(Sekuel One More Chance)
Dari Lover Concerto:
“ Aku sedang jatuh cinta. Rasanya sakit sekali. Tapi aku ingin merasakan sakit selamanya.”
Suara celotehan dan tawa anak-anak yang sedang asyik bermain pasir di depannya terdengar bagai lagu indah. Membuatnya betah berlama-lama meski dia tahu, akan ada orang yang sangat khawatir jika dirinya tidak segera pulang. Sudah lebih sejam dia duduk di bangku kayu di taman kota, tak jauh dari kediaman Hayami, tempat tinggalnya kini. Memandangi kelucuan anak-anak yang sering kali berkumpul di sana, bermain.
Ada kerinduan yang menyesakkan dada. Kerinduan yang dia tidak tahu berasal dari mana.
Sebuah bola plastik kecil warna-warni melayang ke arahnya. Dengan sigap, ditangkapnya bola itu. Tak berapa lama, seorang gadis kecil berbaju pink dan berkucir dua berlari ke arahnya.
Gadis kecil berusia sekitar tiga tahun itu menatap ragu. Hendak meminta kembali bolanya namun tak tahu apa yang harus dia ucapkan.
“Ini bolamu?” Maya tersenyum seraya membungkuk. Mensejajarkan kepalanya dengan tinggi badan gadis kecil itu.
Kepala berkuncir di depannya mengangguk pelan. Maya melebarkan senyumnya. Disodorkannya bola itu yang langsung disambut gembira oleh si gadis kecil.
“Telimakaciii” senyum riang mengembang di wajah mungilnya yang manis.
“Sama-sama,” angguk Maya. “Siapa namamu, Manis?”
“Erika!”
Deg!! Maya merasakan hentakan halus di dadanya.
(Erika. Ayo, sayang. Sudah main airnyaa!!)
Bayangan itu melintas cepat bagai meteor. Lalu menghilang.
Apa tadi?
Maya terengah, merasa dadanya tiba-tiba sesak.
Dipandanginya punggung gadis kecil bernama Erika itu yang kini kembali ke tengah area bermain.
Kerinduan kembali kental terasa. Gadis itu menunduk, memandangi kakinya yang terbalut sepasang sandal wedges.
E ~ RI ~ KA….
Pelan diejanya nama yang kini begitu mengusik hati.
Kakinya tanpa sadar mengikuti, menggoreskan nama itu di pasir yang kini dipijaknya.
“Erika~Erika~Erika,” bisiknya berulang-ulang. Tiba-tiba saja kesedihan teramat sangat menyergap hatinya.
Maya tersentak saat setetes air mata melompat ke pipi.
Apa ini? Kenapa rasanya begitu sakit?
Tak kuasa lagi menahan kesedihan yang terasa begitu menyakitkan, air mata bercucuran tanpa dapat dicegah. Mati-matian dirinya berusaha menghentikan airmata, namun rupanya, matanya tidak mau lagi menuruti perintah otaknya.
Apa yang sudah terjadi padaku? Siapa Erika? Mengapa rasanya begini menyakitkan mengingat nama itu?
Gadis itu mulai terisak. Menekan dadanya untuk meredakan rasa sakit yang menghujam di sana.
“Maya?”
Sebuah suara bariton membuatnya mengangkat wajah. Seraut wajah tampan nampak sedang memandangnya penuh kekhawatiran,
“Mungil, kau kenapa?” Masumi berjongkok untuk meraih lengan gadis itu yang tertangkup di pangkuannya. “Apakah kau sakit? Kepalamu pusing lagi?” Masumi bertanya dengan cemas melihat betapa pucatnya wajah Maya.
Maya menggeleng. Gadis itu berusaha menahan isakannya.
“Hayami san ," mata bulatnya nampak berkilau oleh air mata. " Siapakah Erika?”
Deg!!!
Jantung Masumi seketika melompat ke leher.
“Erika. Siapakah dia? Apakah~aku pernah mengenal seseorang bernama Erika? Mengapa~mendengar nama itu hatiku menjadi sangat sakit?”
Masumi menelan ludahnya gugup. Tak tahu harus menjawab apa.
***
Sudah hampir tengah malam namun Masumi duduk termenung di ruangan kerjanya. Pertanyaan Maya tadi sore membuat hatinya resah.
Apakah ingatan Maya mulai kembali?
Terus terang, membayangkan ingatan gadis itu kembali membuatnya takut. Takut akan reaksi Maya tentang Erika. Takut akan reaksi Maya saat menghadapi dirinya nanti. Dirinya yang sudah meninggalkan gadis itu dalam penderitaan sendirian dua tahun yang lalu.
Maya mungkin akan kembali membenciku.. batinnya pilu. Dia pasti pergi meninggalkanku.
Jika itu terjadi, Masumi tak dapat membayangkan bagaimana hidupnya nanti. Hanya satu yang pasti. Dunia akan lebih kejam lagi memenjarakannya dalam kesendirian dan kesepian tak berujung, akan jauh lebih menyakitkan dari apa yang pernah dia rasakan sebelumnya.
Apa yang harus aku lakukan?
Dengan perasaan lelah luar biasa, laki-laki itu menyenderkan kepalanya di sandaran kursi kerjanya yang empuk.
Aku tidak mau kehilangannya lagi…
Tangis Maya sore ini membuktikan, meski ingatannya masih terkunci, alam bawah sadarnya dengan otomatis membangkitkan kesedihan bagi gadis itu saat mendengar nama Erika. Hal yang sama mungkin akan terjadi jika Maya mengingat tentang dirinya, Masumi Hayami. Laki-laki yang menjadi penyebab kematian ibunya, laki-laki yang pernah menjeratnya dalam cinta yang begitu membara, sekaligus menghempaskannya ke dalam penderitaan karena sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan.
Mayaa…
Masumi mendesahkan nama kekasihnya. Rindu sekaligus resah. Sepulangnya dari taman, Maya masih nampak sangat sedih dan terus menangis. Terus bertanya tentang Erika, membuatnya terpaksa mengarang sebuah cerita tentang seorang ‘sahabat dekat’ yang menjadi korban tewas dalam gempa di Sapporo.
Untungnya Maya cukup puas dengan jawaban itu dan tidak bertanya lebih lanjut. Tangisnya mereda beberapa saat kemudian meski setelahnya, suhu badan Maya naik, menyebabkan gadis itu harus berbaring istirahat setelah makan malam.
Masumi menarik laci paling bawah di meja kerjanya dan menarik sebuah album foto dari tumpukan paling bawah di dalamnya.
Sepulang dari Sapporo hampir sebulan yang lalu, setiap hari Masumi melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Foto-foto Maya dan Erika yang berhasil ditemukannya diantara puing rumah Maya.
Foto Erika saat lahir, dan saat-saat setelahnya.
Dan selalu saja, memandangi semua itu membuat air mata kembali mengalir tanpa dapat dicegah.
Erika yang masih bayi merah yang nampak tertidur pulas, Erika saat mandi, Erika yang tertawa lucu dalam gendongan Maya, Erika yang sedang duduk diantara mainannya, Erika di ulang tahun pertamanya…
Masumi mengerang penuh kepedihan.
Dimana aku di semua saat-saat itu?
Pertanyaan sama yang terlintas di benak Masumi setiap memandangi semua foto Erika. Pertanyaan yang kembali membuat luka hatinya berdarah-darah, yang sudah berhasil membuat seorang Masumi Hayami membisikkan kata ‘seandainya’ berulang-ulang.
Diusapnya air mata yang sudah sejak tadi membasahi pipi.
Dia tahu semua kalimat seandainya yang kini memenuhi pikirannya adalah sia-sia. Tapi dia tidak bisa menghentikan semua. Penyesalan yang begitu besar sudah membuatnya mengangankan menjadi pemilik waktu agar bisa kembali ke masa dimana dia seharusnya mempertahankan Maya di sisinya.
Jemarinya mengelus senyum Erika sekali lagi sebelum mengembalikan album itu ke tempatnya semua.
“Papa merindukanmu, Sayang,” bisiknya lembut. Ditutupnya laci dan mencoba mengembalikan konsentrasi untuk melanjutkan pekerjaannya. Masih banyak dokumen yang harus dia periksa malam ini. Sejak Maya tinggal di rumahnya, dirinya selalu pulang lebih awal dan membawa dokumen-dokumen yang tidak sempat dia pelajari di kantor.
Baru saja lengannya terulur untuk meraih sebuah dokumen yang menumpuk di depannya ketika pintu kamar kerja diketuk.
Sebuah wajah mungil mengintip ragu dari balik pintu yang perlahan terbuka.
“Maya?” Masumi langsung berdiri dan berjalan menghampiri Maya yang berdiri ragu di ambang pintu. “Kenapa bangun? Bukankah kau harus istirahat?”
“Aku~baru terbangun,” jawab Maya pelan. “Tidak bisa tidur lagi.”
Ada ketakutan yang tersamar di kedua bola mata Maya. Masumi menyadari hal itu. Malam ini adalah kali kesekian Maya terbangun dalam ketakutan. Biasanya saat terbangun, dirinya masih ada di samping tempat tidur gadis itu sehingga bisa kembali membuat Maya tenang dan terus menemaninya sampai kembali tertidur. Tapi jika saat bangun dirinya tidak ada, gadis itu selalu turun dan berusaha mencarinya, seperti malam ini.
Disentuhnya poni yang menutupi kening Maya dan menyibaknya dengan lembut.
“Kau harus istirahat, Mungil. Aku akan mengantarmu kembali ke kamar dan menemanimu sampai tertidur kembali.”
Mata itu berbinar mendengarnya, namun kemudian menoleh ke arah tumpukan dokumen di meja kerja di Masumi.
“Eengh… Hayami san sedang sibuk ya?” tanyanya terdengar ragu.
“Hanya beberapa dokumen yang belum sempat aku periksa di kantor.”
“Bolehkah~kalau Hayami san tidak keberatan~aku~ di sini saja?”
Kepala itu mendongak untuk menatap langsung mata Masumi.
“J~jadi Hayami san masih bisa bekerja dan aku~aku….,” wajah mungil Maya nampak merona. Masumi tersenyum, paham.
Maya tidak ingin mengganggunya bekerja.
“Baiklah, Mungil. Kau boleh menemaniku bekerja kalau mau.”
Binar di mata Maya semakin cerah membuat Masumi menguatkan diri untuk tidak mengecupnya.
Dibimbingnya Maya ke sofa besar di tengah ruangan, yang berhadapan dengan meja kerjanya.
“Kau tiduran yang tenang di sini sementara aku menyelesaikan pekerjaanku,” ujarnya kemudian. Disusunnya bantal-bantal yang ada di sana agar Maya nyaman, lalu mengambil sebuah selimut yang memang selalu tersimpan di sebuah lemari di ujung ruangan.
Dibantunya Maya untuk berbaring.
“Begitu aku selesai, akan kuantar kau kembali ke kamarmu.”
Maya mengangguk setuju. Tersenyum saat Masumi kembali membelai poninya lembut.
“Terima kasih,” bisik gadis itu yang dijawab dengan senyuman manis Masumi. Dipandanginya tubuh tegap lelaki itu yang kini kembali ke balik meja kerjanya.
Dalam kegelapan ingatannya kini, Maya dapat merasakan kehangatan kasih sayang yang selalu ditunjukkan Masumi. Perlakuan Masumi padanya selalu penuh dengan kelembutan. Bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di rumah sakit, hatinya selalu dipenuhi getaran aneh setiap kali mata lelaki itu menatapnya dengan penuh cinta.
“Kau aktris hebat, Maya Kitajima. Tapi bagiku, kau lebih dari seorang aktris.”
Perkataan Masumi di rumah sakit dahulu dengan jelas menyiratkan bahwa bagi lelaki itu, dirinya memiliki nilai yang lebih dari sekedar seorang aktris idola. Belum lagi perasaan rindu yang langsung menyergapnya saat lelaki itu memeluknya erat, membuatnya yakin bahwa dahulu hubungan mereka memang lebih dari hubungan seorang aktris dan fans beratnya. Kerinduan itu kerap melandanya kini sehingga setiap hari selalu menunggu kepulangan Masumi dari kantor dengan tidak sabar.
Sambil asyik dengan pikirannya, Maya terus menatap Masumi yang kini tengelam dalam keasyikannya bekerja dari sofa tempatnya berbaring kini. Debaran di dada membuatnya kembali disadarkan pada perasaan yang semakin dia yakini:
Aku mencintai laki-laki ini…
Tiba-tiba wajah Masumi terangkat. Pandangan mereka bertemu. Terlambat untuk mengalihkan pandangannya sontak Maya merasakan wajahnya memanas.
Dilihatnya Masumi tersenyum manis. Maya menahan nafas saat melihat binar yang begitu mendebarkan terpancar dari mata lelaki itu.
Aku sangat mencintaimu~
Suara itu begitu dalam, bayangan wajah Masumi nampak sangat dekat. Maya tersentak.
Cepat dikedipkannya mata. Menghela nafas saat menyadari lelaki itu ternyata masih duduk di balik meja kerjanya.
Dada Maya berdebar kuat.
Hayami san~ mencintaiku~juga? batin Maya, ragu.
***
“Selamat pagi!”
Maya tersipu malu saat wajah cerah Masumi menyambutnya begitu dia membuka mata.
“Selamat pagi,” balasnya tersenyum. Saat bergerak hendak bangun, baru disadarinya dia sudah berada kembali di kamarnya.
“Maaf,” wajahnya semakin memerah.
Masumi mengerutkan kening. “Untuk apa?”
“Semalam, pasti membuat Hayami san kerepotan~emh~memindahkanku ke sini.”
“Aku tidak keberatan melakukannya setiap malam,” ujar Masumi tenang namun lebih dari cukup untuk membuat Maya kian tersipu malu dengan dada berdebar bahagia.
Masumi, meskipun nampak sangat tenang, sebenarnya dirinya tak kalah berdebarnya melihat Maya yang tersenyum malu dengan wajah memerah, memandangnya dengan mata yang berbinar indah yang membuat benaknya secara otomatis memutar berbagai kenangan bahagia akan kebersamaan mereka dulu.
Terbangun dengan Maya dalam pelukan, tanpa bosan memandang wajah tidurnya yang nampak sangat cantik, menjadinya orang pertama yang dia sapa dengan ciuman selamat pagi, berpelukan di beranda sambil berbagi segelas kopi Blue Mountain, bersama menyambut hari dan menjadikan keberadaan masing-masing sebagai sumber energi tak terhingga untuk melakukan semua aktifitas mereka hari itu.
Betapa bahagianya, dan betapa inginnya ia mengulang semua itu bersama Maya.
Rona merah di wajah Maya dan binar bahagia yang memancar dari mata beningnya membuat keinginan itu semakin kuat.
“Ayo bangun,” laki-laki itu mengulurkan tangan. Maya menyambutnya dan tertawa saat tubuhnya disentak bangun dengan lembut.
Tanpa sadar matanya melirik jam di dinding. Jam sepuluh.
“Hayami san tidak bekerja?” tanyanya kemudian dengan heran.
“Tidak ada yang penting hari ini. Aku sudah menyerahkan semuanya pada wakil dan sekretarisku di kantor.”
“Apa ada hal penting?”
“Maksudmu?”
“Engh~ Hayami san sampai tidak bekerja, jadi kupikir ada hal penting yang harus Hayami san lakukan.”
“Memang ada yang ingin aku lakukan, Mungil,” senyum Masumi.
“Oya?”
“Ya,” angguk Masumi. “Makanya cepatlah bangun dan mandi! Biar kita bisa cepat berangkat.”
Kini giliran Maya yang mengerutkan kening tak mengerti.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” Masumi cepat-cepat menjelaskan. “Sebulan ini kau terus terusan di rumah jadi kupikir aku harus mengajakmu jalan-jalan agar kesehatanmu cepat pulih.”
“Hayami san bolos kerja hanya untuk menemaniku jalan-jalan?”
“Sudah, jangan cerewet!” dengan gemas Masumi memijit hidung Maya membuat gadis itu memekik pelan. “Aku akan meminta Rika membantumu bersiap. Begitu selesai sarapan, kita berangkat.”
Tanpa menghiraukan pertanyaan Maya selanjutnya Masumi mendorong tubuh mungil Maya masuk ke kamar mandi dimana Rika sudah siap membantu gadis itu untuk membersihkan diri.
***
Setelah tiga jam berkendara, mobil mereka memasuki sebuah desa. Maya membelalakan mata saat melihat keindahan yang kini terhampar di hadapannya.
“Hayami san, ini~ indah sekalii,” desisnya penuh kekaguman. Sekumpulan rumah-rumah tradisional diantara lahan-lahan yang kini masih tertutup salju, dilatarbelakangi oleh hutan lebat yang juga bertabur butiran salju, juga pegunungan yang seolah berselimut kabut tipis di akhir musim dingin.
Masumi membawa mobil mereka ke sebuah bangunan tradisional yang nampak anggun berdiri di pinggir sebuah danau. Setelah mengingatkan Maya untuk mengetatkan mantel, laki-laki itu turun dan berputar untuk membukakan pintu bagi gadis mungil pujaannya itu.
“Kita akan menginap di sini,” senyum Masumi.
Kembali mata bening Maya melebar. “Sungguhkah?” tanyanya antusias. Sejak pertama kali melihat, Maya sudah sangat menyukai bangunan beratap miring yang nampak kokoh meskipun dihiasi banyak salju di atasnya.
“Kau suka?” tanya Masumi yang langsung dijawab oleh anggukan kepala mungil di sampingnya.
“Engh! Sangat suka!”
Keriangan Maya bertambah saat melihat bagian dalam rumah tersebut. Seperti halnya bangunan tradisional lainnya, begitu memasuki rumah mereka disambut oleh sebuah ruangan yang sangat luas. Tatami yang mengalasinya nampak lebar dengan warna hijau lumut yang lembut.
“Ah! Mereka masak di sini?” Maya menghambur ke bagian ujung, agak ke belakang ruangan, dimana terdapat sebuah bagian berlubang yang tidak ditutupi tatami. Ada semacam tungku kayu bakar di dalamnya, dengan gantungan besi berpengait dimana tergantung sebuah teko alumunium di sana.
“Hmm, sepertinya,” angguk Masumi.
“Waaaah..,” Maya berseru kagum. “Rasanya aku ingin mencoba masak di sini!”
“Kau bisa masak?” Masumi menoleh dengan senyuman jahil di bibirnya. “Seingatku masakanmu tidak bisa diandalkan.”
“Benarkah?” tanpa diduga Maya menanggapinya dengan serius. “Apakah aku tidak bisa memasak, Hayami san?”
“Kau ini gadis ceroboh, Mungil. Juga sering sekali melamun. Apalagi kalau sedang membaca naskah drama. Jadi sekali kau masak, masakanmu sering gosong.”
