Sabtu, 13 Agustus 2011

Humming





Setting:
          Setelah percobaan bunuh diri Shiory,  kondisi kesehatan Shiory yang memang sudah kurang baik, semakin parah. Masumi yang merasa sangat bersalah memutuskan untuk menemani Shiory berobat ke luar negeri untuk waktu yang belum dipastikan.


          Maya menangis tersedu. Di depannya teronggok sebuah buket mawar ungu. 

Maaf, mungkin ini mawar ungu terakhir yang dapat aku kirimkan untukmu. Aku harus pergi ke sebuah tempat yang jauh untuk waktu yang lama. Tapi Kuharap kau tahu, dimanapun aku  berada, aku akan selalu menjadi pengagum paling setiamu.
Sampai jumpa…

          Tangan mungil yang menggenggam kartu yang terlihat mahal itu gemetar hebat.
          “Selamat tinggal…” isaknya penuh kepedihan. Dia tahu, kemungkinan besar dia tidak akan bisa bertemu lagi dengan pengagum setia yang selama ini menjadi kekuatannya. Kalau pun nanti bertemu, kondisinya akan sangat berbeda.
Seminggu yang lalu, dirinya hanya bisa menatap kepergian Masumi, di balik keramaian bandara. Shiory, meskipun masih terlihat lemah, nampak bahagia di sampingnya. Perempuan itu tersenyum, melambaikan tangan kepada orang yang mengantar dan wartawan yang berkerumun sebelum tubuh keduanya menghilang di pintu keberangkatan.
          “Selamat tinggal Mawar Ungu.. Selamat tinggal Pak Masumi…Selamat tinggal…… cintaku…”
          Malam itu, untuk kedua kali dalam minggu ini, Maya menghabiskan malamnya dengan menangis, meratapi cintanya yang terlanjur hancur sebelum sempat berkembang. ***
       Tiga tahun kemudian
       “Selamat pagi, Pak Masumi,” Mizuki membungkuk hormat kepada lelaki yang baru masuk.  
       “Selamat pagi, Mizuki. Senang bisa bertemu denganmu lagi.” Masumi tersenyum.
          “Saya juga senang bapak akhirnya kembali ke Jepang.”
          Masumi kembali hanya tersenyum kecil.
          “Tolong buatkan aku kopi, Mizuki,” ujarnya sebelum masuk ke dalam ruangan kerjanya. Mizuki mengangguk.
          Di dalam, Masumi menghempaskan tubuhnya di kursi. Lalu memutarnya untuk memandang suasana kota pagi itu. Ini hari kedua ia kembali ke Jepang. Tak banyak yang  berubah. Semuanya hampir sama.
          “Semuanya sama……,” desah laki-laki itu.
Untuk beberapa saat dirinya tenggelam dalam lamunan,  sampai kemudian suara Mizuki membuatnya kembali tersadar.
          “Silahkan kopinya, Pak Masumi.”***

          Sepagian Masumi sibuk mempelajari perkembangan Daito selama 3 tahun ini. Mau tidak mau, sekarang ia harus bekerja keras untuk memahami semua proyek yang ditangani orang lain selama dirinya tidak ada.
          Menjelang makan siang, handphonenya berdering.
          “Ya, Shiory?’
          [ Apa kau sedang sibuk?]
          “Sedikit, aku sedang mempelajari beberapa dokumen.”
          [Kau ingat kan, hari ini kita janji untuk makan siang bersama?]
          “Tentu saja aku ingat.”
          [ Baguslah, aku tunggu. Jangan sampai terlambat!]
          “Oke.”
          Masumi menutup telepon. Melirik pergelangan tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi.
Kembali ia menekuri beberapa dokumen. Mendadak satu dokumen menarik perhatian.
Humming,” bisiknya, membaca cover dokumen itu. Penasaran, Masumi segera membacanya.***
          Sepanjang perjalanannya untuk makan siang bersama Shiory, Masumi masih memikirkan dokumen Humming  yang tadi dibacanya. Humming, seorang penyanyi, jika itu bisa dibilang penyanyi, yang identitasnya masih sangat misterius. Muncul di internet dua tahun yang lalu dan langsung menarik banyak perhatian di dunia maya meskipun nyanyiannya hanya berupa senandung tanpa syair. Dalam waktu dua minggu saja, lagu-lagunya menjadi lagu paling dicari dan diminati di seluruh Jepang. Daito sudah mencoba menghubungi dan menawarkan kerjasama dengan Humming, namun tak pernah ada respon. Meski sudah dilakukan penyelidikan untuk mengetahui jati diri yang sebenarnya, namun sampai detik ini tidak ada yang berhasil.
          Masumi sudah mendengar beberapa lagunya dari CD dilampirkan dalam dokumen. Bahkan kini ia meminta sopirnya untuk memutarkan kembali di mobil. Musik yang lembut, menghanyutkan. Senandung yang mengiringinya, membuat Masumi merasakan kepedihan, kesepian, dan penderitaan. Di lagu lain, senandungnya menciptakan perasaan rindu yang luar biasa, membuat orang yang mendengarnya merasakan debaran jantung seolah tengah menatap orang yang paling dicintai tanpa bisa mengungkapkan rasa cinta itu. Kemudian lagu dengan musik riang, seriang gadis remaja yang baru menemukan cinta.
            Lagu-lagu yang luar biasa…
          Masumi menatap ke luar jendela mobil yang tengah berhenti karena lampu merah. Tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada sesosok tubuh mungil, dengan rambut hitam kelam sebahu, melangkah riang menyebrangi jalan.     Meskipun topi rajutan menutupi sebagian besar rambut, dan mata yang dihiasi bingkai, namun wajah itu masih tetap dikenalinya dengan baik.
          Mayaaa…… desisnya tanpa sadar.
          Beberapa saat pandangan matanya mengikuti langkah gadis itu, yang kini nampak menuntun seekor anjing pudel putih lucu, sampai ke sisi jalan yang satunya.
          Saat tubuh Maya menghilang, berbaur  dengan para  pejalan kaki, barulah Masumi mendapatkan kesadarannya kembali.
          Secepat kilat ia membuka pintu, berlari ke arah dimana gadis itu menghilang. Meninggalkan sopirnya yang terpaku kebingungan melihat tingkah sang majikan.***

