” Masumi membelai pipi Maya dengan lembut. “Saat kau terpaksa  menikahi wanita yang tidak kau cintai dan menahan kerinduan yang teramat sangat, yang mungkin tak akan pernah terobati seumur hidup, lalu kau melihat orang yang kau cintai tersungkur pingsan dihadapanmu, dan dihadapkan pada kenyataan bahwa kemungkinan besar orang itu akan meninggalkanmu selamanya,  Kau pikir apa yang akan terjadi padaku? Bahkan sang Jenderal Besar saja menjadi sangat ketakutan sehingga berinisiatif untuk membatalkan pernikahanku.”
          “Apa.. yang terjadi denganmu?” kening Maya masih berkerut tak mengerti.
          Masumi menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum manis.
          “Hanya kegilaan sesaat karena sangat takut kau tinggalkan..”
          Deg.. Maya merasa jantungnya berdetak kuat mendengar perkataan Masumi. Pelan perempuan itu mencoba mengurai pelukan Masumi.
          “Masumi… kau pasti sudah tahu penyakitku,” bisiknya dengan suara bergetar.
          “Kau akan baik-baik saja, mungil,” senyum Masumi.
          Maya menggeleng. “ Tidak, kau harus tahu kalau..”
          “Kau tidak akan pergi kemana-mana!” sergah Masumi, terdengar yakin. 50 persennya adalah untuk meyakinkan dirinya sendiri. Masumi menegakkan tubuhnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur Maya. “Kau akan sembuh, Maya. Akan kupastikan hal itu.”
          “ Masumi, ku harap aku bisa seyakin itu…”
          “Maya,” Masumi menggenggam jemari Maya lembut. “Kau harus percaya, mungil. Kau punya banyak kesempatan untuk sembuh. Dokter bilang kondisimu cukup stabil untuk menjalani operasi pencangkokan dan kakakmu, Sano,  dia donor yang memiliki kecocokan yang tinggi denganmu. Jadi, kau…akan…sembuh. “
          Maya menemukan senyum yang begitu menenangkan di bibir Masumi.
          “Percayalah akan hal itu, Mungil..”
          Maya membalas senyuman Masumi, lalu perlahan mengangguk. Entah mengapa, keyakinan Masumi mulai menulari hatinya. Pertama kalinya dalam dua bulan ini, Maya merasa bahwa dirinya akan sembuh.***

          Maya menatap taman bunga yang indah di luar jendela kamar. Meskipun berada di lantai 5, area ruang VVIP dikelilingi taman bunga membuat suasana terasa begitu menenangkan. Akhirnya Maya tahu, Masumi lah yang menginginkan dia dirawat di kamar semewah ini untuk kenyamanannya.
Kondisi Maya semakin membaik. Kini Masumi bisa sedikit meluangkan waktunya untuk menengok kantornya di Daito. Maya mendengar dari Mizuki, bahwa selama ia tak sadarkan diri, Masumi tidak sedetikpun meninggalkan rumah sakit, sampai-sampai Mizuki harus bolak-balik untuk menyerahkan beberapa dokumen penting.
Maya tersenyum. Meskipun Masumi pernah terpaksa hampir menikah dengan Shiori, namun tak sedetikpun Maya ragu akan cinta laki-laki itu kepadanya. Penderitaan selama dua bulan ini lebih dikarenakan karena penyakitnya, dan kenyataan bahwa ia akan meninggalkan lelaki yang teramat dicintainya itu untuk selamanya.  Hatinya begitu menderita membayangkan akan seperti apa Masumi setelah kematiannya nanti.

Deg!
Kematiannya…
Saat bersama Masumi tadi, ia merasa optimisme merasuki jiwanya dengan begitu besar. Tapi setelah laki-laki itu pergi, keraguan kembali menghampiri.  Ia tahu penyakit ini bisa berakibat sangat fatal. Terlebih ia tidak segera melakukan pengobatan yang semestinya. Sano memang sudah siap menjadi donor, tapi itu tidak menjamin dirinya akan sembuh.  Meski pun mungkin operasinya  berhasil,  tetap saja penyakit ini akan terus membayangi hidupnya.
Masumi laki-laki yang baik. Ia berhak mendapatkan wanita yang sehat, yang bisa mendampinginya seumur hidup.
Maya merasakan hatinya berdenyut sakit. 

