Senin, 08 Agustus 2011

Please Be With Me (Part 3)

 



 
“Mi Rae, Buka pintunya!”
          Sano mengetuk pintu apartemen yang dikunci Mi Rae dari dalam. Tak ada jawaban. Sudah lebih dari lima belas menit ia berdiri di depan pintu itu. Setelah gagal menyusul Mi Rae yang tiba-tiba berlari keluar dari kamar Maya, Sano segera menyetop taksi menuju apartemennya. Tadinya Sano berfikir, Mi Rae belum sampai karena meski sudah berkali-kali memijit bel,  Mi Rae tak kunjung membuka pintu. Namun bunyi gaduh yang terdengar beberapa saat kemudian membuatnya mengurungkan niat untuk menelpon gadis itu.
Mi Rae ada di dalam.
          “Mi Rae, kumohon. Buka pintunya!” Sano kembali mengetuk. Ia masih harus menunggu beberapa lama sampai akhirnya terdengar bunyi kunci dibuka.
          Mi Rae menyambut dengan wajah yang basah oleh air mata.
          Gadis itu hanya bahkan tidak memandang wajah Sano, melengos lalu berbalik kembali menuju ruang keluarga.
          Sano menghela nafas. Setelah membuka sepatu, ia mengikuti langkah gadis itu. Namun, langkah itu terhenti tiba-tiba, saat dilihatnya kondisi ruangan yang dimasukinya.
          Ruangan itu sangat berantakan. penuh dengan robekan dan cabikan beberapa benda. Surat-surat, gaun, boneka, kotak perhiasan yang isinya berhamburan, kalung yang maniknya tercerai berai, album foto…
          Sano memungut robekan album foto yang tergeletak di dekat kakinya. Ada gambar Masumi di sana. Lalu matanya memandangi benda-benda malang yang menjadi sasaran amukan Mi Rae, berserakan di sekeliling ruangan.
          Ia membungkuk, memungut badan boneka yang sudah kehilangan kepala dan sebelah tangan. “Kenapa kau merusaknya?” tanya Sano lembut. Mi Rae nampak cemberut, dengan wajah menahan marah, duduk di atas sofa seraya memeluk kaki. “Bukankah semua itu barang-barang yang sangat berharga bagimu?”
          “Dia mengkhianatiku..” terdengan gumaman Mi Rae. “Kenapa dia pura-pura tidak mengenalku seperti itu?” dengan sengit mata indah gadis itu melirik Sano sesaat, lantas kembali menatap lurus. Ekspresinya terlihat sangat sedih.
          “Setelah semua perhatiannya selama ini, mengirimiku surat dan begitu banyak hadiah indah, mengapa sekarang dia seperti itu?! Begitu acuh, dan bahkan mengatakan dia tidak mengenal aku!” teriak Mi Rae kemudian. Sano mendekat. Duduk di sisi gadis. Diraihnya lengan Mi Rae yang melingkari kaki, lalu menggenggam jemarinya hangat.
          “Mi Rae, ada yang harus aku katakan padamu,” ujarnya hati-hati.
          “Masumiku tidak mungkin seperti itu!” gerakan Mi Rae yang tiba-tiba berdiri membuat Sano terkejut. “Masumiku sangat baik, dia tidak mungkin mengkhianatiku. Itu.. itu pasti karena gadis itu! Gadis itu pasti sudah menggodanya, ya.. pasti, pasti gadis itu yang membuat Masumiku berbuat seperti itu. Gadis itu.. gadis itu..” Mi Rae berjalan pendek bolak-balik di depan sofa seraya terus berceracau, lalu berhenti di depan Sano. Memandang Sano dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah dingin. “Adikmu, Sano. Adikmu yang menjadi penyebabnya.”
          Sano merasakan udara di ruangan itu menjadi dingin. Ia sudah dapat memprediksikan reaksi Mi Rae . Tapi entah mengapa, Sano sedikit takut melihatnya.      Mi Rae masih menatapnya dengan pandangan sedingin es.
          “Kau tahu, Sano? Aku tidak peduli dia adikmu. Aku tidak peduli dia sedang sakit parah sekalipun. Tidak akan aku biarkan adikmu merebut Masumi dariku. Akan kulakukan apapun, untuk mengambil kembali Masumiku!”
          Sano tertegun. Dari ekspresi dan suara Mi Rae, ia tahu, gadis di depannya ini tidak main-main dengan perkataannya. Seketika Sano menyadari, ia sudah salah telah membawa Mi Rae ke Jepang.***

