Sabtu, 17 September 2011

Daddy’s Day Out (par2)

 

 
Sepanjang perjalanan, ketiga anak itu bernyanyi riang. Masumi melirik ketiganya dari kaca spion dengan hati bahagia. Melihat dan mendengar keriangan ketiga buah hatinya, kepenatan dan kelelahan karena pekerjaannya hilang tak berbekas. 
“Heh, coba Maya tidak harus syuting,” pikirannya melayang pada istrinya.  Tak berapa lama, handphonenya berdering. Masumi menekan handsfree yang sudah terpasang di telinganya.

Halo sayang..

Suara riang menyapanya. Masumi tersenyum.

“Aku baru saja memikirkanmu,” sahutnya.

Oya, Kenapa? Apa ada yang terjadi di rumah?

“Hei, nyonya, tenanglah!” Masumi tersenyum geli mendengar nada khawatir Maya. “Kau tidak mendengar mereka sedang bernyanyi?”

Hening sesaat. Lalu..

Ah, iya… bahkan Aiko juga?

“Iya… meski nada dan liriknya ngawur.”

Di seberang sana Maya tergelak. 

Aku  merindukan  mereka..

“Siapa suruh syuting,” cibir Masumi. “Kami sedang jalan-jalan, kau tahu?”

Jalan-jalan? kemana?

“Mau ke kebun binatang.”

Kau bersama siapa? Apa kau mengajak Bi Michi?

“Tidak,” geleng Masumi. “Kami pergi berempat saja. Kenapa? Kau khawatir?”

Tentu saja! Kau tahu sendiri bagaimana kedua anak laki-lakimu itu! Belum Aiko. Kau masih ingat kan? Kalau sedang jalan-jalan dia tidak mau naik kereta bayinya. Kalau nggak jalan sendiri, dia pasti minta digendong! Kalau kau sendirian pasti repot.. apa aku sebaiknya…

“Hei, Nyonya Hayami. Tenanglah!” potong Masumi cepat. “Ryu dan Shou sudah berjanji tidak akan macam-macam. Aiko juga, dia sudah janji untuk mau naik kereta bayinya nanti.”

Sungguh?

“Iyaaa,  jadi kau tenanglah bekerja. Ingat! Sore sudah harus pulang!”

Masumiii…

“Sudah ya, kami sudah sampai di kebun binatang. Aku tutup duluan. I love you, mungil !”

Masumi menutup telepon. Matanya berkeliling mencari tempat parkir yang bisa digunakan. Saat weekend begini kebun binatang selalu lebih ramai dari hari biasa. Setelah berputar dua kali, barulah ia menemukan tempat parkir yang kosong.

Ryu dan Shou bersorak saat mobil berhenti. Lalu saat dengan semangat membuka pintu mobil,  segera mereka berteriak tak sabar.

“Ayo buka pintunya, Paaa!!”

Masumi melepas sabuk pengaman dan menoleh.

“Kalian ingat janji kalian tadi di rumah?”

Kedua anak itu mengangguk cepat.

“Selalu berjalan tenang di samping papa!” ujar Ryu. “Nurut sama papa,” lanjutnya. 

“Bantuin papa jagain Aiko!” timpal adiknya.

“Tidak naik-naik pagar pembatas, harus bilang kalau mau ke toilet…”

“Tidak usil sama orang dan binatang!”

Masumi tersenyum puas.

“Kalau kalian menepati janji, pulang dari kebun binatang kita beli mainan. Tapi kalau tidak..”

“Tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan..” lanjut kedua anak laki-lakinya berbarengan.

“Bagus, sekarang papa buka pintunya.”

Belum sedetik central lock dibuka, kedua anak itu sudah berloncatan turun dan melompat-lompat tak sabar melihat papanya mengeluarkan kereta dorong sekalian menggendong Aiko turun.

“Tidak keletaa.. Aiko jalan kaki!” gadis kecil itu merengut saat Masumi mendudukkannya di kereta dorong.

“Hei, tadi janji sama Papa mau naik kereta dorong.”

Nggaaaa..!! Jalan!!” Aiko menandak-nandakkan kaki, menolak duduk. Masumi mendesah. Apa yang diharapkannya dari bayi berumur 14 bulan ini. Akhirnya ia mengembalikan kereta bayi Aiko ke dalam mobil. Biarlah, toh di dalam juga ada tempat peminjamannya, pikirnya kemudian.
 
Akhirnya Aiko bersorak girang saat kaki mungilnya menginjak tanah. Segera dia berjalan menghampiri kedua kakaknya dengan langkah yang masih sedikit tertatih.

Ryu dan Shou, sesuai janji mereka,  segera menuntun tangan adiknya. Ryu di kanan, Shou di kiri. Masumi tersenyum seraya mengikuti langkah ketiganya di belakang mereka.