Maya meringis mendengar penjelasan Masumi.
“Separah itukah?”
“Perutku cukup sering dibuat sengsara karena masakanmu.”
“Eh?” Maya menoleh cepat. “Benarkah?”
Masumi tersenyum lembut. “Tapi anehnya, aku tidak pernah kapok. Malah semakin selalu ingin merasakannya lagi,” kini Masumi memandang wajah mungil di depannya dengan kerinduan yang tak disembunyikan.
Maya termangu.
Tatapan itu lagi, desis hatinya. Berdebar.
Tatapan lembut yang membuat dirinya seakan meleleh.
Dengan gugup Maya mengalihkan pandangan. "Kalau memang masakanku separah itu, sepertinya Hayami san perlu memeriksakan lidahnya ke dokter!”
Sindiran Maya disambut gelak tawa Masumi.
“Begitukah?” Masumi mengacak-ngacak poni Maya dengan sayang. “Hmm, kurasa aku juga mungkin harus memeriksakan hati dan kepalaku,” ujarnya kemudian.
“Kenapa?” Maya kembali memandang wajah tampan Masumi. Senyuman mengembang di bibir laki-laki itu sebelum kemudian dia menjawab.
“Karena tak pernah sedetikpun aku berhenti memikirkanmu.”
Jawaban Masumi diucapkan dengan nada yang ringan dan tanpa beban, tapi sekali lagi membuat hati gadis di sampingnya berdebar kuat.
Beberapa lama keduanya berpandangan. Maya merasakan pandangannya terkunci oleh sinar mata Masumi yang begitu lembut memandanganya. Ada cinta yang begitu kuat tersirat di sana.
Dengan wajah merona Maya kembali melengos.
Kecurigaan bahwa dahulu mereka memiliki hubungan istimewa semakin kuat. Namun entah mengapa, Maya takut untuk menanyakan hal itu.
“A~aku ingin ke kamar kecil,” sambil berujar gugup Maya beranjak menjauh. Tapi baru beberapa langkah gadis itu kembali berbalik, memandang Masumi dengan wajah yang masih memerah.
“Kamar kecilnya~dimana?”
Masumi tersenyum, lalu menunjuk ke arah pintu geser di sebelah kanan mereka.
“Kamar kecilnya di sana,” tunjuknya. Maya mengangguk lalu berjalan ke arah yang ditunjuk, meninggalkan Masumi yang diam-diam tersenyum di belakangnya.
***
Maya melompat-lompat di atas salju. Tawanya sesekali terdengar saat dia melihat jejak-jejak kakinya tercetak di sana. Selesai membereskan baju-baju yang mereka bawa, Maya dan Masumi memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa yang terkenal dengan cagar budayanya itu.
“Saljunya masih tebal,” komentar Maya ketika mereka berjalan di jalan desa yang menanjak menuju lokasi yang lebih tinggi. “Padahal di Tokyo sudah jarang turun salju,” lengan mungil Maya sibuk menangkapi butiran-butiran putih yang kini mulai turun.
“Mungil, sepertinya kita kembali saja ke rumah. Mungkin hujan saljunya akan lebat nanti,” Masumi mendongak, memandang khawatir ke arah turunnya salju.
“Ah, Hayami san. Sebentar saja. Kita sudah hampir sampai atas!”
Tanpa menunggu jawaban Masumi, Maya menarik tangan lelaki itu untuk kemudian menyeretnya setengah berlari.
Masumi agak tertegun pada awalnya, tapi kemudian tersenyum seraya mengimbangi langkah kecil Maya.
“Haaa!! Benar dugaanku!” pekik Maya setengah terengah saat mereka tiba. “Indah sekaliii!”
Mereka bisa memandang seluruh desa dari sana. Rumah-rumah dan ladang-ladang yang berselimut salju, alur sungai yang membelah salah satu sisi desa, dan hutan-hutan di sekelilingnya.
Maya menarik kedua lengannya lurus di depan wajah, kemudian menempelkan kedua telunjuk dan ibu jarinya sehingga membentuk sebuah persegi dan memicingkan sebelah mata seolah membidik pemandangan di depannya.
“Benar-benar luar biasa,” desis gadis itu. Perlahan lengannya bergerak membidik arah lain dengan mata masih memicing. Sampai kemudian seraut wajah terperangkap di tengah ‘kamera’ nya, tersenyum.
Cepat Maya membuka sebelah matanya yang tadi tertutup.
“Mengapa berhenti? Bukankah pemandangannya semakin indah barusan?” goda Masumi.
Maya mengerucutkan bibirnya.
“Siapa bilang?” decihnya. “Wajah Hayami san justru merusak pemandangan!” ujarnya kemudian, menyuarakan sebaliknya dari yang ada dalam pikirannya.
“Benarkah?” tanya Masumi lagi. “Hmmm, coba kau bidik aku sekali lagi, mungkin tadi kau terlalu sebentar melihatku.”
“Tidak mau!” tolak Maya dengan wajah kian merona. Gadis itu lalu berbalik dan berjalan menjauhi Masumi.
“Hah, sayang sekali…”
Mendengar keluhan Masumi, Maya berhenti dan kembali berbalik melihat lelaki itu.
“Padahal aku punya sesuatu yang indah yang ingin kuperlihatkan.”
“Apa itu?”
“Bagaimana aku bisa memperlihatkannya padamu kalau kau menjauh seperti itu.”
Maya terlihat ragu. “Hayami san sedang tidak menggodaku, kan?”
“Kapan aku menggodamu?” Masumi sedikit memiringkan kepalanya, menatap Maya yang kembali merona.
Senyum laki-laki itu melebar ketika Maya kembali mendekat pelan. Tatapannya masih curiga.
“Tidak akan membohongiku, kan?” Maya kembali bertanya.
Masumi mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. “Aku janji.”
Melihat itu Maya tersenyum lebar, mempercepat langkahnya ke hadapan Masumi.
“Tunjukan padaku!” pintanya antusias. Masumi tergelak.
“Sabar, Mungil. Kau akan memerlukan kamera sungguhan untuk melihatnya,” sambil berkata demikian, Masumi mengeluarkan gadget canggih miliknya, mengotak-atik sebentar sebelum akhirnya berjalan ke belakang Maya.
“Pejamkan matamu,” bisiknya.
“Kenapa harus memejamkan mata?” protes Maya.
“Agar jadi kejutan untukmu. Ayolah, tidak akan lama,” bujuk Masumi.
Dengan curiga Maya memutar wajahnya yang berkerut, menatap Masumi.
“Aku tidak akan membohongimu,” sergah Masumi menyadari gadis itu kembali meragukannya.
Maya pun akhirnya menurut, memejamkan Mata. Dirasakannya kedua lengan Masumi bergerak maju melewati kedua bahunya. Punggungnya kini menempel di dada bidang Masumi.
“Bergeser pelan, Maya.”
Hembusan nafas Masumi menyapu pipi kirinya, membuat Maya merasakan suhu di wajahnya kembali meningkat. Dengan gugup, gadis itu membiarkan Masumi membimbingnya untuk sedikit bergeser.
“Nah, pegang ini,” kini Masumi menyentuh lengan Maya dan membawanya untuk memegang gadget miliknya.
“I~iya,” Maya mengangguk dengan gugup. Matanya masih tertutup.
“Sebentar, masih kurang pas.. emhh…. Ya, tahan lenganmu di sana…. Sip! Perfect!”
Maya mati-matian menahan tubuhnya untuk tidak jatuh. Suara Masumi di telinganya, dada laki-laki itu yang menempel di punggungnya, serta hembusan nafasnya yang hangat benar-benar membuat tubuhnya lemas. Belum lagi Maya merasa, pipi Masumi sesekali bergesekan dengan pipinya beberapa kali.
Jantungnya sejak tadi berlompatan tak henti.
“Siap?” Masumi kembali berbisik ditelinganya.
Maya mengangguk cepat. Ia ingin segera menyelesaikan ini!
Diam-diam gadis itu mengutuk dirinya sendiri menyadari hatinya kecewa saat dada hangat Masumi menjauh.
“Tetap seperti itu ya, tahan tanganmu! Hitungan ketiga, kau baru boleh membuka mata dan langsung lihat layarnya!”
Maya mengangguk cepat.
“Satu…dua…ti~ga!”
Maya membuka mata. Keningnya langsung berkerut melihat apa yang terpampang di layar.
Gambar wajahnya sendiri yang keheranan.
“Hayami san!” protesnya. “Kau sepertinya salah mengeset kameranya! Terbalik!”
“Masa, sih?” Masumi kembali mendekat. Kedua tangannya meraih kamera yang masih dipegang Maya dari arah belakang, membuat Maya tanpa sadar mengerutkan tubuh agar lengan laki-laki itu tidak terlalu merangkulnya.
Namun gerakannya justru semakin merapatkan dirinya di dada Masumi.
“Tidak, ah!” Masumi menggeleng di samping wajah Maya. “Setingannya sudah betul, kok.”
“Tapi itu kan wajahku!”
“Memang apa yang kau harapkan untuk dilihat?”
“Hayami san bilang akan memperlihatkan pemandangan indah!”
“Aku bilang sesuatu yang indah, Mungil. Bukan pemandangan. Dan lihat ini!” Masumi menggoyangkan gadgetnya pelan, mengembalikan perhatian Maya pada layarnya.
Disana masih terpantul bayangan wajahnya yang bersemburat merah, mulai menyadari maksud Masumi.
“Inilah sesuatu yang indah yang aku maksud,” bisikan Masumi terasa lebih dekat di telinganya. “Yang selalu membuatku terpesona tanpa bisa mengalihkan pandanganku lagi. Sejak dulu…,”
Maya merasakan badannya menggigil. Dan dia sepenuhnya menyadari, hal itu bukan berasal dari udara dingin di sekitarnya.
***
Malam sudah lama turun.
Maya membuka pintu geser di samping rumah. Udara dingin segera menyergap membuat perempuan mungil itu merapatkan mantel tebal yang dipakainya.
Langit nampak cerah malam itu. Lampu yang berpedaran keluar dari setiap rumah tidak mampu menghalangi kilau bintang yang bertaburan di sana. Maya lantas duduk dengan kaki menjuntai hampir menyentuh tanah. Kepalanya menengadah memandangi kerlip bintang. Mata gadis itu mengerjap.
Rasanya ia pernah melakukan hal yang sama. Memandangi bintang di malam bersalju. Sendiri.
Sekelebat bayangan terlihat. Dirinya yang menatap langit penuh bintang dari balik jendela sambil…
Ah, tidak! Aku tidak sendiri!
Refleks Maya memandang kedua tangannya. Kosong.
Ada sesuatu yang didekapnya dalam bayangan tadi. Tapi dirinya tidak yakin dengan apa yang diingatnya barusan.
Tiba-tiba telinganya mendengar sesuatu. Tanpa sadar Ia melompat berdiri.
“Ada apa, Maya?”
Maya memutar kepalanya cepat.
“Hayami san, kau mendengar itu?”
“Apa?”
Maya mempertajam pendengarannya, tak segera menjawab. Masumi dengan heran ikut-ikutan mendengarkan sekelilingnya.
“Ah, sudah tidak ada,” gumam Maya. Masumi mendekat.
“Memang apa yang kau dengar tadi?”
“Suara bayi,” gumam Maya. “Terdengar jelas sekali. Sangat dekat.”
Degg!!
Dada Masumi berdetak lebih kuat. Apa Maya perlahan mulai mengingatnya?
“Mungkin dari rumah sekitar sini,” jawab laki-laki itu kemudian, mencoba untuk tenang.
Maya termangu.
“Mungkin Hayami san benar,” angguknya ragu. “ Tapi rasanya dekat sekali, dan… sepertinya, aku melihat bayangan diriku berdiri dekat jendela sambil memandang langit. Di luar banyak salju dan~dan aku…,” Maya menelan ludahnya pelan. “Aku… menggendong…bayi?”
Masumi memandang wajah kebingungan Maya dengan was-was.
Dia mulai ingat!
Menyadari sedikit demi sedikit Maya mulai mengumpulkan kembali ingatannya yang hilang membuat rasa takut itu muncul lagi.
Bayangan Maya meninggalkannya membuat badan laki-laki itu gemetar.
“Dingin,” ujar Masumi kemudian. Mencoba mengalihkan ketakutannya. “Lebih baik tutup pintunya dan bersiap tidur. Kau pasti lelah hari ini jadi harus cepat beristirahat, Mungil. Futonmu sudah aku siapkan.”
Maya masih termangu memikirkan apa dia bayangkan tadi. Kehangatan itu masih dia rasakan. Kehangatan yang membuatnya rindu.
“Maya?” Masumi mendekat dan tercekat saat Maya mengangkat wajahnya.
Ada kilauan bening di sudut mata gadis tu.
“Maya?” Masumi mengangkat kedua tangannya dan mendekap wajah Maya yang kini menengadah menatapnya. “Kau kenapa?”
Jantung lelaki itu berdebar kian resah. Kilau bening itu mulai melompat ke pipi Maya yang putih. Kian lama kian deras.
“Rasanya rindu sekali,” isak Maya. “Aku~aku rasanya ingin~memeluknya. Bayi itu …,” Maya terisak. “Hayami san, kenapa aku begitu merindukannya? Siapa bayi itu? Kenapa bayangannya tidak mau hilang?”
Masumi menarik tubuh mungil Maya ke dalam dekapannya. Mati-matian menahan kesedihannya sendiri. Isak tangis Maya terdengar begitu mengiris hati.
Bagi Maya, jika ingatannya kembali, apa yang terjadi pada Erika akan membuatnya perasaannya sangat hancur. Masumi menyadari sekali hal itu. Dan baginya, melihat penderitaan gadis ini sekali lagi akan lebih menyakitkan dari siksa neraka.
Di atas segalanya, dari dulu yang ingin dia lakukan hanyalah melindungi Maya dari penderitaan dan rasa sakit. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dialah yang justru menjadi penyebab semua penderitaan yang dialami Maya!
Masumi mengetatkan pelukannya. Matanya terasa sangat panas.
Tiba-tiba Masumi merasakan tubuh Maya menegang dalam dekapannya. Lenguhan pelan terdengar sebelum akhirnya tubuh itu melemas.
“Maya?” dengan sigap Masumi menahan laju tubuh mungil dalam dekapannya agar tidak sampai terjatuh. Tapi rupanya jemari Maya mencengkram kuat kemejanya membuat tubuh Masumi tertarik.
“Erika,” bisikan itu pelan, tapi cukup membuat Masumi membeku di tempatnya.
Sedetik kemudian, tubuh Maya benar-benar terkulai tak sadarkan diri dalam pelukan Masumi.
***
Dalam temaramnya lampu, Masumi memandangi wajah terlelap Maya yang nampak pucat. Untunglah, ada dokter desa yang bisa dihubungi saat Maya pingsan tadi. Setelah tahu kondisi gadis itu, dokter hanya menyarankan agar Maya tidak dipaksa untuk mengingat masa lalunya dan tentu saja, harus beristirahat yang cukup.
Kini gadis itu sudah lama terlelap, namun Masumi tidak juga bisa memejamkan mata.
Apa yang harus aku lakukan jika dia ternyata mengingat kembali semua masa lalunya?
Apa yang harus aku katakan padanya?
Apakah dia akan memaafkanku?
Apakah dia akan membenciku? Ah, dia pasti akan membenciku!
Masumi tersenyum pedih diantara semua celotehan pikirannya. Lengannya membelai lembut pipi Maya.
“Akankah kau memaafkanku, Mungil?” kini jemarinya menggenggam erat lengan Maya dan membawanya ke pipinya sendiri. “Kau akan memaafkanku kan, Sayang? Karena jika tidak, dan kau lalu meninggalkanku, aku bisa …. mati.”
Setetes air mata meluncur ke pipi pucatnya. Kemudian memejamkan mata, memohon dengan sangat pada semua dewa yang bisa diingatnya, agar hal yang ditakutkannya itu tidak pernah terjadi.
Saat terpisah jauh dari belahan jiwanya, Masumi selalu merasa setiap malam berjalan dengan sangat lambat, membuat dia membenci setiap detiknya, dan berharap pagi cepat menjelang agar dia bisa sejenak melupakan semua kepedihan dan kerinduannya dalam kesibukan kerja yang seolah tak ada henti.
Tapi saat ini dia berharap malam tak akan pernah berakhir agar dirinya tidak usah dihadapkan pada kenyataan pahit jika besok Maya ternyata mengingat semua, dan meninggalkannya.
Tanpa Maya maka tak akan ada masa depan baginya.
***
Pagi akhirnya tiba.
Masumi menghela nafas pelan dan sedikit mengumpat mengapa alam tidak mau berpihak padanya.
Namun kemudian Masumi tersadar, betapa konyol pemikirannya tadi. Apapun yang terjadi saat Maya bangun nanti, dia harus mau menghadapinya. Meskipun mungkin hal yang dia takutkan akan terjadi.
Masumi pasrah.
Ini adalah hukuman dari kepengecutanku dulu!
Dengan harap-harap cemas Masumi menunggu Maya terbangun dari tidurnya. Bersandar pada dinding kayu di halaman, memandang ufuk timur yang sudah lama bermandi cahaya. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap di sepertiga malam terakhir yang dia lewati. Kegugupan begitu menguasai sehingga hampir-hampir Masumi tidak sanggup menahannya.
Akankah semua berakhir hari ini?
Tertegun dengan pertanyaannya sendiri, sedetik kemudian hatinya menolak keras.
Tidak! Tidak akan aku biarkan semua berakhir!
Kepalan tangannya mengetat. Akan aku lakukan apapun agar Maya tidak pernah pergi dariku!
Terdengar suara langkah kecil di belakang. Dengan jantung yang mendadak berdebar sangat keras, Masumi memutar badannya.
Raut wajah mungil Maya menyambut. Wajahnya masih nampak pucat, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Maya? Kau sudah bangun?”
Masumi yakin, Maya menyadari suaranya yang terdengar bergetar
Dilihatnya kening gadis itu berkerut.
“Hayami san. Kau baik-baik saja?” wajah polos Maya menatapnya khawatir.
Hayami san, apa dia..?
“Maya,” Masumi mendekat dengan waspada. “Apa kau…?”
“Aku kenapa?” kembali gadis itu balas bertanya. “Ah, semalam!”
Kembali jantung Masumi berdebar keras.
“Semalam sudah membuat Hayami san khawatir, maafkan aku,” ujar Maya pelan.
“Kau~belum mengingat apapun?”
Maya menggeleng, dan kelegaan langsung memenuhi dada Masumi dan dia merasa bersalah karenanya.
