Minggu, 22 Januari 2012

One More Chance










Masumi memarkir mobilnya sembarangan lalu melompat keluar begitu mobil itu berhenti. Tak peduli guyuran hujan yang tanpa ampun menerjang tubuh tingginya, laki-laki itu berlari menaiki anak tangga. Tersenggal, karena tangis dan sesak di dada yang sejak tadi tak henti menyiksa. Matanya nyalang saat memasuki kompleks pemakaman yang disebutkan Hijiri, lalu tertumbuk pada sebuah nisan, yang masih nampak dihiasi banyak bunga.


Langkahnya yang tadi cepat menyurut seketika. Perlahan, laki-laki itu mendekat. Dadanya berdegup kian cepat, dan seketika, saat melihat raut wajah tersenyum yang terpampang di foto berbingkai yang masih terpasang di sana, tubuh laki-laki itu ambruk. 

“Tidak…,” desisnya dengan air mata yang kembali mengaliri pipi pucatnya. “Tidak boleh, kau tidak boleh pergi,” laki-laki itu menggeleng berulang kali. Tangannya terulur, membelai wajah yang tetap tersenyum manis di depannya. “Aku sudah pulang. Aku sudah disini, jangan seperti ini, kumohon… jangan meninggalkanku seperti ini. Maya.. Maya…MAYAAAA!!!!”

Tak tahan lagi, Masumi meraih bingkai foto itu dan mendekapnya erat. Matanya nyalang ke arah nisan  yang terukirkan nama belahan jiwanya di sana. MAYA KITAJIMA.

Masumi merangkak mendekat. Sebelah  lengannya masih mendekap foto Maya. Begitu sampai di samping nisan, laki-laki itu kembali tersungkur. 

Nona Maya kecelakaan. Kondisinya tidak baik. Dia… koma.

Berita yang diberikan Hijiri kemarin membuatnya langsung berlari ke bandara bahkan tanpa sempat mengemas pakaian sama sekali. Tidak dipedulikannya Shiori yang bertanya keheranan melihat wajah paniknya. Dalam pikirannya hanya satu. 

Maya.

Namun dia terlambat.

Maya meninggal saat pesawatnya baru saja take off. Perjalanan dari London ke Tokyo menjadi perjalanan paling lama dan paling menyakitkan dalam hidupnya. Lebih menyakitkan daripada saat ia terpaksa pergi meninggalkan belahan jiwanya itu dua tahun yang lalu karena terpaksa harus menikahi Shiori dan akhirnya pergi ke London untuk menangani cabang perusahaan Takatsu di sana.
Sepanjang perjalanan Masumi menangis. Sebagian dari dirinya menolak dengan keras berita yang baru disampaikan Hijiri.

Tidak benar! Maya.. dia baik-baik saja. Maya baik-baik saja!!

Namun kini, nisan itu sudah menjadi bukti, bahwa belahan jiwanya sudah pergi. Meninggalkannya sendirian dalam penyesalan yang teramat dalam.

Dipeluknya nisan itu dengan tangis yang semakin keras. Masumi tak peduli lagi jika saat itu ada orang lain yang melihat. Laki-laki itu tak mau lagi peduli pada apapun. Pikiran, hati dan perasaannya hanya merasakan satu hal.  Sakit yang teramat sangat!

Seseorang mendekat di belakangnya. Mati-matian menahan air mata agar tidak turun melihat betapa laki-laki yang terkenal dingin itu kini menangis histeris di atas pusara belahan jiwanya. Matanya melirik sebuah sebuah foto lain yang luput dari perhatian Masumi.

Hijiri menghela nafas berat. Entah bagaimana caranya ia memberitahukan hal ini pada bosnya itu.

“Pak Masumi,” meski tahu percuma karena badan Masumi sudah basah kuyup, namun Hijiri tetap mendekatkan payung ke atas  tubuh laki-laki itu. 

Masumi tak bergemig, masih memeluk nisan kekasihnya dalam tangis.

Hijiri kembali terdiam. Memutuskan untuk membiarkan laki-laki itu melepaskan dukanya.

Setelah beberapa lama, Masumi melepaskan pelukannya di nisan Maya. Air mata masih mengalir di pipi pucatnya. Dengan telunjuk, ditelusurinya nama yang terukir di nisan itu. Namun kemudian jari itu terhenti..

Maya Kitajima dan…. Erika Kitajima?

Apa maksudnya? Mengapa ada orang lain yang dimakamkan di sini?

“Nona Erika… juga meninggal dalam kecelakaan itu.”

Didengarnya suara Hijiri pelan. Masumi menoleh.

“Siapa… Erika?”

Hijiri kembali menghela nafas berat. Entah reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan bosnya jika ia tahu kebenaran ini.

“Nona Erika…,” Hijiri meraih foto yang tadi diliriknya lalu menyerahkannya kepada Masumi. Foto balita perempuan lucu yang tengah tersenyum dalam pelukan Maya. “… adalah putri Nona Maya. Dia…… juga… putri anda, Tuan.”

Jawaban Hijiri terdengar seperti petir yang menggelegar di telinga Masumi. Dengan tubuh yang semakin bergetar hebat, laki-laki itu kembali mengalihkan pandangannya ke nisan di depannya.

“Putriku?... Aku dan Maya.. punya ..seorang.. putri?” mulut laki-laki itu bergumam pelan. Ditatapnya dengan nanar nama yang terukir di bawah nama kekasihnya.

“E-ri-ka..,” Ejanya dengan hati terpilin kian sakit.

Masumi membelai nama itu pelan. “Erika… Erika… anakku…”

Hijiri memejamkan mata, tak tahan melihat reaksi Masumi yang kini kembali memeluk nisan itu kian erat.

Namun tak lama. Teriakan Masumi membuat dia cepat membuka mata. 

Dilihatnya Masumi tengah mencakar tanah makam dengan kalap. Seolah mencoba menggali makam itu.