          “Apa kau tidak bekerja?” Maya melirik Masumi yang tengah sibuk mengupas apel. Jam di dinding masih menunjuk ke angka dua.
          “Aku sudah menyuruh Mizuki mengirimkan beberapa dokumen yang belum selesai aku periksa ke sini,” sahut Masumi tenang. Mendengar itu Maya menghela nafas pelan.
          “Masumi, aku tidak mau kau mengabaikan pekerjaan hanya demi menungguiku di sini,” ujarnya kemudian.
          “Siapa bilang aku mengabaikan pekerjaan? Aku hanya memindahkan kantorku sementara ke sini. Lagi pula, saat ini perusahaan sedang tenang, tidak banyak yang memerlukan penangananku langsung.”
          “Tetap saja, apa kata orang-orang nanti. Terlebih kalau ayahmu tahu…”
          “Ayahku sudah tahu.”
          “Eh?”
          “Dia tidak keberatan aku sering menungguimu di sini,” senyum Masumi. Maya menatap Masumi tak percaya.
          “Kenapa kau menatapku begitu?” tanya Masumi, masih dalam senyumnya.
          “Maaf, tapi aku sedikit tidak percaya ayahmu tidak keberatan kalau kau terus menerus ada disini. Dari apa yang aku dengar, ayahmu…… sangat…… kejam.”
          “Kau pikir aku berbohong?” Masumi menyimpan apel yang baru dikupasnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya, membuat gadis itu memundurkan kepalanya agar tidak bersentuhan dengan Masumi. Namun bantal di belakangnya menghalangi.
          “Bukan begitu.. tapi, rasanya aneh saja,” sergah Maya gugup. Ada rona merah menghiasi pipi pucatnya saat menyadari betapa dekatnya wajah Masumi dengan wajahnya sekarang. Dilihatnya Masumi tersenyum. Lalu tanpa peringatan..
          Cup!!
          Bibir laki-laki itu menyentuh bibirnya sekilas sebelum kembali menegakkan tubuh di kursinya. Maya melotot. Namun pipinya kian memerah.
          “Jangankan kau, Mungil. Aku pun masih tak percaya laki-laki tua itu mengijinkanku untuk terus menemanimu di sini,” ujar Masumi santai, seolah tidak menyadari efek perbuatannya tadi terhadap gadis mungil di depannya.  Maya masih mencoba meredakan debaran jantungnya akibat kecupan Masumi. Dalam hatinya gadis itu mengeluh. Meski sudah beberapa kali mereka berciuman, namun tetap saja hal itu membuat jantungnya berlompatan tak karuan.
          Masumi menyodorkan sepotong apel. Maya meraih dan menggigitnya pelan-pelan. Untuk beberapa saat mereka terdiam.  Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan Maya, namun tak satupun sanggup untuk dia tanyakan. Saat mendengar bahwa pernikahan Masumi dibatalkan, ia sangat senang sekaligus penasaran, karena Masumi tidak menjelaskan alasan sebenarnya dengan gamblang. Maya tidak berani menanyakannya lebih lanjut. Entahlah, pikirnya. Mungkin kondisinya sekarang membuatnya tidak berani mendengar cerita apapun yang mungkin akan membuatnya sedih dan terluka.
Maya sangat tahu, betapa dalam Shiori mencintai lelaki di depannya ini. Sebenarnya saat ia mengetahui tentang penyakitnya, ada sedikit perasaan tenang di hatinya mengingat setidaknya Masumi akan menikah dengan perempuan yang mencintainya, yang pasti akan melakukan apapun untuk membahagiakan laki-laki itu. Hal yang tidak mungkin dia lakukan sekarang meski cintanya pada Masumi sama besarnya dengan yang dimiliki Shiori. Bahkan mungkin jauh lebih besar.