          “Shiro! Jangan main jauh-jauh!” seru Maya pada anjing putih yang kini asyik berlari mengitari sebuah rumpun bunga. Anjing itu menyalak riang. Maya tersenyum, lalu duduk di bangku kayu yang tak jauh dari tempat piaraannya bermain. Orang yang ditunggunya belum datang. Dirinya memang datang lebih cepat dari yang dijanjikan.
          Santai, diambilnya sebuah buku dari tas, dan mulai asyik membaca.
          Sebuah timpukan ringan di kepala membuatnya mengangkat wajah dengan cepat.
          “Lama menunggu?” senyuman menawan menyambut. Maya menggeleng.
          “Baru saja sampai,” jawabnya,  mengusap ujung kepala yang barusan ditimpuk. “Gak ada cara yang lebih manis untuk menyapa, ya?’ gerutunya kemudian. Masao, laki-laki yang tadi menyapanya tergelak.
          “Habisnya kepalamu yang lucu itu terlihat sangat menggemaskan bagiku,” kekehnya kemudian. Maya merengut.
          “Jangan mentang-mentang kau punya andil dalam kelangsungan hidup kepalaku ini, kau jadi semena-mena.”
          Masao kembali tergelak.
          “Ha..ha.. tentu tidak dong, Cantik. Kalau ada apa-apa, aku juga yang repot,” disodorkannya bungkusan yang tadi dipakainya untuk menimpuk kepala Maya. Maya menerimanya. Perlahan, keriangan laki-laki di depannya menular. Senyuman manis mulai terukir di bibir Maya.
Sebuah salakan ringan di kaki mereka mengalihkan perhatiannya keduanya. Shiro nampak mengangkat kedua kaki depan dan menumpukannya di kaki Masao.
          “Hai, ganteng. Kau rindu papa, ya?” seru Masao senang dan langsung meraih anjing kecil itu ke dalam pelukan. Shiro menyalak riang.
          “Aku berniat menitipkan Shiro di Pet Care dulu selama aku latihan nanti,” terang Maya. Lengannya terulur membelai kepala Shiro.
          “Maaf, ya. Aku jadi merepotkanmu,” sahut Masao. Laki-laki itu kemudian duduk di samping Maya. “Sebentar lagi rumahku selesai di renovasi, kok. Begitu selesai, aku ambil Shiro kembali.”
          “Hei, tak apa. Aku senang ada Shiro yang menemaniku,” sahut Maya seraya membuka bungkusan yang tadi diberi Masao. Mengambil dua bungkus burger. Satu disodorkannya kepada Masao sementara dirinya sendiri membuka burger yang lainnya.
          Keduanya langsung asyik menikmati burger mereka. Memperhatikan Shiro yang kembali asyik melompat-lompat di rumpun bunga.
          “Latihanmu lancar?” tanya Masao, memecahkan keheningan.
          “Sangat lancar,” angguk Maya dengan mulut penuh. “Ah, kau mengingatkanku sesuatu!” serunya kemudian. Diletakkan burger yang baru setengah dimakannya di tempat kosong disampingnya, kemudian merogoh tas untuk  mengeluarkan benda yang dimaksud. Tiket pertunjukkan.
          “Kupilihkah kursi yang paling bagus untukmu,” senyumnya.
          “Waah, terimakasih!” sambut Masao. “Aku tak sabar untuk melihat pertunjukkanmu lagi. Pasti spektakuler seperti biasanya”
          “Mudah-mudahan,” angguk Maya.
          “Dengan namamu sebagai pemain utama, itu sudah jaminan, Maya.”
          Maya tertawa pelan.
          “Kau harus datang, ya,” Maya menatap wajah Masao.
          “Tentu saja aku akan datang. Jangan khawatir,” diacaknya poni Maya dengan sayang, membuat wajah gadis di depannya semakin cerah.
          “Jangan bohong! Awas kalau tidak datang,” ancam Maya. Masao tertawa.
          “Siapa sih yang berani membohongi Bidadari Merah? Bisa-bisa aku dikutuk nanti.”
          Maya ikut tertawa mendengarnya.
          Begitu burgernya habis dilahap, dan meminum sebotol air mineral, gadis itu kemudian berdiri.
          “Aku harus segera ke tempat latihan. Kau pun harus cepat balik ke rumah sakit, kan?”
          Masao mengangguk seraya berdiri. Dipanggilnya Shiro yang langsung berlari menghampiri. Maya membungkuk, memasangkan tali di leher Shiro.
          “Pamit dulu sama papamu sana!” perintah Maya pada anjing kecilnya. Shiro segera melompat ke dalam pelukan Masao. Setelah mendapatkan ciuman dan belaian, anjing lucu itu kembali melompat turun dan duduk di sisi Maya.
          Baik Maya maupun Masao tertawa geli melihat kelucuan Shiro..
          “Sudah, ya. Bye..!” lambai Maya seraya berbalik dan melangkah menjauhi Masao yang masih tersenyum menatap kepergian gadis mungil itu. Begitu tubuh Maya keluar dari pintu taman, laki-laki itu pun berbalik ke arah yang berlainan dan melangkah riang untuk kembali ke tempat kerjanya.
          Tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan mereka dari balik kerimbunan pohon. Menarik diri sedalam mungkin ke bayangan pohon saat sosok Maya melintas.
          Beberapa saat kemudian, Masumi melangkah keluar dari persembunyiannya. Berjalan gontai ke arah mobil yang sejak tadi menunggu dengan sopir yang penasaran setengah mati saat melihat majikannya bersembunyi di balik pohon seperti pencuri.
          Sang sopir mulai menjalankan mobilnya begitu Masumi masuk. Diliriknya spion. Keheranan kembali memuncak saat dilihatnya wajah tampan majikannya mengernyit seperti kesakitan.
          “Tuan, anda baik-baik saja?”
          Beberapa saat tak ada jawaban.
          “Tuan?”
          “Aku baik-baik saja.”
Akhirnya didengarnya majikannya menjawab pelan. Diliriknya spion sekali lagi. Hati laki-laki itu berdesir saat dilihatnya sorot mata majikannya terlihat seperti orang yang sedang menahan penderitaan yang berat. ***