Kedatangan Sano membuat Maya sedikit bisa mengalihkan perhatiannya siang itu.  Air mata menetes haru saat melihat Sano, satu-satunya keluarga yang tersisa,
“Mengapa.. kau menangis?” tanya Sano heran.
“Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu…… kakak.”
Hati Sano berdesir lembut. Suara dan pandangan Maya saat memanggilnya kakak terdengar begitu tulus. Ada perasaan senang dengan cara  Maya memanggilnya itu.
“ Maaf, kita harus bertemu dalam keadaan seperti ini,” bisik Maya lagi.
Sano tersenyum.
“Kau tak perlu minta maaf,” ujarnya pelan.
Dilihatnya Maya menatapnya dalam, membuat Sano merasa jenggah dan salah tingkah.
“Apa kau benar-benar mirip dengan ayah?” Maya tiba-tiba bertanya.
“Eh?”
“Ibuku pernah mengatakan bahwa kau mirip dengan ayah. Aku  tidak pernah ingat bagaimana rupa ayah, karena beliau meninggal saat aku masih sangat kecil.”
Sano termangu. “Kau benar-benar tidak ingat?”
Maya menggeleng pelan. Dilihatnya Sano membuka kalung berliontin yang dipakainya, dan membuka liontinnya. Disodorkannya benda itu ke hadapan Maya. Ada foto seorang laki-laki di sana, berdampingan dengan foto seorang bayi kecil imut. Kedua foto kecil itu nampak usang dimakan usia.
“Ayah memberikannya padaku saat aku akan pindah ke Korea,” jelas Sano.
Maya merasakan matanya memanas. Wajah laki-laki di foto itu memang sangat mirip dengan Sano.
“Bayi di sampingnya…… itu kamu.”
Maya terperangah. “Benarkah?”
“Mungkin karena ayah sadar, aku kemungkinan besar tidak akan kembali ke Jepang, maka ayah memberikan liontin ini padaku. Beliau ingin aku selalu mengingat kalian.”
Maya manatap foto ayahnya untuk beberapa lama, kemudian menutup liontin dan menyerahkannya kembali ke tangan Sano.
“Bolehkah… aku… memelukmu?” tanya gadis itu ragu. Sano terkejut.
“Maaf jika permintaanku terdengar tidak sopan. Tapi… selama ini aku hanya punya ibu, aku tidak pernah tahu..bagaimana rasanya punya seorang ayah, atau kakak laki-laki, jadi…” harapan  Maya menciut saat melihat ekspresi Sano. “Tak apa jika .. keberatan. Aku tidak akan…”
Sano bergerak maju. Sedetik kemudian gadis itu sudah berada dalam pelukannya. Air mata kembali membasahi wajah Maya. Lengan gadis itu terulur, balas memeluk tubuh kakaknya.
“Jadi rasanya begini…” bisik Maya haru. “begitu..hangat..”
Sano menahan air mata yang mengancam turun saat didengarnya Maya  berbisik dalam pelukannya. “Terima kasih… kakak.”***