“Hanya saja bayangan itu terasa begitu nyata,” Maya kembali berujar pelan. “Suara bayinya juga. Membuatku rindu dan sedih dalam satu waktu,” wajah Maya nampak murung. Tapi tak lama. Saat mengangkat wajahnya untuk memandang ke arah Masumi, sebuah senyum tipis sudah terukir di sana.
“Tapi aku tidak ingin memaksakan diri untuk mengingat. Setiap mencoba, kepalaku pasti sakit. Seperti semalam. Lagi pula bukankan dulu dokter mengatakan ingatanku akan kembali cepat atau lambat. Jadi aku akan mencoba sabar menunggu. Hayami san, tidak keberatan, bukan?”
“Maksudmu?”
“Karena rumah di Sapporo hancur dan aku tidak punya siapapun di Tokyo, aku jadi merepotkan Hayami san dan Paman.”
“Tentu saja aku tidak akan keberatan, Mungil. Tidak akan pernah,” senyum Masumi.
Maya tersenyum senang.
“Terima kasih.”
“Aku senang kau baik-baik saja pagi ini,” kini lengan Masumi membelai lembut pipi Maya yang mulai kembali merona. “Hmm, aku sudah memesan sarapan. Sebentar lagi mungkin diantar. Setelah sarapan, kita jalan-jalan lagi, kau mau? Masih banyak tempat yang bisa kita kunjungi di sini.”
Maya mengangguk dengan antusias. Gadis itu pamitan untuk mengganti baju dan saat dia membuka kembali fusuma yang digunakan untuk membatasi antar ruangan, sarapan mereka sudah terhidang di atas sebuah meja pendek.
Dibalasnya senyum Masumi sambil berjalan mendekat.
***
Sudah lebih dari sepuluh menit ia memandangi gerbang
tinggi kediaman Hayami yang menjulang agak jauh di depannya. Ragu untuk mendekat. Berkali-kali otaknya
meminta untuk berbalik pergi. Tapi hatinya berkata lain. Kerinduan yang
dipendamnya 3 bulan terakhir membuatnya tanpa sadar sudah berada di sini.
“Nona, apakah kita bisa masuk sekarang?”
Didengarnya sang sopir bertanya. Shiori menghela
nafas.
“Tidak, sebentar lagi,” jawabnya kemudian.
Apakah
dia akan senang melihatku? desah
batinnya. Apakah dia juga
merindukanku?
Shiori tertawa lirih menyadari pertanyaannya. Tidak mungkin! Hatinya seperti mengejek.
Saat kalian bersama pun, laki-laki itu
bahkan tidak pernah sekalipun memperhatikanmu!
Lengannya bergerak untuk menyentuh cincin yang kini menggantung di
lehernya. Cincin pernikahan yang dikembalikan Masumi, kini dia pasang di sana.
Harapan suatu saat laki-laki itu bersedia kembali memakai cincin itu masih kuat
terpatri dalam angannya.
“Nona,” suara sang sopir membuatnya mengangkat wajah. Sebuah mobil nampak
keluar. Sekilas Shiori dapat melihat siapa yang ada di dalamnya.
Masumi Hayami
“Cepat ikuti mobil itu!” perintah Shiori yang dengan sigap langsung
direspon sang sopir. Perempuan itu tersenyum gembira. Wajah yang selama tiga
bulan ini menghiasi mimpi dan hanya bisa dia pandangi melalui fotonya saja,
kini bisa dia temui langsung,
Kening perempuan cantik itu berkerut saat melihat mobil Masumi berbelok ke
arah pemakaman.
Apa yang dia lakukan di
sini? Siapa yang meninggal?
Namun tak urung,
perempuan itu mengikuti langkah mantan suaminya. Agak jauh di belakang,
berusaha agar Masumi tidak melihatnya.
Mata Shiori membulat saat melihat ada buket mawar ungu di lengan Masumi.
Kembali dadanya berdegup kencang.
Apakah..? Ah.. Mungkinkah?
Kepenasarannya kian besar. Sebuah pemikiran yang sekilas tadi melintas
membuatnya sedikit merasa sesak.
Dilihatnya Masumi berongkok di sebuah makam. Dia tidak bisa melihat
ekspresi laki-laki itu. Dengan sabar Shiori terus memperhatikan dari balik sebuah
pohon tak jauh dari tempat Masumi berjongkok. Agak lama Masumi berada di sana
sampai akhirnya Masumi merunduk untuk mencium nisan di depannya lalu berdiri.
Jantung Shiori kembali berdegup kencang saat melihat raut wajah Masumi
kini.
Begitu penuh dengan duka.
Shiori menarik tubuhnya kian dalam ke balik pohon saat Masumi melintas.
Kepenasaran membuatnya mengacuhkan punggung Masumi yang kian menjauh. Setelah melihat
punggung itu menghilang di balik tikungan, segera Shiori beranjak menuju makam
yang baru ditinggalkan Masumi.
Matanya terbelalak melihat foto seraut wajah balita cantik yang terpampang
di sana.
Erika Hayami…
Dibacanya nama yang terukir di bawahnya lambat-lambat.
Ingatannya segera kembali ke dua tahun yang lalu, saat dirinya sekuat
tenaga membujuk sang kakek untuk mengirim mereka ke London.
Masih kuat dalam ingatannya alasan dia melakukan itu.
Maya Kitajima, kini
sedang mengandung… dan anak yang dikandungnya adalah anak tuan Hayami.
Sebaris laporan orang yang dia utus untuk memata-matai Maya membuatnya
panik luar biasa, Dia tidak ingin Masumi membatalkan niat untuk menikahinya
jika laki-laki itu mengetahui tentang kehamilan Maya. Meskipun kemudian Masumi
memang menikahinya, tapi dirinya tetap tidak tenang jika mereka masih berada di
Jepang.
Shiori kembali menatap nisan di depannya.
Ada raut muka Masumi dalam wajah balita ini.
Dengan tangan gemetar Shiori menyentuh foto di depannya,
“Apa yang terjadi?” setetes air mata melompat turun. “Apa yang terjadi
padamu? Mengapa jadi seperti ini?”
Dan jawabannya segera dia dapat dari mulut pengasuhnya saat dia kembali ke
kediaman Takamiya.
Dalam keremangan kamarnya, Shiori diam-diam menangis. Segumpal penyesalan
kini datang menyiksa batinnya.
Terbayang wajah penuh kesedihan Masumi yang dilihatnya tadi siang. Raut
kesedihan yang jauh lebih kelam dibanding saat bersamanya dulu.
“Maafkan aku… maafkan aku…,”
Isaknya bahkan belum usai saat beberapa lama kemudian perempuan itu jatuh
tertidur.
***
“Aku pulang,” Masumi memasuki ruang keluarga Hayami dan tersenyum melihat
seraut wajah mungil yang menyambutnya riang.
“Selamat datang, Hayami san!” Maya melompat dari duduknya dan segera
menghampiri laki-laki yang baru datang itu.
Bahagia rasanya melihat wajah riang Maya menyambutnya pulang kerja seperti
ini. Sejenak Masumi hanya terdiam, menikmati perasaan hangat yang kerap kali
menyapa hatinya sejak Maya tinggal di rumah ini.
“Anda kenapa?” Maya mengernyit heran menyadari Masumi hanya memandanginya
sejak tadi.
Laki-laki itu tersenyum. “Aku sedang menikmati wajahmu,” ujarnya terus
terang. Sontak rona merah menyerbu wajah mungil Maya. Gadis itu mencoba untuk
tidak tersipu, sebaliknya, mengerucutkan bibirnya dan berbalik meninggalkan
Masumi.
“Hei!” Masumi cepat meraih lengan Maya. “Kok pergi?”
“Habis, Hayami san suka sekali menggodaku,” gerutu Maya pelan. Masumi
tergelak.
“Maaf, aku tidak bermaksud menggodamu,” ditariknya tubuh mungil itu hingga
Maya kembali menghadap ke arahnya. “Aku hanya merasa sangat bahagia setiap kau
menyambutku seperti ini.”
Mata Maya berbinar mendengarnya. Senyum cerah kembali terukir di bibir
gadis itu.
“Ngomong-ngomong, Hayami san sudah makan malam?” tanyanya kemudian.
“Belum,” geleng Masumi. “Kau?”
“Aku menunggu Hayami san,” jawab Maya.
“Kata Bu Michi Paman tadi pagi pergi ke pemandian air panas. Seharian ini
aku makan sendirian. Tidak asyik jadinya,” Maya bersungut tidak suka. “Jadi aku
sengaja menunggu Hayami san untuk makan malam!”
Refleks Masumi melirik jam di ujung ruangan. Sudah hampir jam delapan.
Laki-laki itu mendesah.
“Maya, harusnya kau tidak perlu menungguku makan malam,” ujarnya kemudian. Namun
sedetik kemudian, saat melihat mata bening di depannya berkaca-kaca, Masumi
sadar ia sudah salah bicara.
“Hayami san.. tidak suka.. makan dengan..ku,” suara lirih Maya membuatnya
tergagap.
“Bukan, bukan itu maksudku, Maya.. Maya!” secepat kilat Masumi melompat saat
melihat Mata berbalik pergi sambil
mengusap air mata yang melompat ke pipinya.
Masumi tercekat saat melihat wajah mungil itu sudah bersimbah air mata.
“Maaf, kalau aku membuat Hayami san terganggu.. aku.. aku..”
“Tidak! Tidak! Bukan itu maksudku, Maya.. Maaf..,” Masumi tak tahan lagi.
Direngkuhnya tubuh mungil Maya ke dalam pelukannya.
“Aku bukannya tidak senang
makan denganmu. Aku senang, aku bahagia kau mau makan bersamaku. Hanya saja kau
kan masih lemah. Aku tidak ingin kau sakit lagi hanya karena menungguku dan akhirnya terlambat
makan.”
“Sungguh?” didengarnya gadis itu
bersuara diantara isakannya.
“Sungguh,” angguk Masumi. Perlahan menjauhkan tubuh mereka dan meraih dagu
Maya, membuat gadis itu menengadah.
“Jangan menangis lagi,” senyumnya seraya menghapus air mata dari pipi Maya.
“Ayo makan. Aku sudah sangat lapar.”
Perlahan senyuman kembali menghiasi wajah Maya. Gadis itu lalu mengangguk.
Bergandengan tangan mereka berlalu menuju ruang makan.
***
Untuk kesekian kali Shiori kembali termangu di balik pohon yang dipakainya
untuk mengamati Masumi, di dekat makam Erika. Kini Shiori tahu, setiap hari
Masumi selalu menyempatkan diri mengunjungi makam itu. Meletakkan buket mawar
ungu di atas pusara dan mulai berbicara pada makam putrinya, Entah apa yang dia
bicarakan, yang jelas, untuk kesekian kalinya juga, ia melihat ekspresi
kesedihan mendalam di wajah tampan Masumi. Meski setiap hari melakukan hal yang
sama, kesedihan nampak tidak juga berkurang. Malah tak jarang dilihatnya Masumi
mengusap ujung matanya yang basah.
Shiori menegakkan badan saat dilihatnya Masumi berdiri. Laki-laki itu
sepertinya bersiap untuk pergi.
Tanpa diperintah sang sopir segera mengikuti mobil Masumi yang perlahan
meninggalkan tempat parkir.
“Sepertinya beliau menuju kediaman Hayami, Nona. Apakah saya harus tetap
mengikutinya?”
Shiori mengangguk. “Terus ikuti saja, Pak!”
Beberapa puluh meter dari kediaman Hayami, mobil Masumi melambat, lalu
berhenti tepat di sebuah taman komplek dimana terdapat playground yang kini nampak
penuh dengan anak-anak yang sedang bermain.
Masumi turun. Berjalan mendekati anak-anak yang nampak tengah berkerumun
mengelilingi seseorang.
Shiori tercekat.
Mata itu… desisnya
Mata Masumi nampak bersorot hangat,
menatap ke arah kerumunan
anak-anak. Bibirnya tersenyum lembut.
Shiori mengikuti arah pandangan Masumi dan sedetik kemudian menyadari objek
yang membuat mata yang biasanya dingin itu kini nampak begitu hangat dan penuh
cinta.
Maya…
Perasaan cemburu segera menyergap. Shiori menggenggam erat sapu tangannya. Nafasnya terasa sesak. Terlebih saat melihat
Masumi dengan cepat mendekati gadis mungil yang juga berlari mendekat. Tawa
keduanya begitu cerah. Gerakan Masumi nampak begitu wajar saat membelai wajah
mungil yang menengadah menatapnya.
Entah apa yang diucapkan Masumi, yang jelas, cara Maya tertawa yang semakin
terlihat bahagia membuat Shiori merasakan hatinya semakin berdenyut. Tak tahan
melihat pandangan memuja yang terpancar dari mata keduanya, perempuan itu
dengan cepat melompat keluar.
Saat disadarinya dia sudah berada di belakang kedua sejoli yang masih berpegangan
tangan dengan bahagia itu.
“Masumi…”
Nampak jelas tubuh Masumi mengejang. Pandangan terkejut melihat
keberadaannya nampak jelas di mata kelam Masumi saat laki-laki itu berbalik.
“Shiori..”
Shiori tersenyum gugup.
“Apa yang kau lakukan disini?” Masumi yang segera menemukan ketenangannya
kembali langsung bertanya.
Diam-diam Shiori mendesah, melirik lengan Masumi yang masih erat
menggenggam jemari lentik Maya. Kau
bahkan tidak berusaha melepaskan genggaman tanganmu di depanku…
“Aku… merindukanmu,” entah apa yang mendorongnya mengucapkan hal itu.
Mungkin rasa cemburu yang semakin membuncah, dan ketidakrelaannya melihat
betapa kedua sejoli di depannya nampak begitu saling mencintai. Yang pasti,
meskipun ingin, ia tidak bisa menghentikan apa yang dia perbuat selanjutnya.
Kini dirinya sudah begitu dengat dengan tubuh tegap Masumi.
Berjinjit untuk kemudian mengecup bibir laki-laki itu dengan cepat.
“Aku begitu merindukanmu..,” bisiknya lagi.
Masumi terjengit kaget. Secepat kilat melangkah mundur.
“Apa yang kau lakukan, Shiori?!” desisnya tak suka. Keterkejutan membuatnya
melupakan keberadaan Maya untuk sesaat. Sampai kemudian genggaman tangan Maya
terasa mengetat di lengannya.
Cepat Masumi menoleh. Jantungnya serasa melompat keluar saat menyadari
betapa pucatnya wajah Maya.
“Maya, kau kenapa?” tanyanya panik.
Sementara yang ditanya tengah tenggelam dalam bayangan yang tidak dia
mengerti, yang kini menyerbu benaknya silih berganti.
Seseorang yang tengah menyodorkan sapu tangan untuknya, bayangan sebuah
pesta meriah, lalu sebuah perkelahian dan suara-suara marah yang menyuruhnya
pergi, lalu… sebuah pesta pernikahan yang megah. Ada wajah Hayami san dan…
Mata bulat itu mengerjap panik, menatap Shiori yang kini berdiri di depannya
dengan kebingungan yang semakin
memuncak.
Wajah perempuan itu ada dalam setiap bayangan yang menyerbunya kini!
Maya merasakan sakit teramat sangat menghantam kepala, juga dadanya.
Gadis itu menjerit keras, dengan cepat melepaskan genggaman tangan Masumi
dan berlari mundur, menjauh dari keduanya.
“Maya!!” Masumi bergerak mendekat, tapi seketika berhenti karena teriakan
Maya.
“Tidaaaakk!!”
Mata gadis itu mengerjap cepat. Mimiknya nampak seperti tengah menahan rasa
sakit yang luar biasa. Air mata bahkan sudah membasahi wajah mungilnya.
Kepanikan semakin mencengkram Masumi.
“Maya.. kau kenapa?”
“Ja..hat,,.!” desis Maya. Sebuah bayangan nampak jelas di pelupuk matanya.
Bayangan laki-laki di depannya yang menatapnya dingin, lalu berlalu tanpa
berkata sepatah katapun dengan wanita itu bergelayut manja di lengannya.
“Ja…hat…,” ulangnya.
Masumi tercekat, jantungnya terasa berhenti berdetak kini. “Maya?”
Maya kembali menjerit. Rasa sakit kembali menyerbu. Semakin kuat
menghantamnya kini. Secepat kilat Masumi melompat untuk memeluk tubuh mungil
yang kini gemetar dengan hebatnya.
Sekejap Masumi menangkap sorot mata yang membuat hatinya serasa hancur
berkeping-keping. Sorot penuh kekecewaan.
“Kau… kau… ja…hat…”
Lalu tubuh mungil itu pun terkulai
lemah dalam dekapannya.
Suara Maya memang terdengar lemah dan bergetar, tapi cukup membuat Masumi
ketakutan setengah mati. Ya Tuhan, apa
dia.. sudah mengingatnya?
Untuk beberapa saat Masumi hanya sanggup memeluk tubuh pingsan Maya seraya
menenggelamkan wajahnya di sisi wajah gadis itu.
Shiori mendekat dengan ragu. Apa yang terjadi membuatnya sangat terkejut
sampai-sampai hanya bisa terpaku melihat semuanya.
“Masumi?” panggilnya pelan pada laki-laki yang masih bersimpuh seraya
mendekap erat tubuh Maya.
Perempuan itu menyentuh punggung Masumi pelan dan terkejut merasakan
sentakan-sentakan halus di sana.
Apa dia…menangis?
Seketika hatinya tercabik. Shiori menggigit bibirnya untuk mencegah
tangisnya sendiri.
Laki-laki yang terkenal sangat dingin dan kaku itu kini menangis!!
Ya Tuhan! Apa yang
sudah aku lakukan?
Untuk beberapa lama Shiori hanya bisa terpaku menatap pemandangan pilu di
depannya, sampai akhirnya Masumi mengangkat wajahnya dan berdiri dengan tubuh
lemas Maya dalam dekapan.
Wajah bersimbah bersimbah air mata. begitu sarat dengan kepedihan.
“Pulanglah, Shiori,” Masumi berujar pelan. “Dan lebih baik kita tidak perlu
bertemu lagi.”
Laki-laki itu kemudian berlalu tanpa menoleh sedikitpun. Tangis Shiori
pecah sesaat setelah mobil Masumi berlalu.
Penyesalan semakin menghimpit dadanya. Semakin sesak.
“Maaf… Maaf…,” bisiknya berulang-ulang. Menyesali semua kebodohan yang
sudah membuat laki-laki yang paling dicintainya begitu menderita.
***
Jahat...\
Mungkin memang itu kata yang tepat
untuk mendeskripsikan dirinya setelah apa yang dia lakukan pada Maya dua tahun
yang lalu.
Masumi merasakan dadanya ditusuk
ribuan sembilu. Sangat sakit.
