Jumat, 09 September 2011

Please Be With Me (part 6)

 


 
Setahun kemudian...

“Masumi,  berjanjilah untuk selalu bahagia, apapun yang akan terjadi padaku nanti…”
“Beritahu aku bagaimana caranya, Maya. Bagaimana aku bisa bahagia jika tidak ada kau disampingku?”
“Tersenyumlah, sayang… dan dunia pun akan tersenyum padamu.”
“Tidak!! Kau satu-satunya alasan untukku tersenyum.”
“Kumohon Masumi, berjanjilah… “

Pelan, Masumi membuka matanya yang tanpa sadar sudah basah sejak tadi. Mimpi itu lagi, keluhnya. Mimpi yang sering membuatnya terbangun dengan bantal yang basah oleh air mata. Senyum pucat Maya, mata beningnya yang menyirat penuh permohonan. “Mayaa…” bisiknya. Rindu.

Tangannya terulur, menyentuh dinginnya tempat yang kosong disamping tubuhnya. Pemilik tempat itu sempat berada di sana seminggu saja. Seminggu terindah dalam hidupnya, karena saat itu, ia bisa terus memeluk tubuh Maya, membisikkan kata cinta untuknya, merasakan lengan mungil Maya balas melingkari tubuhnya seraya meresapi bisikan cinta yang juga keluar dari mulut perempuan itu. Semua itu seolah menjadi obat mujarab untuk melupakan kepedihan mereka membayangkan perpisahan yang siap menghadang kapan saja.
Masumi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tertumbuk pada jajaran kosmetik di meja rias. Semua kosmetik itu tak satupun yang pernah dibuka. Masih utuh. Seolah semuanya berharap suatu saat sang pemilik datang dan membuka mereka satu persatu. Lalu ke jambangan bunga di samping meja, yang setahun ini selalu dipenuhi rangkaian mawar ungu segar.

Maya sangat suka menciumi wangi bunga kesayangannya itu, pikir Masumi. Senyum tipis mengembang saat terbayang ekspresi Maya jika ia sedang mengagumi dan menghirup wangi mawar ungunya.
Perasaan rindu di hati Masumi semakin membucah. 

Perlahan laki-laki itu duduk, bersender di kepala tempat tidur.  Matanya kemudian hinggap di kalender digital di atas nakas.
“Tepat setahun,” gumamnya pelan. Wajahnya menunduk, menatap cincin platina yang melingkari kelingking kanannya. Diusapnya benda itu. Lalu meraih foto Maya yang setia menemani tidurnya setiap malam.
Senyum manis Maya menyambutnya.
“Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama, sayang,” gumamnya mesra, membelai senyum lembut Maya penuh cinta.
Beberapa lama dipandanginya foto itu dengan berbagai kenangan melintas. Air mata menetes disela senyumnya. Masumi terkekeh pelan.
“Kau lihat, sayang? Hanya kau yang mampu membuatku menangis dan tertawa dalam satu waktu seperti ini.”
Diciumnya foto itu dengan lembut. “Ini hari istimewa kita. Aku ingin merayakannya bersamamu. Tunggu aku, Maya.”
Setelah mencium foto Maya sekali lagi, laki-laki itu turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. ***


Deringan handphone menyambut begitu Masumi keluar dari kamar mandi.