Tiba-tiba Maya tersentak. Lamunannya buyar seketika. Dia merasakan sakit yang tiba-tiba menyerang sekujur tubuhnya. Semakin lama sakit itu semakin berdenyut. Tanpa sadar gadis itu merintih. Apel yang dipegangnya terlepas.
Masumi melompat kaget saat dilihatnya tiba-tiba tubuh Maya gemetar dengan wajah memucat. Terlebih saat didengarnya Maya merintih kesakitan. Refleks dia memeluk tubuh mungil gadis itu.
“Maya, sayang, kau kenapa?!” serunya panik.
“Ma..su..mi… sakit sekali..,” Maya merintih dalam pelukannya. Tubuh gadis itu terasa mengejang. “Tubuhku… sakit sekali…”
Masumi mencoba untuk tenang meski hatinya menjadi cemas luar biasa. Sebelah tangannya terulur untuk memijit tombol darurat, sementara tangannya yang lain memeluk tubuh Maya erat.
“Bertahanlah, sayang. Sebentar lagi dokter akan datang,” bisiknya menenangkan. Tubuh Maya kian bergetar dalam pelukannya. Dari remasan jemari Maya di kemejanya, Masumi dapat merasakan kalau gadis mungilnya ini tengah sangat kesakitan.
Masumi kian erat memeluk Maya. Air mata melompat ke pipinya saat ia menyurukkan kepalanya ke kepala Maya, mengecupinya dengan lembut, mencoba untuk menenangkan gadis itu. Rasanya waktu berjalan sangat lambat, Masumi hampir saja berteriak gusar saat disadarinya dokter belum juga muncul.
 Saat akhirnya dokter datang untuk memeriksa, Masumi hanya bisa berdiri resah di dekat pintu.  Beberapa  orang perawat nampak sibuk melaksanakan apa yang diperintahkan dokter. Memberi oksigen, memeriksa tekanan darah, mengatur slang infusan dan menyuntikan sesuatu ke dalamnya.
 Beberapa saat masih dilihatnya Maya menggeliat menahan sakit, sampai akhirnya tubuhnya nampak melemas, lalu  terdiam.
“Kami sudah memberinya obat penahan sakit. Nona Kitajima tertidur sekarang. Jangan biarkan dia kelelahan dan banyak berfikir,” terang dokter singkat.  Masumi mengangguk.
Setelah dokter dan perawat keluar kamar, ia berjalan mendekat kembali ke sisi tempat tidur. Wajah Maya yang pucat nampak tenang kini. Nafasnya turun naik  dengan teratur.
Pikirannya berkecamuk, tak tenang. Sangat menakutkan melihat Maya kesakitan.  Namun hal itu kembali menyadarkan Masumi bahwa penyakit Maya bukanlah penyakit kecil. Gadis itu tengah sekarat, sekarat! Hidupnya mungkin tak akan lama lagi. Meski sekuat tenaga Masumi mencoba meyakinkan diri bahwa Maya akan sembuh, kenyataan bahwa Maya hanya memiliki kesempatan 50 % untuk bisa bertahan tak bisa ia elakkan.
Geraham lelaki itu mengetat.
Akan sangat membahagiakan jika Maya memang bisa sembuh setelah pencangkokan nanti. Tapi bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau ternyata tubuhnya tidak bisa menerima donor dari Sano? Apa yang akan dilakukannya jika itu terjadi?
Dada Masumi bergetar kian resah. Ya.. apa yang akan kulakukan kalau Maya sampai pergi?  Bisik hatinya.
Kembali dipandanginya wajah Maya. Tak terbayangkan bagaimana masa depannya tanpa gadis itu.
Setetes air mata jatuh di kening Maya saat Masumi merunduk menciumnya. Kemudian laki-laki itu kembali menegakkan badan dan  beranjak ke luar kamar.***