          “Kau belum mendapatkan informasi apapun tentang Humming?” Masumi menatap Hijiri dengan pandangan setengah tak percaya.
          “Maaf, Pak Masumi. Saya sudah berusaha menyewa hacker paling handal untuk melacak lokasi lagu-lagu itu di upload. Beberapa kali sebenarnya kami sudah berhasil chat dengannya, tapi ditengah-tengah proses pelacakan, dia bisa mengecoh dan membelokkannya, sampai-sampai kami mendekteksi tempat yang salah beberapa kali. Ternyata Humming ini jenius dalam hal komputer dan internet, sehingga sulit bagi kami untuk melacak IP address nya.”
          Masumi menghela nafas berat.
          “Sebenarnya siapa dia? Mengapa sangat tidak mau identitasnya diketahui orang banyak? Padahal Daito sudah menawarkan kontrak yang dengan bayaran yang sangat bagus untuknya.”
          “Saya pikir, Humming membuat lagu-lagunya bukan untuk alasan komersial.”
          Masumi terdiam, membenarkan ucapan pegawai bayangannya itu.
          “Ya, sudah. Terus usahakan untuk menemukannya. Dia prospek yang bagus untuk Daito. Aku percaya padamu.”
          Hijiri membungkuk hormat saat Masumi berlalu menuju mobilnya.
          Di dalam mobil, Masumi memutar kembali CD Hummingnya. Heavenly Love,  judul lagu yang kini tengah dia dengar membawa ingatannya pada sosok mungil yang dia lihat kemarin siang. Mengembalikan perasaan cinta yang terpendam bertahun-tahun, membawa kerinduan yang membuncah hampir tak tertahankan, menorehkan kepedihan di hatinya yang rapuh untuk kesekian kalinya.
          Jalanan di depannya tiba-tiba dipenuhi kabut.
          Putus asa, laki-laki itu meminggirkan mobilnya. Bersender ke jok, merasakan hatinya mendadak sakit dan menarik nafas dalam, mencoba meredakan dada yang sesak.
Setetes air mata melompat dari sudut matanya yang berkerut resah.
          Setelah beberapa lama, Masumi kembali menegakkan badan. Menyusut sudut matanya dan mulai menjalankan mobil ke keramaian.***

          Pelayan mengantarnya ke meja yang dia maksud. Seorang laki-laki tampan berwajah campuran, berdiri menyambut.
          “Maaf, apa kau sudah lama menunggu?” Masumi tersenyum penuh permohonan maaf.
          “Tidak,” geleng Daniel Fukuyama, laki-laki yang sudah menunggunya itu. “Duduklah.”
          Masumi mengangguk, lalu duduk di kursi tepat dihadapan Daniel. Daniel adalah dokter yang menangani pengobatan Shiory selama di Jerman. Mereka tanpa sadar sudah menjalin pertemanan yang cukup erat.
          “Akhirnya kau ke Jepang juga,” senyum Masumi. Daniel tertawa.
          “Tentu saja. Aku tak ingin berlama-lama menunda rencanaku. Lagi pula, kebetulan seorang teman akrabku saat kuliah dulu akan menikah minggu depan. Jadi sekalian aku akan menghadiri acara pernikahannya.”
          “Oya? Kebetulan sekali.”
          “Begitulah. Sebenarnya aku juga mengundangnya malam ini. Kau tak keberatan, kan?”
          “Tentu saja tidak,” geleng Masumi. Seorang laki-laki tampan mendekati meja mereka. Daniel berteriak girang saat melihatnya.
          “Masao!!” serunya seraya berdiri dan langsung memeluk yang baru datang. Keduanya nampak tertawa bahagia.
          “Wah, lama tak bertemu kau nampak semakin gagah, Masao,” komentar Daniel. “Sepertinya rencana pernikahanmu membawa aura positif untuk daya tarikmu.”
          “Tentu saja,” sahut Masao dengan nada bangga. “Kau akan merasakan sendiri saat kau akan menikah nanti.”
          “Hmmm, Kurasa hal itu akan kualami tak lama lagi,” angguk Daniel penuh keyakinan.
          “Oya, syukurlah. Jangan lupa untuk mengirimkan undanganmu.”
          Keduanya kembali tertawa. Sampai akhirnya Daniel teringat Masumi yang sejak tadi hanya memandangi keduanya dalam diam.
          “Ah, Masumi, kenalkan, ini Masao Hikaru, teman kuliah yang aku ceritakan tadi.”
          Masumi berdiri, dan dadanya langsung berdesir saat dapat melihat wajah Masao dengan jelas. Terbayang kembali wajah laki-laki yang bersama Maya di taman.
Gerahamnya mengetat, menahan perasaan cemburu yang tiba-tiba menyerbu.
          Masumi mengangguk hormat. “Apa kabar, saya Masumi Hayami.”
          Mereka kembali duduk.
          “Aku penasaran, gadis mana yang berhasil menaklukan Masao Hikaru yang terkenal cool ini,” ujar Daniel begitu mereka selesai memesan makanan. “Bahkan dulu, gadis tercantik di kampus pun ia tolak. Sampai-sampai aku berfikir apakah sahabatku ini normal atau tidak.”
          “Dia sangat istimewa,” sahut Masao dengan mata menerawang. Mata itu memancarkan rasa cinta yang jelas terlihat. “Jika kau memikirkan calon istriku seorang gadis yang cantiknya seperti model, kau salah besar. Dia sangat… manis. Ketulusan dan kebaikannya yang membuatku jatuh cinta. Ah.. kau membuatku jadi semakin merindukannya, Daniel. Nanti akan kubawa dia untuk berkenalan denganmu,” tawa Masao kemudian.
          Masumi mendengarkan dengan seksama. Deskripsi Masao mengingatkannya pada Maya. Tanpa sadar tangannya mengepal. Mungkinkah…? bisik hatinya resah.
          “Hayami san, kalau kau tidak keberatan, saya akan sangat senang jika anda bisa meluangkan waktu untuk hadir di pernikahan saya minggu depan,” Masao yang tiba-tiba menoleh padanya membuat Masumi sedikit terperanjat.
          “Ah.. tentu saja,” kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. Dilihatnya Masao tersenyum senang.
Sedetik berikutnya Masumi menyesal. Bagaimana kalau apa yang dipikirannya ternyata benar? Kalau ternyata, calon istri laki-laki itu adalah… Maya?
Keresahan itu terus dibawanya sampai ia kembali ke kantornya yang sepi. Semua pegawai sudah lama pulang. Banyak dokumen yang masih harus dia pelajari sehingga Masumi memutuskan untuk lembur malam ini. Namun keresahan hati membuatnya tak bisa berkonsentrasi.
Senandung lembut My Paradise dari Humming  membuat laki-laki itu perlahan memejamkan mata dan memasuki dunia mimpi. Dunia satu-satunya dimana ia bisa menikmati senyum dan tawa Maya, yang tertuju hanya untuknya.***
Kelangsungan proyek Humming belum ada titik terang sedikitpun. Masumi semakin penasaran. Terlebih saat Hijiri yang biasanya mampu memecahkan misteri serumit apapun, kini nampak tak berdaya menghadapi Humming.
Laki-laki itu terpekur saat Hijiri selesai melaporkan hasil penyelidikannya.
“Maaf kalau hal ini tidak sesuai dengan harapan anda, Pak Masumi.”
“Kau tidak usah minta maaf. Kupikir Humming ini memang orang yang sangat cerdik, sampai-sampai investigator hebat sepertimu kewalahan.”
“Anda terlalu memuji,” ujar Hijiri rendah hati.
Masumi terdiam. Sebenarnya ada yang sangat ingin ditanyakannya kepada Hijiri. Dipandanginya bawahannya itu dengan ragu.
“Apa ada hal lain yang ingin anda tanyakan?”