Mereka harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir menuju gerbang. 3 menit pertama, Ryu dan Shou masih sabar menjejeri langkah Aiko. Namun kemudian, kedua anak itu mulai terlihat gelisah. Shou bahkan berkali-kali melepaskan pegangannya di tangan Aiko dan berjalan lebih cepat meski kemudian  berhenti dan kembali berusaha menyamakan langkahnya dengan yang lainnya.

Ketiga anak itu menunggu dengan sabar saat Masumi membeli karcis.  Begitu Masumi berjalan menghampiri, Ryu dan Shou segera berlari menuju hewan pertama yang mereka lihat, meninggalkan Aiko yang juga kemudian berlari menyusul dengan lucu. 

Masumi mempercepat langkahnya.  

“Papa! Buluuungg!” Aiko menoleh dengan wajah sumringah seraya menunjuk ke arah kandang di di depannya. Masumi tersenyum. Aiko kembali meneruskan langkahnya menyusul kedua kakaknya yang sudah asyik berada di pinggir pagar. Anak itu berusaha menyelipkan badannya yang mungil di sela badan kedua kakaknya agar bisa melihat dengan jelas. 

“Waah… ekolnya baguucc..!” serunya kemudian. Dengan antusias Aiko memasukkan tangannya ke sela pagar, berusaha meraih seekor burung yang tak jauh dari mereka. Tapi burung itu malah menjauh. Masumi menahan senyum saat melihat wajah Aiko yang menekuk kecewa.

“Itu namanya burung merak, Aiko,” Ryu menunjuk burung yang tadi menjauh.

“Bulung melak?” Aiko mendongak menatap wajah Ryu. Lalu kembali menoleh ke arah yang ditunjukkan kakaknya.

“Baguuuccc..” Aiko kembali mendesah kagum. Matanya membulat saat melihat seekor burung yang tiba-tiba melebarkan ekornya. Mata bening itu berbinar-binar.

Setelah puas melihat merak dan merpati dan beberapa unggas Jepang, mereka lalu berjalan ke kandang panda. Aiko segera mengenali nama binatang itu. Dia memiliki boneka sebuah boneka panda besar di rumah. Hadiah dari sang kakek.
“Pandaa!!” serunya. Masumi tertawa seraya mengangkat tubuh Aiko untuk digendong. “Pintar!” dijentiknya hidung mungil Aiko dengan sayang.  Aiko terkekeh senang. Dari gendongan papanya, ia bisa dengan jelas melihat binatang yang baru pertama kali ini dilihatnya langsung. 

Ryu dan Shou mencoba menyelip diantara kerumunan pengunjung. Tahu Aiko kini digendong papa mereka, keduanya merasa lega karena bisa bergerak leluasa  tanpa harus menunggu langkah Aiko yang lambat.

“Kakak! Pandanya sedang berkelahi!” Shou menunjuk ke arah dua panda yang tengah bergelut di depan mereka. “Mereka pasti kakak adik,” imbuh bocah itu dengan mimik serius. 

Ryu menoleh. “Dari mana kau tahu mereka kakak adik?”

“Soalnya kakak adik-kan sukanya berantem. Kayak aku dan kakak! Dan aku yakin, yang besar itu, kakaknya, suka gangguin panda yang kecil, adiknya, sampai adiknya kesal. Terus adiknya mukul deh!” ujar Shou. 

Ryu mendengus pelan. “Itu sih kamu,” gumamnya. Tanpa menunggu Shou yang masih antusias melihat panda, ia berbalik mendekati papanya yang berdiri dibelakang kerumunan. Masumi tengah dengan sabar menjawab semua pertanyaan Aiko tentang panda.

“Papa, pengen foto dekat patung panda, dong!”  pintanya. 

Masumi mengangguk. “Ayo!” Laki-laki itu kemudian celingukan mencari sosok anak keduanya. “Mana adikmu?”

Ryu menunjuk ke belakang, ke arah kerumunan. “Masih asyik lihat panda berantem,” jawabnya acuh.  Masumi memandang Ryu tajam, dan seolah mengerti arti tatapan papanya, anak itu kemudian berbalik untuk kembali menghampiri Shou. Tak lama kemudian bocah itu kembali dengan Shou mengikuti di belakangnya. 

Mereka berfoto di dekat pantung panda.  Setelah mengambil beberapa pose ketiga anaknya, dan meminta seseorang yang lewat untuk memotret mereka berempat, Masumi kemudian mengajak ketiga anaknya untuk melihat hewan berikutnya. 

Diam-diam Masumi mengirimkan beberapa foto kepada istrinya. Tak sampai semenit, sebuah sms balasan datang.

Kau coba memanasiku, ya!!

