Minggu, 09 Oktober 2011

Stop Playing With My Heart

 



 
Warning: Kissu-kissu, bed scene.
Setting:  Setelah percobaan bunuh diri Shiori.

Maya menatap mata kelam lelaki di depannya dengan keheranan. Laki-laki itu nampak kusut. Tidak seperti biasanya.

“Apa yang terjadi?”

Tak ada jawaban. Yang ditanya hanya mematung di depan pintu apartemennya.

“Pak Masumi?” Maya merasakan dadanya berdebar lebih keras. Perasaan khawatir menelusup melihat betapa sedihnya mata itu memandangnya. 

Panggilannya tetap tak ada respon. Perlahan Maya mendekat, mengulurkan lengan untuk menyentuh wajah tampan di depannya.

“Pak Masumi? Apa yang ter.. AKH!!!”

Gadis itu terpekik kaget saat tiba-tiba saja, tubuh Masumi limbung. Badannya yang mungil hampir-hampir tidak dapat menahan beban tubuh Masumi yang kini bertumpu dalam dekapannya.

“Ma..ya…” suara lelaki itu terdengar lemah.  Maya terjengit. Badan Masumi terasa panas!

“Anda… sakit?” tanyanya cemas. Masumi tak menjawab. hembusan nafasnya yang panas di lehernya sudah menjawab semua.

Maya memeluk tubuh lemas Masumi dengan panik. Ah, bagaimana ini? Tubuhnya berat sekali…

“Pak Masumi, di luar sini sangat dingin. Apa anda masih bisa berjalan? Kita masuk. Tapi saya tidak akan kuat jika harus menggendong anda masuk.”

Anggukan kepala Masumi di lehernya membuat lega. Dengan hati-hati, Maya memapah laki-laki itu masuk. Tak ada sofa di dalam apartemennya. Jadi satu-satunya tempat yang bisa dipakai lelaki itu berbaring adalah kamarnya.

“Pak.. Masumi.. anda duduklah dulu…..,” dengan susah payah Maya membantu Masumi duduk di lantai. Bergegas ia mengeluarkan futon dan menggelarnya. Lalu membantu Masumi berbaring.

Dengan matanya Maya melirik penghangat ruangan tua yang terletak di sudut kamar.  Masih menyala. Cukup menghangatkan kamarnya di musim dingin ini. Pandangannya lalu kembali menatap Masumi yang kini terbaring di atas futonnya. Baru disadarinya wajah lelaki itu sangat pucat.

Dirabanya kening Masumi.

Panas.

“Aku harus mengompresnya,” batin Maya. Gadis itu baru saja hendak berdiri saat lengannya dicengkram. Refleks ia menoleh. Lengan Masumi melingkari pergelangan tangannya. Erat.

“Pak Masumi?” Maya mengernyitkan keningnya. Nampak Masumi memejamkan matanya.

“Jangan …per..gi..,” bibir laki-laki itu  bergerak lemah.

“Tapi saya harus mengambil kompresan,” sahut Maya heran.”Badan anda panas sekali.”

“Aku tidak butuh..kompresan. Aku hanya butuh… kau.”

Suara Masumi terdengar lemah sebenarnya, namun cukup membuat Maya terpaku di tempatnya duduk seraya menatap wajah Masumi yang kini  menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Belum lagi rasa terkejutnya hilang karena ucapan Masumi, Maya merasakan tubuhnya limbung. Gadis itu terpekik. Sedetik kemudian, tubuhnya sudah berada di atas tubuh Masumi. Dalam dekapan laki-laki itu.

“Pak..Ma..su..mi,” Maya tergagap. Jantungnya terasa berlompatan tak terkendali.  Dari cara laki-laki itu menatapnya, Maya tahu, Masumi sedang setengah tidak sadar akan keadaan sekelilingnya.

Gadis itu mencoba melepaskan diri dari dekapan Masumi. Namun eratnya lengan Masumi melingkari tubuhnya, membuat usahanya sia-sia.

“Sebentar saja,” bisik Masumi. “Seperti ini.. sebentar saja.”

Lengan kanan Masumi terangkat, mulai membelai pipi Maya yang kini merona merah karena gugup. Dalam kebingungannya akan sikap Masumi, Maya merasakan jantungnya semakin menggila.

“Kau cantik,” didengarnya Masumi berbisik pelan.

Maya merasakan wajahnya semakin panas. Ia bahkan hampir yakin kalau ia sudah mulai tertular suhu tubuh Masumi yang sedang demam.

“Aku suka mata beningmu, alismu, hidungmu…,” dengan telunjuknya, Masumi membelai semua yang dia sebutkan.”… pipimu, dan….,” telunjuk Masumi terhenti di sudut bibir Maya yang kini terkatup. “…bibirmu… aku…suka.”

“Pak Masumi, anda sedang demam. Sebaiknya aku…”

“Apa aku begitu menyebalkan, Mungil?” Masumi memotong dengan sedikit terengah. “Sampai-sampai kau selalu mencari cara untuk jauh dariku?”

“Bukan begitu…,” sanggah Maya cepat. “Maksudku aku… lebih baik segera…”

“Hatiku selalu sakit jika melihatmu..” Masumi seolah tidak mendengar ucapan Maya. “Saat kau memandangku dengan… penuh… ugh… kebencian.. tahukah kau? Aku …sangat…sedih, Maya.”

Maya merasakan pelukan laki-laki itu dipinggangnya semakin mengetat. Mata laki-laki itu kini nampak intens memandangi bibirnya, membuat Maya merasa jengah.

“Bibir ini…, ” Masumi kembali menyentuh bibir Maya dengan telunjuknya. “Meski bibirmu sering meneriakiku dengan penuh kebencian, tapi aku… aku suka bibirmu ini,” Masumi mengusap lembut bibir gadis yang masih telungkup di atas tubuhnya itu, masih setengah tersadar karena demam yang dialaminya.

“Aku.. ingin…” mata Masumi semakin fokus menatap bibir mungil kemerahan yang berjarak tak lebih dari 10 senti di hadapannya itu. “Ingin sekali…,”

Tubuh Maya mengejang saat bibir panas Masumi menyentuh bibirnya. Tanpa harus dikomando, jantungnya berdegup sangat kencang.

Awalnya hanya menyentuh, namun tak sampai lima detik kemudian, bibir itu bergerak, menyapu bibirnya, semakin lama semakin kuat.

“Mmphh.. !!” Maya mencoba melepaskan diri, pada awalnya. Tapi entah mengapa, semakin lama, keinginan itu semakin melemah, terkalahkan oleh keinginannya untuk membalas ciuman laki-laki itu.

Bibirnya, tanpa dapat dicegah lagi, mulai ikut bergerak.

Didengarnya Masumi mengerang pelan. Ciumannya semakin panas dan dalam.

Akhirnya Maya menyerah pada keinginan hatinya. Rasa cinta yang dipendamnya untuk lelaki itu kini membuncah keluar. Tak bisa lagi dikontrol oleh logika yang sejak tadi memberikan deringan peringatan untuknya.

Maya memejamkan mata.

 Aku tidak lagi membencimu, Pak Masumi! jerit hatinya berulang kali. Aku mencintaimu!

Rasa cinta itupun diungkapkannya dalam ciumannya,  yang seperti ciuman Masumi, semakin panas.

Masumi mengerang keras. Tiba-tiba saja ia membalikkan badan Maya sehingga kini ia yang berada di atas tubuh gadis itu.