“Sano?”
Apa kabar, Hyung?
“Aku… baik. Kau?”
Aku akan menikah..
Mata  Masumi membulat. “Sungguh? Wah, selamat, Sano. Siapa wanita yang beruntung itu?”
Hening sesaat diujung sana.
“Sano?”
Mi Rae…
Masumi menyipitkan mata, seolah tidak mendengar apa yang barusan dikatakan Sano. “Siapa kau bilang?”
Mi Rae. Aku akan menikah dengan Mi Rae..
Kali ini Masumi benar-benar terkejut. “Sano, apa kau bercanda?”
Tidak, Hyung. Aku sungguh-sungguh akan menikah dengan Mi Rae.
Masumi terdiam beberapa saat. “Aku..sungguh tidak tahu harus berkata apa, Sano. Kuharap kau sudah memikirkannya baik-baik. Kau psikiater kan? Kau pasti sudah paham dengan baik resikonya.”
Tentu, Hyung. Setahun ini perkembangan Mi Rae cukup baik. Perlahan dia bisa mengurangi intensitas kemunculan kepribadiannya yang lain. Sudah mulai terhubung lagi dengan kenyataan. Dan meskipun menyedihkan,  aku tahu, kami lebih baik tidak punya anak karena resiko anakku mewarisi schyzoprenia dari Mi Rae cukup tinggi. Tapi jika toh aku dan Mi Rae punya anak juga nantinya, aku akan menerimanya dengan senang hati. Akan kujaga dia dengan sungguh-sungguh agar apa yang menimpa ibunya tidak menimpanya juga.
“Kalau itu keputusanmu, aku mau bilang apa?”
Aku tidak bisa memberitahukan hal ini kepada Maya. Dan karena kau sudah menikah dengannya, kau sudah menjadi keluargaku, jadi aku harus memberitahumu.
“Akan kusampaikan hal ini pada Maya. Hari ini aku akan mengunjunginya.”
Oya? Aku ingin sekali ke sana. Tapi aku belum bisa meninggalkan pekerjaanku di sini. Belum lagi persiapan pernikahan kami… tunggu, ahh!! Ini tepat setahun kan? Aku hampir lupa. Selamat, Hyung.
Masumi tersenyum. “Terima kasih.”
Terima kasih sudah setia pada adikku, Hyung.
“Dia satu-satunya untukku, Sano. Selalu.”
Aku pikir-pikir, kau dan aku sama, ya..
“Maksudmu?” Masumi mengerutkan keningnya.
Kita selalu menganggap di dunia ini seolah tak ada perempuan lain selain Maya, bagimu, dan Mi Rae bagiku.
Masumi tertawa.
“Laki-laki lain mungkin akan menilai kita sangat kuno.”
Mungkin. Tapi itu karena mereka tidak pernah bertemu dengan wanita seperti Mayamu dan Mi Rae ku. Kedua perempuan itu memiliki kekuatan dan kekuasaan  yang terlalu besar sehingga seluas apapun hati kita, mereka tidak menyisakan ruang secuil pun untuk perempuan lain singgah. Mengerikan bukan?
 “ Mayaku memang luar biasa,” gumam Masumi. Hatinya kembali berdenyut rindu.
Hyung, sudah dulu ya. Aku harus segera ke rumah sakit. Oya, maaf. Mungkin lebih baik kau tidak datang kepernikahan kami. Semoga kau memahaminya.
“Aku sangat mengerti Sano. Jangan khawatir. Semoga kau dan Mi Rae bahagia.”
Kau juga, Hyung. Kau harus bahagia.

Masumi hanya menjawabnya dengan gumaman pelan. Beberapa saat setelah telepon ditutup Masumi masih termenung. Sejak pertemuan pertamanya dengan Sano dan Mi Rae sebelas tahun yang lalu, ia sudah tahu, Sano mencintai Mi Rae. Peristiwa setahun yang lalu menguatkan dugaannya. Namun tak pernah disangkanya, Sano memutuskan untuk  tetap menikahi Hwang Mi Rae.

Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.
“Ya!”
Seorang pelayan membuka pintu dan mengangguk hormat.
“Tuan besar sudah menunggu untuk sarapan bersama.”
“Aku segera turun,” angguk Masumi.
Tak sampai lima belas menit, laki-laki itu sudah duduk di meja makan, berhadapan dengan ayahnya.
“Kau tidak kerja hari ini?” kening Eisuke berkerut melihat Masumi turun tanpa setelan pakaian kerjanya. Masumi menggeleng.
“Aku sudah menyuruh Mizuki mengosongkan jadwalku selama tiga hari ke depan. Aku ingin mengunjungi istriku. Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami.”
“Kau akan ke lembah plum?”
Masumi mengangguk. Eisuke meneguk tehnya sebelum kembali menatap anaknya tajam.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Masumi?”
“Maksud ayah?”
“Kau tahu maksudku.”
“Aku juga ingin bertanya pada ayah, berapa lama ayah akan setia pada perasaan ayah untuk ibu Mayuko?”
Eisuke tertegun mendengar jawaban Masumi. Tak bisa menjawab. Namun Masumi sangat tahu apa yang ada di hati ayah tirinya itu.
“Begitu pun dengan aku, ayah. Sampai mati, aku akan tetap setia pada perasaanku untuk Maya.”
Eisuke berdehem, mencoba mengusir rasa haru yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Ah, mereka sama sekali tidak terikat hubungan darah, tapi kini jalan hidup Masumi mulai mengarah ke arah yang sama dengannya. Ah tidak!  bantah  Eisuke dalam hati. Bukan mulai! Tapi sejak dulu, dirinya sudah mengarahkan Masumi untuk menapaki jalan yang sama dengannya.
Jalan yang penuh ambisi, namun  minus akan cinta dan kasih sayang.
Ah, salah! Kembali hati Eisuke membantah pemikirannya sendiri. Anak itu jauh lebih beruntung dariku. Meski penuh dengan rintangan, setidaknya Masumi mampu meraih cinta dalam hidupnya. Sedangkan aku?
Eisuke menarik nafas berat dan memutuskan untuk tidak berkomentar lagi . Mereka kembali sarapan dalam diam seperti yang biasanya mereka lakukan.***