Maya sedang menatap liontin yang diberikan Sano kepadanya saat Masumi masuk. Laki-laki itu nampak segar dalam balutan bajunya yang santai.
“Apa itu?” Masumi bertanya seraya duduk di sisi Maya dengan punggung bersender di kepala tempat tidur. Lengannya dengan santai merangkul bahu gadis yang masih asyik menatap foto dalam liontin.
“Foto ayahku,” jawab Maya, memperlihatkan benda itu kepada Masumi. “Kakak yang memberikannya padaku.”
“Sangat mirip dengan Sano,” komentar Masumi. Maya mengangguk setuju. “Terus, siapa bayi lucu ini?” tanya Masumi lagi.
“Itu aku,” senyum Maya. Masumi meraih liontin itu untuk melihatnya lebih dekat.
“Benarkah?” Masumi memperhatikan foto itu lekat-lekat, lalu menoleh untuk memerhatikan wajah Maya. “Wah, waktu bayi ternyata kau selucu ini..”
Maya tersenyum riang.
“Hmm… anak perempuan kita nanti pasti akan selucu ini,” Masumi bergumam. Senyum Maya seketika membeku. Gumaman Masumi, meski pelan, namun baginya seperti pukulan yang keras menghujam hati.
“Masumi..”
“Ah, aku lupa!” Masumi mengacuhkan ekspresi sedih Maya yang sebenarnya dia sadari. Laki-laki itu merogoh saku jaketmyanya, mengeluarkan sebuah kotak berudru biru tua dan membukanya di hadapan Maya.
Sebuah kalung, berangkaikan kata I Love You, Maya.
Hadiah paling sederhana yang pernah diterimanya dari Masumi, namun kali ini, pesan yang ada dalam kalung itu membuat Maya ingin menangis, antara bahagia dan sedih.
Lengan Maya bergetar saat mengeluarkan kalung itu dari kotaknya.
“Kau suka?” tanya Masumi lembut. Maya mengangguk.
“Sangat..” bisiknya penuh haru. Masumi mengambil kalung itu untuk mengalungkannya di leher Maya.
“Aku harap, dengan memakai kalung ini kau akan selalu ingat, kalau aku sangat mencintaimu,” bisik Masumi. Dikecupnya pundak Maya lembut begitu selesai mengaitkan kalung tersebut.  Maya terisak.
“Masumi…” Maya menengadah menatap wajah tampan Masumi yang kini sudah menggeser duduknya hingga mereka berhadapan.
“Hmm...?”
“Kumohoon.. jangan terlalu baik padaku. Jangan membuatku semakin sulit untuk… meninggalkanmu nanti.”
Masumi mengusap pipi pucat Maya yang sudah basah oleh air mata.
“Aku sudah mengatakannya, bukan? Kau tidak akan pergi kemana-mana. Satu-satunya tempatmu pergi adalah ke sisiku..”
“Masumii…”
Protes Maya terputus oleh ciuman laki-laki itu di bibirnya. Masumi menciumnya dengan sangat lembut, membuat Maya tak berdaya dengan kelembutan dan kehangatan yang ditawarkan. Mata gadis itu terpejam, meski air mata terus mengalir. Mengikuti nalurinya, Maya mulai membalas ciuman Masumi.
Sementara itu Sano pelan menutup pintu kamar perawatan adiknya. Sejak tadi dia berada di sana, memperhatikan sepasang manusia yang berada di dalamnya dengan perasaan campur aduk.
“Sano!” sebuah suara di belakangnya membuatnya terlonjak kaget. Cepat dia memutar tubuh. Hwang Mi Rae berdiri di sana dengan senyuman lebar.
“Mi Rae!” Sano menyapa dengan terkejut. “Bagaimana kau tahu aku di sini?”
“Aku membututimu..” jawab Mi Rae santai.
“Apa?”
“Salahmu sendiri, mengapa cuma nge drop aku di apartemen lantas pergi begitu saja. Jadi aku membuntutimu. Yaa.. meski akhirnya aku kehilangan jejakmu karena taksi yang aku tumpangi leletnya minta ampun, tapi aku ingat kau pernah menyebutkan nama rumah sakit tempat adikmu di rawat, maka aku langsung ke sini. Payahnya, resepsionis di bawah sana tidak mengijinkan aku untuk masuk. Ukh, rupanya adikmu orang penting, ya, sampai-sampai tidak sembarang orang bisa jenguk.”