“TIDAAAAKKK.. jangan begini, jangan begini.. Maya, kumohon… MAYA..MAYA.. !!!”

Hijiri segera melepas payungnya dan meraih tubuh Masumi. Kontan Masumi berontak. Lengannya terus mencakar tanah dengan histeris.

“LEPASKAN AKU!! Aku ingin bersama mereka! Lepaskan aku Hijiri. LEPASKAAANN!!”

“Tidak tuan Masumi!!  Sadarlah. Mereka sudah meninggal!”

“Tidak.. mereka tidak boleh meninggalkanku. Tidak boleh! Aku harus bersama mereka. Aku harus bersama mereka, Hijiri! Lepaskan! LEPASKAAANN!!

Masumi terus memberontak sampai-sampai Hijiri kewalahan untuk menarik tubuh tegap itu menjauhi makam.

Masumi terus berteriak histeris.

“MAYAA…!! TIDAAK!! AKU HARUS MENEMUINYAA!!!”

Masumi meraung. Dadanya terasa sangat sakit. Dan sedetik setelah itu, kehampaan luar biasa tiba-tiba menyergap  tanpa ampun. Kehampaan yang hanya bisa terobati dengan kehadiran belahan jiwanya. 

Bawa aku bersama kalian, Maya.. Erika.. Kumohon..

Tubuh tegap itu terkulai lemas di pelukan Hijiri.

“Pak Masumi!!”

Dengan panik Hijiri menggoyangkan badan Masumi.

Tak ada respon. Kedua mata Masumi terpejam erat. Wajah tampannya nampak semakin pucat.

***

Semuanya terasa ringan. 

Masumi membuka mata. Mengernyit heran saat menyadari dirinya tengah dilingkupi kabut putih tipis yang mengawang di udara. 

Perlahan laki-laki itu menegakkan badan.

Aku dimana?

Matanya berkeliling, mencoba menembus kabut putih yang menghalangi pandangannya. Namun sejauh mata memandang, tak ada sesuatu pun yang dia lihat. Hanya kabut yang terus mengawang, bergerak pelan.

Terdengar  suara tawa renyah di kejauhan. Masumi menajamkan telinga.

Maya?

Dadanya berdebar kencang saat mengenali suara itu. 

Ah, kau juga ada di sini, sayang?

Laki-laki itu tersenyum senang. Segera ia berjalan menuju tempat suara itu berasal. 

Maya, aku datang!! Seru hatinya riang. 

Langkahnya cepat berubah menjadi setengah berlari. Tak sabar untuk segera bertemu dengan kekasihnya.

Aku sangat rindu, Maya!

Suara tawa Maya semakin jelas terdengar. Begitu riang. Begitu bahagia.

Eh?

Masumi tertegun. 

Maya tidak sendirian. Ada suara tawa lain bersamanya. Suara tawa anak kecil.

Entah mengapa hatinya semakin bergetar rindu mendengar tawa anak itu. Sebuah senyum tersungging di bibir Masumi.

Kembali laki-laki itu berlari. 

“Aku datang, Maya! Papa datang, Erika!”

Semakin lama, kabut semakin menipis. Sampai akhirnya Masumi berhasil keluar, ke tempat yang lebih terang. 

Ah! Itu mereka!

Mata Masumi berbinar bahagia. 

Di depannya, hanya terhalang oleh sebuah gerbang besi berukir,  terbentang sebuah taman yang sangat indah, dan Mayanya ada di sana! Tengah asyik bermain kejar-kejaran dengan seorang bocah perempuan cilik berbaju layaknya bidadari kecil. 

“Maya!!!”

Masumi berteriak memanggil belahan jiwanya. Namun nampaknya Maya tidak mendengar. Perempuan itu nampak tertawa lebar saat bisa menangkap tubuh mungil yang dikejarnya. 

Tawa keduanya terdengar seperti melodi indah ditelinga Masumi.

Tergesa, Masumi melanjutkan langkahnya menuju gerbang. Senyumnya semakin lebar. 

Tinggal beberapa langkah lagi dan aku akan segera bersama mereka!

Lengannya terulur cepat untuk membuka pintu gerbang.

“Masumi!”

Eh? Suara itu?

Secepat kilat ia berbalik dan segera saja air mata menggenang di pelupuk matanya.

Sesosok perempuan berwajah lembut tengah menatapnya dalam senyum.

“Ibu?”

Bibir Masumi bergetar menahan keharuan yang luar biasa saat melihat sosok yang sangat dirindukannya itu.

“Benarkah itu ibu?” desisnya masih tak percaya.

“Iya sayang, ini ibu,” perempuan itu mengangguk seraya berjalan mendekat. Masumi masih terpaku tak percaya. Namun matanya tak mungkin salah. Itu ibu, ibunya! Wajah itu masih sama seperti yang terakhir dia ingat. Lembut dan penuh kasih sayang.

Laki-laki itu terisak saat merasakan, sang ibu memeluknya dengan hangat.

“Ibu, aku begitu merindukanmu,” isaknya haru. 

“Ibu juga, anakku.”

Masumi menyurukkan kepalanya di bahu sang ibu. Merasakan kepalanya dibelai dengan lembut laki-laki itu semakin terisak.

“Jangan menangis. Ibu di sini, Masumi.”

Masumi tertawa di bahu ibunya.

“Aku menangis karena bahagia,Bu. Bahagia bisa bertemu dengan ibu.”

Didengarnya sang ibu tertawa lembut. 

Ah, betapa aku rindu tawamu, bu,  batin Masumi.

Untuk beberapa lama, Masumi memuaskan diri dalam pelukan sang ibu. Sampai akhirnya ia teringat hal lain. 

Maya!

Laki-laki itu menegakkan badan. Menatap ibunya ceria.

“Ibu, aku ingin ibu bertemu dengan Seseorang. Ah, tidak, dua orang! Mereka dua orang yang paling penting dalam hidupku setelah ibu. Ayo, sini! Ibu pasti menyukai mereka!”

