Rabu, 17 Agustus 2011

Please be With Me (part 4)

 

 
Sabtu pagi…
Mi Rae bersenandung kecil. Wajah cantiknya nampak berbinar bahagia. Sejak tadi, dirinya sudah merengek pada Sano, minta di antar ke supermarket.
“Masumi akan datang. Aku ingin memasakkan bulgogi  dan toppoki untuknya. Masumi sangat suka  makan itu. Sayang sekali, aku tidak mungkin  menyuguhkan khimchi untuknya sekarang.”
Sano menatap wajah ceria itu dengan hati berkecamuk. Di satu sisi ia merasa senang. Setelah sekian lama senyum Mi Rae yang seceria itu kembali muncul. Tapi di sisi lain, hatinya mengerut resah.
Tak rela kehilangan senyum manis Mi Rae, Sano pun akhirnya mengantar gadis itu ke supermarket. Dan kini, di dapur mungil apartemennya, Mi Rae tengah asyik mengolah makanan dengan senandung kecil yang tak lelah diperdengarkannya.***

Maya merasa tubuhnya sangat lemah pagi itu. Sejak bangun, seluruh persendiannya berkeriut ngilu. Kepalanya berat dan badannya pun terasa panas. Gadis itu sedikit menyesal karena telah melewatkan makan dan obatnya semalam, berfikir karena itulah, kini badannya terasa seperti habis berlari ratusan meter.
Sarapan yang disuapkan perawat pun hampir-hampir tak bisa dia telan. Terasa pahit. Baunya membuat perutnya mual.
“Semalam anda drop lagi,” senyum perawat. Dengan sabar ditunggunya Maya menelan makanannya. Maya tersenyum lemah.
Rupanya begitu,” pikirnya. 
Semalam, dalam tidur ia merasakan sakit yang luar biasa memang. Dipikirnya tadi, itu hanya mimpi. Namun ternyata... dia benar-benar sedang kesakitan.
“Pagi ini berbaring saja, ya. Siang nanti, jika memang sudah membaik, baru tempat tidurnya ditinggikan lagi kalau anda ingin.”
Maya mengangguk. Mengucapkan terima kasih saat perawat itu meninggalkan kamar.  Diraihnya remote TV dan mencari channel kesukaannya. Namun drama yang ditanyangkan tidak begitu menarik.  Setelah beberapa lama berpindah dari satu channel ke channel lain dan tidak menemukan sesuatu yang menarik, dengan sedikit kesal, ditekannya tombol off.
Diliriknya jam. Pukul 10…
Biasanya jam segini, Sano sudah datang menjenguk.
Ah, mungkin telat, “ pikirnya mencoba untuk berprasangka baik. Teringat perkataan perawat kemarin malam bahwa dia tidak boleh berfikiran yang macam-macam agar bisa tenang menjelang operasinya. Ia juga berusaha untuk mengendapkan harapan kalau  Masumi akan muncul di hadapannya hari ini. Sejak kejadian kemarin, entah mengapa, kini Maya merasa takut untuk berharap.
Namun sampai jarum jam menunjuk di pukul dua, kakaknya itu tak juga muncul. Maya sudah mencoba menelpon beberapa kali tadi. Namun handphonenya selalu tidak aktif.
Entah urusan apa yang membuat Sano mengabaikanku di sini,” pikiran sensitif kembali menyergap. Maya merasa matanya mulai panas. Dikerjapkannya agar air mata yang mengancam turun itu tertahan. “Dia pasti sedang sibuk mengurusi sesuatu,” pikirnya lagi. Mengalihkan pikiran buruk yang tadi menghampiri.
Maya baru saja hendak meletakkan handphonenya kembali saat benda itu bergetar.  
Kakak! Pikirnya girang. Sebuah pesan video.
Cepat ditekannya tombol on di handphonenya. Awalnya dia kesulitan memahami gambar yang kini bergerak di sana.
Masumidengan seorang gadis
Debaran jantungnya semakin lama semakin cepat. Hatinyapun semakin berdenyut, sakit. Tanpa sadar Maya memekik tertahan. Matanya kembali memanas. Dan kini, air mata tak dapat dibendung lagi.
Kini di handphone, nampak gadis yang bersama Masumi tengah menyuapkan makanan ke mulut laki-laki itu dengan mesra.  Maya tahu siapa dia.  Gadis yang sama dengan gadis yang beberapa hari lalu berlari keluar dari kamarnya saat melihat dirinya  bersama Masumi.
Sano ada diantara mereka, memperhatikan keduanya  sambil tertawa.
“Ah, kau sudah melihatnya!” sebuah suara membuat Maya cepat mengangkat kepala. Terkesiap melihat siapa yang berdiri di tengah kamarnya kini.
 Gadis yang ada dalam video.
Terlambat bagi Maya untuk menghapus air mata.
“Aku Mi Rae.” dengan tenang Mi rae mendekati tempat tidur. “Maaf, jika waktu itu aku berbuat kurang sopan,” lanjutnya. “Itu karena aku terkejut melihat kekasihku bersamamu di sini.”
“Ke..ka..sih….mu?”
“Masumi,” angguk Mi Rae cepat.
Wajah Maya kian memucat. Mi Rae tersenyum manis melihatnya.
“Kau tahu? Kami sudah lama berhubungan. Sekitaar… tunggu…. Emmh… sepuluh tahun?,” ujar Mi Rae santai. “Meski aku di Korea dan dia di Jepang, hampir setiap bulan Masumi mengirimiku surat. Mengirimiku banyak hadiah indah. Dia selalu memanjakanku,” senyumnya.
“Saat melihat kalian kemarin, mulanya aku pikir, dia sudah berselingkuh denganmu, tapi syukurlah, ternyata dia tidak seperti itu. Dia hanya mengasihanimu.”
“A..aa..apa?”
“Dia hanya kasihan padamu, Nona Kitajima. Itu karena dia terlalu baik. Ah.. memang begitulah Masumiku, terlalu baik pada orang. Hanya sekarang aku sudah tenang. Sebaik apapun dia padamu, ternyata dia tetap memilihku.”
Maya menatap tidak mengerti.
Melihat lawan bicaranya menatapnya penuh tanya, dengan bangga, gadis itu mengangkat tangan kirinya, memperhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar di sana.
“Masumi…baru saja melamarku.”***