“Hijiri.. apa… apa yang kau tahu tentang… gadis itu?”
Diam-diam Hijiri tersenyum. Pertanyaan yang dinantinya semenjak Masumi kembali dari Jerman seminggu yang lalu akhirnya keluar juga.
“Saya sudah mempersiapkan detilnya, Pak Masumi,” dikeluarkannya sebuah flash disc mungil ke depan Masumi. “Silahkan anda lihat.”***

Tubuh Masumi bergetar hebat melihat satu demi satu foto yang ada di dalam file yang diberikan Hijiri.
Tidak pernah disangkanya gadis mungilnya itu mengalami hal  yang sangat berat sepeninggalnya.
Sebuah berita dari potongan koran dibacanya berulang-ulang.

Maya Kitajima, aktris dan pewaris Bidadari Merah mengalami kecelakaan lalu lintas di jalur X saat hendak pergi ke lokasi syuting. Kondisinya saat ini dikabarkan koma.

          Tanggal pemberitaan: 6 bulan setelah kepergiannya.

          Foto-foto Maya di rumah sakit membuat Masumi ingin menjerit sekuatnya. Gadis itu terbaring dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya.

          Setelah sebulan lebih koma, Sang Bidadari Merah akhirnya Tersadar
 
          Headline koran bulan berikutnya.

          “ Nona Maya Kitajima menjalani proses penyembuhan dan terapi selama satu tahun. Setelah kondisinya cukup pulih, Nona Kitajima kembali ke dunia akting dan teater, dan kembali meraih banyak prestasi yang membanggakan,” jelas Hijiri.
          Masumi membaca daftar film dan pertunjukkan drama yang dibintangi Maya. Matanya membulat saat dibacanya headline berikutnya yang munsul di file.

          Dokter Masao Hikaru,  spesialis bedah yang menangani Maya Kitajima selama terbaring koma dan proses pemulihan, dikabarkan mulai dekat dengan pemeran Bidadari Merah itu.

          Ada foto Maya dan Masao di beberapa acara. 

          Masumi mengepalkan lengannya.
          “Nona Rei Aoki memutuskan pergi ke Amerika untuk memulai karirnya di sana sebulan setelah Nona Maya tersadar. Saat ini Nona Maya sebenarnya masih menjalankan pengobatan, karena efek benturan saat kecelakaan ternyata cukup parah. Beberapa kali Nona Maya tiba-tiba tak sadarkan diri dan sering mengalami serangan sakit kepala. Dokter Hikaru masih menangani pengobatannya. Kabar terakhir mengatakan bahwa kondisi nona Maya sudah jauh lebih baik sekarang,” Hijiri menjelaskan panjang lebar.
          Masumi menyenderkan tubuhnya. Kepedihan terasa mencabik hatinya menjadi serpihan kecil. Dipejamkan matanya dengan putus asa.
          Hijiri menatap bosnya prihatin.
          “Pak Masumi,” panggilnya pelan. Namun urung meneruskan maksudnya saat melihat sesuatu mengalir keluar dari sudut mata yang tertutup itu. Kembali Hijiri mendesah sedih.
     Suara deringan mengagetkan keduanya.
Dengan malas Masumi mengangkat telepon.  Mendengarkan beberapa saat lalu kembali menutup benda itu.
          “Shiory akan datang, “ ujarnya pelan. Hijiri  mengangguk paham.
          “Saya mengerti. Kalau begitu saya pamit.”
          Masumi memandang punggung bawahan setianya itu sampai menghilang di balik pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dan Hijiri.
          Suara pintu yang diketuk membuat Masumi segera menghapus bekas air matanya dan menutup laptop. Beberapa saat kemudian, Shiory melangkah masuk dengan senyum manis di bibir.***

          Malam sudah larut. Jam tangannya menunjukkan pukul 11 lebih.
Masumi termangu di depan sebuah rumah mungil berpagar kayu. Bagian dalam rumah nampak gelap, seolah memberitahu bahwa penghuninya tidak ada di sana.
          Masumi membaca sekali lagi alamat di papan nama gerbang. Sama seperti alamat yang diberikan Hijiri padanya. Alamat rumah Maya.

          Saat kondisinya pulih, Nona Maya memutuskan untuk membeli sebuah rumah di pinggiran kota Tokyo. Di sebuah tempat yang cukup tinggi dan sejuk dan tinggal sendirian di sana,  terang Hijiri tadi siang. 

          Masumi berbalik dan kembali masuk ke mobilnya tanpa berniat pergi. Dia menunggu. Sampai akhirnya sebuah mobil silver berhenti tepat di depan gerbang.
Meski lampu cukup temaram, Masumi dapat melihat dengan jelas siapa yang ada di dalamnya.
Maya dan Masao…
          Maya keluar dengan membawa beberapa tas kertas. Bicara beberapa kata sebelum akhirnya melambaikan tangan mengantar mobil Masao yang mulai bergerak pergi.
          Masumi masih terpaku di mobil. Dilihatnya lampu di sebuah ruangan di lantai dua menyala. Sosok mungil Maya terbias dari balik tirai tipis. Tak lama kemudian, nampak pintu balkon terbuka. Maya menghampiri pinggiran balkon dan berdiri memandang ke kejauhan. Rambut sebahunya yang terurai berkibar lembut ditiup angin. Wajahnya nampak tenang,  tersenyum.
          Di bawah, Masumi menahan nafas memandang sosok yang dirindukannya itu.  Senandung Humming lembut mengalun dari CD playernya. Half soul…***

          Hari ini hari pertama mereka latihan di gedung pertunjukkan Daito.
          Meskipun Maya bukanlah artis yang berada di bawah naungan manajemen Daito, namun karena hanya Daito yang memiliki gedung pertunjukkan terbaik di seluruh Jepang, maka seringkali drama yang dibintanginya dipertunjukkan di sana. Lagi pula, drama Gone with the Wind yang dibintanginya sekarang disponsori penuh oleh Daito. Dan sang sutradara, Hawajiri, menawari tempat kehormatan untuk memerankan peran utama wanita kepadanya.
          Maya melap wajahnya yang berkeringat. Setelah 4 jam berkutat dengan latihan yang keras, akhirnya sutradara cukup puas dan latihan hari ini selesai.
          Setelah membersihkan diri dan merapikan tasnya, gadis itu melangkah keluar dari gedung pertunjukkan. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 3 sore. Satu jam lagi ia harus ke butik untuk fitting baju. Masao sudah berjanji untuk menjemputnya, namun saat tiba di depan loby,  tidak dilihatnya mobil laki-laki itu.
Dirogohnya handphone dari dalam tas. Ada sebuah pesan. Dari Masao.
Aku akan agak terlambat. Mendadak harus menggantikan teman untuk operasi. Kau pergi duluan saja ke sana, mudah-mudahan aku bisa menyusul.
          Maya tersenyum. Hhh.. bahkan dua hari menjelang pernikahan, Masao masih saja disibukkan oleh pasien-pasiennya.
          Gadis itu memutuskan untuk mencari taksi. Namun sebuah suara membuat gerakan tangannya memanggil taksi membeku. Suara itu.. desis Maya.
          Pelan gadis itu berbalik.
          Hatinya berdegup kencang saat dilihatnya Masumi berdiri di depannya seraya tersenyum lembut.***