Ditariknya lengan sang ibu dengan antusias menuju gerbang.

Namun ibunya tak bergemig.

“Ibu?” Masumi menatap heran ibunya. 

“Ibu sudah mengenal mereka,” senyum sang ibu. “Maya gadis yang sangat baik. Ibu menyukainya.”

“Benarkah? Ah, ibu sudah mengenal Maya-ku? Bukankah dia sangat manis ibu? Juga Erika, dia-dia anakku ibu. Dia sangat cantik bukan?”

Suara gelak tawa di dalam taman sana kembali mengalihkan perhatian Masumi.

“Ayo kita ke sana, ibu. Aku ingin segera bertemu mereka!” kembali Masumi menarik lengan ibunya. Namun kembali perempuan itu tak bergerak sedikitpun.
“Ibu?”

“Masumi, kau belum bisa ke sana.”

Masumi mengerutkan kening.

“Maksud ibu?”

“Kau harus kembali, nak.”

“Kembali?” Masumi mengernyit tidak suka. “Tidak ibu! Aku tidak mau kembali. Aku mau di sini. Aku mau bersamamu, bersama Maya, dan bersama putriku di sini!”

“Tidak, anakku. Kau tidak bisa berada di sini. Kau harus kembali!”

“TIDAK MAU!!” Masumi menolak dengan keras. “Di sana tidak ada Maya! Tidak ada anakku! Aku tidak mau hidup di tempat yang tidak ada mereka!!”

“Kau tetap harus kembali, Nak. Kau harus meraih kebahagiaanmu!”

“Kebahagiaan apa? Kebahagiaanku adalah mereka!”

“Ibu tahu,” senyum ibunya. “Karena itulah kau harus kembali.”

Masumi tertegun. Tak mengerti.

“Apa maksud ibu?”

Pertanyaannya hanya dijawab dengan senyuman lembut. 

Perlahan, Masumi merasakan udara di sekelilingnya kembali diselimuti kabut tipis. Bayangan ibunya nampak memudar, begitu juga tawa Maya dan Erika.

Semakin menjauh.

Ketakutan tiba-tiba melingkupi hati laki-laki itu.

“Tidak! tidak mau. Aku tidak mau kembali. Tidak! Ibu! ibu.!! Kembali!!! Maya- Maya- jangan pergi!! Tidak! TIDAAAKKK!!!”

***

Masumi mencelat bangun. Nafasnya terengah. Tubuhnya basah oleh berkeringat. Matanya memandang ke sekeliling. Sofa, TV, lukisan di dinding, lemari pakaian, nakas.. 

Ah, tempat ini?

Suara debur ombak menyapanya dari luar sana. 

Izu! Aku di Izu!!

Diusapnya wajahnya yang berkeringat. 

Mimpi buruk!! desisnya pahit. Masumi berusaha mengingat apa mimpinya tadi, namun tak berhasil.   Yang jelas,  kengerian terasa  masih merajai hatinya. 

Perlahan laki-laki itu bengun, dan berjalan menuju balkon. 

Sudah dua tahun

Lengannya yang masih gemetar menyentuh pinggir balkon. Dua tahun sudah aku meninggalkanmu, Mungil. Meninggalkanmu sendirian…

Mata laki-laki itu berkaca-kaca. 

Andai aku punya lebih banyak keberanian saat itu…

Mata kelam itu terpejam. Kenangan dua tahun lalu mengalir deras dalam ingatannya.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………………………
( 2 tahun lalu)

“Tidak! MAYAA!!”

Masumi membuka matanya dengan nafas memburu. Untuk sesaat, laki-laki itu seperti orang kebingungan, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar.

Suara ombak perlahan mengembalikan kesadarannya. Laki-laki itu tersenyum tipis. Dirabanya tempat tidurnya yang empuk. Lalu menoleh ke tempat kosong di sisinya.

“Maya?!”

Masumi melompat bangun. Meraih jas kamarnya dan berlari ke luar. 

“Maya?!” panggilnya panik. 

Tak ada jawaban.

Dituruninya anak tangga dengan cepat. “MAYA!”

Sosok yang dicarinya nampak tengah berdiri di beranda. Menoleh heran saat namanya dipanggil dengan nada panik.

“Ada apa?” mata bening itu menatapnya heran. Masumi tidak menjawab. Dengan langkah lebar didekatinya Maya dan segera ditariknya tubuh mungil kekasihnya ke dalam pelukan.

Nafasnya masih terengah. Ketakutan masih kuat melingkupi hatinya.

“Masumi? Ada apa?” Maya balas memeluk tubuh kekasihnya. Keheranan gadis itu bertambah saat menyadari betapa gemetarnya tubuh Masumi.

“Kau…mimpi buruk, ya?”

Masumi tidak menjawab. Hanya terus memeluk tubuh Maya seolah takut jika ia melepaskannya, Maya akan menghilang tertiup angin. Tubuhnya masih gemetar.
Maya tersenyum paham. Dengan lembut, lengan mungilnya menepuk-nepuk punggung lelaki itu, berusaha menenangkan.

Untuk beberapa lama mereka hanya berpelukan. Sampai akhirnya Masumi menegakkan badan dan menatap wajah polos kekasihnya.

“Maafkan aku,” bisiknya pelan. 

Maya menggeleng. Lengannya terulur untuk membalai wajah kekasihnya.

“Kau pucat . Apa mimpimu sangat buruk?” mimik perempuan itu nampak khawatir. Diam-diam Masumi mencoba mengingat mimpinya. Namun tak berhasil. Yang jelas, apapun mimpinya tadi, sudah menyisakan rasa sakit di dadanya. Juga ketakutan yang teramat sangat saat dia bangun. Ketakutan akan kehilangan gadis mungil yang kini ada dalam pelukannya ini.