Sano dan Masumi duduk berhadapan di sebuah kafe. Sudah hampir dua jam mereka di sana. Berbicara dengan serius. Wajah Masumi yang tadinya terlihat tegang, mulai nampak melunak.
“Terima kasih, kau sudah mau memahamiku,” senyumnya pada Sano.
Sano menggeleng pelan.
“Kau tak perlu berterima kasih padaku. Hak mu untuk membuat keputusan itu. Aku tak berhak ikut campur,” sahutnya. “Hanya saja… apa kau sudah memikirkannya baik-baik? Maaf, tapi kau tahu resikonya.”
“Aku tahu. Akan kuambil apapun resikonya.”
“Kau harus bisa mengantisipasi banyak hal. Ah, salah. Kita…… harus mengantisipasi banyak hal.”
“Itulah, mengapa sekarang aku mengajakmu bicara,” angguk Masumi. “Sano, aku tahu, saat kau datang dan bertemu denganku lagi, kau sudah merencanakannya kan? Lalu kau memanggil Mi Rae. Berharap kami bisa bertemu.”
Sano tertawa. “Kau sepertinya tak kesulitan untuk membaca  motif orang lain.”
“Aku seorang pengusaha. Aku terlatih untuk membaca motif orang yang berhadapan denganku,” timpal Masumi. “Yang aku tidak mengerti adalah mengapa kau menunggu selama ini untuk mempertemukanku dengan Mi Rae?”
“Itu karena aku masih belum yakin.”
“Lantas, apa yang sekarang membuatmu yakin?”
“Mi Rae… perasaannya padamu.”
“Sano. Mengapa kau tidak berusaha mendekatinya untukmu sendiri?” Masumi menatap tajam. Mendengar pertanyaan Masumi, Sano tersenyum sedikit pahit.
“Kau tahu pasti hal itu tidak mungkin,” desahnya.” Bayanganmu terlalu kuat mencengkramnya Hyung.
Masumi termangu mendengar jawaban Sano. Sebuah pikiran melintas.
“Kau…… mencintai Hwang Mi Rae, bukan?”
Sano hanya terdiam dan Masumi tak lagi membutuhkan jawaban.
Untuk beberapa lama  keduanya terdiam. Asyik menekuri cangkir kopi masing-masing. Sampai deringan handphone Sano mengenyahkan sepi dari kedua laki-laki itu.
“Rumah sakit,” kernyit Sano saat melihat call ID di layar.
Masumi menegakkan badan. Menunggu saat Sano mulai menekan tombol on. Hatinya mendadak tidak enak. Dilihatnya Sano mendengarkan apa yang diucapkan penelponnya untuk beberapa saat.
“APA?!” tiba-tiba Sano berteriak dan berdiri dengan muka terkejut. “Bagaimana itu bisa terjadi?!!”
“Ada apa?” Masumi ikutan berdiri, mencoba merebut handphone itu dari tangan Sano. Tapi Sano menahannya. “Ada apa, Sano? Apa terjadi sesuatu dengan Maya?” Masumi menatap Sano  takut-takut.
Sano menutup handphonenya dengan wajah pucat.
“Apa yang terjadi di rumah sakit, Sano?” tanya Masumi lagi. Hatinya semakin resah.
“Maya…… dia…… menghilang. Tidak ada di rumah sakit.”***