          “Maaf, Pak. Nona ini tidak jadi naik. Maaf yaa..,” Masumi membungkuk memohon maaf pada sopir taksi yang terlanjur berhenti. Mewakili Maya yang nampak masih terpana dengan kehadirannya. Sopir itu mengangguk dan kembali memacu taksinya pergi.
          Maya masih menatapnya seolah tak percaya.
          “Halo, Mungil,” senyum Masumi. Mencoba mengembalikan Maya dari keterpanaannya.  Dilihatnya kepala gadis itu bergedik pelan, dan mulai tersadar dari keterkejutannya.
          “Pak Masumi,” Maya lega akhirnya bisa menemukan kembali suaranya. “Maaf, tadi saya terkejut karena tidak menyangka… anda… sudah kembali.”
          “Ya, aku sudah kembali, Maya,” Masumi mendekat. Matanya menjelajah, mengamati seksama sosok yang didepannya. Selain rambutnya yang lebih pendek dari sebelumnya, dan ekspresi wajah yang terlihat lebih matang, selebihnya masih sama. Masih seperti Maya yang dulu, dengan sorot mata polos namun penuh semangat, pipi merona, bibir mungil yang merah segar.. semuanya masih sama.
          “Ada yang salah dengan wajah saya, Pak Masumi?” tanya Maya mulai kikuk dengan tingkah laku Bos Daito di depannya tak berhenti menatapnya tajam.
          Masumi kembali tersenyum.
“Tidak,” gelengnya. “Aku hanya mencoba mencari apa yang berubah darimu. Tapi ternyataaa, setelah tiga tahun berlalu, selain rambutmu, semuanya nampak sama. Kau tetap…… mungil.”
          Maya lansung cemberut mendengar jawabannya barusan.
          “Anda juga ternyata tidak berubah, Pak Masumi.  Masih Si Tukang Ganggu,” gerutunya. ”Anda menunggu seratus tahun pun tubuhku ya akan tetap seperti ini. Mu-ngil!’
          Masumi tergelak. Lengannya tanpa sadar terulur untuk mengacak rambut gadis itu.
          “Hei!” protes Maya seraya mundur selangkah menjauhi jemari Masumi yang membuat rambutnya berantakan. Mulut mungilnya mengerucut, lengannya bergerak membereskan bagian rambut yang terkena kejahilan tangan Masumi.
          Dada Masumi bergetar, hangat. Meski sedikit sesal menyelusup ke dalam hatinya karena tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Maya. Sentuhan tangannya di rambut Maya yang lembut tadi, mengirimkan sinyal ke benaknya, bahwa setelah ini, ia akan tersiksa karena ingin melakukannya sekali lagi, dan lagi.
          “Kau mau pulang? Aku antar,” tanpa menunggu jawaban, Masumi menggandeng lengan Maya dan menggiringnya ke arah mobil hitam tak jauh dari tempat mereka berdiri.
          “Tapi… Pak Masumi.. tunggu!” Maya mencoba menolak. Namun lelaki itu sepertinya tidak mendengar.
          “Masuklah,” ujar Masumi seraya membuka pintu penumpang. Maya tertegun. Menatap laki-laki itu beberapa saat sebelum akhirnya pasrah pada keinginannya.
          Sesaat sebelum Masumi menjalankan mobil,  didengarnya Maya memanggilnya lembut. Laki-laki itu menoleh.
          “Selamat datang kembali di Jepang.”
          Senyum di bibir mungil itu sangat manis.
          Masumi menahan nafasnya, terpana.***

          “Ah, Humming!” seru Maya pelan saat mendengar senandung dari CD yang baru diputar Masumi.
          “Kau mengenalnya?”
          Maya tertawa. “Tidak. Tapi lagu-lagunya cukup terkenal,” gelengnya. “Hmm… aku suka yang ini, My Beloved Demon..” gumamnya kemudian.
          “Kau bahkan hafal judulnya,” goda Masumi. Maya tersipu.
          “Saya menyukai lagu-lagu Humming,” akunya kemudian. “ Saat mendengarnya, saya merasakan berbagai perasaan yang bergejolak.  Lagu ini contohnya. Meski tidak ada syair sama sekali, saya bisa merasakan cinta dan kerinduan yang dalam, yang seolah ingin disampaikan Humming pada laki-laki pujaannya.”
          “Tapi kenapa judulnya My Beloved Demon, ya? Apa kekasihnya laki-laki yang jahat dan tidak berperasaan?”
          “Entahlah,” geleng Maya. “Bisa saja seperti itu. Kalaupun toh benar, tapi Humming terdengar sangat mencintainya. Sampai-sampai menciptakan lagu seindah ini meskipun mungkin laki-laki itu sudah menyakitinya, atau meninggalkannya.”
          Masumi menoleh, mendapati Maya tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
          “Kau percaya ada cinta yang setulus itu?” tanya Masumi. Pandangannya kembali beralih pada jalanan di depannya.
          “Ya, Pak Masumi. Saya percaya,” didengarnya Maya menjawab pelan.***

          Masumi menghentikan mobilnya di sebuah sudut pusat perbelanjaan terkenal di Tokyo.
“Di sini?” Masumi menatap papan nama butik  terkenal di samping kanannya.
          “Ya.. saya harus mencoba baju di sini untuk suatu acara lusa.”
          Pernikahanmu… batin Masumi,  merasakan hatinya tertusuk-tusuk.
          Maya keheranan melihat wajah Masumi yang tiba-tiba murung.
          “Anda, baik-baik saja?”
          Masumi mengangguk. Mengalihkan pandangannya ke jalan di depannya dan siap untuk mengemudi lagi.
          “Aku baik-baik saja. Kau turunlah,” jawabnya dingin. Maya mengerutkan keningnya heran, namun tidak membantah. Dipandanginya lagi wajah Masumi yang kini bersorot dingin sebelum akhirnya membuka pintu.
          “Terima kasih sudah mengantarku.”
          Masumi tidak bereaksi. Sedetik setelah Maya menutup pintu,  mobil  segera melesat pergi, meninggalkan Maya yang hanya bisa terpaku melihat semua itu.
          Di kantornya yang gelap, Masumi melarikan kepedihan hatinya dalam bergelas-gelas alkohol.***