“Aku tidak apa-apa,” Masumi mencoba tersenyum untuk meredakan kekhawatiran Maya. Digenggamnya jemari lentik gadis itu yang kini ada di pipinya. “Aku hanya terkejut saat terbangun, kau tidak ada di sisiku.”

Maya tertawa pelan. 

“Tadi aku sangat haus. Jadi turun untuk mengambil minum. Saat melihat keluar,  begitu banyak bintang. Jadi sayang untuk dilewatkan,” jelas Maya.

“ dan kau tidak membangunkanku,” sungut Masumi ditimpali tawa Maya.

“Kau tadi nampak begitu nyenyak. Jadi aku tak tega membangunkanmu,” ujar gadis itu kemudian. “Kemarilah!” ditariknya lengan Masumi menuju beranda. 

“Lihat! Malam ini langit sangat cerah,  bintangnya terlihat jelas.”

Masumi memandang langit. Angin laut yang bertiup agak kencang menerpa wajahnya. Matanya membulat takjub.  Udara laut yang hangat sedikit mengurangi keresahan dan ketakutannya akan mimpi yang bahkan tidak diingatnya lagi itu.

“Kau benar,” desisnya. “ Bintangnya banyak sekali.”

Maya merebahkan kepalanya di dada Masumi.  Memandangi bintang-bintang di atas sana dengan mata berbinar cerah.

“Nyaman sekali..” gumam gadis itu.

“Hmm?” Masumi menunduk untuk melihat wajah kekasihnya.

“Memandang sejuta bintang dalam pelukanmu. Rasanya sangat nyaman.”

Masumi tersenyum. Mengetatkan pelukannya di tubuh Maya. Maya terkikik.

“Aku lebih suka memelukmu di atas tempat tidur sana. Aduuuh..!”

Ucapan Masumi langsung disambut cubitan Maya di lengannya.

“Dasar genit!” sungut Maya. 

“Hee.. aku bicara jujur,” Masumi membela diri. “Sekarang aku bertanya padamu. Kau lebih suka yang mana? Aku memelukmu di sini atau aku memelukmu di… AWW! Maya!!”

Cubitan gadis itu semakin kuat. Tanpa melepaskan dekapannya di badan kekasihnya, Masumi mengusap pergelangan tangannya yang memerah. Mulutnya menyeringai lebar.

“Kau belum menjawabku,” bisiknya jail.

“Masumiii..!” rengek Maya. Wajah gadis itu nampak memerah.”Aku.. mhh.. ahh! Aku gak mau jawab!”

“Hmmm…sepertinya aku harus memaksamu menjawab,” senyum Masumi semakin jail. Dengan sekali angkat, tubuh mungil Maya sudah berada dalam bopongannya. “Kau harus memilih mana yang paling kau suka begitu aku memelukmu di sana, OK?”

Mata bening Maya membulat. “Masumi, kau mau apa?”

“Membantumu untuk memilih,” sahut Masumi tenang seraya beranjak menaiki  tangga. Wajah Maya kian memerah.

“Masumiii… ! Baiklah aku akan menjawab. Tapi turunkan aku dulu!”

“Terlambat,” senyum Masumi. Kini mereka sudah berada di depan kamar. Dengan bahu, Masumi membuka pintu. “Aku akan membuatmu tidak akan rela lepas dari pelukanku malam ini,” desisnya. Bibir laki-laki itu segera memangut bibir mungil Maya begitu pintu tertutup di belakangnya. Lalu membawa gadis mungil itu ke tengah kamar, untuk kemudian membaringkannya di tengah tempat tidur tanpa mematahkan ciumannya sedikitpun.

***

Shiori dari tadi mencarimu.  Dia terus menangis. Aku mohon padamu. Temui dia, Masumi! Dokter bilang  hanya kau yang bisa menenangkannya. Aku mohon..

Telepon dari Tuan Takamiya yang baru diterimanya membuat Masumi menghela nafas berat. Sebenarnya dirinya enggan untuk datang.  Sudah tiga bulan Shiori menderita depresi setelah percobaan bunuh diri yang dilakukannya. Pada awalnya, dirinya hanya berniat untuk membantu membuat gadis itu lebih berani menghadapi kenyataan. Namun ternyata, hasilnya, gadis itu malah menjadi semakin posesif. Terlebih keluarganya yang selalu menuruti semua keinginan Shiori, termasuk memaksa Masumi untuk selalu datang setiap Shiori merengek untuk bertemu.

Laki-laki itu melemparkan HP nya ke atas tempat tidur, lalu kembali merebahkan badannya. Diliriknya jam,  pukul 10. Dia dan Maya memang  kesiangan. Rencana mereka untuk melihat sun rise batal sudah. 

Masumi tersenyum.

Tak pernah disangkanya, akhirnya mereka bisa menjadi sepasang kekasih juga.
Setelah melihat percobaan pertunjukan bidadari merah milik Maya,  Masumi sudah tidak dapat lagi memendam perasaan cintanya kepada gadis itu. Dengan memberanikan diri, ia menemui Maya seusai pertunjukkan, mengungkapkan kebenaran bahwa dirinyalah Mawar ungu, dan betapa dirinya mencintai gadis itu dengan sangat dalam.

Masih diingatnya tangis bahagia Maya malam itu. Gadis itu memeluknya erat dan berkali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya. Bahkan, Maya tidak menolak saat Masumi menciumnya dengan penuh cinta.

Maya juga mencintainya!!

Hati Masumi bersorak bahagia. Akhirnya, setelah lebih 7 tahun menanti, saat itu datang juga!

Meski masih menutupi hubungan mereka, namun keduanya  selalu berusaha melewatkan waktu bersama setiap akhir minggu. Seperti saat ini. Demi bisa menghabiskan Sabtu Minggunya bersama Maya, Masumi beberapa hari lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaan.

Dengan hati berdebar bahagia, dia mengusap sisi tempat tidur dimana Maya tidur semalam. Lalu pandangannya beralih ke pintu kamar mandi.