Maya sudah melupakan keadaan Masumi yang setengah tak sadar. Disambutnya semua cumbuan laki-laki itu dengan rakus.

Pakaian mereka tak lagi melekat dengan benar.

Deringan peringatan di kepalanya semakin keras. Namun untuk kesekian kalinya, deringan itu kalah oleh hasratnya yang semakin kuat.

“LAKI-LAKI INI SUDAH BERTUNANGAN, MAYA!!”

Maya terjengit!

Kalimat itu begitu saja muncul di benaknya. Seperti sebuah kilat yang meski cuma sebentar melintas, namun cukup membuatnya tersadar dan seketika itu juga Maya menghentikan gerakan tangannya meremas rambut Masumi yang kini tersuruk di dadanya.

Dengan cepat Maya berbalik, membuat tubuh Masumi terhempas ke sampingnya.

Nafasnya terengah.

Gadis melompat duduk, menarik baju yang sudah lepas semua kancingnya untuk menutupi dadanya yang terbuka. Sedikit heran melihat Masumi yang hanya terdiam setelah badannya menumbuk lantai dengan cukup 
keras.

Wajah laki-laki itu sangat merah. Nafasnya terengah. Keringat nampak merembes di kening dan ujung hidungnya yang mancung.

Kesadaran kembali menyergap Maya dengan telak. Laki-laki ini sedang setengah tidak sadar! Rasa sakit tanpa ampun menyergap hatinya.

Gadis itu mulai terisak.

Dengan sebelah tangannya, susah payah Maya menyeret tubuh Masumi untuk kembali berbaring di atas futon sementara sebelah lagi tetap memegangi bajunya agar tetap menutupi dada.

Setelah badan Masumi kembali nyaman di atas futon, gadis itu menghampiri lemari dan mengambil sebuah kaos. Lalu beranjak ke kamar mandi. Tangisan tertahan terdengar begitu pintu kamar mandi tertutup. Untuk beberapa lama gadis itu terduduk di pinggir bath tub, menangis seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan. Menangisi cintanya yang semakin lama terasa semakin menyakitkan. Sampai akhirnya, ia memaksakan diri untuk bangun.

Ada orang sakit yang membutuhkan perawatannya. Segera ***

Masumi mengeliat. Badannya terasa berat dan sakit. Pelan laki-laki itu membuka matanya dan langsung mengernyit bingung saat sadar ia tidak berada di kamarnya.

Tempat  ini tidak dikenalinya.

Dengan hati-hati ia bergerak untuk duduk.  Dipandanginya selimut yang tadi menutupi tubuhnya. Lalu futon yang kini didudukinya.

Aku dimana?

Yang terakhir diingatnya kemarin adalah sakit kepala yang teramat sangat sehingga ia dengan susah payah harus menyetir mobilnya pulang.

Pulang? Bukankah seharusnya aku ada di rumah?

Sekali lagi pandanganya mengelilingi kamar yang dirasanya sangat sempit. Kamar yang sederhana. Selain lemari dinding samping kanannya, sebuah meja pendek dengan satu set personal computer diatasnya menjadi satu-satunya furniture yang menghiasi kamar itu.

Sebenarnya aku ada di mana?

Pertanyaannya segera terjawab saat fusuma di depannya bergeser. Sosok mungil yang muncul kemudian membuatnya terkejut, sekaligus terpana.

Mayaa..

Gadis itu masuk dengan membawa sebuah nampan dimana terdapat sebuah mangkuk yang nampak mengepul dan mengeluarkan wangi bubur yang penuh aroma rempah, dan segelas susu.

“Ah, anda sudah bangun?”

Bibir mungil itu nampak tersenyum. Berjalan mendekat lalu meletakkan nampan yang dibawanya tepat dihadapannya.

“Anda pasti lapar. Makanlah buburnya. Ini bubur rempah, sangat ampuh untuk memulihkan kondisi badan setelah sakit.”

“Kenapa aku disini?” Masumi mengacuhkan bubur yang mengepul di depannya.

“Anda yang harus menjelaskannya pada saya, mengapa memilih mengetuk pintu apartemen ini semalam, padahal anda sedang demam tinggi,” jawab Maya tanpa memandang wajah Masumi. Masih terbayang kejadian semalam, dan ia merasa tak akan sanggup memandang wajah Masumi saat ini, tanpa rona merah yang menghiasi wajahnya, dan  hati yang tak berdenyut sakit.

“Aku? Datang sendiri semalam? Ke sini?” suara Masumi terdengar tak percaya.

“Tidak mungkin saya yang menyeret anda ke sini, bukan?”

Masumi tercekat. Teringat saat keluar dari rumah Takamiya setelah menemani Shiori seharian, yang terbayang saat itu di benaknya adalah Maya.

Ah, jadi tanpa sadar aku sudah menyetir ke apartemen gadis ini..

Dipandanginya Maya yang kini tengah mengambil kotak tisue dari dekat komputer, dan meletakkannya di dekat nampan.

 “Makanlah, mumpung masih panas.”

Gadis itu tak melihat ke arahku. ..

“Apa… semalam aku bertingkah… aneh?” tanya Masumi pelan.

Dilihatnya gerakan tangan Maya meraih mangkuk bubur terhenti beberapa saat. Wajahnya nampak gugup dan memerah.

“Tidak..,” akhirnya kepala cantik itu menggeleng.

Entah mengapa Masumi tidak percaya. Mata sembab Maya memperkuat dugaannya, bahwa telah terjadi sesuatu semalam.

Samar-samar diingatnya perasaan hangat dan bahagia saat Maya memeluknya.

Maya… memeluknya?!  Masumi tersentak. Benarkah? Atau itu cuma khayalanku?

Beberapa saat keheningan melingkupi keduanya. Dalam benak Masumi berputar sebuah adegan dimana ia dan Maya sedang bercumbu.

Eh?

Masumi menggedikkan kepala. Tidak mungkin!!  Desisnya tanpa sadar.

Maya yang mendengarnya menoleh.

“Apa yang tidak mungkin, Pak Masumi?”

Masumi tersentak, sadar Maya mendengar desisannya.

“Ah.. Maya,” sahutnya tergagap. “Aku hanya… mengingat… kau dan … aku… emh…” Masumi tak kuasa melanjutnya kata-katanya. Tapi hal itu cukup memberikan Maya petunjuk apa yang ingin dikatakan laki-laki itu. Wajah Masumi yang merona menguatkan dugaannya.

Tak elak lagi, rona itu menular ke wajahnya.

“Tapi… itu tak mungkin, kan?” didengarnya Masumi terkekeh pelan.

Maya kembali merasakan sakit di dadanya. Matanya kembali memanas.

“Makanlah,” ujarnya pelan. Masumi tercekat mendengar suara gadis itu yang seperti setengah menahan tangis.

Apa benar terjadi?  Pikirnya dengan dada berdebar. Mengapa gadis itu nampak begitu gusar dan sedih? Apa kehadiranku membuatnya terganggu?

Pikirannya yang terakhir mencegahnya untuk meraih mangkok yang disodorkan Maya.

“Tidak perlu, tidak usah,” tolak Masumi seraya berdiri.  Saat itulah disadarinya kemejanya terbuka, dan beberapa kancing terlepas dari tempatnya.

Eh? Kenapa ini?

Jantungnya semakin berdebar kuat. Benarkah?

Wajah Maya nampak kaku, dengan kesedihan yang jelas membayang.