Lembah Plum
Masumi menebarkan pandangannya ke depan. Pepohonan yang dipenuhi bunga berwarna ungu yang  mekar sepanjang tahun, disaput kabut tipis yang berwarna senada menyuguhkan pemandangan magis yang membuat jiwanya seolah berada di dimensi lain. Meski sudah beberapa kali dia mengunjungi tempat ini, namun selalu saja, pemandangan itu membuatnya menahan nafas sebagai bentuk kekagumannya yang tak tergambarkan oleh kata-kata. 

Di sinilah belahan jiwaku  berada.

Masumi melangkahkan kaki. Matanya terpaku pada sebatang pohon dimana ia menemukan Maya terperangkap dalam hujan bertahun yang lalu. Badannya yang kuyup dan dingin, berada dalam dekapannya. Menatapnya dengan bibir bergetar kedinginan dan mata yang bersorot polos saat itu sudah membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk menahan perasaan cintanya.
Lalu malam di kuil…

“Ah, Maya..” desah Masumi. Tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri. Mencuri ciuman saat gadis pujaan tertidur lelap, memiliki sensasi sendiri yang membuat hal itu sulit dilupakan. Bahkan saat mereka sudah bersama pun, kebiasaan itu kerap dilakukannya jika ada kesempatan. 

Kaki panjangnya kembali melangkah. Ingatannya melayang kepada pertunjukan terakhir Bu Mayuko. Terbayang perasaannya saat itu, ketika melihat Maya duduk berdampingan dengan Koji, terlihat begitu akrab dan mesra di matanya.  Rasa  marah, kesal, cemburu, sedih, dan putus asa bercampur aduk membuat dadanya terasa sangat sakit.  Seandainya bisa, apapun akan dia lakukan agar bisa berganti posisi dengan Koji saat itu. Apapun..

Saat hatinya rindu setengah mati, dan saat pada akhirnya ia bisa bertemu dengan gadis itu, ia bahkan tidak mampu melangkahkan kaki untuk melompati bebatuan agar bisa meraih Maya yang ada di seberang sungai. Ia hanya mampu menatap pedih sampai tiba-tiba jiwanya seolah melayang melintasi sungai tersebut dan bertemu dengan jiwa Maya, saling berpelukan, saling mengucapkan rindu. Terasa begitu nyata! Masumi bahkan masih bisa merasakan perasaan takut dan panik saat jiwa mereka kembali terpisah. 

Sampai saat ini, ia masih belum yakin apakah semua itu memang terjadi, ataukah hanya sekedar mimpi sesaat sebagai manifestasi dari rasa rindunya yang teramat sangat pada Maya?Apakah Maya juga merasa hal yang sama?

Di luar keraguannya akan peristiwa itu, Masumi tahu bahwa pada saat itulah ia kembali diyakinkah bahwa Maya memang belahan jiwanya. 

Kini dipandanginya bunga plum yang mekar dengan indah. Luar biasa! Entah apa yang membuat mereka terus mekar sepanjang tahun. Mungkin memang benar, bidadari merah bersemayam di sini, sehingga dengan kekuatannya menggerakan alam, ia bisa membuat bunga plum terus mekar.