Hmm, dia sudah cukup lama ada di sana…

“Maya?”

“Ya?”

Tak sampai 5 detik, sosoknya sudah muncul di pintu. Nampak segar dalam balutan rok selutut dan blouse santai berwarna biru muda. Rambutnya yang tergerai berkilau lembut.

Masumi tersenyum.

“Kau lama sekali,” jawabnya, masih terbaring. Maya membalas senyumannya dan berjalan mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur.

“Mandilah,” ujarnya lembut.

Masumi mengulurkan tangannya yang langsung disambut Maya. Alih-alih bangun, laki-laki itu malah menarik tubuh mungil kekasihnya sehingga Maya terjerambab ke atas tubuhnya.

“Kyaa!! Masumi!”

Masumi terkekeh. Menelusupkan wajahnya di leher Maya.

“Badanmu wangi sekali,” gumamnya.

“Tentu saja! Aku baru mandi. Sedang kau? Aduuh.. Masumi, cepat sana mandi! Katanya kau akan mengajakku jalan-jalan di pantai. Nanti keburu panas!”

“Hmmm, sebentar lagi. Aku masih ingin memelukmu seperti ini,” gumam Masumi . 

Maya menggelinjang saat merasakan kecupan lembut di lehernya.

“Masumiiii..,” rengeknya. Menggerinjal bangun dan kembali duduk di sisi tempat tidur. Bibir mungilnya mengerucut dengan wajah merona merah.

Lengan Masumi terangkat, membelai pipi merona kekasihnya. 

“Kau cantik sekali,” bisiknya penuh kekaguman. Warna merah kembali menyerbu wajah Maya.

“Pagi-pagi sudah ngegombal,” sungut Maya, meskipun sebenarnya hatinya sangat berbunga-bunga.

Masumi  bangkit, lalu bersender di kepala tempat tidur, meraih kekasihnya untuk duduk mendekat.

“Apakah pagi ini aku sudah mengatakan aku mencintaimu?” tanyanya kemudian.

“Hmmm~ sepertinya sudah,” jawab Maya, teringat kembali kemesraan mereka yang baru berakhir menjelang fajar menyingsing dimana baik dirinyamaupun Masumi, kerap mendesahkan kalimat tersebut.

“Tapi aku tidak keberatan mendengarnya lagi dari mulutmu,” lanjutnya kemudian seraya mengusap wajah tampan kekasihnya. “Seperti aku tak akan pernah bosan mengatakan aku sangat mencintaimu, Masumi Hayami.”

Masumi tersenyum dengan hati menggembung bahagia.

“Aku juga. Aku sangat-sangat-sangat  mencintaimu,  Maya Kitajima.”

Senyuman bahagia terukir dari bibir keduanya sebelum akhirnya mereka kembali tenggelam ke dalam ciuman yang menghanyutkan.

Masumi mengetatkan pelukannya. Terlintas mimpi buruknya tadi malam.

“Kalau acara kita ubah gimana?” Masumi membelai pipi Maya lembut. 

“Apa?”

“Kita tetap disini, sekarang kita turun sarapan, lalu nanti kembali ke sini, lalu turun untuk makan, kemudian balik ke kamar, lalu..”

“Apa yang bisa kita lakukan di sini?” potong Maya dengan kening berkerut heran.

“Yang bisa kita lakukan?” Masumi menyeringai jail. “Tentu saja banyak! Seperti…hmmm…”

“Seperti?” kening gadis itu kian berkerut heran saat Masumi menggantungkan kalimatnya. 

Masumi menatap mata bening Maya sesaat sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menciumi bibir ranum Maya.

“Seperti semalam.. seharian ini.. kita…,” bisiknya di sela ciuman. Sejenak Maya terpaku, terpesona oleh sentuhan lembut bibir Masumi di bibirnya. Tapi beberapa saat kemudian, wajahnya mulai memerah.

“Masumi!” protes gadis itu seraya menggeliat melepaskan diri. “Kau ini…”

Wajah yang memerah tersipu malu dan mata bening yang mengerjap gugup, sungguh kombinasi yang tak tertolakkan bagi Masumi.  Laki-laki itu mengeluh, lalu kembali meraih Maya ke dalam pelukannya.

“Salahmu sendiri,” gumamnya. 

“Pikiranmu yang mesum kenapa menyalahkan aku?” 

“Itu karena kau terlalu mempesona, Mungil. Kau tahu? Seringkali aku harus mati-matian menahan rinduku padamu jika sedang bekerja. Hhh… rasanya hampir gila.”

Masumi membelai wajah mungil Maya lembut. Tatapannya yang penuh cinta membuat Maya kian tersipu dengan rasa haru yang memenuhi dadanya.

Lengannya balas membelai wajah kekasihnya.

“Kau pun sangat mempesona, Masumi,” bisiknya. “Sampai sekarang, akupun masih tidak percaya, laki-laki sesempurna dirimu memilihku yang seperti ini.”

“Aku mencintaimu, Maya. Sangat,” bisik Masumi.

“Aku juga Masumi Hayami. Sangat mencintaimu.”

Tak butuh waktu yang lama bagi keduanya untuk kembali tenggelam ke dalam kemesraan yang dalam.

***

Keduanya baru turun untuk makan saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua. 

Kelaparan.

“Kau harus bertanggungjawab kalau sampai pencernaanku terganggu,” keluh Maya. Di depannya sudah terhidang burger steak kesukaannya, stup sayuran, kentang goreng, segelas jus, dan semangkuk spaghety.  

“Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya seumur hidupku,” sahut Masumi, menyempatkan diri untuk mengecup bibir Maya sebelum beranjak ke kursinya.

“Lagi pula, dengan nafsu makanmu yang luar biasa, aku ragu kau akan terkena penyakit pencernaan,” lanjutnya sambil terkekeh.

Maya merengut di kursinya.