Sejak diperiksa dokter satu jam
yang lalu, Maya belum juga sadar, dan Masumi tak sedetikpun beranjak dari sisi
tempat tidur gadis itu. Terus menggenggam tangannya erat, terus membelai pipi
dan rambutnya yang halus, terus menerus memanggil nama belahan jiwanya seolah
tak akan ada waktu lagi baginya untuk melakukan semua itu.
Dan memang itulah yang Masumi rasakan saat ini. Saat mata
Maya terbuka nanti, mungkin tak akan ada lagi kesempatan baginya bahkan hanya
untuk melihat senyum Maya yang menenangkan jiwa.
Hanya akan ada tatapan penuh
kebencian yang akan diterimanya nanti, sebagai balasan atas perbuatannya dua
tahun yang lalu. Dan kemudian Maya akan pergi meninggalkannya.
Tidak mau!!
Masumi menggeleng keras. Hatinya
semakin diliputi ketakutan.
Aku tidak mau itu terjadi! Aku tidak mau Maya
pergi dariku. Tidak mau!! Tidak boleh!!
Genggaman tangannya semakin erat.
Ketakutan yang teramat sangat bahkan
membuat laki-laki itu beranjak naik ke atas tempat tidur, bersender di ujung
dan menempatkan tubuh lemah Maya dalam rengkuhannya, memeluknya erat.
“Aku tidak mau kau meninggalkanku,
Maya,” suara bisikannya yang sarat
kesedihan terdengar berulang-ulang. “Kau boleh memakiku, memukulku, berteriak
padaku sepuasmu, tapi jangan tinggalkan aku, kumohoon,” dihirupnya wangi rambut
Maya yang kini berada tepat di ujung hidungnya. “ Aku tidak bisa lagi hidup
tanpamu, sayangku, jadi kumohon jangan meninggalkanku.”
Tanpa terasa pipi Masumi sudah
basah oleh air mata. Masumi tidak peduli. Dia terus menciumi rambut dan pipi
kekasihnya seraya terus memohon dan membisikan kata-kata cinta di telinga Maya,
berharap gadis itu mendengarnya dan tidak meninggalkannya kelak jika ingatannya
sudah pulih.
Sampai beberapa lama kemudian,
Masumi merasakan tubuh yang didekapnya bergerak gelisah. Erangan pelan
terdengar dari mulut Maya.
“Maya?”
Dada laki-laki itu berdegup
kencang. Tanpa sadar dekapannya mengetat.
Saat mata bening kekasihnya
membuka, Masumi hanya sanggup menatap dalam diam. Memperhatikan bola mata indah
itu bergerak gerak dengan mimik kebingungan, seolah sedang berusaha mengingat apa
yang sudah dialaminya.
Sampai kemudian...
“Erika!!”
Maya berteriak seraya melompat
bangun. Wajah kebingungannya berubah menjadi kepanikan.
Masumi kian beku ditempatnya.
“Erika, Sayang! Kamu dimana, Nak?”
Maya berteriak seraya berlari ke luar kamar. Masumi, yang baru saja tersadar
dari kebekuannya cepat melompat, mencoba mengejar Maya yang terus menerus
memanggil nama putrinya dengan panik.
“Erikaa!!! Sayang, Kamu dimana?!!”
Maya berteriak frustasi. Gadis itu
belum sepenuhnya menyadari sekeliling, terus berlari menuruni tangga mencari
buah hatinya. Dia baru saja meninggalkan Erika yang sedang tertidur di dalam
box bayinya untuk mengambil isi kotak pos di luar saat gempa itu terjadi. Dalam
sekejap, dia bisa melihat sebagian dinding rumahnya sudah mulai roboh.
“Erikaaaa!!!” Maya menjerit keras.
Dalam benaknya teringat betapa paniknya dia yang tanpa pikir panjang berlari ke
arah rumah, menerjang runtuhan tembok dan kayu yang semakin banyak, berkutat
mengangkat sepotong kayu yang sudah menimpa box bayi dimana putrinya tengah
tertidur.
“Eri-ka?” seketika gadis itu
berhenti berlari. Di matanya terbayang jelas Erika yang nampak masih terlelap,
namun terlihat tetesan darah segar dari dahinya.
Masumi yang berada tepat di
belakang Maya ikut berhenti. Siaga saat menyadari tubuh mungil di depannya
bergetar hebat.
Maya merasa dadanya sesak. Dia
ingat, dia langsung menggendong Erika dan membawanya ke luar. Dia juga ingat
betapa dirinya berusaha melindungi tubuh mungil putrinya dari potongan kayu dan
tembok yang terus berjatuhan.
Tapi di mana putrinya sekarang?
Dengan bingung Maya menatap kedua
lengannya.
Tak ada tubuh mungil Erika di sana.
“E-ri-ka?” suara Maya terdengar
sangat lirih. Air mata mulai berhamburan dengan deras.
Gadis itu memutar tubuh saat
mendengar suara langkah di belakangnya. Sosok yang kini mendekatinya nampak
kabur, terhalang oleh air mata.
“Dimana... Erika?” tanyanya pada
sosok yang menghampiri.
Masumi sekuat tenaga untuk tetap
tenang.
“Maya...,”
Tak urung
suaranya terdengar sarat oleh tangis.
“Di mana
Erika?” Maya masih menatapnya dengan tatapan yang membuat hatinya semakin
teriris pedih.
“Maya,
sayang....”
Mulut
Masumi bergerak-gerak, mencoba menjelaskan namun tak ada sedikitpun kalimat
yang terlontar.
Maya hendak
bertanya lagi saat sebuah bayangan melintas.
Erika
terbujur kaku dengan kain putih yang menutupi seluruh badannya.
Tubuh Maya
bergetar kian hebat.
“Tidak!”
kepala mungil itu menggeleng. Menolak keras bayangan yang ada di kepalanya.
“Tidak, Erika..
Erika...”
Cepat
Masumi mendekat dan meraih tubuh Maya dalam pelukannya.
“Sayang,
tenanglah,” bisiknya.
“Tidak!!
Putriku tidak mungkin meninggal. Tidak!! Erika!! ERIKAAA!!!”
Maya
berteriak histeris. Tangisnya kembali pecah.
Masumi hanya bisa memeluk tubuh kekasihnya, mencoba memberikan sedikit
ketenangan meskipun hatinya sendiri berdenyut sakit. Air matapun mengalir deras
membasahi wajah tampannya.
Di bawah
tangga, Eisuke menyaksikan semua dengan kepedihan yang menyayat hati.
Beberapa
pelayan terdiam di tempatnya, sibuk menghapus air matanya masing-masing.
Semuanya ikut merasakan duka mendalam dua insan yang sudah kehilangan buah hati
mereka dengan cara yang sangat tragis.
***
Dokter
kembali dipanggil saat Maya semakin histeris, terus menangis memanggil nama
putrinya. Gadis itu belum sepenuhnya tersadar akan sekelilingnya. Pikirannya
hanya tertuju pada Erika, dan kenangan terakhir akan gempa yang menimpa mereka.
Setelah
diberi obat penenang, gadis itu pun kembali terlelap.
“Ini reaksi
positif,” terang dokter begitu selesai memeriksa Maya. “Nona Kitajima memang
harus mengeluarkan emosinya seperti tadi, sehingga beban jiwanya sedikit banyak
bisa berkurang. Mudah-mudahan, ingatannya memang sudah pulih sepenuhnya. Tapi
untuk mengetahui hal itu, kita harus menunggu beliau terbangun terlebih
dahulu.”
Masumi
hanya mengangguk lemah mendengar keterangan dari dokter keluarga itu. Entah dia
harus senang atau sedih mendengar kemungkinan besar ingatan Maya sudah pulih.
Yang jelas, kini dia harus mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi kebencian
Maya sekali lagi, dan kemungkinan gadis itu akan meninggalkannya sendirian.
Untuk
kesekian kalinya Masumi menggeleng keras, menolak pikiran yang melintas di
kepalanya tadi.
“Kau tidak
akan meninggalkanku kan, Maya?” dipandanginya wajah Maya yang pucat. “Ya, kau
tidak akan meninggalkanku. Tidak akan kubiarkan!” tekadnya kemudian.
Namun
tekadnya itu kembali melemah saat melihat tatapan dingin Maya dua jam kemudian.
Jantungnya berdebar keras saat melihat mata bening itu hanya memandangnya dalam
diam. Entah apa yang dipikirkan Maya, yang jelas, membuatnya sangat tidak
tenang.
“Aku ingin
melihat putriku,” kalimat itu pun diucapkan Maya dengan datar. Membuat Masumi
hanya bisa mengangguk tanpa bisa berkata apapun. Begitupun sepanjang perjalanan
menuju makam Erika. Mereka hanya duduk terdiam. Masumi, meskipun ingin, tapi
dirinya merasa sangat takut untuk memulai pembicaraan. Takut menghadapi
kemarahan dan kebencian Maya yang mungkin akan terucap dari mulut gadis itu
jika mereka berbicara.
Di depan
pusara Erika, Maya tidak lagi menangis histeris. Tapi air mata terus mengalir
deras. Kesedihan yang membayang jelas di kedua mata beningnya membuat hati
Masumi kembali serasa diremas-remas. Lengan Maya tak henti membelai nama buah
hatinya yang terukir indah di nisan. Bibirnya terus membisikan nama Erika
berulang-ulang, menyuarakan kerinduan dan kepedihan yang teramat sangat.
Saat hari
semakin sore dan suasana sudah mulai meredup,
Masumi memberanikan diri untuk mendekat.
“Maya,
sudah sore. Lebih baik kita pulang sekarang.”
Suara
Masumi menyadarkan Maya akan sekelilingnya. Gadis itu membelai nisan putrinya
sekali lagi, lalu mengecupnya lembut sebelum kemudian berdiri. Mengusap pipi
dan matanya yang basah, lalu perlahan menoleh untuk melihat ke arah Masumi yang
berdiri agak jauh di sampingnya.
Sesaat Maya
menahan nafas melihat kepedihan yang sama melumuri wajah tampan Masumi.
“Besok,
jika kau ingin, kita akan kembali ke sini untuk menengoknya,” ujar Masumi lagi.
Maya tidak berkomentar. Gadis itu menurut saat Masumi mengajaknya untuk turun
dari komplek pemakaman. Juga saat Masumi membukakan pintu mobil untuknya.
Maya masuk dengan patuh.
Beberapa
saat keduanya terdiam. Maya melemparkan pandangannya ke luar mobil yang sudah
kembali melaju di keramaian jalan, memandangi lampu jalanan yang satu persatu
mulai menyala.
“Namanya
Kitajima,” tiba-tiba Maya berkata pelan.
Apa yang
terucap dari bibir Maya membuat Masumi mengerutkan kening tak paham.
“Anakku.
Namanya Erika Kitajima, bukan Hayami.”
Seketika
sesuatu terasa menohok jantung Masumi.
“Ma-Maya...,”
laki-laki itu tergagap. Mengalihkan pandangan dari lalu lintas di depannya
dengan gugup. Mengamati raut wajah Maya di sampingnya.
Wajah itu
tetap datar, memandang jauh ke luar jendela di sampingnya. Masumi membuka
mulutnya, hendak menyuarakan apa yang ada di benaknya. Namun saat melihat wajah
datar Maya, lelaki itu mengurungkan niat. Kembali mengalihkan perhatian pada
jalanan di depannya.
Perkataan
Maya menyiratkan sebuah penolakan, akan kehadiran dirinya.
Masumi
merasakan hatinya berdenyut, nyeri.
***
Maya
langsung masuk ke kamarnya begitu mereka sampai, dan mengurung diri di sana.
Masumi termangu di depan pintu kekasihnya. Sudah satu jam berlalu dari waktu
makan malam. Tadi dia sendiri yang mengantarkan makan malam untuk Maya. Maya
sedang termenung di depan jendela saat dirinya masuk. Menoleh sesaat saat dia
meminta Maya untuk segera makan, namun beberapa saat kemudian kembali
melemparkan pandangannya ke luar. Mengabaikan keberadaannya.
Masumi
menghela nafas berat. Perlahan membuka pintu kamar kekasih hatinya. Kamar di
dalamnya temaram. Sosok yang dicarinya nampak masih berada di tempat terakhir
kali dilihatnya. Di depan jendela.
“Maya,”
panggilnya lirih.
Tubuh
mungil itu tidak bergemig.
“Maya,”
Masumi kembali memanggil. Kini sembari melangkah mendekat. Diliriknya nampam
makanan di atas meja. Masih utuh.
Laki-laki
itu kembali mendesah berat.
“Kau belum
makan..,” gumamnya sedikit pilu. “Apakah... kau tidak menyukai menunya? Apa
yang ingin kau makan? Aku akan meminta Bu Michie untuk...”
“Besok aku
akan pergi.”
Kalimat
datar Maya membuat Masumi terperangah. “A-apa?”
Kepala
cantik di depannya menoleh. “Aku akan pergi. Besok,” tegasnya.
“T-tapi...
kenapa?” suara Masumi terdengar bergetar. Keringat dingin mendadak membasahi
keningnya.
Diliihatnya
Maya menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Masumi berusaha meredam
kepanikan yang mulai mencengkramnya dengan kuat.
“Maya,
kumohon...,” Mata yang biasanya bersorot dingin itu kini mengerjap dengan
resah. “Kau... kita...,” entah mengapa, rasanya sulit sekali mengungkapkan apa
yang ingin dikatkannya pada Maya saat ini. Penyesalannya yang dalam, kesedihannya,
perasaan rindu dan cinta yang membuatnya tersiksa teramat sangat selama dua
tahun ini, permohonan agar Maya tidak meninggalkannya, semuanya! Semua kata seperti
tertahan di leher. Lidahnya jadi kelu. Masumi hanya sanggup meraih lengan
kekasihnya kini. Menggenggamnya erat.
“Maaf, saya
lelah, Pak Masumi,” perlahan Maya berusaha membebaskan jemarinya. “Jika anda
tidak keberatan, bisakah anda pergi...”
“Tidak!!”
Masumi menggeleng keras. “Aku tidak akan pergi, jangan menyuruhku pergi.
Jangan!! Tidak boleh, Aku tidak mau pergi!”
Dengan
gerakan panik laki-laki itu menarik Maya
dan dengan kuat memeluknya. Menyurukkan kepalanya di bahu gadis itu.
Maya
sedikit tersentak saat merasakan betapa gemetarnya tubuh yang kini memeluknya.
Beberapa saat kemudian Maya merasakan sesuatu yang hangat membasahi bahunya.
Tubuh gadis
itu menengang. Dia... menangis?
Untuk
beberapa saat Maya tidak tahu harus berbuat apa. Entah bagaimana, dia bisa
merasakan kesedihan Masumi yang masih memeluknya erat.
“Pak
Masumi...,” bisiknya pelan. Dengan halus berusaha melepaskan pelukan Masumi.
“Maya... kumohon...
jangan pergi...,” suara Masumi terdengar lemah saat laki-laki itu perlahan
merenggangkan pelukannya, menatap Maya dengan matanya yang sudah basah oleh air
mata. “Berikan aku kesempatan sekali lagi, Maya. Memperbaiki semua. Aku janji,
aku akan...”
“Jangan
berjanji!” potong Maya cepat. Dibalasnya pandangan laki-laki yang pernah
membuatnya begitu jatuh cinta itu. “Jangan pernah menjanjikan apapun jika tidak
bisa menepatinya. Itu... menyakitkan.”
“Maya...,”
suara Masumi terdengar seperti tercekik. Kembali dilihatnya pandangan penuh
kekecewaan dari mata bening kekasihnya. “Aku... ,” Masumi meneguk ludah.
Lidahnya kembali kelu.
Untuk
beberapa saat keduanya saling berpandangan.
“Aku
mencintaimu, Maya,” bisik Masumi kemudian. Menatap dalam belahan jiwanya. Berusaha meraih hatinya. “Tidak
pernah sedetikpun aku berhenti mencintaimu.”
Dilihatnya
kedua mata bening itu sedikit membulat sesaat sebelum kemudian setetes air mata
melompat turun ke pipinya yang masih
nampak pias.
Maya
tertawa pelan, namun terdengar miris di telinga Masumi.
“Yang aku
tahu, cinta anda ternyata tak cukup kuat untuk membuat anda bertahan di
sampingku, Tuan Masumi Hayami.”
Degg!!
Masumi
kembali merasakan denyutan menyakitkan di hatinya. Nafasnya terasa semakin
sesak.
“Tak peduli
meskipun aku...,” suara Maya tercekat oleh tangis yang menyesak di dadanya.
Terbayang kejadian dua tahun yang lalu, saat dirinya berusaha menemui Masumi
yang tidak bisa dihubungi setelah perpisahan mereka di Izu. Laki-laki itu hanya
memandangnya dingin sebelum kemudian berlalu, bersama Shiori dalam
gandengannya.
“Ah...
sudahlah,” desahnya kemudian. Mengangkat wajahnya menatap langit-langit kamar
untuk menahan tangis yang siap melompat turun. “Aku tidak ingin membicarakannya
lagi,” lanjutnya. Lalu kembali memandang wajah Masumi yang masih membisu
menatapnya. Maya bisa melihat wajah Masumi sangat pucat.
Kembali
keduanya bertatapan.
“Jika anda
mengijinkan, Pak Masumi. Saya benar-benar ingin beristirahat sekarang. Bisakah.”
Tak ada
reaksi untuk beberapa saat.
Masumi pelan
menghembuskan nafasnya yang terasa semakin sesak. Lalu mengangguk lemah, dan
tanpa berkata apapun, laki-laki itu berbalik untuk keluar dari kamar Maya
dengan langkah gontai.
Entah
mengapa, semua yang dilihatnya semuanya nampak beriak tak jelas. Lantai yang
dipijaknya terasa bergoyang, membuat langkahnya terseok. Namun sekuat tenaga
laki-laki itu bertahan sampai mencapai luar pintu dan menutupnya.
Dengan
wajah bingung Masumi mengedarkan pandangannya ke lorong rumah, tak bisa
menentukan kemana dia harus melangkah untuk menuju kamarnya sendiri.
Kakinya
terasa berat saat berjalan meninggalkan kamar Maya. Riakan di depannya semakin
besar, dan lantai semakin bergoyang kencang.
“Apakah ada gempa?”
Pemikirannya
tentang gempa mengingatkannya akan Erika.
Hatinya kembali serasa diremas-remas. Lututnya kian goyah.
“Ah.. Erika!”
Masumi
limbung, merasakan tenaganya hilang entah kemana sehingga tak punya kekuatan
apapun untuk menahan beban tubuhnya. Laki-laki itu memejamkan mata, siap
menghadapi kerasnya lantai yang akan dirasakannya dalam hitungan detik.
“Tuan
Muda!!”