Dokter sudah menetapkan tanggal operasi untuk Maya.  4 hari lagi. Lebih lambat dari rencana sebelumnya karena mempertimbangkan siapnya kondisi Maya yang baru tersadar dari koma. Sano sudah menyetujui tanggal itu. Sebagai donor, dokter pun sudah mengingatkan agar Sano juga menjaga kesehatannya. ***

Siang itu cuaca agak mendung.
Sano memperbaiki letak selimut Maya yang tengah tertidur lelap setelah meminum obat. Perlahan namun pasti, rasa sayang terhadap adik semata wayangnya ini muncul. Semakin lama semakin kuat. Sikap Maya yang polos dan manja sudah meluluhkan hatinya. Terlebih Maya selalu menatapnya dengan sinar mata penuh kasih sayang dan ketulusan, dua hal yang jarang dia temukan, kecuali dari ayah dan ibunya dulu.
Sepagian tadi, Maya ngotot untuk mengambil beberapa foto mereka berdua. Gadis itu sempat mengungkapkan keinginannya untuk berfoto di luar, namun dengan tegas Sano menolaknya.
“Sebentar sajaa..” rengek Maya. Bibirnya mengerucut saat dilihatnya Sano menggeleng.
“Aku tidak mau mengambil resiko kau masuk angin di luar sana. Cuaca agak dingin pagi ini.”
“Kakak, sekali ini saja,” Maya masih mencoba membujuk.
“Tidak!” geleng Sano tegas.
Alhasil, setelah gagal membujuk kakaknya, mereka hanya berfoto di ruangan itu. Beberapa kali meminta perawat  yang kebetulan datang memeriksa infusan Maya untuk mengambil foto mereka.
 Maya kelelahan setelah mereka berfoto. Mata gadis itu mulai kuyu.
“Tidurlah,” bisik Sano lembut. Maya menggeleng. Matanya melirik jam. Masih pukul setengah sebelas.
“Masumi pasti sedang sibuk di kantornya,” ujar Sano seolah mengerti pikiran adiknya. Dilihatnya Maya tersipu.
“Siapa bilang aku menunggunya,” sungut Maya, mencoba menutupi rasa malunya. Sano tersenyum, mengacak rambut adiknya dengan sayang.
“Wajahmu itu tidak bisa berbohong, nona,” senyumnya. Mau tak mau Maya ikut tersenyum. Ia memang merindukan Masumi. Sejak siang kemarin, lelaki itu tidak datang menjenguknya. Sebuah SMS dari Masumi datang kemudian, menyebutkan bahwa laki-laki itu tidak bisa datang karena ada hal penting yang tidak bisa ditinggalkannya di kantor.
          “Dia pasti akan segera datang begitu urusannya selesai,” ujar Sano, mencoba menenangkan adiknya. Maya kembali tersipu.
          “Sok tahu..” sungutnya. Sano tergelak.
          “Sudah kubilang, wajahmu itu seperti buku terbuka. Orang-orang akan segera tahu apa yang kau pikirkan begitu melihat wajahmu.”
          Sano tersenyum mengingat ekspresi Maya tadi. Tanpa Maya mengatakannya pun ia sudah tahu, bahwa adiknya itu mencintai Masumi Hayami sedalam laki-laki itu mencintai Maya.
          Perlahan lengan Sano terulur untuk menyentuh pipi lembut adiknya.
          “Maafkan aku karena harus mempertaruhkan cintamu untuk tujuanku,” bisiknya pelan. “Aku tahu, ini mungkin akan menyakitimu. Tapi aku sudah terlanjur memulainya, Maya. Aku tak mungkin mundur lagi, karena... aku juga… sudah  mempertaruhkan cintaku di sini.”
          Sano tersenyum getir. Dibelainya pipi Maya dengan rasa sayang yang tiba-tiba meluap.
          Getaran handphone di saku menghentikan gerakannya. Sebuah SMS dari nomor yang tidak dia kenal.

Bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Jika kau ada waktu, jam setengah dua nanti aku tunggu di restoran Chez Tomo . Hal yang ingin kubicarakan ini sangat penting, jadi semoga kau mau meluangkan waktu.
Masumi Hayami
         
          Diliriknya jam.  Pukul 12. 55.
          Entah apa yang akan dibicarakan Masumi dengannya. Namun apapun itu cukup membuat Sano penasaran.
          Masumi nampak sudah duduk menunggu saat Sano tiba. Laki-laki itu berdiri untuk mempersilahkan Sano duduk.
          “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Sano langsung. Masumi tersenyum tipis.
          “Setidaknya kita memesan makanan dulu,” ujarnya.
          Sano meraih daftar menu yang disodorkan. Lalu dengan cepat memilih makanan yang langsung ditulis pelayan restoran.
          Begitu pelayan itu pergi, Sano kembali menatap Masumi.
          “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
          Masumi balas menatap Sano. Beberapa saat mencoba mengira-ngira reaksi apa yang akan diperlihatkan lelaki itu saat ia mengatakan maksudnya nanti.
          Ia menghela nafas dalam sebelum akhirnya mengungkapkan maksudnya.
          “Aku… akan menikahi adikmu, secepatnya.”
          Masumi mengatakannya dengan tenang, namun sanggup membuat Sano hampir melompat dari kursinya.
          “Kau bercanda,” desisnya.
          “Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?” sahut Masumi. Sano melihat ada kesungguhan di mata lelaki itu.
          “Tapi adikku sedang sekarat!”
          “Aku mencintai Maya, tak peduli apapun kondisinya.”
          “Kurasa Maya juga akan menolakmu.”
          “Akan kucari cara agar Maya bisa menerimaku.”
          Sano terdiam. Keteguhan yang terpancar dari sikap Masumi membuatnya tak tahu lagi harus berkata apa. Pikirannya melayang pada Hwang Mi Rae. Jika melihat Masumi tengah memeluk Maya saja sudah membuat Mi Rae demikian histeris, apalagi kalau dia tahu rencana Masumi untuk menikahi Maya. Ah, apa yang harus aku lakukan? Batinnya resah.
          Melihat Sano yang hanya terdiam, Masumi pun berucap tenang.
          “Aku mengatakan ini padamu bukan untuk meminta ijinmu, tapi karena aku menghargaimu sebagai kakak dari wanita yang aku cintai. Jadi meskipun kau tidak menyetujui aku menikahi adikmu, aku tidak peduli. Aku akan tetap menikahi Maya.”
“Maaf, Pak Masumi,” Sano menghela nafas, lalu menatap Masumi ragu-ragu.
“Aku tahu anda sangat mencintai adikku. Tapi sebelumnya, aku ingin kau jujur padaku tentang satu hal.”
“Apa itu?”
“Ini tentang Hwang Mi Rae.”
Lengan Masumi yang terulur hendak meraih cangkir kopinya terhenti.
Meski sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu, namun ketika mendengar Sano menyebutkannya, terbayang di benaknya sesosok gadis yang pernah   menyita perhatiannya beberapa waktu yang lalu.
“Hwang Mi Rae.. Kau.. mengenalnya?” tanya Masumi hati-hati.
Mendengar itu Sano tertawa.
“Ingatan anda rupanya buruk sekali, Pak Masumi,” ujarnya kemudian. “Sebenarnya, aku dan anda pernah bertemu di Korea, di saat yang sama ketika anda mengenal Mi Rae.”