Masumi tak dapat membayangkan lebih jauh apa yang mungkin terjadi semalam. Apapun itu, adalah hal yang tidak disukai  Maya.

“Maafkan aku, aku harus segera pulang.” Bergegas, tanpa  menunggu Maya ia berjalan keluar kamar.

“Setidaknya makan dulu bubur anda,” didengarnya Maya berujar. Masumi menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah gadis itu.

Maya masih terpekur menekuri mangkok yang tadi ditolaknya. Wajahnya nampak semakin muram. Ada rasa sakit berdenyut di dada Masumi.

“Tidak, terima kasih,” jawab Masumi, tak ingin lebih lama melihat kesedihan di wajah gadis itu. “Aku pulang saja.”

Nampak Maya menghela nafas pelan, sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya dan melewati Masumi menuju pintu depan. Gadis itu melihat Masumi memakai sepatunya dalam diam.

“Terima kasih sudah menjagaku semalam,” ujar Masumi sebelum beranjak keluar. Maya hanya tersenyum tipis.

Air mata kembali menetes saat tubuh Masumi menghilang di balik pintu.

Di dalam mobilnya, Masumi mencengkram setir kuat-kuat.

Mayaaa…  bisik hatinya, penuh rindu. ***

Maya melangkah mamasuki gedung Daito yang nampak ramai. Hari ini akan ada pembicaraan mengenai pementasan percobaan Bidadari merah yang akan dilaksanakan bulan depan. Kedua kelompok diundang datang.

Setelah kejadian semalam, Maya merasa setengah hati memasuki gedung dimana Masumi Hayami berkantor. Dia belum siap untuk bertemu lagi dengan laki-laki itu.

Mengingat nama Masumi Hayami saja sudah membuat wajahnya memanas. Diam-diam Maya mengeluh.

“Maya!”

Sebuah suara membuatnya menoleh. Nampak Koji berlari kecil menghampiri.

Maya tersenyum menyambut.

“Kau datang cepat,” ujar Koji begitu sampai di depan gadis mungil yang hari ini nampak cantik dengan gaun terusan selutut berwarna kuning cerah  dengan mantel musim dinginnya yang berwarna coklat.  Sepatu boot selutut menghiasi kakinya yang langsing. Sementara  rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai, hanya ditahan sebuah bando berwarna senada dengan bajunya.

“Hmmm.. aku tadi bangun terlalu pagi, jadi daripada bosan di apartemen, aku datang lebih cepat saja,” sahut Maya.

Padahal aku tidak tidur semalaman, imbuhnya dalam hati.

Wajahnya kembali memanas, teringat apa yang dilakukannya dengan Masumi.

“Hei,” Koji menyadari wajah Maya yang memerah. Saat ditatap lebih lekat, laki-laki itu juga melihat mata gadis itu yang nampak agak bengkak. “Kau sakit?” Refleks lengannya terangkat, menyentuh dahi Maya.

Maya tersentak, tapi terlambat untuk mundur.

Wajah Koji berubah saat dirasakannya dahi Maya yang hangat dan agak berkeringat.

“Kau demam, Maya,” desisnya. Maya menarik kepalanya menjauh.

“Aku baik-baik saja,” sergahnya. Koji menatapnya penuh selidik, tak percaya.

“Aku akan baik-baik saja,” senyum Maya mengembang, mencoba meyakinkan. “Jangan khawatir.”

“Kau yakin?”Koji masih menatapnya penuh selidik. Kepala cantik di depannya mengangguk.

“Syukurlah,” senyum Koji. “Aku tidak mau Akoya-ku tiba-tiba jatuh sakit,” dengan ringan dijentiknya hidung mungil Maya, membuat gadis itu tertawa.

Saat itulah mereka mendengar sesorang berdehem dari arah samping. Sontak keduanya menoleh, dan nampaklah Pak Kuronoma dan Masumi Hayami berdiri di sana. Seseorang yang duduk di kursi roda membuat jantung Maya berdesir, perih.

Nona Shioriii..

Wajah perempuan cantik itu nampak sangat pucat. Pandangan matanya berubah dingin saat mata mereka bertemu.

Maya bergidig. Mata itu menatapnya penuh kebencian!

“Kalian sudah datang?” Kuronoma memandang kedua artis utamanya dengan riang. “Apakah kalian janjian untuk datang barengan?” lanjutnya dengan nada menggoda. Kekehnya terdengar saat dilihatnya wajah Koji merona.

“Tidak kok. Kami barusan bertemu di sini,”sanggah pemuda itu.

Maya hanya terdiam di sampingnya. Sedikit menunduk. Sementara itu Masumi diam-diam mengetatkan gerahamnya. Cemburu.

“Masumi,” Maya mengangkat kepala saat didengarnya suara Shiori. “Antar aku ke mobil.”

Lengan perempuan itu terangkat untuk menyentuh lengan Masumi yang memegangi dorongan kursi rodanya. Wajah cantiknya mendongak, menatap wajah tunangannya dengan pandangan penuh cinta.

Maya kembali merasakan desiran di hatinya. Semakin perih.

Masumi mengangguk. Tanpa berkata apapun mendorong kursi roda Shiori menuju pintu lobi, diiringi tatapan ketiga orang dibelakangnya.

Maya sempat melihat Masumi menggendong Shiori masuk ke dalam mobil sebelum ia memutuskan untuk berbalik, melanjutkan langkahnya menuju ruang pertemuan, mengikuti Kuronoma yang sudah berjalan mendahului.

Ditahannya air mata yang semakin medesak keluar.

Sementara Masumi, hanya sanggup menatap punggung mungil Maya yang semakin menjauh dari tempatnya berdiri, sampai suara Shiori membuatnya terpaksa mengalihkan pandangannya.

“Aku tunggu kau di rumah,” senyum Shiori. Hatinya tercekat saat melihat betapa hampanya mata laki-laki di depannya.

“Kau tidak usah menunggu, Shiori,” sahut Masumi, datar. “ Kau sudah cukup sehat. Jadi aku mungkin tak akan datang lagi.”

“Masumi… tapi,” mata Shiori terbelalak tak percaya. “Kau bilang kau akan…”

“Dulu aku bilang akan menemanimu sampai kau kembali bisa menerima kenyataan, Shiori. Dan kurasa, sekarang kau sudah cukup waras untuk sadar, bahwa tak ada gunanya mempertahankan hubungan yang sejak awal sudah salah. Kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Shiori. Dan itu bukan denganku.” suara Masumi terdengar sangat tegas.

 Shiori terdiam. Akhirnya saat ini tiba. Tak ada gunanya lagi mengulur waktu.

“Kuharap kau menyesal dengan keputusanmu ini,” desisnya menahan tangis.

Ada garis tipis di bibir Masumi.

“Aku akan menyesal jika terus menerus berpura-pura mencintaimu. Karena hal itu akan menghancurkan kita berdua.”

“Keluargaku tak akan melepaskan Daito karena kau sudah menyakitiku.”

“Kakekmu orang yang bijaksana. Dia tahu memaksaku untuk menikahimu hanya akan menghancurkan hidup cucu kesayangannya. Lagi pula, beliau pembisnis yang handal. Dia tidak akan mengusik Daito karena tahu hal itu akan sangat merugikannya kelak.”

Shiori mengetatkan gerahamnya. “Gadis itu membencimu. Dia tidak akan berpaling padamu!”

Kini Masumi tertawa, sumbang.