Sebuah
suara berteriak khawatir di belakangnya. Dan dalam sedetik, sepasang tangan
yang cukup kokoh menahan tubuh limbungnya sehingga dirinya urung jatuh.
“Tuan Muda,
anda baik-baik saja?”
Asa menatap
khawatir saat melihat wajah pucat Tuan Mudanya.
“Aku
baik-baik saja,” suara Masumi terdengar lemah. Lalu melepaskan diri dari
pegangan asisten ayahnya itu dan kembali terseok-seok menuju kamarnya.
Masih
dengan khawatir, pandangan asisten setia itu terus mengikuti tubuh Tuan Mudanya
sampai akhirnya Masumi berbelok dan
menghilang.
“Tuan,”
kini Asa menoleh ke arah Eisuke yang sejak tadi berada di belakangnya, duduk di
atas kursi roda.
Hatinya
berdesir menyadari duka mendalam terbias di wajah yang biasanya keras dan
dingin itu.
“Semuanya
salahku, Asa. Salahku...”
Untuk
kesekian kalinya sejak beberapa bulan terakhir ini, pemimpin tertinggi Daito
Enterprise itu menitikkan air mata penyesalannya.
***
“Erikaaa,”
Maya
menggumamkan nama putri kecilnya begitu ia membuka mata. Dilirknya jam, masih
pukul 6 pagi. Semalam ia baru bisa memejamkan mata menjelang pagi, tidurnya pun
tidak nyenyak. Setiap saat teringat Erika, membuatnya hampir tidak berhenti
menangis semalaman
Kini air
mata pun mulai kembali membasahi pipinya. Ia begitu merindukan putrinya. Bayangan
tubuh Erika dengan kepala berdarah dalam pelukannya terus membayang,
menimbulkan rasa sakit tak terkira yang hampir tak bisa ditahannya.
Dengan
menahan pening di kepalanya Maya bergerak bangun. Ia berniat pergi dari rumah
Hayami hari ini. Meski belum tahu ia akan pergi kemana, tapi dia tidak mau
tinggal lebih lama di rumah ini.
Setelah
membersihkan diri, Maya beranjak ke luar kamar. Tidak ada barang satupun yang
dibawanya selain sebuah dompet kecil berisi kartu indentitasnya yang entah
bagaimana masih dimilikinya saat ini. Mungkin Masumi menemukannya di antara
puing-puing rumah di Sapporo. Setidaknya kartu identitas itu bisa mengambil tabungannya agar dia bisa bertahan sampai mendapatkan pekerjaan. Dua tahun menghilang membuatnya harus kembali lagi dari nol. Dunia teater. Dirinya sudah sangat rindu. Jika sudah siap, kelak ia akan kembali ke dunia yang sudah lama tidak digelutinya. Setidaknya saat ini dia masih memiliki hak pementasan Bidadari Merah. Dia masih punya utang yang harus dilunasinya pada almarhum gurunya. Untuk kembali menggaungkan Bidadari Merah ke seantereo negeri.
Langkahnya
terhenti tepat saat dia membuka pintu kamar. Gadis itu tertetgun.
Masumi
Hayami nampak duduk mendekap lutut di depan kamarnya. Bersender pada tembok
lorong, di samping pot tanaman hias. Kepalanya terbenam di antara lipatan
tangannya yang bertumpu pada rambut.
Laki-laki
itu tertidur.
Maya tidak
tahu, jika semalam ia tidak menangis sendiri.
Masumi yang
terus merasa khawatir Maya akan pergi, memutuskan untuk kembali menemui gadis
itu semalam. Namun langkahnya terhenti di depan pintu saat mendengar suara
tangis tertahan dari dalam kamar.
Masumi
sempat mengintip beberapa lama dari celah pintu yang ia buka. Meski suasana
remang di dalam kamar, tapi Masumi tahu, tangis itu berasal dari balik selimut
dimana Maya tengah berbaring. Tangisan yang terdengar penuh dengan kesedihan.
Sekuat
tenaga Masumi mencoba untuk menahan agar dirinya tidak berlari untuk meraih Maya
ke dalam pelukannya. Betapa inginnya dia untuk dapat membuat kesedihan kekasihnya itu
berkurang, untuk berbagi duka dengannya. Namun apa daya, saat ini,
keberadaannya mungkin akan menambah kesedihan Maya, mengingat dialah sumber ketidakbahagiaan
yang dirasakan gadis itu sekarang.
Jadi yang
bisa dilakukannya hanyalah duduk menunggu di luar kamar. Menangis.
Untuk
beberapa saat Maya hanya mampu berdiri mematung. Betapa seorang Masumi
Hayami, direktur sebuah perusahaan multinasional yang terkenal sangat
berwibawa, cenderung kejam, dengan ekspresi yang mampu membuat bawahannya
gentar bahkan sebelum mendengar suaranya, kini nampak sangat kacau dan
menyedihkan. Hati lembut Maya berdenyut tidak rela melihat keputusasaan yang
terbias jelas dari laki-laki yang masih merajai hatinya itu.
Maya
menutup pintu kamar perlahan, takut membuat Masumi terbangun karena suaranya.
Namun sepertinya kesadaran Masumi sudah mulai kembali. Laki-laki itu sedikit
tersentak dan cepat mengangkat kepalanya. Terkejut melihat Maya yang sudah
rapi.
“Maya,”
Masumi segera berdiri. Tubuhnya sedikit oleng karena gerakan yang terlalu
tergesa. “Kau... mau pergi?”
Maya
mengangguk. “Aku ingin menemui Erika.”
Perasaan tidak tega entah dari mana
muncul, membuatnya ragu mengatakan niat yang sebenarnya pada laki-laki itu.
“Aku
antar.”
“Tidak
usah, aku bisa pergi sendiri.”
“Aku akan
mengantarmu,” Masumi bersikukuh. “Aku ganti baju dulu, kau... maukan menungguku
sebentar?” ada permohonan yang sangat dari nada suaranya.
Maya
terdiam. Sungguh dia ingin menolak. Niatnya tadi sudah bulat, akan pergi dari
rumah ini.
“Aku juga
ingin menjenguknya,” lanjut Masumi. “Dia, pasti senang melihat papa dan mamanya
datang bersama.”
Mendengar kalimat terakhir Masumi, Maya termangu dengan mata yang mulai memanas. Ingatannya melayang ke masa lalu. Pernah suatu hari, dirinya
menemani Erika bermain di playground
dekat rumah mereka. Setelah sekian lama asyik bermain bersama beberapa balita
lainnya, satu persatu teman Erika pulang. Lantas gadis cilik itu asyik
memperhatikan seorang temannya yang nampak gembira saat sang ayah datang
menjemput. Pandangannya tak lepas dari sosok temannya itu, yang tertawa
senang ketika melompat ke dalam gendongan ayahnya sampai keduanya berlalu
dari playground. Erika tiba-tiba
berlari tertatih untuk mendapati dirinya yang menunggu dipinggir kolam pasir.
Wajah mungil Erika nampak sedih dan berkaca-kaca. Dan sebuah pertanyaan keluar
dari mulutnya, membuat Maya tersentak, tak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan
yang hanya terdiri dari satu kata, “Papa?”
Saat itu
dia hanya bisa menahan kesedihan sambil memeluk erat Erika.
“Maya?”
suara Masumi membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu masih menunggu.
“Ya,”
angguk Maya. “Aku akan menunggu.”
Senyum
senang segera menghiasi wajah Masumi. Tanpa berlama lama lagi laki-laki itu
langsung bergegas ke kamarnya untuk bersiap.
Maya
menunggu di ruang keluarga. Tak sampai setengah jam, Masumi sudah turun. Dia
sudah nampak rapi. Keduanya lalu beriringan ke luar.
Langkah
keduanya terhenti di ruang tamu. Di sana nampak Eisuke sedang duduk berhadapan
dengan seorang tamu, yang segera berdiri saat melihat Masumi.
Shiori...
Perempuan
itu tersenyum dan mengangguk pelan. Masumi berkerut melihatnya. Berusaha
menyembunyikan ketidaksukaannya akan kehadiran Shiori sekaligus khawatir akan reaksi
Maya mengingat betapa histerisnya Maya saat terakhir bertemu dengan Shiori.
Tapi yang
dikhawatirkan nampak berdiri dengan tenang.
Eisuke
memutar kursi rodanya. Hatinya pun berdengup khawatir. Saat seorang pelayan
memberitahu akan kedatangan mantan menantunya itu, dia sudah berusaha agar Maya
jangan sampai bertemu dengan Shiori. Eisuke juga merasa, kedatangan Shiori
hanya akan membuat semuanya tambah sulit bagi Masumi.
“ Masumi
sama,” Shiori menyapa dengan ragu saat melihat Masumi hanya berdiri
mematung. “Maaf, pagi-pagi seperti ini
sudah mengganggu. Aku...”
“Sepertinya
anda ada tamu, Pak Masumi. Kalau begitu saya pergi sendiri,” suara Maya membuat
Shiori menghentikan ucapannya. Perempuan itu bisa melihat wajah Masumi yang
langsung pucat dan nampak panik setelah mendengan perkataan Maya.
“Tidak,
Maya. Tunggu. Aku akan mengantarmu!”
Lengan
Masumi refleks menyambar jemari Maya, mencegahnya untuk beranjak. Maya meringis
saat merasakan betapa kuatnya Masumi mencengkram jemarinya.
“Apapun
keperluanmu, Shiori, kau bisa mengatakannya pada ayahku,” Masumi berkata dengan
nada tidak ingin dibantah. Lalu segera menarik Maya berlalu dari ruangan itu.
“Tapi,
Masumi!” Shiori hendak beranjak menyusul tapi suara Eisuke segera menghentikan
langkahnya.
“Tidak
perlu dikejar, Shiori. “
“Tapi, Paman...”
Eisuke
menghela nafas panjang. Mengamati wajah Shiori sebentar untuk kemudian mulai
berkata.
“Aku tahu,
terlambat bagiku untuk mengatakan ini. Seharusnya aku mengatakan hal ini dua
tahun yang lalu.”
“A-apa,
Paman? Apa yang ingin paman katakan?”
“Lupakan
putraku. Lupakan Masumi!”
Shiori
terkesiap. Wajahnya langsung memucat.
“Dia tidak
akan pernah mencintaimu, Shiori. Dulu, sekarang, atau nanti. Kau dan aku sudah
menyadari hal itu sejak lama, tapi kita berdua berusaha menyangkalnya
mati-matian dan tetap memaksakan kehendak. Hasilnya? Itu.. Melihat apa yang
harus dialami anakku sekarang, sungguh itu menjadi penyesalan terbesar dalam
hidupku.”
Setitik air
mata melompat ke pipi Shiori. Meski sudah tahu hal tersebut sejak awal, tetap
saja, mendengar kebenaran itu diungkapkan orang lain padanya membuat hatinya
berdenyut sakit.
“Anak itu...
saat ini, “ Eisuke berusaha menghirup udara untuk mengisi paru-parunya yang
mendadak terasa kosong. Terhimpit kesedihan yang mendadak membuatnya sesak. “
Menghadapai kebencian Maya sekali lagi seperti ini saja sudah membuatnya
seperti sekarat. Apalagi jika sampai Maya sampai pergi... meninggalkannya,”
kengerian terbayang dalam suara laki-laki yang selama hidupnya tidak mengenal
rasa takut itu.
Diamatinya
sekali lagi wajah Shiori sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Aku tidak
ingin kehilangan anakku satu-satunya, Shiori.”
Dilihatnya
tubuh Shiori gemetar.
“Lalu
bagaimana denganku, Paman? Bagaimana dengan cintaku?”
“Apakah
cintamu sekarang membuatmu bahagia, Shiori?”
Kata-kata
itu menohok jantung Shiori dengan telak.
“Cinta tak
harus memiliki, itu adalah pepatah yang tidak masuk akal. Cinta harus memiliki. Keyakinan itulah yang mungkin membuat kau, aku, dan Masumi pernah sama-sama berjuang untuk mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai. Tapi
hasil yang kita dapatkan berbeda jauh 180 derajat. Kau dan aku sama, sekuat
apapun kita berjuang, cinta yang kita miliki tidak pernah bersambut. Tapi tidak
begitu dengan Masumi. Dia justru berhasil membalik kebencian menjadi cinta. Dan
tahukah kau, apa yang membuatnya berbeda?”
Shiori
terdiam. Tak berani menyuarakan apa yang ada di benaknya.
“Karena apa
yang diperjuangkan Masumi adalah kebahagian orang yang dicintainya. Pernah di
balik bayangan, mendukung, memberikan semangat, memperjuangkan apapun
kepentingan wanita yang dicintai meski dengan demikian, seringkali menyiksa
diri sendiri,” Eisuke memberikan jeda, kembali menghela nafas.
“Sementara
kita, Shiori, hanyalah memperjuangkan kebahagiaan diri kita sendiri. Hanya
memikirkan cinta kita, kepentingan kita, tanpa sedikitpun peduli apa yang
dirasakan orang yang kita cintai. Perbedaanya sungguh sangat besar bukan?
Demikian juga dengan hasilnya.”
Kini Shiori
terisak pelan.
“Shiori,
adakalanya, cinta memang tidak bisa memiliki,” suara Eisuke kini terdengar
lebih lembut. Menggerakkan kursi rodanya untuk menghampiri Shiori yang kini
jatuh terduduk di sofa dengan wajah bersimbah air mata. “Jika kau
terus memaksakan cinta yang seperti itu, maka penderitaan akan bersamamu
sepanjang hidup. Kau berhak bahagia, Shiori. Lepaskan cinta itu dan temukan
cinta yang baru. Baru dengan begitu kau akan bahagia.”
Digenggamnya
jemari Shiori yang terasa dingin.
“Tapi
bagaimana caranya, Paman? Tunjukkan padaku bagaimana agar aku bisa melupakan
Masumi!”
Eisuke tersenyum
lembut.
“Bukalah
hatimu. Dengarkan kata hatimu dengan ikhlas tanpa penyangkalan dan dunia akan
menunjukkan banyak cinta padamu. Cinta, yang salah satunya akan membawamu pada
kebahagiaan. Cinta sejati yang akan berjuang untukmu dan memang pantas kau
perjuangkan.”
Diremasnya jemari
Shiori dengan lembut, dan hanya bisa menatap iba perempuan yang kini tersedu di
depannya.
***
“Apa makanan kesukaannya?” Masumi bertanya
saat mereka masih terpekur di depan makam Erika.
Maya menoleh pelan.
“Untuk apa menanyakan itu?”
“Aku ingin tahu seperti apa putriku,”
jawab Masumi dengan nada sedih.
“Anda tidak perlu merasa terbebani untuk
mengetahui hal-hal itu, Hayami san,” jawab Maya kemudian. “Lagi pula, tak ada
gunanya lagi sekarang.”
Untuk kesekian kalinya Masumi menahan
kepedihan hati melihat betapa dinginnya sikap Maya.
“Aku benar-benar ingin tahu,” bisiknya
kemudian. Maya menangkap kesenduan dalam suara laki-laki itu dan langsung
merasa sedikit bersalah.
“Dia
sangat suka es krim cokelat,” akhirnya perempuan mungil itu berkata
pelan. “Dia suka merajuk kalau aku melarang untuk memakannya.”
Masumi tersenyum.
“Sama sepertimu,” bisik Masumi.
Mau tidak
mau Maya tersenyum tipis.
Keduanya kembali terpekur. Diam-diam
Masumi mengamati perempuan mungil di sampingnya itu. Sejak tadi air mata masih belum
kering membasahi pipi tirus Maya.
“Maya...,”
“Hmm?”
“Jangan pergi.”
Maya tertegun.
“Aku tidak ingin kau pergi,” suara Masumi
terdengar serak. “Aku tak sanggup... jauh darimu lagi.”
Tak ada jawaban untuk beberapa saat. Maya hanya terpekur di
tempatnya.
“Maaf,” akhirnya perempuan itu berbisik
pelan. Masumi tersentak.
“Mayaa..,” desisnya tak percaya apa yang
barusannya didengarnya. Kata maaf gadis itu membuat ketakutan kembali
melandanya. “Kau tetap akan....pergi?”
“Terlalu banyak hal menyakitkan yang
terjadi Hayami san,” jawab Maya. “Saya tidak akan sanggup jika harus terus
berada di sini. Terlebih, jika terus berada di... dekat anda. Melihat anda,
bertemu dengan ayah anda, membuat saya mengingat banyak kepedihan. Juga membuat
takut. Takut, jika terus berada di dekat anda, saya kembali akan merasakan
sakit.”
Masumi mengepalkan tangannya erat-erat,
menahan rasa sakit dan kesedihan yang semakin terasa menyesakkan.
“Aku tetap akan pergi,” ujar Maya
kemudian, berusaha menguatkan hati saat melihat setetes air mata jatuh ke pipi
Masumi yang nampak pucat.
***
Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Masumi
terpekur di meja kerjanya. Di depannya album berisi foto-foto Erika terbuka
lebar.
“Apa yang harus papa lakukan, Erika?”
bisiknya pelan seraya mengusap wajah cantik putrinya. “Papa tidak ingin
kehilangan mamamu lagi. Papa tidak akan sanggup, Erika.”
Masumi mengurut keningnya yang terasa
berdenyut. Saat ini, Maya sedang berkemas di kamarnya. Begitu mereka kembali
dari makam Erika, perempuan itu langsung ke kamar untuk berkemas.
Suara ketukan di pintu membuat laki-laki
itu segera menyusut air mata di sudut matanya. Seorang pelayan masuk.
“Nona Maya sudah pergi.”
Jantung Masumi seolah berhenti untuk
sesaat. Dipejamkannya mata, menahan air mata yang siap turun.
“Aku mendengarnya,” bisiknya kemudian
dengan suara serak. “Keluarlah!”
Di dengarnya suara pintu yang ditutup. Masumi
tak atahan lagi. Air mata segera meleleh ke pipinya.
Sudah
berakhir.. semuanya sudah berakhir..
Tidak
jika kau mengejarnya!
Hatinya berteriak protes.
Aku
tidak bisa! Dia akan menderita jika aku terus menahannya! Logika
di kepalanya menolak keras.
Pengecut!
Dari dulu kau memang pengecut! Tak berani memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri!
Dia
membenciku!
Dia
masih mencintaimu!, Bodoh! Kejar dia! Atau kau akan kehilangan gadis itu
selamanya!
Selamanya!
Masumi segera membuka mata dengan jantung berdegup kencang.
Tidak! Dia
tidak mau selamanya hidup tanpa Maya. Dia tidak mau!
Secepat kilat Masumi berlari keluar.
Melompati beberapa anak tangga sekaligus dan berteriak panik.
“Mana Maya! Kemana dia pergi? Siapa yang
mengantarnya?!!” teriaknya terengah pada seorang pelayan di ruang tamu.