Keduanya berlari memasuki loby rumah sakit dan segera naik ke lantai tempat Maya dirawat. Perawat dan beberapa orang yang memakai jas resmi menyambutnya.
“Bagaimana dia bisa keluar tanpa kalian sadari?’ tanya Masumi berapi-api.”RUMAH SAKIT MACAM APA INI!!!”
“Masumi, sabar,” Sano mencoba menenangkan. Namun nampaknya Masumi tak peduli. Nafas laki-laki itu terengah menahan marah. Tangannya terkepal.
“Jika sesuatu terjadi pada Maya, bersiap-siaplah kalian menghadapiku!” desisnya mengancam.
“Maafkan kami, Pak Masumi. Kami sedang berusaha menemukan Nona Kitajima. Pihak kami pun sudah menyebar beberapa orang untuk mencari di luar rumah sakit,” seorang laki yang memakai jas membungkuk penuh permohonan maaf.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Sano. Jauh di dalam lubuk hatinya, laki-laki itu pun sangat cemas. “Kapan kira-kira adikku pergi?”
“Maaf, tuan Kitajima. Sampai jam 12 saat makan siang, nona Maya masih ada,” terang seorang perawat. Wajah perempuan muda itu nampak sangat ketakutan. “Beliau berbaring terus hari ini karena kondisinya lemah setelah drop semalam. Tapi saat kami akan mengecek kondisinya sekitar jam tiga, nona Maya sudah tidak ada di kamarnya.”
“Maya tidak mengangkat handphonenya,” tiba-tiba terdengar suara Masumi yang terdengar putus asa.
“Ah, nona Maya tidak membawa handphonenya,” sahut perawat tadi. Bergegas mengambil benda itu dari dalam laci meja dekat tempat tidur Maya. Menyerahkannya pada Sano.
Sano membukanya. Mengecek call log dan inbox. Mengerut heran saat melihat ada namanya di daftar pesan yang masuk hari ini.
Hari ini dia belum mengirimkan sms apapun pada Maya.
Cepat, Sano membuka sms atas namanya itu. Wajahnya langsung memucat.
Masumi mendekat dan mengambil handphone dari tangan Sano. Saat melihat apa yang sedang di putar di dalamnya, Masumi merasakan jantungnya berdegup ratusan kali lebih cepat.
Wajahnya bahkan kini nampak lebih pucat dibanding Sano.***

Malam sudah lama menjelang. Masumi masih menjalankan mobilnya, mengelilingi setiap sudut Tokyo, berharap sosok yang dicarinya segara muncul. Dia sudah menghubungi Hijiri untuk membantunya mencari Maya. Mizuki dan Rei pun sekarang sedang berusaha menemukan Maya dengan pesan khusus pada Mizuki untuk menyembunyikan  kejadian ini dari wartawan. Sementara Sano, dengan mobil yang dipinjaminya, mencoba pergi ke Yokohama karena  mungkin saja Maya pergi ke sana.
Diacuhkannya telepon dan sms dari Mi Rae yang datang terus-menerus. Perasaan bersalah menggelayut di hati laki-laki tampan itu. Andaikan saja ia lebih peka, mungkin dirinya bisa mencegah Mi Rae untuk melakukan hal yang membuat Maya kini kabur dari rumah sakit.
“Beliau berbaring terus hari ini karena kondisinya lemah setelah drop semalam…” terngiang penjelasan perawat tadi. Gambaran Maya yang mengerang kesakitan  tadi malam pun kembali memenuhi benaknya.
“Mungil, kumohon, kau di mana sekarang?” bisiknya penuh kecemasan. Tanpa mempedulikan pandangannya yang mengabur karena genangan air mata, Masumi menginjak pedal gas semakin dalam, membuat mobilnya melaju semakin cepat.***