Masumi terkekeh. Terbayang wajah merengut Maya saat menuliskan sms itu.

“Papa…” Lamunannya terhenti oleh suara Aiko. Wajah gadis kecil itu mendongak menatap papanya dan nampak mengernyit. Kedua tangannya memegang perut. “Cakit peluuut,” rengeknya. Masumi mengernyit, teringat tadi pagi Aiko memang tidak buang air besar. Segera digendongnya anak itu dan memanggil kedua anak laki-lakinya yang sedang berjalan cepat menuju kandang gajah. 

Sontak keduanya berhenti dan menoleh.

“Aiko ingin ke toilet dulu,” ujar Masumi seraya memberi isyarat agar keduanya mengikutinya. Terdengar keluhan Ryu dan Shou, namun tak urung keduanya kemudian mengekor di belakang.
 
Untunglah toilet tak jauh dari lokasi kandang gajah. Namun di depan toilet, Masumi termangu. Bingung. “Masuk toilet mana, ya?” pikirnya. Tidak mungkin ia masuk toilet perempuan. Tapi Aiko kan…

Rengekan Aiko membuatnya cepat mengambil keputusan. Setelah wanti-wanti kepada Ryu dan Shou agar tetap menunggu di sana dan jangan mengikuti siapapun yang tidak dikenal nanti, Masumi bergegas masuk ke toilet pria. 

Toilet nampak penuh. Saat masuk, Masumi menutup mata Aiko. Meskipun merasa konyol, mengingat Aiko baru berumur 14 bulan dan pastinya tidak akan berpikiran macam-macam, tapi ia tidak ingin putri kecilnya melihat hal yang tidak-tidak di sana.   

Setelah aman di dalam bilik, Masumi segera mendudukan Aiko di atas toilet. Masumi bersyukur ia tidak lupa membawa tas ransel berisi perlengkapan Aiko. Bibi Michi tadi menyiapkan dan mengingatkannya untuk tidak meninggalkannya di mobil.

Begitu Aiko selesai buang air besar, dengan telaten Masumi membersihkannya dan mengganti popoknya dengan yang baru.  

Gadis kecil itu tertawa begitu ia merasa nyaman. Dengan gemas, Masumi mencium pipinya yang gemuk. Saat keluar, seperti tadi, ia menutup mata Aiko dengan tangannya sampai akhirnya mereka ke luar dari toilet.

Masumi melirik jam tangannya. Sudah saatnya makan siang. 

Aiko meronta minta turun dan saat sudah berdiri di depan papanya, lengannya terulur untuk menggandeng lengan papanya. 

“Kita liat gajah, yuk,  papa!” ajaknya. Masumi tersenyum seraya mengiyakan. Namun beberapa detik kemudian senyumannya menghilang saat menyadari, Ryu dan Shou tidak berada di tempat dimana mereka disuruh menunggu tadi. Dadanya mendadak berdebar kencang.

“Ryu? Shou?” sekali angkat Masumi kembali menggendong Aiko dan berjalan untuk mencari kedua anaknya. Tanpa peduli teriakan protes Aiko, mata laki-laki itu  berkeliling, berharap menemukan sosok Ryu dan Shou.

“Papa Tuluuunnn!! Aiko mau jalaan!!” kaki Aiko menendang-nendang heboh. 

Masumi cuek. Tak dihiraukannya perutnya yang sakit karena tendangan Aiko. Kecemasannya semakin menjadi saat tidak menemukan kedua anak laki-lakinya di sekitar toilet.

Masumi segera menyeberangi jalan menuju lokasi hutan gajah. Matanya kembali mencari diantar pengunjung yang sedang asyik mengamati gajah-gajah di dalam area yang diset seperti hutan itu. 

Ryu dan Shou tak ada dimanapun.

Kepanikannya mulai memuncak, dan ia sedang bersiap menelpon Hijiri untuk meminta pertolongan saat didengarnya  seseorang berseru kaget.

“Eh, ada anak kecil di balik tebing itu!”

Refleks Masumi memutar badan.  Perasaannya mengatakan sesuatu. Diikutinya pandangan orang-orang yang tertuju pada suatu sudut di antara tebing-tebing buatan di dalam hutan gajah dan matanya seketika terbelalak.

Nampak Ryu dan Shou tengah mengendap-ngendap diantara tebing, mendekati seekor gajah yang tengah berdiri tak jauh dari tebing tersebut***


Masumi berulang-kali membungkukkan badan meminta maaf sekaligus berterimakasih kepada petugas kebun binatang yang sudah mengeluarkan kedua anaknya dari kandang gajah.

Setelah menasehati Masumi agar lebih hati-hati lagi menjaga kedua bocah itu, sang petugas pun pergi, kembali ke posnya. Meninggalkan Masumi yang kini tengah  sekuat tenaga berusaha untuk tidak mengeluarkan kemarahan dan kekesalannya akan ulah Ryu dan Shou.