Pelayan yang ditanyanya tergagap.
“No..nona Maya pergi sendiri tuan. Beliau tidak mau diantar.”
Pergi
sendiri? Masumi
kembali berlari menuju gerbang. Jangan
pergi, Maya! Tunggu aku!
Mata laki-laki itu nyalang mengamati
jalanan di depan di depan pintu gerbang rumahnya. Tidak ada siapapun. Tidak ada
Maya!
Tak mau menyerah, secepat yang dia bisa,
Masumi berlari ke arah jalanan menuju luar komplek perumahan elit itu.
Tidak
ada! Dia tidak ada dimanapun!
Kepalanya mulai berdenyut saat sudut
matanya melihat sosok mungil yang dia cari, duduk di sebuah halte di seberang
jalan yang berada agak jauh dari tempatnya berdiri. Maya! Hatinya bersorak
girang.
“Maya!!” Masumi berteriak sekuat tenaga.
Kepanikan timbul saat dilihatnya sebuah bus berhenti di depan halte.
Tidak! Maya, tunggu! Jangan pergi!!
Kepanikannya bertambah saat bus mulai
melaju. Masumi kembali berlari, menyeberangi jalan.
“Maya! Tunggu!!”
Bus semakin menjauh. Masumi sudah tak
memperdulikan keadaan di sekelilingnya lagi. Ia harus mengejar kekasihnya.
“Mayaa!! Tunggu!!!”
Rasanya ia sudah mengeluarkan semua
tenaganya untuk berteriak sekeras mungkin. Namun bus tetap melaju, semakin
jauh.
Masumi tidak menyadari kalau sebuah mobil sport melaju
dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Sang pengemudinya yang sama sekali tidak menyangka
akan ada seseorang yang tiba-tiba berlari melintas tepat di depannya tak sempat
menginjak rem. Saat tersadar, semuanya sudah terlambat. Pekikan kagetnya
melengking seiring dengan goncangan keras mobilnya.
Masumi merasakan benturan keras
menghantamnya. Laki-laki itu tersentak sebelum kemudian tubuhnya terlempar.
Melayang beberapa saat.
Dipejamkannya mata, menunggu benturan lain
menyapa tubuhnya.
Aneh,
tak ada rasa sakit, batin Masumi.
Pikirannya kembali pada sosok
kekasihnya.
“Mayaa..,” bisiknya pelan. “... Jangan
pergi..,”
Sedetik kemudian, seiring dengan tubuhnya
yang terhempas, laki-laki itu merasakan dunia di sekitarnya berubah gelap.
Laki-laki muda di dalam mobil sport itu
sempat menghentikan mobilnya. Wajahnya memucat. Dia sudah menabrak seseorang!
Kesadaran itu membuatnya kembali menginjak rem dan berusaha pergi dari sana
sejauh mungkin. Meninggalkan sosok laki-laki yang kini tergeletak bersimbah
darah di belakangnya.
***
“Papaaa,” sebuah tepukan lembut mengembalikan
kesadaran Masumi. Perlahan laki-laki itu membuka matanya. Seraut wajah mungil
menyambutnya dengan senyum lebar. Memperlihatkan gigi-gigi kecilnya.
“Erika?” Masumi bergumam tak percaya. Si
kecil di depannya tersenyum kian lebar. Masumi mengerjapkan mata, tak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Tapi wajah cantik di depannya tak juga menghilang.
Benar
!! Erika! Anakku!! Putriku ada di sini!
Kegembiraan tak terkira segera menyergap.
Cepat didekapnya tubuh mungil balita di depannya.
“Erika!” diciuminya pipi montok Erika.
“Papa sangat merindukanmu!”
Tawa lucu Erika membuat Masumi merasakan
dunianya berubah sangat cerah.
Eh! Tapi tunggu! Masumi teringat sesuatu. Bukankah tadi aku sedang berada di jalan?
Mengejar Maya? Dan..
Ingatannya terhenti.
Masumi mengedarkan
pandangan ke sekelilingnya. Dia tidak mengenali tempat ini. Tempat yang didominasi
warna putih. Bahkan daun di pepohonan sekitarnya pun nampak pucat. Seperti
dalam lukisan tua.
Ah,
sudahlah, batinnya. Yang penting sekarang aku bersama putriku!
Dibalasnya senyum lebar Erika, lalu kembali menciuminya. Dia
akan memuaskan kerinduannya pada putri kecilnya ini.
Saat Erika menariknya, mengajaknya untuk
bermain di sebuah playground yang
dipenuhi banyak mainan, Masumi tidak menolak. Bermain ayunan, berputar di
sebuah kursi putar, bahkan menaiki carousel,
semua dilakukan dengan gembira. Tanpa lelah mengikuti gerak lincah Erika.
Melambung bahagia saat mendengar gelak tawa riang gadis kecil itu.
Tak bosan rasanya mendengar tawa itu. Ia
ingin selamanya berada di sini. Menemani buah hatinya.
Ya,
aku tak akan meninggalkannya lagi. Papa tidak akan meninggalkanmu lagi, Sayang,
bisik hatinya bahagia.
Disambutnya tubuh mungil yang kini
melemparkan diri ke dalam pelukannya.
Gelak tawa kembali terdengar dari keduanya.
***
Eisuke terpekur di luar jendela kaca yang
memisahkannya dengan sosok Masumi yang kini terbaring tak berdaya di dalam
ruang perawatan intensif. Sesekali mengusap air mata yang menggenangi mata
tuanya. Memandangi sosok Masumi yang hidupnya kini tergantung pada alat
medis yang terpasang di sekujur tubuhnya.
Sudah dua hari sejak kecelakaan itu. Dan
Masumi belum juga keluar dari masa kritisnya. Dokter mengatakan, benturannya
cukup keras sehingga salah satu ginjalnya pecah. Operasi pengangkatan ginjal
itu sudah dilakukan dan meskipun berhasil, namun kondisinya yang lemah membuat
Masumi kritis pasca operasi.
Hijiri dan yang lainnya sudah
diperintahkan untuk mencari Maya. Hanya gadis itu yang bisa membuat Masumi mau
memperjuangkan hidupnya. Entah mengapa, melihat kondisi Masumi kini, Eisuke
merasa bahwa laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk bertahan.
Wajah Masumi nampak sangat damai dalam
ketidaksadarannya. Dan itu membuatnya takut.
Tadi pagi, jantung Masumi sempat berhenti berdetak.
Sekuat tenaga dokter mencoba mencoba mengembalikannya.
“Cepatlah datang, Maya! Lihatlah dia. Dia
benar-benar tidak bisa hidup tanpa kehadiranmu di sampingnya.”
Air mata kembali membasahi pipi laki-laki
yang terkenal kejam itu. Berbagai penyesalan yang kembali menggerogoti hatinya
benar-benar tak berguna. Kekuasaan dan kekayaan yang dulu sangat diagungkannya
ternyata tak mampu mengembalikan waktu untuk bisa memperbaiki semua.
Sosok ramping yang muncul di sisinya
membuatnya menoleh. Shiori nampak menahan tangis meski air mata sudah
membanjiri wajah cantiknya.
Eisuke tak berniat membuka pembicaraan
apapun dengan mantan menantunya itu. Hanya satu yang dia fikirkan sekarang.
Menemukan Maya.
***
Izu..
Maya menghela nafas seraya memandangi
lautan luas di depannya. Entah mengapa, saat keluar dari rumah keluarga Hayami,
ia memiliki keinginan kuat untuk melihat tempat dimana semua mimpinya bersama
Masumi masih terasa begitu indah.
Ia hanya sanggup mengamati villa yang
nampak kokoh di atas tebih itu dari kejauhan. Menikmati rasa sakit dengan semua
memori yang berputar di kepala. Sesekali tersenyum jika mengingat betapa
dirinya pernah begitu bahagia.
Masumi...
Mau tidak mau, Maya teringat laki-laki itu.
Dua hari yang lalu, saat dirinya pergi, Masumi sama sekali tidak memperlihatkan
diri.
Ah,
apa yang aku harapkan? Batinnya. Sebuah senyum
miris menggaris di bibirnya yang pias. Aku
yang memilih pergi. Tak seharusnya
masih mengharap Masumi mengantarku.
Perempuan itu terdiam saat lidah ombak
menyentuh kakinya. Mengamati buih putih yang kemudian kembali menjauh.
Mengacuhkan hawa dingin yang masih begitu kental di penghujung musim salju.
Apa
yang harus aku lakukan sekarang?
Maya mendesah resah. Sempat terpikir untuk
menemui Rei, yang kini sudah menjadi aktris yang cukup dikenal di Jepang. Namun
dirinya sama sekali tidak memiliki keberanian. Dua tahun yang lalu, ia
menghilang begitu saja. Rei pastinya sangat khawatir dan entah apa yang
dipikirkan sahabatnya itu jika dia muncul lagi begitu saja sekarang.
Apakah aku harus ke Lembah Plum? Pikir Maya
lagi.
Tidak!
Maya menggeleng. Dia tidak punya muka lagi
untuk menginjak tempat legenda itu. Sebagai pewaris Bidadari Merah, betapa dua
tahun ini dirinya sangat tidak bertanggung jawab terhadap apa yang seharusnya
menjadi tugasnya. Membuat Bidadari Merah kembali menggaungkan keagungannya.
Tapi yang dia lakukan adalah kebalikannya. Setelah pentas percobaan, dan
terpilih sebagai pewaris karya agung tersebut, dia menghilang begitu saja.
Aku
sudah mengecewakan banyak orang.. Air mata kembali menetes.
Tanpa dia sadari, air laut semakin tinggi.
Hari pun sudah menjelang sore. Dengan langkah berat, Maya memutuskan untuk
kembali ke penginapan sederhana yang dia tempati sekarang.
Sesampainya di penginapan, Maya langsung
mengurung diri setelah sebelumnya meminta agar makan malamnya diantarkan ke
kamar. Fisik dan fikirannya terasa sangat lelah. Dan seperti biasa, ingatannya
melayang pada Erika. Air mata pun
kembali menemani kesepiannya sampai kemudian perempuan mungil itu terlelap
tanpa sempat menyentuh makan malam yang sudah diantarkan.
Berharap malam ini dia bisa kembali bertemu
putrinya, meski hanya dalam mimpi.
***
Playground
kecil di komplek perumahannya ramai seperti biasa. Maya menggendong Erika dan
menurunkannya tepat di sisi bak pasir.
“ Mama tunggu di sini ya, Sayang,”
senyumnya pada gadis kecil yang langsung berlari lucu ke tengah bak pasir.
Erika sangat senang bermain pasir.
Membuat bentuk-bentuk khayalannya. Untuk anak seusia dia, Erika termasuk sangat
cerdas. Ingatannya pun sangat kuat sehingga dapat dengan mudah mengenal
benda-benda di sekitarnya, menirukan kata yang dia dengar dan cepat paham
kata-kata tersebut.
Maya mengamati putrinya. Balita lain, yang
kebanyakan lebih besar dari Erika juga nampak asyik menguar-nguar pasir.
Beberapa menghampiri Erika mereka dan bermain bersama. Berceloteh dengan bahasa yang
hanya mereka pahami, membuat Maya seringkali tersenyum melihat bagaimana
balita-balita itu berinteraksi.
Maya melambaikan tangan setiap kali Erika
melihat ke arahnya. Gadis cilik itu tersenyum lebar lalu kembali bermain dengan
yang lainnya.
Saat hari semakin sore, satu-satu balita
itu pulang. Maya pun menutup buku yang sejak tadi dia baca dan berniat mengajak
Erika pulang juga. Di tengah bak pasir, tinggal Erika dan seorang bocah
perempuan lainnya.
“Nana!” sebuah suara dari arah belakangnya
membuat Maya menoleh. Seorang laki-laki dengan pakaian kerja nampak melambai
dengan wajah tersenyum lebar. Disampingnya berdiri seorang perempuan muda
berambut pendek yang wajahnya sangat mirip dengan balita kecil yang sedang
bermain bersama Erika.
“Papaaaa!!” balita yang sedang main
bersama Erika langsung berdiri dan berlari dengan riang gembira. Tubuh kecilnya
melompat ke pelukan sang ayah yang langsung menggendongnya. Keduanya nampak
tertawa lebar. Tawa Nana kian riang saat sang ayah menciumnya.
“Ayo pulang. Papa bawa oleh-oleh buat
Nana.”
Ajakan itu disambut dengan anggukan si
kecil. Ketiganya kemudian berlalu dengan riang gembira.
Maya tersenyum kecil. Kembali menoleh ke
arah bak pasir. Tinggal Erika yang ada di sana.
Hati Maya berdesir saat melihat Erika
memandang lekat ke arah ketiga orang tadi berlalu.
“Sayang,” Maya mendekat. “Ayo kita
pulang.”
Erika mengalihkan pandangannya, mengamatinya sesaat.
“Erika?”
Bocah itu lantas berlari ke arahnya. Maya
meraihnya ke dalam pelukannya.
“Ayo pulang,” ajaknya lagi. Erika
menengadah dan Maya merasakan hatinya kian berdesir saat menyadari mata bening
putrinya nampak berkaca-kaca.
“Papa..?”
Degg!! Desiran itu berubah perih.
“Papaa...!” Erika mulai menangis. Maya
memeluk tubuh mungilnya erat. Matanya terasa panas.
“Ayo kita pulang sayang.”
Erika menggeleng. Air matanya kian deras
menuruni pipi montoknya.
“Papaaa... papaaaaa!!” tangis Erika kian
keras. “Mau papaaaaaa!!!”
Maya meraih tubuh putrinya dan
menggendongnya. Erika terus menangis. Memanggil-manggil papa. Sekuat tenaga
Maya menahan kesedihan yang semakin terasa menyakitkan.
Tiba-tiba tangisan Erika terhenti. Maya
menoleh, mengamati wajah putrinya.
Mata yang masih basah itu kini nampak
berbinar gembira. Memandang melewati bahu mamanya, seolah melihat seseorang
yang diharapkannya datang.
Erika?
Erika menggerinjal dan turun dari
gendongan Maya.
“Sayang, kau mau kemana?” Maya mencoba meraih
kembali bocah itu ke dalam pelukannya. Tapi Erika keburu berlari melaluinya.
“Papaaa!!” teriakannya terdengar sangat
riang. Maya terkejut. Sebuah pikiran melintas. Mungkinkah?
Tidak
mungkin! Gelengnya. Cepat dia berbalik. Jantungnya
terasa berhenti berdetak saat melihat sosok putrinya yang kini berada dalam
gendongan seseorang.
Masumi Hayami.
Keduanya sedang tersenyum lebar, terlihat
sangat bahagia.
“Masumi?”
Laki-laki itu menoleh, lalu tersenyum.
“Kau... di sini?”
Senyuman itu kian lebar. Tapi kemudian,
tanpa mengatakan apapun, Masumi membalikkan badan dan melangkah menjauh,
bersama Erika dalam gendongannya.
“Tunggu!! Kalian mau kemana? Masumi!!
Tunggu!! Jangan bawa Erika!!”
Maya mencoba mengejar, tapi entah mengapa,
kedua kakinya seolah terpaku ke bumi.
Ia tidak bisa bergerak!
“Tidak!! Tunggu!! Erikaa!!”
***
Maya membuka matanya dengan dada berdebar
kencang. Sejenak kehilangan orientasi.
Ah! Desahnya kemudian saat menyadari dirinya
masih berada di dalam kamar penginapan. Hanya
mimpi...
Perempuan itu menerawang, memandangi
langit-langit kusam di atasnya. Dadanya masih berdebar kencang mengingat mimpi
yang baru saja dia alami. Untuk beberapa lama, Maya mencoba meredakan keresahan
yang rasanya semakin kental hari ini.
Setelah cahaya matahari yang menyelinap
dari celah gorden yang tertutup terlihat semakin terang, barulah Maya
beranjak bangun. Hari ini dia berencana untuk pergi meski tak tahu harus
kemana.
Mungkin
aku akan ke lembah Plum saja.. batinnya seraya
membereskan bawaannya yang tidak banyak. Setelah membersikan diri, ia pun
segera check out dan berjalan pelan menuju halte bis terdekat
yang akan membawanya ke stasiun kereta api.
Suasana stasiun kereta tidak begitu ramai
pagi itu. Hatinya masih gamang, namun satu tiket ke kampung hlaman Bidadari
Merah itu sudah dia kantongi. Dengan perasaan tak menentu, Maya berdiri bersama
calon penumpang lainnya, menunggu kereta api mereka datang.
“Mama!”
Maya menoleh dengan terkejut. Erika?
Pandangannya berkeliing. Mencari asal
suara. Beberapa detik kemudian ia tersadar.
Ah..
tidak mungkin.
Maya memejamkan matanya. Mencoba meredakan
keresahan yang belum juga hilang. Juga kerinduan yang dalam pada putri
kecilnya.
“Mama!!”
Kali ini suaranya sangat jelas. Suara
Erika! Maya yakin itu.
Perempuan itu kembali mengedarkan pandangan.
Berharap melihat sosok mungil yang teramat sangat dirindukannya itu. Tanpa sadar,
kakinya pun mulai melangkah. Mencari.
Ah,
Erika? Kau dimana, Sayang? Mama rindu..
Batinnya menceracau. Matanya tetap berkeliling, mengamati, mencari. Sampai kemudian, ia melihat sosok mungil berbaju biru, dengan rambut
ikal yang dikucir dan berpita senada dengan bajunya, berada dalam gendongan
seseorang laki-laki. Keduanya tengah melangkah menuju pintu keluar.
Mata Maya membulat. Erika!!
Perempuan itu mempercepat langkahnya.
“Erika!!” ia berteriak.
Sosok yang dikejarnya sudah mulai menaiki
tangga.
“Erika! Tunggu!!”
Maya kini berlari. Mencoba memperpendek
jarak. Namun orang-orang yang mulai ramai berlalu lalang di stasiun tersebut
menghambatnya. Terlebih kesehatannya yang memang belum begitu pulih membuat
pandangan gadis itu beriak saat mengerahkan tenaga untuk berlari.
“Tidak! Tungguu!! Erika!!”
Larinya yang tergesa dan matanya yang
mulai berkunang-kunang membuat jalan di depannya terasa beriak. Maya menguatkan
diri. Ia harus mengejar Erika!
Beberapa orang memaki karena hampir saja
tertabrak. Maya tidak peduli. Sosok yang dikejarnya sudah tidak terlihat.
Mungkin sudah sampai ke luar stasiun.
“Tidak,” Maya panik. Ia mempercepat
larinya. Tapi baru saja ia menginjak tangga kedua, pusing di kepalanya semakin
menjadi. Pandangannya kian beriak. Diiringi lenguhan panjang, frustasi dan
putus asa, Maya jatuh terduduk di tangga.