Maya tidak tahu lagi sudah berapa lama ia berjalan. Kakinya mulai pegal. Badan dan kepalanya sudah sejak tadi berdenyut sakit. Bahkan kini, matanya  berkunang-kunang.
Tadi siang dirinya terus menangis sejak Mi Rae meninggalkan kamar. Hatinya benar-benar sakit! Dua orang yang paling dia percaya dalam hidupnya, telah berani mengkhianatinya sedemikian kejam. Maya tak tahu siapa lagi yang bisa dia percaya kini. Hatinya yang memang rapuh sejak mengetahui penyakit leukeumia sudah menggerogoti tubuhnya, dan siap mengantarnya ke kematian, kini perlahan hancur. Seiring hancurnya kepercayaan terhadap dua orang terdekatnya itu.
Merasa tak ada lagi alasan untuk terus bertahan di rumah sakit, gadis itu pun memutuskan untuk pergi.
Maya merasakan badannya lelah bukan main. Dengan lunglai, ia memutuskan untuk duduk di sebuah bangku tak jauh dari tempatnya berjalan. Matanya berkeliling. Melihat keadaan. Sepertinya ia berada di sebuah taman, entah dimana. Cahaya lampu taman menerangi banyak orang yang berlalu lalang di sana.
Badan dan kepalanya semakin sakit. Maya menggigir bibir,  sekuat tenaga mencoba menahan agar erangan tak keluar dari mulutnya. Matanya semakin berkunang-kunang. Membuat orang-orang yang hilir mudik di depannya perlahan terlihat seperti bayangan yang dipenuhi kabut.  
Sebuah denyutan keras di tubuhnya membuat pertahanan Maya roboh!  Gadis itu mengaduh, menyerah pada rasa sakit yang teramat sangat.
Maya sempat mendengar seseorang meneriakkan namanya sebelum pandangannya berubah gelap.***

“Nona, ada apa?” seorang laki-laki berseragam sopir menerobos kerumunan. Dilihatnya nona mudanya tengah memeluk sesosok tubuh yang terbaring lemah di tanah.
“Pak Kitagawa, tolong aku membawanya ke mobil,” sahut gadis cantik itu. Wajahnya nampak sangat khawatir. “Cepat! Dia sedang sakit!”
“Ba..baik, nona..” dengan gugup Kitagawa segera menghampiri dan siap membopong tubuh gadis yang kini nampak pingsan di pelukan majikannya.
“Eh,” pikirnya terkejut saat melihat cukup dekat wajah gadis itu. “Ini kan?”
Namun ia tak sempat mengutarakan keheranannya, karena sedetik kemudian ia sadar, harus segera membawanya menjauh dari kerumunan.
Setengah berlari ia membopong tubuh Maya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Sebisa mungkin menyembunyikan wajah Maya dalam pelukan. Majikannya mengikuti dari belakang.
“Kita ke mana, Nona?” tanya laki-laki itu setelah tubuh Maya sudah aman terbaring di jok belakang dengan kepala ada di pangkuan majikannya.
“Ke rumah saja, Pak,” jawab sang majikan.
“Baik, nona Shiory,” angguk Kitagawa. Mobil pun segera meluncur cepat ke kediaman Takamiya.
Shiory menunduk memandangi wajah pucat di pangkuannya. Baru sekarang ia dapat melihat wajah Maya sedekat ini. Mungil dan nampak pucat. Wajah inilah yang telah menawan hati mantan tunangannya dengan begitu kuat, sampai usaha apapun yang dilakukannya demi merebut hati Masumi sia-sia.
Terbayang wajah Masumi yang kosong saat glady resik pernikahan mereka beberapa waktu yang lalu. Shiory mendesah.
“Akan adakah laki-laki yang mencintaiku sedalam Masumi mencintaimu, Maya?” bisiknya.
Pikirannya akan Masumi membuat Shiory terjengat, seolah teringat akan sesuatu. Cepat ia mengambil handphone dari tas tangan yang tergeletak di sampingnya dan menekan sebuah nomor. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya terdengar suara menyambut di seberang sana.
“Halo? Shiory?”***

Dengan langkah lebar, Masumi menerobos masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan pelayan keluarga Takamiya. Dilihatnya Shiory tengah duduk di samping sebuah tempat tidur besar.
“Maya!!” Masumi segera berlari ke samping tempat tidur. Menghampiri tubuh Maya yang terbaring tak sadarkan diri di sana.
Shiory sangat yakin, dia melihat tubuh Masumi gemetar.
Dibiarkannya laki-laki itu duduk di samping tempat tidur untuk meraih tubuh Maya ke dalam dekapannya.
“Syukurlah… syukurlah kau selamat..”
Shiory tercekat saat melihat air mata mengalir di pipi Masumi.
Untuk beberapa lama Masumi terus mendekap tubuh Maya, membenamkan wajah tampannya yang basah oleh air mata dalam helaian rambut hitam gadis itu. Sampai akhirnya Masumi kembali mengangkat kepala, menoleh ke arah Shiory.
“Terima kasih sudah membawanya ke sini dan memberitahuku,”
Shiory hanya tersenyum. Harusnya dia merasa cemburu melihat adegan yang terjadi di depannya tadi. Tapi tidak! Tak ada cemburu dalam hatinya kini. Yang ada hanyalah perasaan bersalah. Kisah cinta laki-laki di depannya sangat kelam. Di saat semua orang sudah merestui hubungannya dengan belahan jiwanya, Masumi justru harus berhadapan dengan hal yang tidak dapat dia taklukan: maut yang membayangi hidup Maya.
Andai dia melepaskan Masumi lebih awal…
Suara Masumi membuyarkan lamunan Shiory.
“Aku harus membawanya ke rumah sakit segera.”
Shiory mengangguk. Diantarnya Masumi yang kini membopong Maya sampai ke samping mobil yang terparkir di depan.
Gadis itu menghela nafas dalam saat mobil yang membawa Masumi dan Maya menghilang di balik gerbang. Sesaat masih terpaku di tempatnya berdiri, sampai akhirnya berbalik dan kembali masuk ke dalam kediaman Takamiya yang nyaman.***