Kening Masumi berkerut. Mencoba menggali ingatannya tentang laki-laki di depannya itu. Memang, pernah ada seorang pemuda saat itu.
“Apakah kau……” desisnya ragu. “Tapi nama keluargamu?”
Sano tersenyum.
“Akhirnya anda ingat. Di Korea, aku memakai marga keluarga ibuku,” jawab Sano. “Apa kabar, Hyung?” lanjutnya kemudian. (Hyung=sebutan untuk kakak laki-laki)
Masumi terperangah. Tak pernah menyangka sama sekali kalau laki-laki di depannya itu pernah ia kenal sebelumnya.
“Dulu kau masih SMA, Sano. Kau banyak berubah,” komentarnya kemudian. “Maaf kalau aku tidak langsung mengenalimu.”
“Tidak apa, aku paham. Toh dulu pun sebenarnya kita tidak begitu akrab.”
“Lalu apa kabar dengan Mi Rae sekarang?”
“Jadi anda masih mengingatnya?”
“Tentu saja,” senyum Masumi. “Apa yang kami alami di sana bukan sesuatu yang mudah dilupakan.”
“Dia pun tak pernah melupakan  Anda,” sahut Sano. “Dia bahkan menyusulku kemari untuk menemui anda.”
“Eh?”
“Gadis yang kemarin lari dari ruangan Maya, anda ingat? Dia adalah Hwang Mi Rae.”
Kini Masumi benar-benar terkejut.  
Laki-laki itu terdiam, pikirannya melayang pada sosok gadis cantik yang nampak begitu terpukul saat melihatnya bersama Maya. Kini dia mulai paham, mengapa gadis itu sampai berlari keluar kamar dengan marah.
Masumi menarik nafas berat. Sadar, bahwa sekarang dia harus menuntaskan sesuatu yang pernah dimulainya dulu.
“Saya tidak akan menghalangi anda, jika memang anda sudah bertekad untuk menikahi Maya. Tapi, sebelumnya, bolehkah saya meminta sesuatu?” tanya Sano, memecah keheningan yang beberapa saat melingkupi mereka.
“Apa itu?”
“Temuilah Mi Rae. Dia sangat mengharapkan untuk bertemu dengan anda.”
Masumi tertegun.
“Tapii…”
“Gadis itu sangat membutuhkan anda!”
Masumi masih terdiam.
“Kumohon, Hyung. Aku yakin kau sangat mengerti maksudku”
Masumi nampak menimbang-nimbang sebentar. Sebelum akhirnya mengangguk menyanggupi.
Sano tersenyum lega. ***
Hwang Mi Rae tengah mencoba menjahit boneka kain yang kemarin sempat ia cabik akibat kemarahannya. Dibelainya kepala boneka yang nampak usang itu dengan sayang.
“Maafkan aku, Masumi. Aku tidak berniat menyakitimu,” bisiknya pelan.
Tangannya dengan cekatan merapikan jahitannya.
Saat ia masih asyik dengan kegiatannya itu, bunyi bel membuatnya dengan terpaksa menyimpan bonekanya dan beranjak menuju pintu.
“Sano.. mengapa kau harus membunyikan bel. Bukankah kau membawa kun….ci…” kata terakhirnya berubah menjadi bisikan saat menyadari bahwa sosok yang ada di balik pintu bukanlah Sano.
“Masumi…” desisnya tak percaya.
Dilihatnya Masumi tersenyum lembut.
“Apa kabar, Mi Rae?”
“Kau… mengingatku?”
“Tentu saja aku mengingatmu,” sahut Masumi. “Maaf, jika kemarin aku sempat tidak mengenalimu. Kau sudah berubah banyak dari yang aku ingat dulu.”
Mi Rae tersenyum. Perasaan bahagia tiba-tiba saja menyerbu hatinya. Matanya berkaca-kaca saat menatap wajah tampan yang begitu ia rindukan selama bertahun-tahun, kini ada dihadapannya.
“Aku senang kau mengingatku,” bisiknya. “Sungguh, aku sangat senang.”
Sedetik kemudian, gadis itu sudah menghambur ke dalam pelukan Masumi.***