“Ku anggap itu pujian,” ujarnya seraya mulai menyuap. Angin laut tidak terlalu kencang siang itu. Udara pun nampak sangat cerah. Makan di beranda dengan pemandangan seperti itu benar-benar membuat nafsu makan bertambah.

Maya makan dengan lahap. Masumi tersenyum lembut, tak  jemu memandang wajah manis di depannya.

‘Ughh..,” tiba-tiba Maya meringis, mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Gadis tu mendekap mulutnya untuk kemudian mencelat keluar dari kursinya dan berlari ke toilet.

“Maya?” Masumi refleks menyimpan sendok garpunya dan berlari menyusul. Namun pintu toilet keburu tertutup. Dari dalam terdengar suara Maya yang tengah mengeluarkan isi perutnya di sana.

“Mungil! Buka pintunya!!”

Masumi mengetuk pintu dengan khawatir.

Beberapa saat laki-laki itu menunggu. Terus mengetuk sambil memanggil kekasihnya sampai akhirnya pintu itu terbuka.

Maya keluar dengan wajah pucat dan berkeringat.

“Maya? Ah, sayang, maafkan aku,” Masumi langsung meraih tubuh Maya ke dalam pelukannya. “Aku terlalu egois sampai-sampai membiarkanmu telat makan seperti ini. Maaf, sayang. Maaf.”

“Sudahlah, aku tak apa-apa,” sahut Maya,mencoba menenangkan kepanikan Masumi.

“Aku akan panggil dokter sekarang!” Masumi merogoh sakunya untuk mengeluarkan handphone, namun lengan Maya mencegahnya.

“Tidak usah. Aku sudah tidak apa-apa, kok.”

“Tidak! Kau harus tetap diperiksa!”

“Masumii..!” Maya dengan cepat mengambil handphone dari tangan Masumi. “Sudah aku bilang aku baik-baik saja! Lagi pula, aku tidak mau kita diganggu kedatangan orang lain. Aku sedang ingin menikmati liburan ini berdua saja denganmu.”

“Sungguh kau akan baik-baik saja?” Masumi masih menatap Maya dengan kecemasan yang belum hilang dari wajah tampannya. Maya tersenyum. Berjingkat untuk mengecup bibir lelaki itu.

“Aku baik-baik saja, Masumi sama,”  jawabnya. “Kurasa tadi perutku hanya kaget. Salahku sendiri langsung makan sebanyak itu.”

“Sungguh?”

“Beneeer!! Ayo, aku masih mau menghabiskan makananku dulu. Setelah itu, kita jalan-jalan ke pantai, ya!”

Dengan riang, Maya menarik lengan kekasihnya kembali ke beranda.
Masumi baru bisa bernafas lega saat dilihatnya Maya meneruskan makannya dengan lahap. Ia pun kembali menekuni makanannya.

***

Malamnya, keluarga Takamiya kembali menelepon. Shiori histeris dan terus mencarinya. Bahkan jika saja saat itu bibi pengasuh tidak segera datang, Shiori mungkin sudah melukai diri sendiri lagi.

Masumi mendesah. 

Sungguh dia tidak ingin pergi. Tapi ia juga merasa tidak enak membiarkan keluarga itu terus memohon memintanya untuk datang.

“Masumi, aku..,” Maya yang baru keluar dari kamar mandi tertegun melihat wajah resah kekasihnya.  Terlambat bagi Masumi untuk mengembalikan ekspresi santainya.

Maya melirih handphone yang masih ada dalam genggaman Masumi.

“Ada apa?” tanyanya seraya berjalan mendekat. Masumi menariknya untuk duduk. “Ada masalah?” tanya Maya lagi.

“Tidak,” geleng Masumi. “Tidak ada apa-apa.”

Maya memandang tak percaya.

“Apa tentang nona Shiori?” tebaknya telak. Masumi terdiam.

“Apa dia mencarimu lagi?”

“Kakeknya bilang dia mencoba untuk melukai diri sendiri lagi,” jawab Masumi setelah beberapa lama terdiam.

Maya mendesah. Hatinya pun mendadak resah.

“Temuilah dia,” ujar gadis itu pelan. Meski hatinya tak rela Masumi pergi, tapi dia juga tidak bisa membiarkan lelaki itu gelisah karena dia tahu, sebenarnya Masumi berhati sangat lembut. Bagaimanapun Masumi merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi dengan Shiori.

“Tidak, aku…,” Masumi menggeleng, lalu tiba-tiba teringat kalau Maya akan mengatakan sesuatu tadi. “Tadi kau ingin mengatakan apa?” tanyanya kemudian.

Maya menatapnya dalam. Ada sesuatu dari cara memandang gadis itu yang membuat hati Masumi berdesir pelan.

Dilihatnya gadis itu tersenyum lembut.

“Tidak, aku hanya ingin mengajakmu melihat bintang di beranda tadi.”

“Kalau begitu ayo!” Masumi tersenyum dan berdiri sambil menarik lengan Maya.

Gadis itu bergemig.

“Maya?”

“Temuilah nona Shiori,” ujar Maya pelan.

“Aku akan menemuinya besok.”

“Dan kau akan tidak akan tidur nyenyak malam ini karena merasa khawatir,” sergah Maya.

“Kau benar-benar ingin aku pergi?” kali ini Masumi merengut tak suka. Maya berdiri dan memeluk tubuh tegap lelaki itu. Disenderkannya kepala di dada Masumi yang bidang.

“Bukan begitu,” bisik Maya. Suaranya sedikit bergetar karena kesedihan yang tiba-tiba menyergap entah dari mana. “Aku tidak mau kau pergi sebenarnya. Apalagi untuk menemui nona Shiori. Tapi aku mengkhawatirkanmu. Aku tahu hatimu sangat lembut. kau akan merasa sangat tidak tenang sebelum memastikan Nona Shiori akan baik-baik saja.”

“Maya…,”Masumi balas merengkuh tubuh mungil kekasihnya erat. Betapa ia semakin mencintai gadis ini.