Baik Sano maupun Masumi tak mau beranjak dari sisi Maya. Semalaman mereka terpekur di sana.  Maya masih tak sadarkan diri. Dokter telah memeriksanya tadi dan keluar dengan laporan yang membuat keduanya terpukul.
“Sangat lemah. Nona Maya keluar dengan baju seadanya sehingga dia kedinginan. Kondisinya saat ini sangat rentan karena daya tahan tubuhnya hampir tidak ada. Kemungkinan besar, operasinya akan diundur sampai kondisinya membaik.”
“Apa itu buruk, Dok?” tanya Masumi.
“Tentu saja!’ angguk dokter. “Setiap hari sel kankernya akan bertambah. Maka jika operasi ditunda, kondisi penyakitnya akan semakin parah.”
Masumi terus menggenggam jemari Maya. Tak berani menutupkan mata meski hanya untuk beberapa menit. Sesekali membelai wajah pucat yang masih tak sadar akan keadaan di sekelilingnya itu dengan lembut. Air matanya sudah lama kering. Namun hatinya masih berdenyut penuh penyesalan.
Sano duduk di sofa, menerawang.
Tindakan Mi Rae hari ini benar-benar di luar dugaannya. Dirinya juga tak pernah perhitungkan Maya akan bereaksi seperti ini. Seperti halnya dia tidak memperhitungkan perasaannya akan terlibat begini dalam.
“Ah, aku memang terlalu melibatkan perasaanku sejak awal,” sesal hatinya. “Aku tidak berguna, sangat tidak berguna!”
Sano meremas rambutnya,  gemas akan dirinya sendiri. Karena kecerobohannya, kini nyawa Maya semakin terancam. Mi Rae pun semakin tenggelam dalam perasaannya sehingga membuat gadis itu menjadi sangat agresif.
“Sano..” didengarnya Masumi memanggil. Sano menoleh, melihat Masumi masih di tempatnya semula.
“Maaf, aku tak bisa lagi membantumu,” Masumi berbicara tanpa memandangnya.
Sano tersenyum maklum.
“Aku tahu. Kurasa akupun harus berhenti sampai di sini.”
“Ya, lebih baik berhenti sampai di sini,” putus hatinya lagi.  Laki-laki itu lalu berdiri, menghampiri tempat tidur adiknya. Memutar untuk mencapai sisi yang satunya.
Dipandanginya wajah Maya yang pucat. Hatinya berdenyut sedih.
Sano membungkuk untuk mencium kening adiknya. “Maafkan aku, Maya,” bisiknya pelan.
Masumi melihat semua itu dalam diam.
“Aku titipkan adikku padamu, Hyung..” kata Sano sebelum beranjak pergi.
“Kau mau kemana?”
Sano tersenyum tipis, “Menyelesaikan semua.”
Masumi mengangguk, memahami apa yang dimaksud Sano.
“Terima kasih,” bisiknya.
Sano mengangguk, lalu berlalu.
Hari sudah sudah pagi saat Sano tiba di apartemen.
Sano!” wajah ceria Mi Rae menyambut sesaat setelah ia membuka pintu. “Sini!” ajak gadis itu riang, menyeretnya ke ruang keluarga. Di sana terlihat beberapa gaun, tas, dan sepatu yang nampak baru.
“Lihat! Kemarin Masumi membelikannya untukku,” tunjuknya.
Sano terdiam. Menghela nafas dalam sebelum akhirnya beranjak mendekati barang-barang yang ditunjukkan Mi Rae.
“Mi Rae,” ujarnya pelan.  Meraih sebuah gaun berwarna pink muda yang disampirkan di kepala kursi. “Cukup, kau harus mengakhiri semua ini.”
Diambilnya gunting yang tergeletak di meja. Lalu perlahan namun pasti, laki-laki itu mulai menggunting ujung gaun.
“SANO!!” Mi Rae melompat panik. “APA YANG KAU LAKUKAANN!!”
Gadis itu mencoba merebut gaunnya, namun rupanya tenaga Sano lebih kuat. Mi Rae terjengkang ke kursi.
Tanpa mempedulikan teriakan Mi Rae, satu persatu bagian gaun yang tergunting jatuh ke lantai.
Kress..kres..
Sano terus menggunting dengan wajah sedingin es.
Mi Rae histeris. Gadis itu menjerit sekuatnya.***


Menjelang siang Maya baru tersadar. 