          Maya melamun menatap rangkaian mawar ungu yang mulai layu di sebelah tempat tidurnya. Sudah dua hari Masumi tidak datang menjenguk. Meski dirinya mencoba untuk tidak memikirkan ketidakhadiran laki-laki itu, namun jauh di lubuk hati, Maya mengakui  kalau dia sangat rindu. Seharian tadi gadis itu terus menunggu dan akhirnya harus kecewa saat Masumi tidak juga datang sampai hari sudah menjelang malam.
          “Bahkan mengirim pesan pun tidak,” bisiknya sedih.
Kesedihannya semakin langkap karena Sano juga tak memunculkan lagi wajahnya sejak pergi dengan terburu-buru tadi siang.
Tanpa dapat dicegah, air mata menetes turun. Semakin lama semakin deras. Meski berkali-kali lengannya mencoba menghapus setiap tetes yang keluar, tapi sepertinya hati dan matanya kompak untuk melawan logikanya.
Maya tersedu-sedu saat memutuskan untuk pasrah mengikuti perasaannya. Dia sudah tak peduli lagi meski nanti mungkin saja ada seseorang yang masuk dan melihatnya menangis. Saat ini hatinya terasa begitu sedih,  begitu nelangsa.
Seorang perawat yang masuk terkejut. Bergegas ia mendekat, menyimpan nampan obat yang dibawanya.
“Nona? Kenapa? Ada apa?” tanyanya khawatir. “Apa ada yang sakit?”
Maya hanya menggeleng. Tetap menangis.
“Nona, tenanglah,” dengan lembut perawat berusia empat puluh tahunan itu memeluknya. Mendapat perlakuan seperti itu, tangis Maya kian menjadi. Air matanya semakin deras mengucur.
“Nona, ingat, Nona jangan terlalu capek dan jangan banyak berfikir yang tidak-tidak. 4 hari lagi Nona akan segera di operasi jadi kondisi Nona harus bagus.”
Kepala Maya menggeleng berulang-ulang dalam pelukan sang perawat.
Aku tidak mau operasi, aku tidak mau! Sergah batinnya. Aku hanya ingin Masumi dan kakakku di sini sekarang!!  Batinnya berteriak.
Maya terus menangis.
Untuk beberapa lama sang perawat membiarkan gadis itu tersuruk di dadanya. Sampai kemudian, lengannya pelan mendorong tubuh Maya menjauh darinya.
“Sudah cukup menangisnya,” senyum perempuan itu. Lengannya mendekap wajah Maya dan menghapusnya air mata  gadis itu dengan kedua jempolnya.
“Saatnya minum obat,” diraihnya nampan yang tadi di simpan di meja kecil dekat tempat tidur pasien. Namun gerakannya terhenti saat disadarinya  ada nampan lain yang diletakkan di sana.
Makan malam Maya.
“Nona belum makan?”
“Aku tidak lapar,” geleng Maya pelan.
Perawat itu tersenyum.
“Sedikit saja. Biar obatnya nanti bisa bekerja baik.”
Maya tetap menggeleng.
“Ehmm.. pudingnya saja, ya?”
“Tidak, terima kasih, “ tolak Maya lagi. perawat itu nampak serba salah. Ingin membujuk, tapi wajah gadis mungil di depannya terlihat begitu lelah dan sedih.  Namun jika tidak dipaksa…
“Aku ingin tidur,” bisik Maya.
Sang perawat menghela nafas. Tapi tak urung dibantunya Maya berbaring dan menyelimutinya. Lalu diam-diam mendesah saat melihat  Maya memejamkan mata, meski dari sudutnya  masih mengalir tetesan air sebening kristal.
Dipandanginya wajah gadis itu.
“Begini manis, begini berbakat, tapi nasibnya sangat malang,” perawat itu membatin seraya memasukkan lengan Maya ke dalam selimut.  Sedetik kemudian perempuan itu terperanjat kaget.***

          Menjelang tengah malam, Masumi memasuki kamar Maya. Duduk di kursi samping tempat tidur, meraih tangan Maya dan menggenggamnya. Saat merasakan suhu jemari Maya, refleks lengannya menyentuh dahi gadis itu.
Keduanya terasa berkeringat dan panas.***