“Baiklah,” akhirnya lelaki itu mengangguk. “Aku akan menemuinya.”

Maya tersenyum. 

Tak sampai setengah jam, Masumi sudah siap. Heran melihat Maya yang masih duduk di depan televisi tanpa mengganti bajunya.

“Maya? Mengapa kau tidak ganti baju?”

“Kau tidak keberatan kalau aku di sini malam ini?” tanya gadis itu. “Besok pagi aku bisa pulang pakai bis.”

“Kau masih ingin di sini?” 

Maya mengangguk. “Tidak apa, kan?” tanyanya sekali lagi.

Sejenak Masumi menimbang-nimbang. 

“Baiklah,” putusnya kemudian. “Tapi tidak kuijinkan kau naik bis. Aku akan meminta Hijiri menjemputmu besok.”

Maya mengangguk. Mengantar kekasihnya ke mobil. Mati-matian menahan air mata yang sedari tadi mengancam turun. Entah mengapa, hatinya berdebar tidak tenang. Padahal bukan pertama kali Masumi terpaksa harus mengakhiri acara mereka karena masalah Shiori. 

Langkahnya mandeg di beranda. Dipandanginya punggung kekasihnya yang menuruni anak tangga.  Tak berani untuk mendekat karena yakin, ia tidak akan tahan untuk tidak menangis.

Menyadari Maya tidak mengikuti, Masumi membalikkan tubuh. Seketika dadanya bergetar melihat betapa sendu wajah mungil itu menatapnya.

“Maya, ada apa?”

Dilihatnya Maya menggeleng seraya tersenyum. Gadis itu nampak sekali berusaha sekuat tenaga untuk memasang wajah ceria, meski hal itu sia-sia. 

Masumi tahu, di luar panggung dan film, Maya sama sekali tidak bisa berakting!

Kembali dada Masumi bergetar. Perasaan tidak rela meninggalkan gadis itu semakin kuat. Dengan cepat laki-laki itu berlari menaiki tangga kembali dan meraih tubuh kekasihnya ke dalam pelukan. Memeluknya erat.

Dirasakannya Maya balas memeluk erat. Gadis itu terisak di dadanya.

“Besok aku akan menemuimu segera begitu pekerjaanku selesai,” Bisik Masumi menenangkan. Kepala mungil itu mengangguk-angguk di dadanya.

Mereka berpelukan cukup lama. Masumi lalu merenggangkan pelukannya dan meraih dagu gadis itu agar menatapnya. 

Wajah Maya basah bersimbah air mata.

“Maafkan aku,” Maya memaksakan sebuah senyum. “Aku sendiri tidak tahu mengapa mendadak cengeng begini.”

Masumi menggeleng. “Jangan minta maaf,” bisiknya seraya memangut bibir Maya. Maya merangkulkan lengannya di leher Masumi dan mulai membalas ciuman lelaki itu. 

Keduanya berciuman lama. Masing-masing seolah ingin menyalurkan perasaan cinta yang mereka miliki melalui ciuman mereka, berharap sang kekasih bisa merasakannya dengan jelas, betapa dalam cinta yang dimiliki.

Maya yang pertama melepas bibir mereka, dengan terengah.

“Nanti kau terlalu malam sampai di sana.

Bisikannya dibalas oleh bibir Masumi yang kembali memangutnya dalam.

Kembali mereka berciuman.

“Masumii..,’ desah Maya. Mendorong dada kekasihnya. “Sudah. Pergilah.”

Masumi menghela nafas tak rela. “Baiklah,” bisiknya kemudian. “Tunggu aku besok. Jangan kemana-mana.”

Maya mengangguk.

Masumi dengan enggan kembali turun menghampiri mobilnya. Berkali-kali menoleh ke belakang untuk melihat kekasihnya.

Kakinya berat saat terpaksa menginjak pedal gas. 

Sekali lagi ia berhenti, membuka jendela mobil dan melambai ke arah Maya yang masih berdiri di beranda. Gadis itu membalasnya dengan senyum di bibir.

Akhirnya, Masumi memaksakan diri untuk mengendarai mobilnya meninggalkan vila di mana kekasihnya masih berdiri di sana.

***

Masumi menghela nafas. Tanpa disadari, matanya sudah basah. Tak pernah disangkanya, malam itu adalah malam terakhir dirinya melihat gadis mungil belahan jiwanya itu. Pernikahannya dengan Shiori tak terelakkan. Perasaan bersalah melihat keadaan gadis itu, juga tekanan dari banyak pihak, termasuk media, membuatnya terpaksa menikahi Shiori seminggu kemudian. Masumi menguatkan hati untuk tidak menemui Maya. Mengacuhkan telepon dan SMS dari gadis itu seraya menyembunyikan kepedihan hatinya yang remuk redam.

Kepergiannya ke Inggris bahkan tidak bisa menghapus semua. Setiap hari, pikirannya tak pernah lepas dari bayangan Maya. Membuat hari-harinya terasa sangat panjang dan menyedihkan. Penyesalan, dan kerinduan pada gadis itu tak tertahankan. Meski telah menikahi Shiori, dirinya tak pernah sekalipun berusaha untuk memperlakukan perempuan itu layaknya sebagai seorang istri. Masumi sadar, cintanya sudah seluruhnya ia berikan pada Maya sehingga hatinya tak menyisakan tempat sedikitpun untuk perempuan lain. Sampai akhirnya, setelah dua tahun, Shiori tak tahan lagi dan akhirnya mengajukan perceraian. Perempuan itu mungkin akhirnya menyadari, meski Masumi telah menikahinya, tak pernah sedetikpun laki-laki itu memperhatikannya. Ditambah dengan kesibukan Masumi mengurusi perusahaan, mereka tak ubahnya dua orang asing yang hidup dalam satu atap. 

Dipandanginya langit yang penuh bintang.