Dengan bingung, matanya menatap langit-langit putih di atasnya. Mencoba mengingat apa yang sidah terjadi. Perlahan-lahan, ingatannya mulai jelas. Pesan video di HP, kedatangan gadis itu, dirinya pergi dari rumah sakit…

Tunggu!! Kenapa aku ada di sini?

Yang terakhir dia ingat, dirinya ada di sebuah taman sebelum… 

Ah, apa ada yang mengantarku ke rumah sakit?

Maya meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Kepalanya pun masih sangat berat saat dirinya mencoba bangun.

“Jangan bangun dulu!” sebuah suara menghentikan gerakannya. Maya menoleh. Nampak Masumi menghambur masuk dengan rupa khawatir. Laki-laki itu kemudian menahan tubuhnya agar kembali rebah. “Dokter bilang beberapa hari ke depan kau harus benar-benar istirahat,” lanjutnya. 

Maya menatap Masumi beberapa saat. Teringat video yang diterimanya dan  perkataan Mi Rae, gadis itu lalu melengos. Menghindari tatapan Masumi. Hatinya kembali berdenyut sakit.

“Pergilah,” usirnya, pelan.

Masumi tercekat. Menyadari sikap Maya karena kejadian kemarin, alih-alih pergi, laki-laki itu malah duduk di sisi tempat tidur. Kedua lengannya terulur mendekap wajah Maya yang masih menolak menatapnya. Mencoba mengembalikan tatapan gadis itu.

“Maya, maafkan aku,” bisiknya. Maya tetap terdiam dalam posisinya. “Maya…”
“Untuk apa minta maaf?” sahut gadis itu akhirnya. Suaranya terdengar bergetar. “Kau tak punya kewajiban apapun untuk meminta maaf, aku bukan siapa-siapamu, kau berhak memilih wanita manapun.”

“Aku memilihmu!” sergah Masumi, tegas. Sontak Maya menoleh dengan mata membulat. Dilihatnya Masumi tersenyum lembut. Laki-laki itu kemudian meraih kedua tangannya.  “Sejak awal aku sudah memilihmu, Maya. Bukan Shiory,  bukan juga wanita lain. Hanya kau.”
“Tapi wanita itu, dia bilang.. kalau..”
“Dia datang ke sini?” potong Masumi. Wajahnya nampak terkejut. Maya mengangguk.
“Setelah aku menerima pesan videonya, dia datang ke sini. Dia bilang, kalau… kalian ………sepasang ……… kekasih.”

Masumi menghela nafas berat. Ternyata Mi Rae sudah bertindak sejauh itu, pikirnya kalut. 

“Maya, aku ingin sekali bercerita tentang Mi Rae. Mungkin setelah kondisimu sudah cukup baik nanti, aku akan menceritakannya padamu. Untuk sekarang, aku hanya minta kau percaya satu hal. Dalam hidupku, hanya ada dua orang wanita yang paling aku cintai: almarhum ibuku, dan kau Maya Kitajima.”

Maya masih manatap Masumi dengan pandangan takjub, namun kebingungan masih terlihat jelas di wajahnya.
Masumi meremas kedua tangan gadis itu. “Kau percaya padaku, bukan?”
Bola mata Maya bergerak-gerak cepat. Seolah ingin melihat wajah Masumi lebih jelas lagi untuk dapat menemukan kesungguhan di sana.

Sepasang mata kelam di depannya terlihat sangat tulus. Maya bahkan bisa merasakan pancaran penuh cinta yang membuat kehangatan perlahan menyelusupi hatinya.

“Bisakah?” bisiknya kemudian, mengungkapkan kegundahannya akan ketakutan dikhianati. Kepedihan yang dialami kemarin masih terasa jelas. Maya tidak mau hal itu kembali terulang.

 Masumi membawa tangan yang digengamnya untuk dikecup. “Waktu yang akan membuktikannya padamu, Mungil. Yang harus kau lakukan sekarang hanyalah percaya padaku,’ jawab Masumi. 

“Kau memilih wanita yang sakit dan sekarat.. rasanya sulit untuk kupercaya,” Maya tertawa sumbang. “Sementara  Mi Rae, dia sangat cantik dan sehat, rasanya kau lebih pantas bersamanya dibanding bersamaku,” tatapannya lekat di mata Masumi. “Orang-orang pasti akan menganggapmu gila jika memang aku yang kau pilih.”