Tiba-tiba jantung Masumi berdebar kuat.

Ia melihat sesosok tubuh perlahan muncul dari balik pohon terbesar di sana, lalu kemudian seolah melayang mendekat. Sosok yang lembut, dengan siluet kimono yang menjuntai indah, ujung lengannya sedikit terlihat berkibar tertiup angin.

“Bidadari merah?”

Angin mendesir pelan ke hadapan wajah Masumi.
Sosok itu ringan mendekat. Masumi terpana.***


Tangan dengan jemari lentik sebening kristal terulur. Seolah tersihir, Masumi menyambut ulurannya dan bergerak mengikuti kemana sosok itu yang menariknya pergi.  Sosok di depannya berjalan pelan, sebuah senyum terukir di wajahnya yang nampak bersinar. Genggaman jemarinya terasa hangat. Dada laki-laki itu berdebar halus.

Angin berdesir lembut. Gemericik air seolah berubah menjadi sebuah alunan merdu, berpadu dengan suara dedaunan yang bergemerisik. Bunga-bunga plum yang melayang turun mengiringi langkah Masumi, membentuk  beragam tarian angin di  sekelilingnya. 

Masumi sejenak memejamkan mata, lalu menghirup udara yang harum semerbak dalam-dalam. Saat kembali membuka mata,  sepasang mata yang penuh bintang di depannya menyambut, menambah suasana magis yang sejak tadi melingkupi. 

Dengan luwes, seperti sosok di depannya, Masumi melompati beberapa batu diantara aliran sungai yang tenang. Tangan mereka masih bertaut erat. Tawa halus terdengar saat ia berhasil melompat ke tepi. Bergemerincing merdu seperti  lonceng angin.

Mereka kembali berjalan. Melewati sebuah jalan setapak yang dipagari pohon plum. Daun dan bunganya yang rimbun membentuk kanopi berwarna ungu. Masumi menoleh untuk melihat sosok yang menuntunnya. Sekali lagi laki-laki itu terpana. Wajah di sampingnya menatap lurus ke depan. Bibirnya yang merah menawan mengulum senyum. Rambut hitam legamnya terurai dimainkan angin. Setiap lambaian mengirimkan harum semerbak melewati cuping hidungnya.  Masumi mendesah… Semakin lama ia merasa semakin terperosok ke dalam dunia mimpi yang indah. Di sini ia merasa damai dan bahagia. Jika ini memang mimpiku, aku tidak mau terbangun lagi, batin Masumi.

Sosok di sampingnya berhenti. Mereka sudah berada di ujung kanopi bunga plum. Di depan mereka terhampar sebuah lapangan rumput kecil. Warna hijaunya yang cemerlang sangat kontras dengan warna ungu lembut yang mengelilinginya. Sebuah danau dengan air yang berkilauan terhampar di ujung lapangan. Memantulkan bayangan langit biru diatas sana. Masumi tercekat. Tak pernah disangkanya ada tempat seperti ini di lembah plum.  

“Indah sekali.., “ desis Masumi.

Sosok di sampingnya menoleh, tersenyum. Perlahan Masumi merasakan genggaman tangan halusnya melonggar, lalu lepas. Tak rela kehilangan jemari sehalus sutra yang sejak tadi bertaut dengan jemarinya, Masumi mencoba untuk meraihnya kembali. Namun sosok itu sudah melangkah maju dan berhenti beberapa langkah di depannya.

Sosok itu berbalik, memandangnya. Rambutnya berkibar lembut ditiup angin. Begitu juga dengan ujung lengan kimononya. Senyum manisnya kian mengembang. 

“ Selamat ulang tahun perkawinan yang pertama, Masumi..”

Suara paling merdu yang pernah dia dengar sepanjang hidupnya.
Masumi tak tahan lagi. Dengan langkah lebar laki-laki itu menghampiri dan meraih sosok itu ke dalam pelukannya.

“Selamat ulang tahun perkawinan yang pertama,” bisiknya. “Aku sangat merindukanmu, Maya.”***

Setahun berikutnya

Masumi hanya tersenyum tipis saat para pelayannya menyambut di pintu masuk. Dengan sigap seorang pelayan menerima tas kerja majikannya. Masumi dengan langkah panjangnya memasuki ruangan keluarga dengan harapan dapat menemukan sosok mungil yang dirindukannya di sana.