“Mungkin. Tapi aku akan terus mencintainya sepanjang hidupku. Meski hanya dari balik bayangan, itu sudah cukup.”

Tidak! Sanggah hatinya. Itu tidak cukup! Aku ingin dia mencintaiku seperti aku mencintainya!

“Kau laki-laki payah!” suara Shiori terdengar sinis.

“Jadi bukannya seharusnya kau bersyukur bisa terlepas dari laki-laki payah sepertiku?”

Shiori tercekat. Ah, dengan mudahnya laki-laki ini membuat kata-katanya menjadi senjata yang mampu menghantam hatinya telak.

“Aku membencimu, Masumi Hayami!”  suaranya tercekik. menahan emosi yang semakin kuat menyergap.

“Aku memang pantas kau benci,” sahut Masumi tenang. “Jadi cepatlah kau pulang agar tidak terlalu lama memandang wajah laki-laki yang kau benci ini. Lagi pula kakekmu pasti sudah khawatir,” lanjutnya.

Masumi mendorong pintu mobil. “Ah, setelah ini kita tak akan bertemu lagi Shiori. Jaga dirimu baik-baik. Jangan melakukan hal bodoh yang hanya akan merusak harga dirimu lagi,” ujarnya sebelum menutup pintu mobil. “Selamat tinggal.”

Ditutupnya pintu mobil Shiori. Sempat didengarnya teriakan kemarahan gadis itu sebelum akhirnya mobil itu melaju meninggalkan pelataran gedung Daito.

Masumi menghela nafas. Lalu berbalik untuk kembali masuk ke gedung kantornya.

Bayangan Maya sudah menghilang.

Kerinduan kian menekan hatinya lebih kuat.

Apa dia selamanya tak akan berpaling padaku?  bisik hatinya, resah. Dadanya semakin berdebar kencang seiring langkahnya yang mendekati ruang pertemuan.

Di balik pintu ini Maya berada.


Dikuatkannya hati sekali lagi, sebelum meraih hendel pintu dan membukanya.

Mata bening Mayalah yang pertama kali tertangkap oleh matanya. Mata itu masih terlihat bengkak. Terbayang sebuah ingatan yang sampai saat ini masih diragukan, apakah itu kenyataan, atau hanya potongan mimpi sebagai imbas kerinduannya yang teramat sangat terhadap gadis itu.

Tapi jejak panasnya bibir Maya di bibirnya masih terasa sampai sekarang.

Begitu nyata.

Mungkinkah? pikirnya, semakin resah ***

Rapat yang membahas teknis pertunjukan percobaan itu terasa begitu lama bagi Maya. Kepalanya yang sejak tadi berat mulai berdenyut sakit. Keringat dingin mulai merembesi dahinya.

“Maya,” suara Koji samar-samar tertangkap telinganya yang berdenging.

Koji terheran-heran melihat Maya yang tidak merespon panggilannya, padahal gadis itu duduk tepat di sampingnya.

Rapat sudah selesai. Diujung meja, Masumi memperhatikan keduanya dengan jemari terkepal.

“Maya!” Koji mengeraskan suaranya. Akhirnya Maya menoleh. 
“Hmm?”
Koji tercekat melihat wajah Maya yang dirasanya semakin pucat.

“Sudah selesai. Ayo kita pergi.”

Maya mengangguk. Tapi saat baru saja berdiri, Maya merasa kepalanya berputar sangat cepat. Keluhan kecil keluar dari bibir mungilnya seiring tubuhnya yang terhuyung.

“Maya!!!” sigap Koji menahan agar tubuh itu tidak jatuh. Masumi melompat dari tempat duduknya. Dengan langkah lebar menghampiri.

“Biar aku,” tanpa memperdulikan pandangan keheranan Koji, laki-laki itu dengan mudahnya mengambil alih berat Maya ke dalam pelukannya. Sekali angkat, tubuh gadis itu sudah berada dalam gendongannya.
Maya merasakan tubuhnya melayang. Untuk beberapa saat ia kehilangan orientasi. Membiarkan sepasang lengan kokoh membawanya pergi entah kemana.

Saat kesadaran kembali menghampiri, matanya kini dapat dengan jelas melihat wajah Masumi yang nampak tegang. Refleks Maya mencengkram bahu laki-laki itu dengan sebelah tangannya.

“Turunkan saya!” ujarnya gugup. Tapi laki-laki itu nampaknya tidak mendengar. Tetap menatap lurus dan tidak mengindahkan permintaannya.

“Pak Masumi, tolong turunkan saya. Saya tidak apa-apa.”

Sebuah suara dentingan kecil menyadarkan Maya bahwa mereka berada di dalam lift.

Saat lift terbuka, Masumi membawanya ke dalam sebuah ruangan besar berkarpet merah. Mizuki yang tengah menekuri komputernya nampak terkejut melihat bosnya masuk seraya menggendong Maya.

“Pak Masumi? Maya kenapa?”

“Tolong panggilkan dokter, Mizuki!” perintah Masumi seraya berjalan menuju pintu ruang kerjanya. Mizuki mengangguk. Bergegas membukakan pintu untuk Masumi dan kembali ke mejanya untuk menelpon dokter.

Masumi membaringkan tubuh Maya di atas sofa.

Begitu pungungnya menyentuh permukaan sofa yang lembut, Maya segera melompat bangun. Namun gerakannya itu justru membuat kepalanya kembali berputar. Tubuhnya kembali terhempas di atas sofa.

“Keras kepala,” Masumi tersenyum mengejek melihat hal itu. Namun wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

Maya tidak merespon. Gadis itu sibuk meredakan rasa pusingnya.

Beberapa saat kemudian ia mulai bisa beranjak bangun. Dilihatnya Masumi masih berdiri di  tempatnya semula. Di samping sofa tak jauh dari dirinya. Diabaikannya wajah laki-laki itu yang nampak khawatir.

“Saya harus pulang,” ucap gadis itu hampir seperti bisikan.

“Kau  bahkan tak bisa berdiri. Bagaimana bisa pulang?” suara Masumi masih terdengar sinis. Maya mengangkat wajah, menatap laki-laki itu.

“Bukan urusan anda bagaimana saya  bisa pulang,” desisnya. Perlahan gadis itu mencoba berdiri. Namun rasa pusing kembali membuatnya terduduk.

Didengarnya Masumi tertawa. Maya menelan kekesalannya dan kembali mencoba berdiri.

Kali ini dia berhasil, meskipun hanya dalam waktu 10 detik saja. Di detik kesebelas, tubuh itu kembali limbung disertai dengan keluhan yang keluar dari mulutnya.

Masumi mendekat dengan gemas. Laki-laki itu menekan pundak Maya agar tetap duduk di tempatnya saat kembali gadis itu mencoba berdiri.

“Dasar bodoh! Berulang kalikau mencoba pun, badanmu tidak akan sanggup, Mungil. Jadi tenanglah kau berbaring sebelum dokter datang,” desisnya. Dengan sekali hentakan, ia kembali membaringkan tubuh Maya ke sofa.

Maya terpekik kaget.

Refleks lengannya mencengkram bahu Masumi sehingga tanpa ampun, tubuh laki-laki itu terbawa, jatuh diatas tubuhnya.

Masumi merasakan darahnya mengalir puluhan kali lebih cepat dalam sekejap. Memompa jantungnya untuk berdetak dengan kecepatan melebihi batas.

Bayangan itu kembali melintas.