          Gereja nampak sudah ramai oleh tamu undangan. Masumi mengamati suasana gereja yang kini banyak dihiasi bunga lily merah dan putih. Laki-laki itu duduk dengan keheranan yang melanda dirinya, mengapa ia memutuskan untuk datang ke pernikahan  ini?  Diremasnya jemarinya dengan gelisah.
          Sebagian hatinya tidak ingin melihat gadis mungil pujaannya itu menikah dengan laki-laki lain. Tapi sebagian lagi, memintanya untuk datang, sekedar mengucapkan selamat dan melepas kepergian gadis itu ke pelukan lelaki lain, menyuruhnya untuk rela, demi kebahagiaan Maya.
          Shiory yang duduk di sampingnya menyentuh lengannya lembut.
          “Kau kenapa?” tanyanya, merasakan keresahan laki-laki itu. Masumi menggeleng pelan. Daniel yang juga duduk bersama mereka ikut-ikutan memperhatikan Masumi.
          “Kau nampak pucat, Masumi. Apa kau yakin kau baik-baik saja?”
          Masumi mengangguk dan tersenyum. Mencoba meyakinkan kedua orang itu bahwa dia memang baik-baik saja.
          Dilihatnya Masao Hikaru sudah berdiri dengan gagah di depan altar. MC mengatakan bahwa pengantin wanita sudah datang. Musik pernikahan pun mulai dimainkan.
          Dada Masumi berdebar keras saat dilihatnya pintu gereja mulai terbuka. Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak, berharap untuk terakhir kali bahwa wanita yang akan muncul dari balik pintu itu adalah wanita lain, bukan Maya.
          Saat matanya dibuka, harapannya langsung buyar. Maya, dengan buket bunga lily di tangannya nampak tersenyum manis dan mulai berjalan menelusuri karpet merah menuju altar.
          Shiory segera menyadari sumber kegelisahan Masumi. Gadis menoleh dan menyadari Masumi semakin pucat di tempatnya berdiri. Lengannya bergerak untuk menggenggam jemari Masumi. Dingin dan berkeringat. Diremasnya jemari  itu lembut seolah mencoba untuk memberi kekuatan.
          Musik pernikahan masih mengalun. Maya hampir sampai di depan altar saat sosok lain muncul dari pintu.
          Masumi terbelalak tak percaya.***

          Tepuk tangan meriah menyambut pengantin baru yang baru saja keluar gereja. Keduanya tertawa dan berpelukan bahagia.        
          “Ayoo.. lempar bunganyaaa!!!” pinta sekelompok gadis yang sejak tadi menunggu. Sang pengantin wanita tertawa, lalu bersiap untuk melempar bunga.
          Teriakan gembira terdengar bersahutan saat buket bunga itu melayang di udara. Para gadis berlompatan mencoba untuk meraihnya.
          Akhirnya bunga itu jatuh di tangan seorang gadis mungil yang sejak tadi hanya senyam-senyum di belakang kerumunan itu.
          “Hyaaaaa…… Maya San!!” seru seorang gadis bergaun merah. “Kau beruntung, Padahal aku ingin sekali buket itu, biar aku dan pacarku cepat menikah!”
          Maya tertawa.
          “Buatku saja. Kau kan belum punya pacar!’ komentar itu mengundang gelak tawa yang lainnya. Maya nampak tersipu. Lalu berlari kecil ke arah kedua pengantin, merentangkan tangan dan memeluk keduanya bahagia.
          Adegan itu tak luput dari perhatian Masumi.
          “Kau lega bukan, Masumi?” suara lembut Shiory membuatnya sedikit kikuk. “Pergilah, raihlah gadis itu kembali.”
          “Shiory..”
          “Kau sudah dengan sabar menunggu dan mengantarku sampai aku bisa menemukan cinta sejatiku,’ disentuhnya lengan Daniel yang berdiri di sampingnya lembut. Menatap laki-laki itu penuh cinta sebelum kembali menatap Masumi. Mata indahnya nampak berkaca-kaca. “Karena keegoisanku itu,  kau menderita dan terpaksa meninggalkan belahan jiwamu.”
          “Kini giliranmu, Masumi. Kejarlah Maya kembali. Aku tahu, dia juga sangat mencintaimu.”
          “Bagaimana kau bisa yakin kalau dia mencintaiku?” tanya Masumi pelan. “Kau sendiri tahu, akulah yang…”
          “Maya adalah gadis yang sangat tulus dan baik hati, Masumi,” potong Shiory cepat. “Gadis yang memiliki sifat seperti itu tidak akan bisa memendam kebencian pada siapa pun, meski orang itu sudah sangat menyakitinya. Maya juga tipe gadis yang bisa melihat ketulusanmu, meski kau menyembunyikannya dalam-dalam."
“Lagi pula, kami sama-sama perempuan,” senyum  Shiory  kemudian. “Sebenarnya, aku sudah mengetahui perasaan gadis itu padamu sejak lama. Aku menyembunyikan fakta itu darimu karena itu aku begitu ketakutan, sehingga aku melakukan hal yang sangat konyol dan egois hanya untuk mencegahmu bertemu dengan Maya.”
          Masumi tertegun mendengar penjelasan Shiory. Pelan, Shiory kembali meraih lengan lelaki yang masih terpaku di depannya itu.
          “Pergilah.. jangan biarkan dia menjauh lagi darimu.”
          “Shiory benar, Masumi,” Daniel yang sejak tadi diam mendengarkan mulai menimpali. “Tiga tahun aku melihatmu seperti orang yang sedang sekarat karena merindukan gadis itu. Sekarang, setelah kau kembali dan gadis itu ada di depanmu, masih sendiri, kau malah loyo seperti ini,” meski nada suara Daniel seperti meledek, namun Masumi sama sekali tidak merasa tersinggung. “Lagi pula Masumi, kalau kau diam terus seperti ini, bisa-bisa pernikahanku dan Shiory terus diundur. Kau tahu? Shiory bersikeras tidak mau menikah dulu sebelum kau berhasil mendapatkan cintamu kembali. Kau tega, melakukan itu padaku?”
          Mau tak mau Masumi tersenyum mendengar gerutuan temannya itu. Semangat tiba-tiba muncul. Tanpa menunda lagi, laki-laki itu berjalan setengah berlari ke arah Maya yang kini sedang asyik berbincang dengan beberapa temannya. Gadis itu nampak kaget saat tiba-tiba Masumi meraih lengannya dan membawanya, tepatnya, menyeretnya berlalu dari sana.
          Daniel menggelengkan kepalanya melihat adegan itu. “Dia sama sekali tidak punya keahlian memperlakukan wanita dengan baik. Aku heran, kenapa kau dulu sampai jatuh cinta padanya?” Ditatapnya Shiory dengan pandangan jenaka. Shiory tergelak.
          “Percaya atau tidak, aku juga sedang mempertanyakan hal itu sekarang.”
          Keduanya tersenyum memandangi dua sosok yang kini menghilang ke balik pintu mobil,  yang segera melaju membawa keduanya berlalu dari gereja.***