Ruangan itu kosong. 

Masumi lalu menuju tangga melingkar yang menghubungkan ruangan bawah dengan lantai dua, dimana kamarnya berada. Mungkin Maya sudah tertidur, pikirnya mengingat sekarang sudah hampir tengah malam.  Namun langkahnya surut saat melewati pintu ruang sembahyang. Lampu ruangan itu menyala. Perlahan Masumi mengintip ke dalam. Maya nampak sedang duduk bersimpuh di sana, di depan sebuah foto yang terpajang di meja sembahyang. 

“Sayang?” Masumi melangkah masuk. Maya nampak sedikit terperanjat, lalu menoleh. Senyum manis terkembang saat melihat suaminya mendekat.

“Kau sudah pulang,” sambutnya. “Selamat datang!”

“Sedang apa di sini malam-malam?”

Masumi jongkok lalu  merunduk untuk mencium bibir mungil istrinya. Setelah menegakkan tubuhnya kembali, matanya berlabuh ke foto berbingkai yang ditatap istrinya tadi. “Sayang, apa kau masih memikirkan peristiwa itu?” tanyanya kemudian. 

Maya tersenyum sedih. “Tentu saja. Kehilangan anak bukan sesuatu yang mudah dilupakan.”

Masumi merangkul pundak istrinya lembut. Sama halnya seperti Maya, hatinya pun masih berdenyut sakit mengingat peristiwa yang terjadi hampir setahun yang lalu itu. Terbayang wajah Maya saat dokter menyarankan perempuan itu untuk menggugurkan kandungannya karena kondisi Maya yang masih belum pulih dari penyakitnya. Mengandung dan melahirkan akan membahayakan nyawa perempuan itu. Masumi juga masih bisa dengan jelas merasakan kepedihan hatinya saat dengan terpaksa, ia harus membujuk Maya untuk mengikuti saran  dokter.

“Kau tidak menginginkan anak ini?” tuduh Maya saat itu. “Ini anakmu, Masumi. Anak kita! Kenapa kau bisa dengan begitu tega menyuruhku untuk menggugurkannya?!”

Dia menginginkan anak itu! Darah dagingnya. Buah cintanya dengan wanita yang paling dia cintai. Sejujurnya Masumi merasa sangat bahagia saat Maya mengatakan kalau dia tengah mengandung. Tapi  saat dokter mengatakan  kehamilan itu ternyata membahayakan nyawa istrinya, ia lebih memilih hidup  Maya dibanding dengan janin yang sedang dikandungnya.Hampir setahun dia rela berpisah dari belahan jiwanya itu demi kesembuhan Maya yang memutuskan untuk melakukan pemulihan di Lembah Plum. Ia tidak ingin semua itu menjadi percuma. Ia ingin Maya selalu ada di sampingnya!

Meski Maya akhirnya bersedia menggugurkan kandungannya, untuk beberapa bulan, perempuan itu selalu menangis seraya menatap sonogram janin mereka yang sengaja dibuat beberapa saat sebelum proses aborsi dilakukan. Foto yang kini ada di hadapan mereka. Diapit oleh foto ibu Maya dan ibunya.

“Sudah malam,” Masumi mengecup pelipis istrinya. “Kita tidur.”
Maya mengangguk. Beriringan mereka keluar, menuju kamar mereka.

Paginya Masumi mengerutkan kening heran saat dilihatnya Maya masih berbaring di atas tempat tidur mereka sekeluarnya dia dari kamar mandi. Padahal biasanya perempuan itu bangun sebelum dirinya dan mempersiapkan segala keperluannya, termasuk sarapan. 

“Maya, sayang, kau baik-baik saja?” Masumi tercekat melihat wajah Maya yang pucat.

Maya membuka matanya perlahan. Lalu tersenyum untuk menenangkan kekhawatiran suaminya.
“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Mungkin karena kemarin pemotretannya cukup lama.”

“Sungguh? Wajahmu pucat. Aku  panggilkan dokter, ya?”