Dunia seolah berputar di sekitarnya.
“Nona Maya!” sebuah suara, terdengar
panik, membuatnya dengan susah payah mengangkat kepala. Wajah di depannya
membayang tidak jelas. Namun bayangan itu menunjukkan raut muka masih bisa diingatnya dengan jelas.
“Pak Hijiri?” bisiknya lemah, sebelum
kemudian ia tenggelam dalam kegelapan yang tiba-tiba saja memeluknya erat.
***
Siang baru saja melewati puncaknya. Eisuke
nampak duduk termenung di ruang tunggu ICU. Sejak Masumi kecelakaan, lelaki tua
itu bersikeras untuk menunggui meski kondisinya sendiri kurang begitu sehat.
Untunglah, rumah sakit memiliki fasilitas apartemen yang memang khusus
disediakan untuk keluarga yang ingin berada dekat dengan si sakit, yang
terletak di sisi timur bagian rawat inap.
Kondisi Masumi belum mengalami perubahan.
Masih belum sadar dari komanya.
“Kami akan tetap berusaha semaksimal
mungkin, Tuan Hayami,” ujar dokter setelah selesai memeriksa keadaan Masumi
pagi ini. “Secara umum, semua organ vitalnya dalam kondisi stabil. Luka operasi
bagus, tidak ada infeksi. Secara fisik, tidak ada masalah yang menghambat
penyembuhannya. Hanya saja, kemungkinan hambatannya adalah masalah psikologis.
Tuan Masumi memerlukan dorongan dan dukungan yang kuat dari orang-orang
terdekatnya, agar beliau memiliki keinginan yang kuat untuk sadar.”
Eisuke terdiam. Satu-satunya yang mampu
menggerakkan Masumi hanyalah Maya. Tapi sampai saat ini, belum ada berita apapun
tentang keberadaannya.
Laki-laki itu kembali memejamkan mata.
Berdoa. Hal yang hampir setiap saat dilakukannya sejak tragedi yang menimpa
Maya dan Erika. Berdoa untuk cucunya yang sudah meninggal, berdoa untuk
kebahagiaan putranya, berdoa untuk pengampunan atas dosa-dosanya.
“Tuan,” sebuah suara membuatnya kembali
membuka mata. Hijiri nampak berdiri di depannya. Hati Eisuke berdegup penuh
harap.
“Maya, apa dia sudah ditemukan?”
Hijiri mengangguk.
“Nona Maya ada di rumah sakit ini.”
“Apa? Kenapa dia?” Dengan susah payah
Eisuke mencoba berdiri. Asa dengan sigap membantunya.
“Saya menemukannya di stasiun. Beliau
pingsan. Dokter sudah memeriksanya. Nona Maya mengalami kelelahan dan juga
kekurangan asupan makanan.”
“Ya Tuhaan. Apa dia sudah tahu tentang
Masumi?”
Hijiri menggeleng. “Belum, Tuan.”
“Antarkan aku ke kamarnya, Hijiri. Aku ingin
melihatnya!”
“Baik.”
Hijiri pun mengantar Jenderal besar Daito
itu ke kamar dimana Maya dirawat. Tidak begitu jauh. Menempati paviliun khusus
pasien VVIP.
Gadis itu nampak sangat pucat terbaring
dengan infus yang tersambung di tangannya.
“Dia akan baik-baik saja kan?” bisik
Eisuke, menahan hatinya yang berdenyut tak tenang.
“Nona Maya perlu istirahat.”
“Dia harus baik-baik saja. Hanya dia
harapanku untuk membuat Masumi tersadar.”
Hijiri menelan ludahnya. Perlahan
laki-laki itu mengangguk.
“Nona Maya akan baik-baik saja, Tuan.
Begitu pun Tuan Masumi.”
Eisuke mengangguk. Lama dia mengamati Maya
yang terlihat tirus dan pucat sebelum akhirnya ia meminta Asa mengantarnya
kembalike ruangan Masumi dengan berpesan untuk segera diberitahu jika Maya
tersadar.
***
Mimpi itu kembali berulang. Playground,
Erika yang menangis memanggil papanya, kedatangan Masumi, tawa bahagia Erika,
serta Masumi yang membawa Erika pergi. Sekencang apapun dia berteriak, keduanya
semakin menjauh sementara kakinya seolah terpaku di tanah. Tak bisa bergerak.
“Tunggu!! Jangan pergi! Erika!!”
Maya membuka mata. Nafasnya terengah.
Kepanikan yang masih dirasakannya membuat perempuan itu refleks mencelat bangun
dan melompat turun dari tempat tidurnya.
Aku
harus mengejar mereka!
Sampai kemudian sebuah sengatan perih
terasa di pergelangan tangan kirinya dan gerakannya tertahan oleh sesuatu yang
mengikat di sana. Tanpa sadar Maya
mengaduh lalu jatuh terduduk di lantai.
Matanya membulat saat melihat darah
mengalir dari pergelangan tangannya yang robek. Sontak Maya mengamati
sekeliling. Barulah ia tersadar, kalau dirinya berada di rumah sakit.
Gadis itu meringis, menekan lukanya yang
terus mengeluarkan darah. Suara pintu terbuka diiringi pekikan khawatir membuatnya
mengangkat kepala untuk melihat sosok yang baru saja menerobos masuk.
“Nona Maya!”
“Pak Hijiri?” Maya mengernyitkan kening.
Samar ia teringat sosok yang dilihatnya di stasiun sesaat sebelum dirinya
pingsan.
Hijiri terkejut melihat pergelangan
tangan Maya yang berdarah. Cepat dia menekan tombol darurat dan membantu Maya
untuk kembali ke tempat tidurnya.
“Pak Hijiri, apa yang terjadi?” Maya masih
mencoba mengumpulkan ingatannya. “Ini di mana?”
“Anda pingsan di stasiun, Nona,” terang
Hijiri. “Sekarang anda di rumah sakit Tokyo.”
Seorang dokter dan perawat masuk sebelum
Maya kembali berbicara. Dengan sigap mereka memeriksa luka di pergelangan
tangan perempuan itu dan mengobatinya. Untunglah, lukanya tidak parah.
Maya menolak kembali diinfus.
“Aku mau pergi,” ujarnya.
“Anda belum bisa pergi, Nona,” sahut
dokter. “Kondisi anda masih lemah.”
:Aku baik-baik saja,” Maya bersikeras.
“Aku tidak mau ada di sini.”
“Nona, maaf. Tapi anda tidak bisa pergi
dari sini,” kini Hijiri melangkah mendekat. “Ssebenarnya saya sudah mencari
anda sejak tiga hari yang lalu.”
“Mencariku?”
Maya segera teringat Masumi. Pasti
laki-laki itu yang menyuruh Hijiri untuk mencarinya.
“Aku tidak mau bertemu dengannya. Jika dia
yang menyuruhmu, katakan aku tidak mau bertemu!”
“Bukan Pak Masumi yang menyuruh saya.”
“Eh?” Maya terkejut mendengarnya. Entah
mengapa, hatinya kecewa saat mendengar bukan Masumi yang menyuruh Hijiri untuk
mencarinya.
Apakah
dia sudah tidak ingin lagi bertemu denganku?
Kesedihan mendadak menyergap hatinya. Maya
menunduk, mencoba menyembunyikan raut wajahnya dari pengamatan Hijiri.
Tapi bukan Hijiri namanya jika dia tidak
menyadari perubahan raut muka Maya.
“Jadi...” kembali Maya mengangkat wajah,
mengamati Hijiri. “Siapa yang menyuruh anda mencari saya?”
“Tuan Eisuke yang menyuruh saya.”
Mata bening Maya melebar. “Seharusnya aku
sudah menduganya.”
“Tuan Eisuke menyuruh saya mencari anda,
karena tuan Masumi sangat membutuhkan anda saat ini, Nona.”
“Kalau memang membutuhkanku mengapa dia
tidak mengejarkau saat itu? Mengapa dia tidak mencariku? Mengapa harus menyuruh
ayahnya? Mengapa harus menyuruhmu?!” kali ini Maya tidak bisa lagi
menyembunyikan kekecewaannya. Bahkan dulu saat dirinya dan Masumi berseteru,
laki-laki itu selalu pergi sendiri mencarinya jika dia menghilang. Tapi kini?
Air mata frustasi melompat ke pipinya yang
pias.
Hei!
Bukankah kau sendiri yang ingin menjauh darinya?
Hati kecilnya mengejek.
Tapi kali Maya tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengingkari perasaan yang
sebenarnya.
Dia masih sangat
mencintai Masumi Hayami!
“Andai Tuan Masumi bisa,
maka beliaulah yang akan menemukan Anda. Bukan saya.”
“Andai dia... bisa?”
raut keheranan kian terlihat da wajah Maya. “Apa maksud Pak Hijiri?” ada
ketakutan dalam nada bicaranya kini.
“Pak Masumi, beliau
mengalami kecelakaan.”
Suara Hijiri terdengar
hati-hati. Tapi tak urung membuat Maya merasakan jantungnya berhenti berdetak
untuk beberapa saat.
“Bohong..” lirihnya tak
percaya. Dilihatnya Hijiri menggeleng.
“Tidak mungkin saya
berani membohongi anda untuk masalah ini, Nona. Pak Masumi, beliau tertabrak
mobil saat mencoba mengejar anda saat itu. Kondisinya tidak baik. Beliau...
koma.”
Maya terpaku dengan
darah yang seolah terhisap keluar dari seluruh tubuhnya.
Mimpinya kembali
terbayang. Masumi yang membawa Erika pergi tanpa bisa dia kejar.
Air mata perlahan meleleh
ke pipinya yang tirus.
“Tidak boleh,” Maya bergumam
panik. “Tidak! Mereka tidak boleh pergi..,” bola matanya bergerak-gerak resah.
“Nona Maya?”
“Pak Hijiri,” kini Maya
melompat bangun dan mendekati laki-laki kepercayaan keluarga Hayami itu. “Dimana
dia? Dimana Pak Masumi? Aku harus bertemu. Dia tidak boleh membawanya pergi!”
Meski tak paham apa yang
sedang dibicarakan Maya, Hijiri menanggapinya dengan senyum tenang.
“Pak Masumi sudah
menunggu Anda, Nona. Akan saya antar Nona ke sana.”
***
Masumi memeluk Erika
yang sedang lelap tertidur. Hatinya terasa sangat damai. Tak bosan rasanya
memandangi wajah cantik putri kecilnya itu. Keharuan yang luar biasa selalu
saja muncul saat mengamati wajah Erika
yang mewarisi wajahnya. Matanya, hidungnya, bibirnya, rambut ikalnya.
“Putriku, putriku
tercinta,” bisik Masumi seraya kembali mencium pipi kemerahan Erika untuk
kesekian kalinya.
Meski wajah Erika sangat
mirip dengannya, tapi caranya tersenyum dan tertawa begitu mirip dengan Maya.
Bahkan sorot mata polosnya, selalu membuatnya teringat pada belahan jiwanya
itu.
“Ah, sedang apa mamamu
sekarang, ya?” Masumi kembali berbisik. “Alangkah senangnya kalau mamamu juga
ada di sini bersama kita ya, Erika. Hmm.. tapi sudahlah. Semoga mamamu
baik-baik saja.”
Ada ingatan samar
tentang Maya yang membuatnya terpaku. Ingatan terakhirnya sebelum dia terbangun
di tempat ini.
Ia
sedang mengejar Maya. Tapi mengapa?
Ingatannya benar-benar
terpotong. Rasanya itu sesuatu yang penting dan harus dia ingat. Tapi entah
mengapa saat ini memorinya seakan hanya berisi adegan dia berlari mengejar
sosok Maya yang jauh. Seperti bagian dari sebuah scene film yang terhapus
adegan awal dan akhirnya.
Tubuh mungil dalam
dekapannya mengeliat perlahan. Masumi mengamati dengan antusias. Ia sangat menyukai
saat dimana Erika membuka matanya, mengerjap bingung untuk beberapa saat, lalu
mata itu berbinar dengan senyum yang sangat cantik mulai terukir di bibirnya
mungilnya. Dan saat Erika memanggilnya papa, saat itulah dirinya merasa menjadi
penguasa dunia yang sanggup melakukan apapun untuk gadis kecilnya itu.
Tapi yang didapatinya
kali ini berbeda. Mata Erika nampak sendu dan berkaca-kaca.
“Erika, kau kenapa,
sayang?” Masumi mengamati putrinya dengan khawatir.
“Mamaaa,” Erika mulai
mengisak.
“Erika kangen mama?”
Kepala cantik itu
mengangguk. Masumi mendekapnya kian erat. “Papa juga sayang. Papa juga kangen
sama mamamu.”
Lengan mungil Erika
terulur, menjangkau kedua belah pipinya.
Masumi tersenyum.
“Papa ke mama..,” ujar
Erika kemudian. Masumi mengerutkan kening.
“Papa ke mama. Mama
sendiri,” Erika mengulangi perkataannya dengan suara balitanya yang masih belum
begitu jelas.
“Papa mau di sini sama
Erika,” geleng Masumi.
Kepala itu menggeleng. “
Papa ke mamaa!”
“Mama nanti mungkin ke
sini. Jadi papa nunggu saja sama Erika di sini, ya?”
Air mata kian deras
membanjiri pipi gemuk Erika. Gelengannya kian keras.
“Papa ke mamaaa!!”
isaknya. Masumi mengamati putrinya, bingung.
“Iya, iya, sayang, Kita
ke mama. Kita cari mama!” akhirnya laki-laki itu mengangguk dan kembali
mendekap putrinya.
“Sekaraang!!” Erika
tiba-tiba menggerinjal dari pelukan papanya, lalu melompat turun dari pangkuan.
“Papa sekarang!! Ke mamaa!!”
“Erika?” Masumi sangat
terkejut dengan sikap putrinya lantas bangun dan mencoba meraik kembali tubuh
mungil itu.
Namun Erika mengelak!
“Erika?” Masumi
tertegun. Gadis kecilnya menangis semakin keras.
“Iya, sayang. Iya. Papa
akan mencari mama. Kita cari mama sama-sama sekarang, yuk,” kembali Masumi mendekat untuk
memeluk putrinya.
Erika kembali berkelit.
Berlari menjaga jarak.
“Erika, jangan begitu
sayang,” Masumi memandanginya dengan wajah memelas. Tak rela melihat Erika
menolak untuk dipeluk. Gadis kecil itu tetap memandanginya dengan air mata
beruraian.
“Mau mama! Erika mau
mamaa!!” Gadis itu menjerit lalu berbalik dan berlari menjauh. Masumi
tersentak. Sedetik kemudian ia tersadar dan segera berlari mengejar Erika.
“Erika!!”
Namun si kecil kian
jauh. Masumi mempercepat larinya. Rasanya ada yang salah. Erika masih setahun,
tapi ia bisa lari begitu cepat. Namun pikiran panik Masumi tidak dapat mencerna
hal itu dengan baik. Yang ada dalam pikirannya hanyalah dia harus berlari lebih
cepat. Jika tidak, maka dirinya akan kehilangan Erika selamanya. Seperti halnya
dia kehilangan Maya.
Maya?!
Sekilas ingatan muncul. Membuat
larinya terhenti seketika.
Ya!
Maya! Maya pergi. Dia pergi meninggalkanku. Dan aku? .. tidak!”
Masumi menggeleng cepat. “Tidak boleh!!
Maya tidak boleh pergi!!”
Bayangan Erika yang
berlari menjauh perlahan menghilang. Di depannya, nampak jalanan lurus berkabut
dengan bayangan sesosok tubuh mungil tengah duduk di sebuah halte.
“Maya!!” Masumi berteriak
saat mengenali sosok tubuh itu. “Mayaaaa!!” ia kembali berlari. Terus berlari
tanpa henti. Namun sosok Maya dan dirinya tak kunjung berkurang jaraknya.
“MAYAAAAA!!!” dadanya
terasa sesak karena berteriak sekuat tenaga. Terengah, berharap Maya mendengar.
Dan dia berhasil!!
Masumi bersorak dalam hati saat sosok itu berdiri lalu memutar tubuh.
Wajah Maya nampak jelas
kini. Tengah mengamatinya dengan mata yang nampak sendu.
“Maya!” Masumi bergerak
maju. Tak sabar untuk mendapati kekasihnya. Namun sebuah kilatan lampu dari arah samping membuatnya seketika menoleh.
Matanya melebar dengan jantung berdegup melewati batas normal.
Sebuah mobil tengah melaju
dengan kencang kearahnya! Masumi tak sempat menghindar. Ia merasakan
benturan keras menghantam badannya.
Tidak!! Pikirnya panik. Aku tidak mau mati! Aku tidak boleh mati!! Aku ingin bersamanya!! Laki-laki itu berusaha keras mempertahankan kesadarannya diantara rasa sakit yang terasa meremukkan badan. Aku tidak boleh mati!!
Tubuhnya terasa
melayang. Kesadarannya semakin menghilang. Wajah mungil kekasihnya berkelebat.
"Mayaa," bisiknya . "aku mencintaimu..."
***
Tak pernah terpikirkan
melihat Masumi dalam kondisi seperti
ini. Lemah terbaring dengan berbagai alat mengerikan yang terpasang di
badannya.
Maya merasa nafasnya
sesak. Ingatannya melayang pada sosok Masumi yang dia lihat akhir-akhir ini.
Begitu rapuh, begitu putus asa.
Itu bukanl lagi Masumi
yang dikenalnya. Bukan Masumi Hayami yang nampak angkuh, arogan, dan dingin,
yang mampu membuat siapapun segan saat berhadapan dengannya, yang mampu membuat
dirinya menyerah pada pesonanya karena dibalik sikap dinginnya yang cenderung
kejam, tersembunyi sesosok pria yang begitu halus, hangat dan penuh cinta. Pria
mampu mencintai dengan tulus meski tahu cintanya mungkin tidak akan terbalas.
Hati Maya berdenyut
sakit. Tak rela melihat Masumi tak berdaya seperti itu!
Maya meraba kaca
pembatas dirinya dengan tempat dimana Masumi terbaring. Seolah berusaha
menyentuh tubuh Masumi.
“Dia menunggumu,” sebuah
suara membuatnya menoleh. Eisuke nampak duduk di kursi rodanya, didampingi Asa
yang setia.
“Dokter mengatakan, tak
ada masalah dengan fisiknya meski satu ginjalnya terpaksa diangkat karena
mengalami kerusakan saat benturan terjadi. Alasan dia belum sadar, kemungkinan
adalah alasan psikologis. Masumi memerlukan dukungan dari orang disekitarnya
untuk memberikannya semangat hidup. Dukungan orang terdekatnya. Dan aku yakin,
itu bukan diriku, ataupun Shiori. Tapi kau, Maya. Kau satu-satunya orang yang
paling dia inginkan untuk berada disampingnya selama ini.”