Kedua bocah laki-laki itu mengkerut ketakutan saat dilihatnya Masumi berbalik dengan wajah, yang menurut pandangan mereka, menakutkan. Keduanya menunduk dalam. Lalu..

“Maaafff…,” kompak keduanya berkata lirih. Masumi tidak menjawab. Masih memasang wajah seramnya.
Ryu dan Shou kian menunduk. mata mereka sesekali melirik ke arah Masumi. Namun cepat-cepat kembali menunduk saat beradu dengan mata ‘seram’ Masumi.

Aiko anteng berdiri dengan menggandeng tangan papanya. Tak mengerti apa yang terjadi.

“Kita pulang saja,” putus Masumi, dingin. Kedua bocah di depannya mengangkat wajah dengan cepat.

“Tidak mauuu…!” keduanya berteriak tak rela. 

“Kami janji tidak akan nakal lagi,” ujar Shou dengan wajah hampir menangis.

“Iya, papa. Jangan pulang. Kita kan belum lihat monyet, belum lihat pinguin, belum lihat beruang, belum lihat berang-berang,” Ryu menatap wajah papanya dengan tak kalah memelas.

“Tidak! Karena kalian sudah melanggar janji, kita pulang sekarang!”

“Tapi hukumannya kan cuma tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan,” Ryu menyebutkan janji yang sudah dibuat  sebelum pergi  tadi dengan lancar. “Tidak ada hukuman yang bunyinya  langsung pulang ke rumah!”

Masumi tercekat. Meskipun bangga dengan kecerdikan anaknya, namun tak urung ia mengeluh karena melupakan poin yang satu itu. 

“Karena sudah nakal, kami terima hukuman tidak ada TV, tidak boleh main games, tidak ada mainan,  sama tidak jalan-jalan selama sebulan, tapi tidak mau pulang sekarang, iya kan Shou?” Ryu melirik adiknya. 

Shou sedikit tergagap. Hukuman tidak ada TV, tidak main games, dan tidak jalan-jalan selama sebulan masih bisa ia lakukan. Tapi tidak beli mainan? Ah, padahal aku pengen sekali mainan Power Rangers seri terbaru itu.. keluhnya dalam hati.

“Shou?” Ryu menatap tajam adiknya, minta dukungan. 

Shou mengeluh. Lalu mengangguk dengan malas. “Iya,” sahutnya pelan. Tiba-tiba,  seolah teringat sesuatu, bocah itu menatap papanya dan berapi-api beruajar,  “Tadi juga Aiko ingkar janji. Janji Aiko kan naik kereta bayi. Tapi buktinya? Aiko jalan sendiri, kalau nggak, digendong papa! Kenapa nggak dari tadi saja kita pulang?”

Masumi tak bisa  mengelak lagi dari argumen kedua anaknya itu. Dengan anak secerdas Ryu dan Shou, lain kali ia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk lebih detil menentukan peraturan bagi mereka.

Ryu dan Shou menyembunyikan sorak  saat melihat Masumi berjalan ke arah bukit kera. Untuk beberapa saat keduanya terdiam, menunggu kepastian kebenaran pemikiran mereka. Dilihatnya papa mereka berhenti, lalu menoleh, menatap dengan pandangan bertanya.

“Tidak mau pergi? Katanya ingin melihat monyet? Tapi papa lapar,  kita makan dulu di restoran di depan sana.”

Senyum ceria segera menghiasi wajah keduanya. Bergegas berlari menjejeri langkah Masumi. Celotehan kedua anak itu, ditimpali celotehan Aiko, kembali terdengar mengiringi langkah mereka menuju restoran kebun binatang untuk makan siang.


Tanpa mereka sadari,  tiga pasang mata memperhatikan sedari tadi dari sudut yang berbeda. Ketiganya ikut beranjak, mengikuti keluarga Hayami yang kini berbelok mengitari kandang kera, menuju restoran yang terletak tak jauh dari sana.***



3 komentar:

  1. sambil senyum2 nih bacanya....kereeennn
    haiyaaaaa sapa tuh 3 org misterius ????...
    makasih apdetnya lanjuuutkaaaannnnn

    BalasHapus
  2. iyaaaa, sapa mereka? tp kurasa ke2 puteranya pasti cerdik ya, turunan masumi gitu lohiyaaaa, sapa mereka? tp kurasa ke2 puteranya pasti cerdik ya, turunan masumi gitu loh

    BalasHapus
  3. ^^ like this story ...maaf telat baca .......gara2 nggak ada waktu luang sooo baru sekarang bisa baca ,eh cara follow blognya gimana ya ????/ maaf rada gaptek

    BalasHapus