“Tidak. Jangan! Aku baik-baik saja, kok,” cegah Maya. Demi untuk meyakinkan suaminya perempuan itu bergerak bangun. Dalam hati ia mengeluh akan rasa pusing yang semakin terasa karena gerakannya itu. Tapi sekuat tenaga ia menjaga ekspresi wajahnya, agar Masumi tidak menyadari kalau sesungguhnya ia tengah menahan pusing di kepalanya. 

Maya menarik nafas lega saat dilihatnya Masumi tersenyum.
“Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Hari ini istirahatlah dulu. Nanti kutelepon manajermu untuk mengkensel semua jadwalmu hari ini.”

“Tidak perlu. Hari ini hanya ada wawancara majalah kok. Jadi tidak akan capek,” Maya kembali menggeleng. “Aku siapkan bajumu dulu.” 

Dengan masih menahan pusing di kepala, perempuan itu beringsut turun. Namun saat kedua tungkai kakinya tegak menopang tubuh mungilnya, putaran hebat menyerang pandangannya. Sebuah keluhan mengiringi tubuhnya yang limbung. 

Masumi sigap menyangga tubuh yang kini terkulai lemah itu. Kekhawatiran kembali membayang di  wajah tampannya.

Diangkatnya Maya untuk kembali dibaringkan di tempat tidur. “Aku panggil dokter dulu,” ujarnya seraya meraih pesawat telepon di atas nakas di saming tempat tidur. Namun lengan Maya lebih gesit, menahannya untuk meraih telepon.

“Tidak!! Jangan!!” teriaknya tertahan. “Jangan panggil dokter! kumohon.”

“Kau sakit, Maya!”

“Aku tidak mau diperiksa dokter!” geleng Maya keras kepala. Masumi terheran-heran melihat sikap Maya.

“Kenapa? Kenapa tidak mau diperiksa dokter? Apa yang kau sembunyikan?”

Maya terdiam. Lalu menggeleng.

“Maya!!”

“Karena aku tidak sakit! Itu saja!”

“Kau hampir pingsan barusan. Apa itu yang kau maksud tidak sakit?” cibir Masumi. Lengannya kembali terulur meraih gagang telepon.

“Tidaakk!! Kumohon Masumi. Jangan memanggil dokter!” Maya mencengram lengan Masumi kuat-kuat.

“Mayaa!!!” Masumi mencoba melepaskan cengkraman istrinya dengan gemas. Apalah arti tenaga perempuan mungil itu dibanding dengannya. Semenit kemudian, lengan Masumi terbebas dari cengkraman Maya. Masumi duduk mendekati nakas, sekaligus untuk mencegah Maya menghalangi niatnya menelepon dokter. Namun Maya tak hilang akal. Dirinya melompat ke kepala tempat tidur dan meraih kabel telepon yang terhubung ke dinding dan mencabutnya.

Masumi melotot menyadari kelakuan aneh istrinya itu. Ditahannya perasaan kesal yang mulai muncul.

“OK..” Masumi menyimpan kembali gagang telepon yang sudah terlanjur diambilnya tadi. “Aku menunggu penjelasanmu, Nyonya Muda!”

Maya menatap suaminya takut-takut.

“Maya Hayami?”

“Aku… aku…” 

Masumi tercekat melihat tetasan air mata melompat ke pipi mulus istrinya. 

“ Masumi… aku takut..”

“Apa yang kau takutkan?” lengan Masumi terulur untuk menghapus air mata itu.

“Aku takut kalau.. kalau dokter… menyuruhku untuk.. untuk..k..kembali… menggugurkan kandunganku.”

“Apa?” Masumi membulatkan matanya, kaget. “Maya, apakah kau.. sedang…”

Dilihatnya Maya mengangguk. “Aku hamil, Masumi. Aku sedang mengandung anak kita,” bisiknya lemah. 

Masumi terpana. Untuk beberapa saat kehilangan kemampuan komunikasinya.

“Masumi, jangan menyuruhku untuk mengugurkan lagi kandungan ini, ya?” Maya menegakkan badan dan menggenggam lengan suaminya erat. Air matanya kembali bercucuran. “Kumohon, ijinkan aku untuk melahirkan anak ini. Aku janji, aku akan hati-kati. Aku akan menjaga kesehatanku sebaik mungkin. Kumohon Masumi. Jangan mennyuruhku melakukan hal itu lagi. Aku tidak mau. Aku ingin anak ini lahir. Kumohon, Masumi. Ya? Jangan suruh aku menggugurkan anak kita lagi. Masumi.. kumohon..”