Maya terdiam. Kembali
mengamati Masumi di dalam sana.
“Maya,” didengarnya
kursi roda Eisuke bergerak mendekat. “Aku tahu, terlambat untukku untuk meminta
maaf. Apa yang telah kuperbuat selama ini mungkin memang tak pantas mendapatkan
pengampunanmu. Aku rela menerima kebencianmu sampai kapanpun sebagai balasan
kejahatanku dulu. Tapi jangan lakukan hal yang sama pada Masumi. Cukup kau
menghukumku saja.”
Suara Eisuke terdengar
gemetar.
“Maya, aku yang
membuatnya terpaksa memilih Shiori dan meninggalkanmu dua tahun yang lalu. Aku dan
Takamiya mengancam akan mencelakaimu jika dia meneruskan hubungan kalian.
Sampai akhirnya dia mau menikahi Shiori, agar kau selamat, Maya. Dia
melakukannya demi keselamatanmu. Meski dengan begitu, dia harus menahan
penderitaan selama bertahun-tahun karena terpisah darimu.”
Perlahan air mata Maya
meleleh. Dulu dia sempat berfikir seperti itu, mencoba untuk tetap percaya. Tapi
sikap Masumi saat mereka bertemu seketika meruntuhkan kepercayaannya.
“Masumi sangat
mencintaimu, Maya. Teramat sangat. Tanpamu di sisinya, itu sama aja dengan mati
baginya,” Eisuke menghapus setetes air mata yang melompat turun.
“ Melihatnya
saat ini aku begitu takut. Dia, terlihat begitu damai dalam komanya. Membuatku
merasa, baginya mungkin lebih baik terus berada dalam ketidaksadaran dari pada
harus kembali dan dihadapkan pada kenyataan yang membuatnya begitu menderita.”
Tidak
mau kembali? Jantung Maya berdebar keras. Tidak! Dia harus kembali! Dia tidak boleh
dengan begitu curang meninggalkanku!
Air mata gadis itu
semakin deras membasahi pipi.
“Masuklah,” suara Eisuke
membuatnya menoleh, memandang laki-laki tua itu.
“Masuklah. Hanya kau
yang dia inginkan untuk berada di sampingnya, Maya.”
Sesaat Maya hanya
termangu, lalu perlahan melangkah ke pintu. Setelah memakai baju khusus agar
ruangan tetap steril, perempuan itu pun masuk. Kakinya terasa berat saat berjalan mendekati tempat dimana Masumi
terbaring. Jantungnya berdebar semakin keras.
Pandangannya kian
mengabur saat tiba di samping tempat tidur. Wajah Masumi begitu pucat. Mata
yang biasa menatapnya lembut itu kini terpejam erat. Dan Eisuke benar, diantara
kepiasan wajah itu, nampak kedamaian di raut muka Masumi. Maya bahkan bisa
melihat senyuman samar di bibirnya.
Ketakutan seketika
menyergap. Tubuh mungil Maya bergetar hebat.
“Tidak boleh pergi!”
desisnya dengan kemarahan yang entah mengapa mulai muncul. “Jangan pernah
berpikir untuk meninggalkanku lagi, Masumi Hayami! Kau harus bangun! Aku belum
membuat perhitungan denganmu kali ini!”
Lengan mungilnya
terkepal. Dengan segenap kemarahannya, gadis itu mulai mengayunkan kepalan
tangannya ke dada Masumi. Tapi kemudian gerakannya tertahan di udara.
Ia tidak sanggup!
Tangis Maya pecah. Rasa
sakit meremas hatinya tanpa ampun. Dan kali Maya tahu, rasa sakit itu bukan bukan berasal dari pengkhiatan
Masumi. Tapi rasa sakit karena melihat kondisi Masumi yang begitu tidak
berdaya.
Melihat Masumi sekarat,
rasanya jauh lebih menyakitkan dibanding saat melihatnya pergi untuk bersama
Shiori.
Maya jatuh berlutut di
samping tempat tidur. Lengannya terkulai lemas. Air mata berhamburan ke pipinya
yang tambah pucat.
Lengannya bergetar saat
terulur untuk meraih jemari Masumi. Menggenggamnya erat. Menundukkan wajah dan
menempelkan keningnya di atas rangkuman jemarinya dan jemari Masumi.
“Jangan meninggalkanku,”
bisiknya serak diantara isakannya. “Kau harus tetap hidup.”
Beberapa lama Maya terus
berlutut, menggenggam erat jemari Masumi. Lalu mulai berdoa, meminta Tuhan untuk tidak mengambil Masumi
darinya.
Dia sudah kehilangan
buah hatinya. Tak ingin jika harus kehilangan kekasihnya juga.
Untuk beberapa lama
gadis itu larut dalam doanya, sampai kemudian ia bangun dari berlututnya.
Mengamati wajah pucat Masumi.
Perlahan ia merunduk.
Menempelkan bibirnya dengan lembut di kening Masumi.
“Aku mencintaimu, Masumi
Hayami,” bisiknya penuh perasaan.
Setetes air mata jatuh
di kening Masumi.
Di luar, sepasang mata
tua mengamati dengan haru. Eisuke tersenyum. Kini ia yakin, Masumi akan segera
bangun dari tidur panjangnya.
***
Mayaa, aku mencintaimu!!
Masumi berteriak
sekuat tenaga. Mencoba melawan kegelapan
yang semakin menyerang.
Jangan
pergi!!
Sekali lagi dia
berteriak, lebih keras sekarang, membuat tenggorokannya langsung tersedak dan
nafasnya terasa sangat sesak. Namun hal itu justru membuat kegelapan yang tadi
melingkupinya dengan cepat menghilang!
Masumi bersorak senang!
Matanya langsung terbuka.
Silau adalah hal pertama
yang melintas di pikirannya. Disusul dengan kebingungan saat melihat beberapa
wajah serius berada di atasnya.
Apa
yang terjadi? Mana Maya?
Matanya refleks mencari.
Tubuhnya mencoba membebaskan diri dari cengkraman orang-orang yang kini
mengelilinginya.
Di
mana Maya? Di mana kekasihku?!
Kepanikan menjalar saat
sadar suaranya sama sekali tidak keluar. Tubuhnya kian memberontak.
“Tenang, Tuan Hayami.
Tenang! Anda sudah melewati masa kritis sekarang. Tapi anda harus tenang!”
Seseorang yang tidak dia
kenal nampak berbicara padanya.
Tidak
bisa! Aku harus menemui Maya! Aku harus bersamanya! Dia tidak boleh
meninggalkanku!!
Matanya kembali nyalang.
Berusaha menerobos celah diantara tubuh-tubuh yang menghalangi pandangannya.
Saat itulah dia melihat
wajah yang begitu ia rindukan.
Maya!
Pekiknya senang.
Tapi wajah mungil itu
nampak sangat pucat dengan air mata yang berhamburan di pipinya.
Tidak
sayang, jangan menangis!
Kepanikannya bertambah
saat dilihatnya seseorang berpakaian putih menghela Maya keluar dari tempat
itu.
Tidak!!
Mau kau bawa kemana kekasihku?! Protes Masumi. Jangan pergi! Maya, kembali!!
Frustasi rasanya saat
dia tidak juga bisa membebaskan diri dari cengkraman orang-orang itu. Masumi
menggeliat kuat.
Lepaskaaan!!
Sebuah sengatan membuat
gerakannya terhenti. Masumi terengah. Apa
yang terjadi?
Tak lama laki-laki itu merasa
kantuk menyerangnya teramat sangat. Mati-matian ia mencoba menahan matanya agar
tetap terbuka.
Aku
tidak mau tidur! Jeritnya. Aku
ingin melihat Maya!
Namun Masumi tak bisa
mencegah saat matanya semakin berat sampai kemudian dia jatuh tertidur.
***
Bunyi berkelontang
membuat Masumi tersentak bangun. Seraut wajah lembut keibuan menyambut
tersenyum.
“Ah, maaf membuat anda
terbangun.”
Masumi mengernyit.
Mencoba mengumpulkan ingatan.
“Anda di rumah sakit,
Tuan Hayami,” perempuan berseragam perawat yang barusan menyuntikkan sesuatu ke
lengannya kembali tersenyum. “Anda baru saja sadar setelah koma selama 3 hari.”
Koma?
Tiga hari?
Ingatannya bekerja cepat.
Mengingat seraut wajah yang menangis menatapnya.
Maya!
Maya ada di sini!
Euporia segera menyergap
Masumi. Membuat dia berusaha untuk bangun tanpa peduli tubuhnya yang masih
lemas dan jarum infusan yang masih menempel di tubuhnya.
Sengatan sakit di perut
kirinya membuat laki-laki itu mengaduh tanpa sadar.
“Tuan Hayami!” Perawat
bergerak cepat untuk menahan tubuh laki-laki itu. “Hati-hati! Luka operasi anda
bisa terbuka kembali kalau anda terlalu banyak bergerak!”
“Aku ingin melihat
Maya!” desis Masumi. Perawat itu tersenyum maklum.
“Nona Kitajima sedang
tidur,” ujarnya. Lalu dengan matanya menunjuk ke suatu arah, membuat Masumi
mengikuti pandangannya.
Sebuah tempat tidur lain
nampak di samping tempat tidurnya. Mayanya ada di sana. terlelap. Hati Masumi
menghangat. Begitu juga matanya.
“Anda begitu beruntung
memiliki kekasih yang begitu mencintai anda. Semalaman, sejak anda tersadar,
Nona Kitajima terus menunggui anda di sini. Padahal kondisinya sendiri sedang
tidak baik. Sampai akhirnya kami terpaksa memasukkan satu bed lagi meski itu menyalahi aturan agar beliau bisa istirahat.”
“Apa dia sakit?” Masumi
bertanya khawatir.
“Selain kelelahan dan
kurang asupan makanan, Nona Kitajima baik-baik saja,” terang perawat.
“Kepalanya? Dia pernah
terbentur saat...”
“Trauma kepalanya sudah
sembuh. Ayah anda sudah menjelaskan kondisi kekasih anda saat kami periksa.
Jadi jangan khawatir. Pikirkan kondisi anda sendiri agar cepat pulih.”
Lama setelah perawat itu
pergi, Masumi masih memandangi tubuh mungil Maya. Air mata menetes. Hatinya
diliputi keharuan yang luar biasa saat menyadari, mungkin saja Maya sudah
memaafkannya.
Melawan semua rasa sakit
tubuhnya, Masumi mencoba bangun. Bersusah payah mencabut jarum infusan dan
beringsut naik ke tempat tidur
kekasihnya.
Setelah mengatur posisi,
agar luka operasinya tetap aman, Masumi memiringkan badan. Meraih Maya ke dalam
pelukannya.
Gadis itu bergumam,
menggeliat pelan, lalu bergerak kian masuk ke dalam pelukannya.
Masumi merasakan dadanya
hampir pecah karena bahagia. Rasanya hampir tak percaya bisa memeluk kembali
kekasihnya seperti ini. Jika ini mimpi, dirinya tidak ingin terbangun lagi.
Dikecupnya kening Maya
penuh cinta. Menghirup aroma yang begitu dia rindukan.
“Aku sangat mencintaimu,
Maya,” bisiknya sebelum kemudian kembali terlelap.
***
Shiori dengan hati-hati
membuka pintu tempat Masumi dirawat. Sejam yang lalu dia baru saja menerima
kabar bahwa Masumi sudah tersadar. Hatinya gembira bukan main. Tanpa pikir
panjang segera meminta sopirnya untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Yang dilihatnya kemudian
membuat tubunya menegang kaku. Matanya melebar.
Masumi nampak terlelap
seraya memeluk tubuh mungil Maya.
Sejak
kapan Maya datang?
Pikir Shiori. Mengapa mantan mertuanya
tidak memberitahunya?
Shiori tersenyum miris.
Dirinya sudah bukan siapa-siapa lagi bagi keluarga Hayami. Bahkan sejak dulu,
bagi Masumi, dirinya bukan siapapun selain seorang wanita egois yang dengan
kejam sudah memisahkan Masumi dari belahan jiwanya.
Dipandanginya dua sosok
yang terlelap dengan damai. Shiori bahkan bisa melihat wajah Masumi tersenyum
bahagia.
Rasanya ia ingin segera
pergi dari sana. Namun kakinya seolah terpaku. Seolah Tuhan ingin dirinya
melihat semua itu agar menyadari, betapa berdosanya dia telah memisahkan
cinta dua orang manusia yang begitu
tulus dan murni. Bahkan karenanya, seorang anak tak berdosa tak sempat
merasakan kasih sayang sang ayah dalam hidupnya.
Air mata menetes.
Mungkin sekaranglah waktunya dia untuk melepas Masumi. Melepas cintanya yang
tak pernah terbalas.
Hatinya teramat sakit.
Mau tak mau harus dia terima.
Ini
hukuman untukku, bisik hatinya seraya kembali menutup
pintu perlahan.
Selamat
tinggal, Masumi. Maafkan aku. Semoga kau bahagia bersama Maya.
Perempuan itu berjalan
menjauh. Akhirnya disinilah dia, berada di ujung cintanya yang sesungguhnya
semu.
Dia harus rela. Hanya
itu satu-satunya cara untuk dirinya melanjutkan hidup.
ikutan was was gmana nt klo dah inget yak...
BalasHapusaduh kok aq srasa jd masumi ya, ada rasa takut saat maya ingat lg
BalasHapus*aduh...bener2 takut nie
ah seperti biasa: perfecto!
BalasHapusbener kata Nisa , perfecto !
BalasHapusgile dah , gw juga jd ikut2an ngerasain yg dirasa Masumi
sakit oooiiiii .....
gw penggemar SE tapi ......
kasian yah masumi.... i hope happy ending story yah... lanjut sist avira.^^
BalasHapushaduh... deg-degan baca nya. gimana jd nya yah klo maya mulai ingat lg? jadi tambah penasaran...good job sist, ditunggu lanjutannya....
BalasHapusduuuhh,gimana kalo maya ingatannya kembali,,
BalasHapustp,menurutku krn maya tuh nyadar kl dya cinta mati sm masumi n sebaliknya,semoga aja marahnya ke masumi ga pake lama.
n sist avira juga ga pake lama apdate nyah,, <3 <3
hiks....hiks...hiks
BalasHapusbeneran nangis nie
kasihan liat masumi
sedih banget.... hiks..hiks... btw thanx sist avira... suka bngt ma crita nya.. ditunggu apdetanya yah.... love u
BalasHapusyg manapun ending-nya, aku pasti akan menunggu...
BalasHapuskata2 yg mengungkapkam bahwa cinta itu egois, cinta itu menyakitkan, semuanya tersampaikan dgn sangat baik sekali...
love this story so much!
ceritanya baguuusss banget...sangat suka dan selalu gak sabar nunggu lanjutannya.
BalasHapusbeuhhh kasian banget ya Masumi
BalasHapuskebayang deh menderitanya
lagian si Shiori juga gendeng yaks
kagak nyerah2 jugak .ckckckck
ce vraiment émouvant,c'est pour quand la suiteeeeeee.
BalasHapusHikssss..... spechlesss... gak bisa komen apa apa, cuman bisa nangis (T_T)
BalasHapusT.T
BalasHapussedih :( apa lagi waktu maya bilang “Yang aku tahu, cinta anda ternyata tak
BalasHapuscukup kuat untuk membuat anda bertahan di
sampingku, Tuan Masumi Hayami.” T.T
ismi
:(
BalasHapus:( :( :( :( speechless gw... *rini*
BalasHapushiks...hiks..hiks...
BalasHapusT.T
BalasHapusT.T
T.T
-mommia-
SEDIH YANG MENDALAM
BalasHapusMAU UPDATENNYA .. LAGI....
ARRIN
huhuhuhu...sedit banget :((
BalasHapusditunggu lanjutannya yaaa...suka sekali sm FF ini
Sedih...semoga maya kembali lagi ke masumi....
BalasHapuslanjut sissss bagusss :D:D
* Cantik Comique *
beeuuuhhhh...tumben eisuke waras,walaupun rada telat :( *rini*
BalasHapusshiori denegrin tuh nasihat, dah waktunya buat gak egois...
BalasHapusSukses mengacak ngacak emosi :)
BalasHapusDitunggu update nya !!
sedihhh bgdd huwaaa.... hiks ayo MM buat erika lagi... T^T
BalasHapusdisatu sisi pengen banget klo maya ningalin masumi disatu sisi kasian ngeliat masumi kaya gitu
BalasHapuscepet apdet donk kak T_T
T.T...g brenti2 ngalir
BalasHapusso sad, bagus banget ceritanya
nida
Baguss...ni msh nyambung ya sist??? update donk sist...
BalasHapussuksees bgt ngaduk2 emosi senin pagikuuh
BalasHapusAkhirnyaaa apdet juga. Thanks sista! ^^
BalasHapusDuh, kalau masumi mati apa maya gak nyesel nantinya udah nolak masumi? Atau malah iri karena masumi udah bisa bareng Erika? Jangan-jangan maya bunuh diri trus pada kumpul di alam sana deh.
huaaaaaa.... ngetik komen sambil mata masih basah. Non, kasian amat Masumi..... hiks! T_T
BalasHapus*updet nya jgn kelamaan yaaaaa*
sedihnya , semoga yg terbaik yg terjadi untuk masumi dan maya
BalasHapustrop triste sniffff!!!!!!
BalasHapusDi rapel bacanya...kok ya nyesek banget :(
BalasHapusBener2 nahan emosi di tenggorokan...
TOP bgt deh....
nyesek :( :( :(
BalasHapusdasar jambul gila...... senagnya bikin masalah... *_*... menjengkelkan...
BalasHapuskira-kira maya kembali ngaknya klo tw masumi sekarat!????
jadi ngak sabar kelanjutannya.... moga Happy Ending....
hadiah palentin nih ...
BalasHapuskyknya happy ending yaks
masumi mati trus maya langsung nyusul n eisuke pun ikut2an
* kabur ah *
*tarik nafas panjang*
BalasHapus*berdoa* semoga mrk b2 bisa kembali bahagia
teary valentine
BalasHapuslutte masumi,n'abandonne pas!!!!!
BalasHapushadeuh sedih hiks...hiks...
BalasHapussuka banget sista.. ditunggu apdetannya ya ^_^
wiiiiihhhhh ga sabar nunggu endingnya * gosok2 telapak tangan *
BalasHapusNice story sist .. thanks a lot ya for the story nya... :)
BalasHapusNous attendons toujours la suite de cette belle histoire!!!!!
BalasHapusBenar2 mengudek2 emosi, aku benar2 nangis tersedu2, ceritanya bagus banget sist! Makasi yaaaa
BalasHapus