Tanpa sadar, pandangannya jatuh ke bibir Maya yang setengah terbuka. Dada gadis itu naik turun dengan cepat, dibawah dadanya.

Sekuat tenaga Masumi mencoba mengembalikan akal sehatnya yang mendadak lari terbirit-birit, meninggalkan gairahnya sendirian  yang setengah mati mencoba untuk tenang. Pesona gadis mungil dalam dekapannya perlahan namun pasti mulai mencengkram dirinya, jiwa dan raga.

Gadis itu menatap dengan sebulat matanya. Wajahnya yang memerah lebih karena demam sebenarnya. Bibirnya terlihat bergetar samar.

Masumi meneguk ludahnya tak kentara. Gadis ini benar-benar terlihat mempesona!

Demi Tuhan, Maya! Masumi menjerit dalam hati. Jika kau terus seperti itu, aku akan… akan..

Akal sehatnya benar-benar tak kembali. Masumi mengerangkan kekalahannya pada gairah yang semakin mendesak keluar. Diterkamnya bibir mungil itu dan dilumatnya dengan rakus.

Maya tergagap. Cengkramannya di bahu Masumi semakin kuat.

“MMphh.. Pak…Masmmmpph,” sekuat tenaga gadis itu mencoba mendorong tubuh Masumi menjauh. Ia tidak ingin kejadian semalam terulang. Tapi semakin ia mencoba, semakin kuat Masumi memeluknya.

Air mata gadis itu menetes. Ia sadar, sebentar lagi dirinya akan ikut terhanyut bersama gairah laki-laki yang kini tengah melumat bibirnya itu. Terlebih lengan Masumi mulai kini menjelajahi bagian-bagian sensitif dari dirinya.

Jemari Maya yang tadi mencengkram bahu Masumi, entah sejak kapan tengelam di rambut lebat lelaki itu. Masumi yang merasakan ciumannya bersambut, semakin menenggelamkan bibirnya di bibir gadis itu.

Maya mendesah, membuka bibirnya lebih lebar, membiarkan lidah lelaki itu meliliti lidahnya, panas. Nafas keduanya terengah. Masumi membisikan nama Maya setiap kali bibir mereka terpisah. Semakin lama ciuman mereka semakin lama dan panjang.

Tubuh Maya itu meliuk, merapatkan diri ke tubuh keras Masumi. Erangannya keluar saat ciuman Masumi turun ke lehernya.

“Pak Masumiii…,” desahnya serak.

Dirasakannya Masumi menggigit pundaknya pelan, membuat gairahnya semakin tinggi.

“Pak Masumiiii!!” erangan Maya semakin keras. Menarik kepala laki-laki itu agar semakin tenggelam di lehernya.

Erangan keras Maya seketika mengembalikan akal sehat Masumi.

Seketika laki-laki itu melompat bangun. Nafasnya terengah, menatap Maya yang masih terbaring dengan dengan pandangan shock.

Apa yang sudah kulakukan?!

Dilihatnya bibis gadis itu membengkak akibat ciumannya yang kuat tadi. Pakaian Maya pun nampak berantakan.

Masumi cepat berdiri dan berjalan dengan terhuyung menuju meja kerjanya.

“Pergilah!” ujarnya kemudian.  Ia tahu, jika gadis itu berada lebih lama di ruangannya, ia tak akan bisa menahan diri lebih lama. Terlebih dengan apa yang baru terjadi tadi.

Maya tersentak. Suara itu terdengar sangat dingin di telinganya. Air mata kembali melompat ke pipinya. Dengan susah payah gadis itu bangun, merapikan bajunya. Meski rasa pusing kembali menyergap saat dia berdiri, sekuat tenaga Maya mencoba bertahan untuk tidak kembali jatuh.

“Cepat pergi dari sini!” Masumi kembali berkata saat sadar Maya masih ada di belakangnya. Dada laki-laki itu masih berdegup kencang.

Maya terhuyung. Air mata kian deras membanjiri pipinya yang pucat.

“Apa mau anda sebenarnya?” Maya mencoba bersuara meskipun sadar, suaranya akan sangat terdengar parau oleh rasa sakit yang kini mengoyak hatinya. “Jika anda memang tidak menyukaiku, mengapa memperlakukanku seperti tadi!!”

Masumi mengepalkan tangannya yang bertumpu di atas meja.

“Itu tadi kesalahan. Lupakan semua!” sahutnya datar. Hampir terdengar tanpa emosi.

Maya terbelalak tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kesalahan? Melupakannya?” desis Maya. “Apakah anda begitu membenci saya Pak Masumi? Sampai-sampai tega memperlakukan saya seperti ini?

Suara Maya terdengar begitu sedih.

Masumi berbalik dengan cepat dan terkejut melihat wajah gadis itu sudah bersimbah air mata.

“Maya.. bukan.. begitu…,” gagapnya. Tak tahu apa yang harus diucapkannya. Sekarang bukan saat yang tepat baginya untuk berterus terang tentang apa yang sebenarnya dia rasakan. Tentang cintanya, tentang kerinduannya.

Dirinya masih sangat takut akan penolakan Maya, meski sebenarnya sejak di Astoria, Maya sudah memberikan tanda bahwa lampu merahnya sudah berubah menjadi kuning.

Tapi ia masih saja takut kalau itu hanya perasaannya saja.

Belum lagi urusannya dengan Shiori dan keluarga Takamiya belum tuntas seratus persen.

Juga pertunjukkan Bidadari Merah.

“Jika saja saya masih membenci anda, maka akan sangat mudah bagi saya untuk melupakan semua perlakuan anda tadi,” didengarnya Maya kembali berujar dengar suara yang semakin bergetar penuh emosi.

Masumi tersentak. Apa dia bilang?

“Apa mau  anda sebenarnya? “ Maya menatap laki-laki didepannya dengan berani. “Orang seperti apa anda ini? Semua terlalu membingungkan Pak Masumi. Di satu waktu, anda seringkali berbuat seenaknya, membuat saya marah dan sakit hati seperti ini. Tapi di waktu lain anda begitu bersahabat dan ramah. Juga selalu dengan diam-diam menyemangati saya saat saya gagal dan putus asa? Mengapa?!”

Masumi tercekat. “Apa..maksudmu?”

Jantung Masumi kembali berdegup cepat. Kali ini lebih karena cemas dan takut. Apa dia sudah tahu?

“Semua membuat saya bingung. Dan ini sangat menyakitkan, Pak Masumi. Jika memang anda tak suka…BERHENTILAH MENJADI PELINDUNGKU DAN JANGAN PERNAH LAGI MENGIRIMIKU MAWAR UNGU!!”

Kini Masumi benar-benar terjengit karena rasa terkejut yang teramat sangat.

“Maya.. kau.. kau sudah…tahu?”

Wajah di depannya nampak meringis diantara isakannya. Seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat.

“Harusnya saya terus membenci anda. Tapi mengapa saya justru  bisa jatuh cinta pada laki-laki seperti anda? Anda tahu? Hati ini sangat sakit.. sakit karena mencintai laki-laki yang sudah begitu banyak membuat saya menderita. Sakit karena menyadari anda sudah jadi milik wanita lain. Sakit, karena saya tidak tahu, apa maksud anda dengan memperlakukan saya seperti ini. Sakit, karena sekeras apapun saya menyangkal, rasa cinta ini malah semakin kuat mencengkram jiwa saya. Jadi kumohon… berhentilah bermain-main dengan hati ini. MENJAUHLAH JIKA ANDA MEMANG  MEMBENCI SAYA!!