“Lalu kenapa kau bisa ada di sini?”
Mi Rae tersenyum bangga. “Itu karena aku pintar,” jawabnya dengan tertawa.
“Tapi ngomong-ngomong,” Mi Rae menghentikan tawanya. “Mengapa tadi kau tidak jadi masuk? Ayolah, aku ingin bertemu dengan adikmu,” tanpa menunggu persetujuan Sano, Mi Rae bergerak maju dan meraih handle  pintu dengan cepat. Sebelum sempat Sano melarang, gadis itu sudah masuk, mengejutkan kedua orang di dalam yang nampak tengah berbincang.
Maya dan Masumi menatap gadis yang baru masuk tadi dengan heran. Tubuh Maya segera bergerak, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Masumi. Namun laki-laki itu tetap diam. Lengannya tetap kokoh melingkari perut Maya dan membuat gadis itu tetap bersender nyaman di dadanya.
Sano masuk belakangan dengan rupa tegang. Sementara Mi Rae menatap dua orang yang duduk di tempat tidur dengan mulut ternganga. Perhatiannya lebih kepada Masumi, yang juga tengah menatapnya dengan pandangan keheranan.
“Masumi…” desis Mi Rae pelan.
Maya  mengerutkan kening, mendongak menatap Masumi.
“Kau mengenalnya?” bisiknya bertanya. Masumi tidak segera menjawab. Dia menatap wajah gadis asing itu lekat-lekat, mencoba menggali ingatannya. Lalu setelah gagal merecall memorinya akan gadis yang seperti mengenalnya itu, Masumi menggeleng. “Tidak, aku tidak mengenalnya,” jawabnya,  juga dalam bisikan.
Sano maju dengan ragu, mengenalkan Mi Rae.
“Maya.. Pak Masumi, kenalkan.. ini… Hwang Mi Rae. Dia.. temanku dari Korea.”
Maya tersenyum ramah.
“Rupanya teman kakak,” ujarnya. “Maaf tidak bisa  menyambutmu dengan layak, tapi… Selamat datang di Jepang.”
Mi Rae tidak menggubris sambutan Maya. Hatinya mendadak berdenyut penuh kemarahan. Masumi… dia tidak mengenalku. Mengapa?! Harusnya kau mengenalku!! Mengingatku!!!
Pandangan Mi Rae perlahan beralih ke wajah Maya. Entah dari mana kebencian yang begitu besar terhadap perempuan yang kini tengah dalam pelukan Masumi itu tiba-tiba menguasai hatinya. Beberapa saat mereka berpandangan, sebelum akhirnya Mi Rae berlari keluar, diikuti Sano yang meminta maaf terlebih dahulu, meninggalkan  Maya dan Masumi yang semakin keheranan melihat tingkah keduanya.
Sesaat tadi, Maya melihat bara kebencian di mata Hwang Mi Rae.
“Kau kenapa?” tanya Masumi saat merasakan tubuh Maya yang gemetar.
“Mata gadis tadi… apa kau melihatnya, Masumi? Kenapa aku merasa dia sepertinya… membenciku?”***

                     ***** bersambung ke part 3 *****

6 komentar:

  1. wah wah.... sano ad dendam kusumat dng masumi..?? omg... mayaaa cepat sadar... naice story.. like it..thx :)

    BalasHapus
  2. wah makin penasaran apa rencana sano ya...... sista yg satu ini rupanya juga suka membiat kita penasaran nih..... Kayaknya Eisuke mau ngebatalin pertunangan sama kel Takamiya nih wuiiihhh seru...

    ayo dong di lanjut lagi....

    BalasHapus
  3. Mi Rae mau ketemu ama siapa ya? jgn" masumi lagi......ayo maya cepat sembuh....thanks sist Avira....suka ff nya...

    BalasHapus
  4. waaahhhh....! kayaknya mi rae ada hubungannya sama masumi ya :( urusan shiory baru aja kelar, eh udah datang lagi yg namanya mi rae. kapan amannya maya-masumi? hehe...thanks for the story

    BalasHapus
  5. Ada hubungan apa ya.......Mi Rae sama masumi..kokk MH gak inget sama dia! Penasaaarraaaannn....

    BalasHapus
  6. baru dpt fftk yg ini,
    bagus banget stiry nya sist...
    thank you

    BalasHapus