          “Menangis?” Masumi mengerutkan kening.
          “Sepertinya sangat sedih,” angguk dokter. “Perawat Kim yang bertugas di kamar Nona Maya mengatakan kalau makan malam pun tidak disentuhnya. Menolak untuk minum obat, sampai kemudian kami terpaksa memasukkannya lewat infusan.”
          Dokter itu menatap wajah lali-laki di depannya terlihat sangat khawatir.
          “Pak Masumi,” ujar dokter itu kemudian. “Dalam kondisi seperti ini, seringkali perasaan pasien menjadi sangat sensitif. Maka dari itu, saya mohon, keluarga atau teman selalu siap untuk mendukung dan menemani. Jangan sampai pasien merasa kesepian,”jelasnya lagi.
          “Maya… kesepian?”
          Dokter mengangguk.
          “Seharian tadi seperti sedang menanti seseorang. Dan.. emhh..  sepertinya, nona Maya menunggu anda.”
          Masumi tercekat.
Dengan gontai ia kembali ke kamar
Dipandanginya wajah Maya yang masih terlelap.
          “Maaf, sayang… maaf,” bisiknya seraya membelai wajah itu. Dengan hati-hati, takut membangunkan kekasihnya, Masumi menunduk untuk mencium kening Maya.
Teringat saat sesorean tadi ia bersama Mi Rae, gerahamnya mengetat. Hatinya pun resah.
          “Apa yang harus aku lakukan?” batinnya bimbang.
          Dia tidak ingin meninggalkan Maya sendirian. Terlebih saat Maya sedang sakit seperti sekarang. Tapi Mi Rae pun tak bisa diabaikan. Gadis itu membutuhkannya. Bertahun yang lalu, dirinya pergi begitu saja, tanpa pamit, tanpa pesan. Salahnya jika sekarang Mi Rae datang, meminta untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya dulu.
          Suara erangan Maya membuat pikirannya buyar. Wajah mungil itu nampak mengernyit, seperti kesakitan. Jemari Maya yang sejak tadi digenggamnya terasa menegang.
          “Maya?” bisiknya cemas.
          Gadis itu masih mengerang, badannya bergerak gelisah. Namun matanya tetap terpejam rapat. Masumi menunggu, berharap gadis itu hanya mengigau.
Tapi. bukannya mereda, erangannya malah semakin keras. Tubuhnya pun kini melengkung. Jemarinya mencengkram lengan Masumi kuat.
          Dengan cepat Masumi menekan tombol darurat.
          Seraya memperhatikan dokter yang sedang menangani Maya, pikiran Masumi terus berputar. Ini sudah kedua kalinya dalam tiga hari ini melihat keadaan Maya yang kesakitan. Rasa takut itu kembali muncul. Terasa semakin mencekam, menyiksa batinnya kuat.
          “Ini terlalu menakutkan,” bisiknya berulang-ulang. “Ini sangat menakutkan….menyakitkan,” tanpa sadar Masumi mengeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir semua pikiran buruk yang berhamburan datang di benaknya.
Masumi masih memandangi semua adegan di depannya, ketika akhirnya ia mengambil suatu keputusan.
Jemarinya mengepal erat.
          “Ini yang terbaik,” bisiknya. Lalu perlahan ia  berjalan ke pintu. Dilihatnya sekali lagi dokter yang masih sibuk memeriksa Maya sebelum akhirnya dengan hati-hati laki-laki itu menutup pintu dan keluar.***

***Bersambung ke Part 4***

3 komentar:

  1. hadeeehhh...ni cewe mana lagi???masa' masumi jd playboy seyyy!!! mdh2 nie cewe (mi ramen,,ehhh mi rae) gak "gila " ky shiori...

    BalasHapus
  2. masumi, plz deh, selesaikan saja dg mi rae

    BalasHapus
  3. betul Mi rae adalah masa lalu kaleeee, maya itu masa kini dan yg akan datang... kapan mau maju klo selalu mikirin yg lama2 .... awas....nanti malah gak dapet 22 nya loh...

    BalasHapus