Dengan cepat gadis itu berbalik dan menerjang pintu, membuat Mizuki dan seseorang yang hendak masuk bersamanya terkejut.

Masumi terpaku di tempatnya berdiri. Shock dengan apa yang baru didengarnya.

Dia sudah tahu, dia sudah tahu kalau aku si Mawar ungu dan dia… dia mencintaiku!!

MENJAUHLAH JIKA ANDA MEMANG MEMBENCI SAYA!!

Keterkejutan yang teramat sangat membuat Masumi baru bisa mencerna kalimat Maya yang terakhir.

Tidak!!  Gelengnya panik. Aku tidak membencimu, Maya!! Kau jangan salah paham. Aku tidak membencimu. Aku mencintaimu!!

Secepat kilat Masumi berlari, menyusul Maya.

“Pak Masumi, dokternya…” Mizuki mencegatnya di pintu tapi tak digubrisnya. Dalam ingatannya hanya ada Maya.

Maya.. aku tidak membencimu!! Jangan suruh aku menjauhimu!!

Masumi masih bisa melihat bayangan Maya memasuki lift.

“Tunggu!!!”

Terlambat. Lift sudah tertutup rapat saat Masumi mencoba untuk menahannya. Masih sempat dilihatnya wajah Maya bersimbah air mata.

Jangan menangis Maya!  Jerit hatinya pedih.

Cepat ia berpindah ke pintu lift  pribadinya. Menatap indikator lantai dengan tak sabar.Saat pintu terbuka di lobi, matanya melihat punggung Maya yang setengah berlari melewati pintu keluar.

“MAYA!!!”

Masumi tak peduli lagi tatapan keheranan dari para pegawai dan tamu yang kebetulan ada di lantai tersebut. Adegan seorang Direktur Utama sebuah perusahaan terkemuka mengejar seorang artis muda pasti menimbulkan banyak pertanyaan dan dugaan.

Tapi sekali lagi dia tidak peduli.

“MAYA!! TUNGGU!!!”

Masumi berlari cepat keluar lobi. Gadis itu nampak tengah menyeberangi gerbang satpam.

Dengan langkahnya yang lebar, dalam waktu singkat, Masumi dapat menyusul gadis itu.

“MAYA, BERHENTI!!” Diraihnya lengan gadis itu. Maya tersentak, lalu berteriak marah.

“LEPASKAANN!!”

“TIDAK!” Masumi balas berteriak.

Ditariknya lengan itu  dan dipeluknya Maya dengan erat.

“Aku tidak akan melepaskanmu lagi,” bisik laki-laki itu kemudian, tepat di telinga Maya.

“Kumohon, jangan mempermainkanku, Pak Masumi,” Maya masih mencoba berontak.“Jangan bermain-main dengan hatiku lagi. Kumohoon,” suara Maya terdengar putus asa.

“Maafkan aku, Mungil. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu.”

Masumi mengetatkan pelukannya.

“Aku tidak pernah membencimu, Maya.. Tidak pernah,” bisiknya lagi. Maya terisak di pelukannya. “Sebaliknya, aku mencintaimu.. sangat mencintaimu.. sejak dulu,” air mata menetes ke pipi. Setelah hampir satu windu memendamnya dalam hati, kalimat itu akhirnya bisa dia ucapkan juga. “Jadi jangan menyuruhku untuk menjauh darimu, karena aku bisa gila karenanya.”

“Bo..hong..” didengarnya Maya berbisik pelan.

Masumi menggeleng cepat. “Tidak, sayang. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.”

Dikecupnya ujung kepala Maya dengan perasaan cinta yang membuncah.

Sesaat masih didengarnya isakan Maya. Namun kemudian, Masumi merasakan tubuh Maya melemas dalam pelukannya.

“Maya?”

Mata gadis itu terpejam. Wajahnya pucat dan berkeringat. Nafasnya cepat dan panas.

Gadis itu sudah tak sadarkan diri.***

Maya terbangun di sebuah kamar yang tidak dia kenali. Kamar itu jauh lebih luas dibanding kamar apartemenya.  Bernuansa krem dengan dekorasi indah di langit-langitnya. Lampu kristal mewah tergantung di tengah ruangan. Tempat tidurnya pun terasa sangat lembut dan empuk. Berkanopi dengan tirai-tirai sutra menghiasi keempat tiangnya.

Sejenak gadis itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Sedikit tersentak saat mengingat kejadian terakhir  sebelum pingsan.

Aku mengatakan kalau aku.. mencintai Pak Masumi?  Seketika Maya merasakan dadanya berdebar keras dan wajahnya memanas.

Suara pintu terbuka membuat pandangannya teralih ke pintu.

“Ah, kau sudah sadar,” sebuah suara ramah menyapanya. Maya mengenal laki-laki itu.

“Paman es krim?”

Wajah tua di atas kursi roda itu tertawa lebar.

“Senang kau masih mengenalku, Mungil.”

“Tentu saja!” sahut Maya. “Anda sudah banyak membantuku saat di lembah plum,” gadis itu mencoba bangun.

“Jangan bangun dulu. Demammu baru saja reda.”

“Tak apa, paman. Saya sudah merasa olebih baik,” senyum Maya. Badannya memang lebih terasa segar sekarang.

“Ini rumah Paman?” Maya memandang sekeliling.

“Iya,” angguk Eisuke.

“Tapi kenapa saya ada di sini?” Maya mengernyit heran.

“Kau tidak ingat? Anakku yang bodoh itu datang dengan panik seraya menggendongmu yang tengah pingsan. Berteriak-teriak membuat geger semua pelayan.”

“Anak.. paman?”

“Ya.. anakku. Si Kecoa .”

Untuk beberapa saat Maya tak bisa mencerna jawaban Eisuke. Kecoa?

Kening gadis itu berkerut. Tapi sedetik kemudian, ia membelalak kaget.

“Maksud paman.. si Kecoa itu.. jangan-jangan…”

Maya tak kuasa mengucapkan dugaannya. Ia hanya menatap Eisuke dengan sedikit takut,

Laki-laki tua itu tergelak.

“Tidak usah merasa panik seperti itu. Laki-laki sekaku dan sedingin si Masumi memang pantas jika disebut kecoa. “

“Jadi... anda adalah… ayahnya Pak Masumi?”

“Itu benar, Mungil. Aku Eisuke Hayami. Ayah dari Masumi Hayami,  si kecoa yang tanpa diduga, ternyata mencintaimu setengah mati.”

Maya menutup mulut dengan kedua tangannya saking terkejutnya mengetahui kenyataan itu.

“Maaf, paman. Aku tidak tahu kalau.. anda .. adalah ayah…”

“Tak perlu minta maaf,” Eisuke tersenyum menenangkan. “Anakku sudah banyak membuatmu susah. Pantas jika kau sebut dia kecoa.”

Mau tak mau Maya tersenyum mendengar ucapan Eisuke.

“Andai saja aku tahu lebih awal, kalau kau yang dicintai anakku..” Eisuke menghentikan kalimatnya. Terlihat sedikit menerawang.

“Paman?” tegur Maya pelan, setelah untuk beberapa saat keheningan menyelimuti.

Eisuke kembali pada kenyataannya sekarang. Tersenyum lembut menatap gadis mungil yang kini bersender pada tumpukan bantal.