“Apakah kau keberatan untuk bersama orang gila ini, Mungil?” pertanyaan Masumi membuat Maya tergagap.  
“Tidak… bukan begitu.. aku… ah… maksudku…”
Masumi tertawa melihat kegugupan Maya. “Itu artinya kau tidak keberatan, bukan?” godanya kemudian, membuat pipi pucat di depannya perlahan dihiasi rona merah.
“Masumi, aku…”
“Percaya padaku, hanya itu yang kubutuhkan sekarang, Maya.”
Keduanya bertatapan, lama. 

Sejak tadi Maya mencoba mencari celah untuk melihat setitik ketidakjujuran dari laki-laki tampan di depannya itu. Namun tak juga ia temukan. Hanya kelembutan, kesungguhan, dan cinta yang tulus yang dilihatnya di mata kedua mata Masumi. 

“Aku percaya padamu,” bisiknya kemudian. Dilihatnya Masumi menghela nafas lega lalu tersenyum bahagia. Laki-laki itu  pun merunduk untuk mencium bibir mungil kekasihnya.
“Terima kasih,” bisiknya lembut. “Aku tidak akan membuatmu kecewa, Mungil.”
Maya balas tersenyum. Pipinya sudah basah oleh air mata.
“Kau ini, cengeng sekali, ” Masumi menghapus air mata itu dengan jemarinya untuk kemudian mencium pipi dan kening Maya. 
“Aku bukan cengeng!” Maya meruncingkan bibir mungilnya. “Aku terharu. Baru kali ini aku melihat direktur Daito yang dingin dan tidak punya hati memohon-mohon pada orang untuk mempercayainya,” ujarnya kemudian. “Kurasa seharusnya tadi aku mengundang wartawan untuk datang. Pasti akan jadi berita paling hangat di seluruh Jepang.”

Masumi melebarkan matanya, pura-pura melotot dengan mimik kejam. “Hanya kau yang bisa membuatku melakukan hal itu, Mungil. Memohon. Sesuatu yang tidak pernah aku lakukan pada siapapun seumur hidupku. Jadi kurasa kau harus bertanggung jawab sekarang!”
“Hee.. aku tidak memaksamu melakukan itu!” protes Maya. 
“Aku tak peduli. Pokoknya aku akan menuntut tanggung jawabmu,” Masumi mendekatkan wajahnya lagi. Maya yang berada di bawahnya nampak mengerut ngeri.
“Apa yang harus aku lakukan?” gadis itu menguik pelan.
Masumi tersenyum penuh misteri. “Nanti sore kau akan tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Kenapa tidak sekarang saja?” tantang Maya. Masumi menggeleng dalam senyumnya.
“Tidak,” geleng Masumi.
“Kenapa?”
“Karena aku harus mempersiapkannya dulu.”  jawab Masumi membelai pipi gadis itu lembut. “Lagi pula kita sudah terlalu banyak bicara. Jika doktermu tahu, aku bisa dimarahi habis-habisan. Sekarang istirahatlah.”
“Tapi aku belum lelah!”
“Kau tetap harus istirahat. Kondisimu jadi kurang baik karena kau nekat jalan-jalan ke luar kemarin. Sekarang istirahatlah. Aku akan menemanimu.”

Maya melepas sebelah tangannya yang digenggam Masumi untuk meraih wajah lelaki itu. Sebenarnya sejak tadi ia menyadari ada lingkaran hitam di sekeliling mata Masumi. Ia berani taruhan, Masumi tidak tidur semalaman karena menungguinya.
“Kau juga istirahatlah,” bisik Maya. “Kau pasti tidak tidur semalamam karena menungguiku.”
“Makanya sekarang kau tidur, biar aku bisa istirahat,” Masumi tersenyum. Maya mengangguk. Dirinya memang sudah mengantuk. Sepertinya pengaruh obat masih bersisa sehingga begitu hatinya merasa tenang, ia pun segera terlelap kembali.***

Mi Rae menelungkup di atas tempat tidur. Sejak tadi pagi dia terus menangis. Meski sekarang sudah lewat jam makan siang, kesedihan yang teramat sangat membuatnya melupakan rasa lapar. Padahal, tadi pagi pun dirinya tidak sempat sarapan. Insiden dengan Sano membuat selera makannya hilang tak berbekas hingga kini. 

Seraya terus menangis Mi Rae memeluk gaun pink yang kini sudah menjadi serpihan kain tanpa bentuk. Tak pernah dia sangka Sano akan berbuat sekejam itu. Padahal, biasanya ia begitu ramah dan lembut. Tapi tadi, tanpa menghiraukan jeritan dan tangisannya, Sano tetap mengunting gaunnya tanpa ampun.