Tak tahan, Masumi meraih tubuh istrinya ke dalam pelukan. Tubuh Maya gemetar dalam pelukannya. 

“Shhh.. tenang sayang. Tenanglah..” bisiknya lembut.

“Aku menginginkan anak ini, Masumii.. Aku ingin dia lahir..”

“Aku tahu,” angguk Masumi. “Aku juga menginginkannya, sayang.”

Maya menarik tubuhnya dari pelukan Masumi. Matanya nampak berbinar.

“Jadi aku boleh melahirkannya?” tanyanya penuh harap.

Masumi tersenyum. “Untuk mengetahui jawabannya, kita tetap harus memanggil dokter.”***


Dengan tegang suami istri itu menatap dokter setengah baya yang sudah menjadi dokter Maya sejak perempuan itu sakit parah. Wajah tuanya nampak keruh saat membaca hasil lab yang baru saja diserahkan asistennya. 

“Hhhh…” desahnya, membuat Maya meringis putus asa. Genggaman erat suaminya membuatnya kembali tenang.

“Menurut hasil lab nyonya Hayami, sayang sekali..” sang dokter menjeda perkataannya beberapa saat. “Nyonya.. anda.. harus ….”

Mata tuanya yang nampak cerdas menghinggapi wajah suami istri di depannya yang nampak sangat tegang.

“Harus… apa, dok?”

“Hhhh…” kembali dokter itu mendesah. Maya merasakan keringat dingin merembesi dahinya.

“Anda.. harus… bersabar..” lanjut sang dokter.

“Bersabar apa?” Maya menyerobot kesal. Hatinya sudah tegang setengah mati tapi dokkter ini  nampak santai-santai saja!

“Harus bersabar……… untuk …..menunggu kelahirannya 8 bulan lagi.”

“Apa?” Maya menutup mulutnya menahan pekikan yang sontak keluar.

“Jadi maksud dokter, istriku boleh.. boleh..”

“Jadi saya boleh mengandung sekarang, dokter?” sambar Maya tak sabar. “Saya boleh melahirkannya?”
Dilihatnya dokter itu mengangguk. 

Sedetik kemudian, Maya sudah berada dalam pelukan suaminya. Keduanya menangis bahagia.***

EPILOG

“Selamat sore Maya,” Mizuki menyapa perempuan yang baru datang itu dengan senyuman dan pelukan hangat. Lalu ia berjongkok untuk menyapa bocah kecil yang berdiri di samping ibunya.
“Selamat sore, Ryu!”

Ryu memperlihatkan senyumnya yang menggemaskan. “Celamat cole, nte Micuki.” Bocah satu setengah tahun itu tergelak saat Mizuki mencium pipi montoknya.

“Hee.. mau jalan-jalan sama mama dan papa, yaa..”

Ryu mengangguk senang. “Iyaaa..”

Mizuki kembali tertawa. Sementara Maya tersenyum menatap putranya dengan pandangan penuh sayang.
“Tuan Masumi masih di ruang rapat. Sebentar lagi selesai,”kembali Mizuki menegakkan tubuhnya untuk berbicara dengan Maya.

“Iya, kami akan menunggu. Terima kasih ”

Mizuki mempersilahkan istri bos nya itu menunggu di ruangan Masumi. Ryu langsung menghambur ke jendela, tempat favoritenya jika ia datang ke kantor papanya itu. Dia suka sekali melihat pemandangan kota dari sana.
“sayang, hati-hati.. “ Maya mengingatkan . Lalu menghampiri putranya yang sudah duluan tiba, duduk di samping Ryu. Bocah itu menjatuhkan dirinya di pangkuan mamanya.

“Ah..!” seru bocah itu. Menunjuk ke kejauhan, ke arah sebuah benda yang melayang diatas gedung-gedung tinggi di depan mereka. “Koptel!!”

Maya mengikuti pandangan anaknya. “Waah.. iya…”

“Mama.. Yu bang ma koptel..”