“Kurasa aku harus membereskan beberapa hal, Mungil. Agar kalian bisa cepat bersama,” ujarnya kemudian.
Kening Maya mengernyit tak mengerti.

“Istirahatlah! Sebentar lagi  Masumi akan datang menemanimu di sini. Anak itu mungkin sedang mandi sekarang. Semalaman ia menungguimu di sini sambil menangis.”

“Siapa yang menangis?” tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah pintu.

Keduanya seketika  menoleh ke arah sumber suara.

Masumi nampak berdiri si ambang pintu. Wajahnya nampak segar. Samar-samar Maya dapat mencium wangi after shave laki-laki itu.

“Kau,” jawab Eisuke enteng. “Hmm, selama aku hidup denganmu, baru kemarin malam aku melihat Masumi Hayami yang begitu panik. Kurasa para lawan bisnismu akan terpukul jika mengetahuinya. Kau, tidak pernah sedikitpun terlihat panik dan takut saat menghadapi mereka. Tapi saat kau harus menghadapi seorang gadis manis yang pingsan karena demam, kau bahkan bisa membuat heboh orang serumah dengan teriakanmu.”

Masumi menghampiri dengan wajah sedikit memerah.

“Jangan sok tahu!” desisnya kemudian.

Eisuke terkekeh. Lalu kembali menoleh ke arah Maya.

“Nah, Mungil. Kecoa tersayangmu sudah datang. Aku tidak ingin mengganggu kalian lebih lama,” Eisuke memutar kursi rodanya.

“Paman sama sekali tidak mengganggu. Jadi jangan pergi,” sahut Maya. Saat ini dirinya merasa lebih baik dia tidak berduaan dengan Masumi di dalam kamar ini. Kehadiran Eisuke akan membuatnya lebih tenang.

Maya berharap kedua orang di dekatnya itu tidak bisa mendengar suara jantungnya yang berdegup kencang.

“Mungil? Paman?” Masumi mengerutkan keningnya. “Kalian sudah saling mengenal?”

“Tentu saja kami sudah saling mengenal. Gadis ini terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja, Masumi,” senyum Eisuke, sedikit menggoda Masumi.

“Ah, Maya,” laki-laki setengah baya itu kembali memutar kursi rodanya, menatap Maya yang masih duduk bersender di tempat tidur. “Tolong jaga laki-laki dingin dan kaku ini untukku ya. Hatinya sudah patah berkali-kali karenamu, sampai-sampai pasrah saja saat kuminta melakukan sesuatu yang bodoh seperti bertunangan dengan wanita yang tidak dia cintai. Jadi bantu aku memastikan, kalau dia tidak akan lagi bertindak bodoh karena patah hati olehmu, ok?”

Maya tergagap, tak tahu harus menjawab apa. Sementara Masumi nampak salah tingkah dengan wajah kian memerah.

“Ah, ayah cepatlah keluar sana! Semakin lama ayah disini semakin berisik!” ujar laki-laki itu kemudian dengan ketus.

Eisuke terkekeh.

“Bilang saja kau tidak mau diganggu olehku agar bisa berduaan dengan pujaanmu itu, Masumi!” ledeknya sambil memutar kursi rodanya keluar. Tawa laki-laki itu masih terdengar beberapa saat setelah pintu kamar ditutup.

Untuk beberapa saat, Maya dan Masumi hanya bisa berpandangan dalam diam.

“Emh.. apa.. kau sudah merasa baikan, Maya?” akhirnya Masumi mendapatkan kembali ketenangannya.

Maya mengangguk tanpa bersuara.

“Syukurlah…,” Masumi berjalan mendekat, lalu duduk di pinggir tempat tidur.

Kembali keheningan menyelimuti keduanya.

Maya tertunduk, tak berani menatap wajah Masumi saat kembali teringat apa yang ia lakukan kemarin. Dalam kesedihan dan kekecewaannya, dia sudah mengatakan kalau dirinya mencintai laki-laki itu. Ah, mengapa aku melakukan itu? Sesal hatinya. Aku sangat maluuu…!

Dia tidak ingat bagaimana dirinya bisa sampai ke rumah Hayami ini. Hal yang terakhir  dengan jelas diingatnya adalah  saat dirinya berlari keluar dari ruangan Masumi. Lalu.. beberapa adegan samar-samar yang hampir tak bisa diingatnya.

“Maya,” didengarnya Masumi memanggil namanya, lembut.

Gadis itu masih tak berani mengangkat wajahnya, sampai kemudian dirasakannya jemari Masumi menyentuh dagunya lembut, dan perlahan membawa wajahnya hingga terangkat dan melihat ke arah Masumi.

“Apa kau masih marah? Sampai-sampai tak mau melihat wajahku?

Wajah tampan itu nampak khawatir.

“Ti.. tidak,” sahut Maya gugup.

“Kalau begitu lihatlah aku. Aku tidak tahan didiamkan olehmu.”

Masumi menahan nafasnya. Mata  Maya yang mengerjap-ngerjap gugup sungguh sangat menggemaskan!

Sekuat tenaga ditahannya keinginannya untuk mencium kedua bola mata bening itu.

“Kau tahu, kau sudah benar-benar mengalahkanku, Maya,” ujar Masumi kemudian.

Maya menatapnya tak mengerti. “Apa maksud anda?”

“Aku, delapan tahun aku tak pernah berhasil mengumpulkan keberanian untuk menyatakan cintaku padamu. Setiap kali mencoba, kata itu selau kutelan lagi karena ketakutanku akan penolakanmu. Tapi kau, dalam kemarahanmu kau malah dengan lantang mengatakan kau mencintaiku,” Masumi mengangkat lengannya untuk membelai wajah Maya yang nampak terkejut medengar perkataannya.

“Anda… mencintaiku?” didengarnya Maya berbisik dengan nada tak percaya.
 
Masumi melebarkan matanya.

“Aku sudah mengatakannya padamu kemarin. Kau tidak ingat?”

Maya menggeleng.

“Saya bahkan ingat bagaimana saya bisa sampai di sini. Di rumah anda.”

“Aku tak percaya ini!” Masumi menatap lekat-lekat wajah mungil di depannya dengan gemas. “Aku mengumpulkan keberanianku mati-matian untuk mengatakan itu dan kau tidak ingat?”

“Maaf…” Maya mengkerut saat dilihatnya Masumi menatapnya dengan mata membulat. “Tapi saat itu, saya kan sedang… demam. Jadi..”

“Kau benar-benar tidak ingat?” Masumi kembali bertanya.

Maya menggeleng.

“Sedikitpun?”

Maya mencoba mengingat kembali apa yang dialaminya setelah ia berlari keluar dari ruangan Masumi. Kening gadis itu berkerut.

“Anda mengejar saya?” jawabnya kemudian. Ragu.

“Ya.. ya.. terus?” Masumi mengangguk dengan antusias.

Kening gadis itu kembali berkerut. Semakin lama semakin dalam.

“Setelah ituu… saya… emh… tidak ingat lagi,” Maya menatap Masumi takut-takut.

Dilihatnya laki-laki itu menghela nafas, terlihat pasrah.

“Ah sudahlah,” Masumi mendesah. “Percuma memaksamu untuk ingat. Kondisimu memang sudah sangat payah kemarin.”

“Jadi?” Maya kembali mengangkat wajahnya. “Apa yang anda katakan kemarin?”

Masumi tidak bisa menebak, apakah gadis itu sedang serius, atau memang sengaja menggodanya.Wajah itu benar-benar polos.