“Masumii…,” isaknya pilu, memanggil pujaan hatinya. Gaun pink ini pilihan Masumi. Masumi memujinya kemarin saat ia mencoba baju itu di butik. Kini gaun ini bahkan sudah tidak bisa dia pakai,  sudah rusak, gaun pilihan Masumi…

Tangisnya terdengar kian pilu

Beberapa saat kemudian, suara pintu kamar yang terbuka membuatnya segera mengangkat wajah. Jika itu Sano, ia bersumpah akan terus menangis sampai laki-laki itu menyesal karena sudah menyakitinya.

Namun wajah bersimbah air mata itu mendadak sumrigah saat melihat siapa yang masuk. Segera ia melompat dan menghambur ke dalam pelukan.
“Kau kenapa?” suaranya terdengar sangat lembut dan penuh perhatian. Tangis Mi Rae kembali mengencang.
 “Gaunnya… gaunnya…,” tangan gadis itu gemetar menunjuk ongggokan sisa gaun di atas tempat tidur.
Didengarnya laki-laki yang sedang memeluknya itu mendesis, marah.
“Siapa yang melakukannya?”
“Maaf, padahal gaun itu kau yang memilihkannya untukku.”
“SIAPA YANG MELAKUKANNYA!!” suara Masumi terdengar mengerikan.
“Sano…,” Mi Rae menjawab takut-takut. Dia melihat wajah Masumi memerah menahan marah.
“Jangan! Jangan marah pada Sano. Dia… dia.. mungkin hanya cemburu. Dia tidak menyakitiku, kok,” imbuh Mi Rae cepat-cepat. Berharap bisa meredakan kemarahan Masumi.
“TIDAK MENYAKITIMU?!! LALU MENGAPA KAU MENANGIS SEPERTI INI?!!”
“Masumi… tenang. Jangan marah ya. Kumohon.”
“Tidak akan kubiarkan siapapun menyakitimu, Mi Rae. Aku harus memberinya pelajaran. Dimana dia sekarang?”
“Aku tidak tahu. Mungkin kamarnya.”
Mi Rae mencoba menahan langkah Masumi.
“Sudahlah, Masumi. Jangan marah lagi. Aku sudah tidak apa-apa, kok.”

Tapi nampaknya laki-laki itu tidak menggubrisnya. Tetap berjalan lebar menuju kamar Sano.
“Masumi, kumohoon.”
“Sudah, jangan lemah begitu Mi Rae! Siapa pun yang menyakitimu, akan merasakan akibatnya. Kau diam saja disana!”
Masumi menepis tangannya keras, membuat Mi Rae tak lagi berdaya untuk menahan.
Gadis itu menutup telinganya erat-erat. Air matanya menetes saat mendengar teriakan Sano yang penuh kesakitan.***


                      **** Bersambung ke part 5****






11 komentar:

  1. mi rae jahatnya.....sebel banget Masumi musti tegas dong..Naya bertahan ya...

    BalasHapus
  2. Kayaknya Mi Rae sakit jiwa nie...hehehehe....Jangan2 dia cuma berhayal klo dia tuh jadian sama Masumi...*koqjadisoktahuyasis....Geregetan liat tingkahnya si Mi Rae...semoga cepet ketahuan d....

    BalasHapus
  3. akhirnya keputusan yg bagus masumi melepaskan mi rae.. qiqiqi *tersenyum puas.. :D memanfaatkan org sakit gt tuh mi rae..

    BalasHapus
  4. nyebelin banget dah cewek sycho dah parah parah parah parah

    BalasHapus
  5. Jangan - jangan yang selama ini mengirim hadiah ke Mi Rae adakah Sano tpi pake nama Masumi. Mungkin dulunya Mi Rae waktu Masumi pergi Mi Rae mau bunuh diri n karena cintanya pada Mi Rae akhirnya Sano mengirim hadiah atas nama Masumi. Jadinya Mi Rae salah duga deh!!!

    BalasHapus
  6. akhirnya nurani seorang kakak keluar juga...
    mantabbbs Sano hayoo!!!! terus beri pelajaran sama Mie Rae ( indomie kaleeee)

    BalasHapus
  7. waaaAAA apa artinya ini?
    masumi plin plan ataw....?

    BalasHapus
  8. kok aku jadi bingung ya??????kyknya gak mungkin klo masumi berbaik2 lagi sana mi rae tapi siapa cowok itu.... walalaalalalalah menbingungkan...lanjut sista....

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. hwuaaaaaaaaaa.......bingungggggg!!!!!! masumi ato mie ramen yg phsyco??????

    BalasHapus