          “Pak Masumii…!!” Maya mencoba melepaskan cengkraman lengan laki-laki itu di pergelangan tangannya. Namun sia-sia karena lelaki itu terus menyeretnya ke parkiran.
          “Masuklah!” Masumi membuka pintu mobil.
          “Anda sudah gila, ya.. menyeretku seperti tadi dan menyuruhku mengikuti anda seenaknya.”
          “Ya, aku sudah gila. Aku sudah gila karena kau, Mungil.” Jawaban Masumi di luar dugaannya. “Jadi sebelum aku benar-benar gila 100% dan menggendongmu masuk, lebih baik kau menurut saja padaku.”
          “Tapi.. tapi .. anda kan datang dengan nona Shiory!” protes Maya lagi. Sekilas tadi, saat Masumi menyeretnya, ia melihat sosok Shiory diantara para undangan.
          “Jangan pedulikan dia. Ada calon suaminya yang akan mengurusinya nanti!”
          “Eh..??”
          Rasa terkejut membuatnya tanpa sadar menurut  saat Masumi tak sabar mendorongnya memasuki mobil.
          Di dalam mobil keduanya membisu. Maya hanya menatap pemandangan di sampingnya dan bertanya-tanya kemana Masumi akan membawanya pergi. Namun saat mobil berbelok memasuki jalur tol menuju luar kota, gadis itu tak dapat lagi menyimpan kepenasarannya.
          “Sebenarnya kita akan kemana?”
          “Ke Izu,” jawab Masumi singkat.
          “I…zu?”
          “Kau masih ingat,  Mungil? Aku pernah berjanji kepadamu untuk mengajakmu ke sana. Maaf, lama sekali membuatmu menunggu,” Masumi menoleh, tersenyum lembut ke wajah mungil yang kini juga tengah menatapnya. Perlahan, dilihatnya wajah itu ikut tersenyum.
          Masumi memberanikan diri untuk meraih lengan Maya yang bertaut di pangkuan gadis itu dengan sebelah tangannya. Sementara yang sebelah lagi tetap memegang setir. Entah mengapa, saat menyadari Maya tidak menolak untuk digenggam, Masumi merasa Maya dapat menangkap perasaannya saat ini. Bahkan saat gadis itu membalas gengamannya, batin laki-laki itu mengatakan, perasaannya sudah bersambut.***

          Deburan ombak sore hari terasa bagai alunan alam yang indah. Maya memejamkan mata, membiarkan angin menyapu wajahnya dan mengibarkan rambutnya. Sandal high heels  yang dipakainya teronggok pasrah di pasir. Aroma laut yang khas,  menghiasi perasaan bahagia yang entah dari mana muncul, membawa sebait nada dalam lamunannya.
          Gadis itu bersenandung, berharap dapat berbagi kebahagiaan bersama laut.
          Suara Masumi membuat Maya menghentikan senandungnya dan berbalik untuk melihat sosok laki-laki yang sangat dicintainya itu.
          Masumi tengah menatapnya takjub.
          “Humming,” didengarnya Masumi berkata pelan. “Kau.. Hummning?”
          Maya tersenyum. Melangkah mendekat.
          “I Love You,” bisiknya begitu sampai di hadapan Masumi.
          “Apa?” Masumi tercekat.
          “Senandung yang tadi. Judulnya… I Love You.”***