“Kau ini!’ ucapnya gemas.

“Tapi saya sungguh tidak tahu apa yang anda katakan kemarin,” ujar Maya pelan. Ia benar-benar penasaran.

“Hhh.. baiklah,” Masumi menarik nafas untuk meredakan degupan jantung yang tiba-tiba meningkat.

“Kau, kemarin berlari sambil mengatakan aku tidak boleh mendekatimu lagi jika aku membencimu, kau ingat?”

Maya mengangguk.

Masumi merangkum wajah mungil di depannya dengan lembut.

“Aku tidak mau kau menganggapku membencimu. Perlakuanku kemarin, memang tidak bisa dibenarkan. Aku tidak bermaksud mengusirmu setelah apa yang… aku lakukan. Tapi jika membiarkanmu tetap berada di dekatku, aku mungkin tidak akan bisa menahan diri lagi, Mungil. Jadi menyuruhmu pergi adalah satu-satunya cara yang aku tahu saat itu.”

Masumi kembali menghela nafas. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian itu.

“Aku juga sangat terkejut, karena.. kau sudah tahu kalau akulah….yang mengirimimu mawar ungu..”

Suara Masumi terdengar parau. Masih terasa kepanikannya saat tahu kalau rahasianya sudah terbongkar. Ketakutan menyergapnya saat itu. Ia sudah sangat sulit menjangkau Maya dengan identitasnya sebagai Masumi Hayami. Ia tidak mau jika sebagai Mawar Ungu-pun, dirinya tidak bisa lagi melindungi gadis itu. Ia tidak rela!

“Aku begitu takut kau meninggalkanku. Meninggalkan Masumi Hayami atau meninggalkan Mawar ungu. Jika itu terjadi.. kau tahu.. itu akan membunuhku Maya.”

Maya tercekat saat dilihatnya air mata menetes ke pipi laki-laki di depannya.

“Pak Masumiii..”

“Aku tidak pernah membencimu, Maya Kitajima. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Sejak lama..”

Mata Maya terasa panas. Dirasakannya jemari Masumi membelai pipinya lembut.

“Maaf jika selama ini membuatmu bingung dengan sikapku.”

Kepala mungil itu menggeleng pelan.

“Anda tidak perlu minta maaf,” sahut Maya pelan. Bahagia mendengar pengakuan laki-laki itu.

“Apa anda sungguh-sungguh mencintai saya.. sejak lama?”

Masumi mengangguk.

“Lalu, mengapa anda bertunangan dengan nona Shiori jika anda…”

“Itu kebodohan terbesar dalam hidupku, Maya,” potong Masumi cepat. “Aku begitu putus asa menerima begitu banyak kebencian darimu. Berpikir setelah apa yang sudah aku lakukan padamu, kau tidak mungkin berpaling padaku. Jadi tanpa pikir panjang, aku menerima perjodohan itu, yang akhirnya sangat aku sesali karena sikap pengecutku ternyata menyakiti banyak orang. Menyakiti kau.. dan juga Shiori.”
Maya terdiam, membayangkan wajah Shiori membuat hatinya kembali berdenyut tak tenang.

“Maafkan saya. Seharusnya saya tidak mengatakan hal yang.. membuat anda dan nona Shiori menjadi… ah, lupakan saja! Lupakan kalau kemarin saya mengatakan…”

“Tidak, Mungil,” Masumi menutup mulut Maya dengan telapak tangannya. Tidak mengijinkan gadis itu meneruskan kalimatnya.

“Pertunanganku dengan Shiori sudah kuakhiri jauh sebelum kau mengatakan kalau kau mencintaiku. Dan itu kulakukan bukan kerenamu, tapi karena aku tidak mau lagi membohongi perasaanku dan juga Shiori. Aku tidak bisa terus berpura-pura menerimanya sementara hatiku tidak ingin.”

“Pak Masumi..”

“Maya, maukah kau menungguku sebentar lagi? Setelah kuselesaikan semua urusanku dengan Takamiya, aku akan segera menjadikanmu milikku.”

Wajah Maya merona. Hatinya melompat kegirangan.

“Kumohon,” lanjut Masumi menyadari Maya hanya memandangnya dengan gugup.

Perlahan Maya mengangguk. Wajahnya semakin merona.

“Saya.. akan menunggu.”

Masumi tersenyum bahagia. Kembali dirangkumnya wajah Maya dengan segenap cinta yang dimilikinya. Lalu perlahan kepalanya menunduk, mengamati bibir mungil yang memerah segar.

Jantungnya berpacu cepat. Dikuatkannya untuk tidak menyentuh bibir itu.

Namun saat tiba-tiba dilihatnya bibir Maya sedikit terbuka, pertahanannya goyah.

Sedikit saja, bisik hatinya. Sebentar saja.

Disentuhnya pelan bibir Maya dengan bibirnya. Dirasakannya lengan Maya meremas kemejanya.

Meski pelan, sentuhan itu mampu mengaktifkan setiap Aliran listrik di tubuhnya. Masumi mengerang. Ia tahu, sudah mengambil keputusan yang salah.

Dirinya tak rela jika hanya menyentuh Maya sebentar saja. Ia ingin menyentuh gadis itu selamanya.

Kembali laki-laki itu menyerah pada keinginannya. Ciumannya semakin dalam.

Lengan Maya terangkat dan terjalin di sekeliling lehernya. Bibir gadis itu mulai bergerak seirama gerakan bibirnya.

“Mayaa,” desah Masumi di sela-sela ciumannya. Tubuhnya mendesak gadis itu untuk memgubah posisinya menjadi berbaring.

Masumi menjelajahi wajah Maya dengan hidungnya. Penjelajahannya berakhir di lekukan leher gadis itu. Dihirupnya kuat-kuat aroma khas leher Maya yang semakin membuatnya mabuk kepayang.

“Mayaa…,” erangannya semakin keras. Diciumnya leher jenjang itu.

Tubuh Maya menggeliat di bawah tubuhnya.

Masumi terengah, mengangkat wajahnya yang memerah karena gairah.

“Kau membuatku tak bisa lagi menyimpan kata-kataku sendiri, Maya,” bisiknya serak. “Kurasa secepatnya, aku harus membawamu ke altar.”

Maya tersipu. Jemarinya membelai rambut lebat Masumi.

“Aku tak keberatan..” bisiknya.

Masumi tersenyum, lalu kembali meneruskan kegiatannya yang tertunda.

Maya mendesah bahagia.***

-Stop Playing With My Heart- End-





7 komentar:

  1. Wow one shot stoRynya penuh dg gejjolak.....he...he..:e nice sista....lanjutttt

    BalasHapus
  2. ow ow ow blushing...........gejolak cinta terpendam wakakakakaka

    BalasHapus
  3. huaaaaaaa, sering2lah demam, aqaqaq

    BalasHapus
  4. hhhhhhhhh ga pernah bosen baca yg ini walo berkali kali ....

    BalasHapus
  5. Wow, masuminya beda bnget disini. Berharap mreka demam lagi, hehehe. Critanya keren^^

    BalasHapus
  6. Casino Del Sol - KTM Hub
    Welcome to the Casino Del 제천 출장샵 Sol in San 충청북도 출장마사지 Diego. The casino offers a huge 성남 출장마사지 selection of table games including blackjack, poker, craps, and roulette. The casino 김천 출장안마 is owned and operated 평택 출장샵 by the Caesars

    BalasHapus