“Ryu mau jadi pilot?”

“Piot?” Ryu memandang mamanya dengan pandangan bertanya.

“Pilot itu yang menerbangkan pesawat sayang. “

“Bang koptel? Piot?”

Maya mengangguk.

“Yu piot bang!!” seru Ryu gembira. Maya tertawa. Bocah itu mengeluh kecewa saat helkopter menghilang dari pandangannya.

“dada koptel” bocah itu melambaikan tangan ke arah dimana helikopter menghilang. 

Maya tersenyum. Dibelainya rambut ikal Ryu dengan gemas.  “Hei, kemarin papa beliin Ryu buku tentang helikopter, kan?” tiba-tiba ia seperti diingatkan akan sesuatu. Ryu menoleh.

“Koptel? Baca, mamaa..”

Maya mengangguk, lalu berdiri menuju satu sudut yang agak tersembunyi, dimana disana diletakkan berbagai mainan dan buku Ryu. Sejak Ryu lahir, Masumi sengaja menyediakan tempat itu agar anaknya betah saat terpaksa harus menunggu jika mamanya sedang sibuk latihan di studio bawah.

Maya sering membawa Ryu bersamanya kalau dia sedang sibuk. Masumi tidak keberatan, malah senang karena di sela kesibukannya yang luar biasa, ia sedikit banyak bisa melihat perkembangan putranya.

Maya mengambil buku cerita “Chopy si Helikopter”. Lalu memangku Ryu menuju sofa. Ryu dengan nyaman duduk di pangkuan mamanya. Antusias melihat gambar-gambar lucu di buku yang akan dibacakan ibunya.
Sering Ryu bertanya tentang apa yang didengarnya. Maya menjawabnya dengan sabar. Tawa Ryu yang renyah kerap terdengar saat Maya bercerita tentang petualangan si helikopter.

Tanpa mereka sadari,  Masumi yang baru masuk berdiri seraya bersandar di pintu, tersenyum bahagia melihat anak dan istrinya yang tengah asyik di sofa. Menikmati ekspresi keduanya yang membuat hatinya terasa hangat dan mengurai segala kepenatan kerjanya seharian ini.

Ryu melihat kehadirannya, terpekik senang. “Papaaaa….!”

Masumi tersenyum dan bergegas menghampiri keduanya.  Meraih Ryu ke dalam gendongannya dan menciuminya dengan penuh kerinduan membuat bocah itu tertawa-tawa senang.

“Papa liat Chopy koptel!” Ryu menunjuk buku yang dipegang mamanya. Minta papanya ikut mendengar. Masumi tersenyum, menurunkan kembali Ryu ke pangkuan istrinya lalu berjongkok, mencium istrinya penuh cinta.

“Rapatmu lancar?” senyum Maya. Masumi mengangguk. “Sangat lancar.”

“Syukurlah..”

Setelah mengecup kembali bibir Maya, Masumi duduk di samping istrinya itu. Kini Maya bersender di  lengan suaminya, dan kembali melanjutkan ceritanya.

Masumi menikmati kebersamaan mereka. Memeluk 2 orang paling berharga dalam hidupnya itu dengan hati berbunga. Yang akan selalu menemaninya sampai hari tuanya kelak ***

*** THE END***

7 komentar:

  1. ow tidak, tanggung jawab sis avira
    kudu apdet asap
    so so pnasrana...

    BalasHapus
  2. ini maya masih hidup ato sudah mati??

    BalasHapus
  3. kayaknya sih si Maya udah mati.
    baguslah wakakakakakakaak .....

    BalasHapus
  4. ada kelanjutannya kan sis...jangan2 bidadari yang nyamperin masumi itu maya ya. Semoga Masumi ketemu reinkarnasi Maya. Ga tega liat Masumi kesepian. T_T

    BalasHapus
  5. hiks senangnya HE makasih Avira :)

    BalasHapus
  6. baguuuuuussssss banget.... Avira pinter banget ngaduk-ngaduk perasaam kyuuuu..... mau yg one shot, yg cerbung, yg romantis, yg melow semua bikin aku ngeluarin air mata. kereeeennn.... lanjutin yg my secret admirer & ddo dooongggg....

    BalasHapus