          Bintang berkelap-kelip. Mengirimkan sedikit sinarnya ke celah jendela kaca yang tak bertirai. Di dalam ruangan yang temaram, sepasang manusia tengah berbaring berpelukan di atas sofa, bersama memandang gemerlap bintang di luar sana.
          “Jadi semua lagu itu kau ciptakan untukku?” tanya Masumi.
Maya mengangguk.
          “Sejak tersadar dari koma, entah mengapa, rasa sepiku terasa semakin mencekam. Meski kemudian aku dibawa Masao untuk tinggal di rumah orang tuanya selama perawatan, dan mereka menerima kehadiranku dengan gembira, tetap saja, ingatan bahwa kau meninggalkanku terasa sangat menyakitkan. Terlebih, Rei juga pergi. Saat itu aku belum bisa bermain teater lagi, belum bisa bermain film lagi. Aku hanya bisa menghibur hatiku dengan main piano. Dulu Koji pernah mengajariku bagaimana cara main piano. Dan waktu tinggal di keluarga Masao, ibunya Masao yang seorang komposer, juga mengajariku  cara membuat lagu. Jadii… timbullah ide untuk menciptakan Humming. Aku juga berfikir, jika Humming aku upload di internet, kemungkinan kau akan mendengarnya di Jerman sana. Sedikit banyak, aku tidak mau rasa cintaku padamu sia-sia. Aku ingin kau mendengar dan memahami perasaan yang aku sampaikan lewat senandung Humming. Kalaupun toh kau tidak mendengarnya, aku ingin semua orang tahu, betapa aku sangat mencintai dan merindukan laki-laki itu. My Beloved Demon.”
          Masumi terdiam dengan perasaan haru yang menyelimuti hatinya. Ingatannya melayang pada foto-foto Maya di rumah sakit.
          “Maafkan aku karena tidak ada disampingmu saat itu,” bisiknya seraya membelai pipi Maya yang kemerahan. Maya menggeleng pelan.
          “Kau sudah ada di sini sekarang. Di dekatku”
          Masumi merasakan matanya memanas. Lalu menarik tubuh gadis itu mendekat.
          Mereka berpelukan dalam diam beberapa saat.
          “Resepsi Masao pasti sudah selesai,’ ujar Maya kemudian, pelan. “Padahal aku sudah berjanji untuk bernyanyi di resepsi Masao malam ini,” bisiknya lagi seraya memainkan kancing kemeja Masumi. Dirasakannya Masumi mengecup kepalanya lembut.
          “Mereka akan paham. Jangan khawatir. Daniel pasti akan menjelaskan situasinya.”
          “Aku tidak menyangka kalau nona Shiory akhirnya mencampakkanmu,” ada nada geli di suara gadis itu. Masumi mendecih, lalu tertawa pelan.
          “Pada akhirnya cinta sejati akan menghampiri siapapun yang percaya dan menunggu dengan sabar,” sahutnya kemudian.
          “Seperti kita?”
          “Ya.. seperti kita,” senyum Masumi, membelai wajah mungil yang kini menengadah menatapnya. Dada Masumi berdesir hangat. Perlahan wajahnya menunduk. Sedikit ragu. Namun saat Maya hanya terdiam menatapnya, keberaniannya kembali muncul.
          Mata gadis itu terpejam saat bibirnya menyentuh bibir gadis itu.
          Terasa manis, memabukkan.
          Tak puas hanya sekali,  Masumi mengecupnya kembali berulang-ulang. Semakin lama semakin hangat dan menuntut. Terlebih saat mulut Maya dirasakannya mulai membuka dan membalas ciumannya dengan sama hangatnya.
          Masumi mengerang. Dan mulai melumat bibir manis itu dengan gairah yang semakin besar.
          Terengah, keduanya saling menjauhkan wajah mereka yang sama-sama merona. Namun bahagia.
          “Hatiku bersenandung,” bisik Maya seraya meraba bibir Masumi lembut.
          “Oya?’ senyum Masumi. Dikecupnya jemari Maya yang merabanya penuh cinta. “Apa judulnya kali ini?”
          “Hmmm…… First Kiss?”
          Masumi nampak berfikir, lalu menggeleng.
          “Judul itu tidak tepat,” ujarnya.
          Kening Maya berkerut heran. “Tidak tepat? Tapi tadi kan memang ciuman pertama kita!”
          “Siapa bilang?” senyum Masumi jenaka. Maya menatap kekasihnya dengan mata menyipit. “Maksudmu?”
          Masumi menarik Maya untuk lebih mendekat. Lalu berbisik di telinga gadis itu.
          “Heeee…?!” Maya terbelalak. “Kau….???!”
          Masumi mengangkat kedua alisnya yang tebal seraya mengangguk.
          “Dasar mesuuuuuummmmm…!!!” teriak Maya. Dipukulnya bahu kekasihnya bertubu-tubi.
          “Hei..hei… tapi saat itu benar-benar tidak ada pilihaaann..!” bela Masumi, mencoba menangkap kedua kepalan mungil yang memukulnya.
          “Yang pertama masih bisa dimengerti kalau kau bilang tak ada pilihan. Tapi yang kedua?!! Sebelah mananya yang tidak ada pilihan? Emang dasar otakmu mesum!” sungut Maya.
          Masumi tergelak.
          “He.. kenapa kau marah? Toh sekarang kita memang sudah berciuman. Benar-benar berciuman! Dan kau menyukainya bukan?” goda laki-laki itu lagi, senang melihat wajah Maya yang kembali merona.
          “Otak mesum!” gumam Maya menahan malu. Disurukkannya wajahnya ke dada kekasihnya, menyembunyikan wajah yang dirasanya semakin panas.
Masumi tersenyum dengan dada yang hampir meledak karena bahagia. Dipeluknya Maya semakin erat. Keduanya kemudian terdiam, menikmati kedekatan mereka.
          “Mungil,” panggil Masumi beberapa saat kemudian.
          “Hmmm?” Maya bergumam di dadanya.
          “Boleh aku menanyakan sesuatu?”
          Maya menarik kepalanya dari dada laki-laki itu dan kembali mendongak.
          “Bertanya apa?”
          “Emhh… Daito sudah lama sekali mencarimu. Mencari Humming. Bahkan Hijiri mati-matian melacak keberadaanmu. Tapi kau tetap jadi misteri bagi kami. Bagaimana kau melakukannya? Menyembunyikan identitas dan lokasimu serapat itu? Sejak kapan kau jadi jenius di luar bidang selain akting?”
          Maya tergelak.
          “Aku memang tidak tahu apa-apa soal internet,” kikiknya menahan geli.
          “Terus mengapa hacker terpandai pun tidak bisa melacakmu?” Masumi mengerutkan keningnya heran.
          “Tentu saja tidak akan selama yang menyuruh hacker itu Kak Hijiri.”
          “Maksudmu?”
          Maya mendekap wajah Masumi dengan kedua tangannya.
          “My Beloved Prince of Daito, dengarkan aku,” ujarnya serius. “Kak Hijiri lah yang selama ini membantuku mengalahkan semua hacker handal kalian, dan berhasil melindungi identitas dan lokasi Humming selama ini.”
          “Jadi.. Hijiri…?”
          “Dia mengatakan, bahwa dia sudah berjanji padamu untuk selalu melindungiku,” angguk Maya. “Kau harus bahagia karena memiliki bawahan sekaligus teman sejati seperti Kak Hijiri. Selain menjadi donor darah bagiku saat aku kecelakaan, dia juga membantuku melindungi perasaanku padamu. Sehingga meski terus dibayangi rasa sakit karena berfikir perasaan ini tak mungkin bersambut, aku masih bisa melindungi dan mempertahankan cintaku padamu. Melalui Humming.”
          Masumi tak tahan lagi. Direngkuhnya kembali tubuh Maya ke dalam pelukannya. Air mata menetes saat dirinya mengecup lembut ujung kepala gadis yang teramat sangat dicintainya itu.
          “Terima kasih, Maya. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu.”
          Maya mengangguk. Gadis itu terisak saat didengarnya Masumi berkata penuh perasaan.
          “Aku sangat mencintaimu, Maya.”
          Hatinya bersenandung. Penuh kebahagiaan.


*** Humming_ the end***

10 komentar:

  1. huaaaaaaaaa kereeeeeeennnn sista Avira makasih ff nya ^0^

    BalasHapus
  2. Bagussss ternyata Hijiri segitu setianya sama MH sayang sekali dia sama Maya....... that's what friends are for :P

    Keren.....

    BalasHapus
  3. Mengagumkan, mempesona, hm,hm,hm *mendadak ikut bersenandung*

    BalasHapus
  4. Sist Avira makasih ya....ff mu selalu....dan selalu indah.. manis menghanyutkan....jalan cerita yg mengalir...enak dibaca...aku suka bener...seharusnya begitulah MM ya....HE forever...true love MM...

    BalasHapus
  5. Mantaabb...sist Avira makasih ya^^

    BalasHapus
  6. kerennnnnnnnnnnnnnnnn.... romantiss bgdd dee... lanjuddd :D

    BalasHapus
  7. ceritanya benar2 bagus.so romantic.gimana kalo dibuat sekuelnya.ini hanya usul saja.I really like this story.2 thumbs up

    BalasHapus