Maya sangat menyukai melihat bintang dari balkon ini, kenang Masumi dengan senyum tipis mengembang di bibirnya. Dimana sekarang kau, Mungil? Apakah malam ini kau sedang memandangi bintang juga? Pikirnya sendu.

Sudah sebulan kembali ke Jepang, namun kabar tentang Maya tak juga dia terima. Masih lekat dalam ingatannya, bagaimana terkejutnya dia saat tahu Maya Kitajima menghilang dua tahun yang lalu. Tak ada seorang pun yang tahu dimana gadis itu sekarang berada. Tidak juga dengan teman-teman dekatnya. Bahkan Hijiri sampai sekarang tidak bisa melacak keberadaan Maya.

“Dimana kau, Maya?” bisik Masumi. Setitik air mata melompat turun membasahi pipinya. “Kau harus baik-baik saja, Sayang. Kumohon, kau harus baik-baik saja. Sebab jika tidak…,” tubuh laki-laki itu kembali gemetar. Menggedikkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran buruk yang melintas. 

Setelah menyadari kalau memandangi lautan luas dan bintang-bintang tak juga meredakan keresahan hatinya, Masumi memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun suasana kamar yang tak berubah sedikitpun sejak dia tinggalkan dua tahun yang lalu justru membuatnya kembali mengingat sosok Maya. Kamar ini dipenuhi kenangan manis kebersamaan mereka. 

Masumi mendesah. Matanya kembali panas saat berlabuh di meja rias di sudut kamar. Meja rias itu sengaja dibelinya saat mereka seringkali menghabiskan akhir minggu bersama. Beberapa peralatan make up Maya bahkan masih rapi berjajar di atasnya. Pengurus villa rupanya tidak berani untuk membuangnya dan membiarkan semua peralatan itu tetap di sana. 

Seraya menggigit bibir untuk menahan gejolak hatinya, jemari Masumi menyentuh peralatan make up itu satu satu. Berharap bisa merasakan kehangatan jemari Maya yang juga pernah menyentuh mereka. Lengannya lalu beranjak menarik laci. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak kecil panjang berwarna biru tergeletak di sana. Sebuah pita yang terikat di tutupnya menandakan bahwa kotak itu disiapkan sebagai kado.

Kebersamaan terakhir mereka dua tahun yang lalu, berjarak hanya dua hari dari ulang tahunnya.

“Mungkinkah?” desisnya setengah tak percaya.
Lengannya gemetar saat meraih kotak itu dan membukanya. Sebuah dasi sutra berwarna biru lembut lengkap dengan penjepit dasi terlipat manis di sana. Kartu mungil berbentuk hati menyertai kedua benda itu.

Selamat Ulang Tahun, Belahan Jiwaku. Semoga kado kecil dariku ini selalu mengingatkanmu, bahwa aku akan selalu berada dekat di hatimu.
Love
Maya

Air mata tanpa bisa ditahan lagi mengalir turun.

“Mayaa~ sayangku,” Masumi meraih dasi itu dan mendekapnya erat dengan air mata mengalir deras. Hatinya berdenyut sakit.

Saat itulah, sebuah gulungan kertas terjatuh dari kotak. Rupanya kertas itu diselipkan tepat di bawah lipatan dasi.

Masumi membungkuk untuk meraihnya.

Sesaat setelah matanya menelusuri kata demi kata yang tertulis di sana, tubuhnya  bergetar hebat.

“Ini? Tuhanku, tidak…. ~,” suaranya tercekik oleh tangis yang kian kuat menyesakkan dada. “Mayaaaaaa…. ,”

Laki-laki itu jatuh terduduk dengan wajah pucat. Apa yang dibacanya membuatnya ingin menjerit keras. Kepedihan dan rasa sakit kian memilin hatinya. Penyesalan atas keputusannya dua tahun yang lalu semakin kuat mencengkram.

“Inikah alasannya kau menghilang?” dibacanya kembali keterangan yang tertulis di kertas itu.

____berdasarkan hasil pemeriksaan, Nona Maya Kitajima positif hamil 5 minggu___

“Mayaaaaa~,” Masumi kembali merintihkan nama kekasihnya. Air mata semakin deras membasahi pipi laki-laki itu.

“Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku!”

Untuk beberapa saat Masumi tenggelam dalam tangis, sebelum akhirnya, seperti orang gila, laki-laki itu menghambur ke luar, meraih kunci mobilnya, dan tanpa peduli saat itu sudah lewat tengah malam, memacu mobil meninggalkan keremangan semenanjung Izu di belakangnya.

Malam itu ingin rasanya Masumi mengobrak-abrik seluruh Jepang, agar dapat segera menemukan belahan jiwanya yang kini entah berada di mana.

***

Eisuke memandang anak angkatnya dengan kening berkerut. Menurut laporan para pelayan, Masumi baru pulang sejam yang lalu setelah dua hari pergi. Dan kini, laki-laki itu nampak sudah kembali siap berangkat.

Wajah Masumi nampak sangat pucat.

“Kau akan ke kantor jam segini?” diliriknya jam dinding antik yang berdiri di sudut ruangan. Masih jam 7 pagi.

“Aku tidak akan ke kantor,” jawab Masumi dingin. 

“Apa~kau masih mencari gadis itu, Masumi?”

Masumi tak menjawab. Meskipun begitu, Eisuke tidak memerlukan jawaban apapun. Sejak kembali dari London sebulan yang lalu, ia tahu, Masumi terus mencari keberadaan Maya.

“Masumi, ada yang harus kita bicarakan.”

“Aku tidak punya waktu, Ayah,” potong Masumi cepat. “Aku pergi.”

Eisuke hanya mampu terdiam seraya menatap punggung anak angkatnya itu yang menghilang di balik pintu. 

Tubuh Masumi jauh lebih kurus dibanding dua tahun yang lalu. Wajahnya pun nampak semakin dingin dan tanpa ekspresi. Meski tidak banyak berbincang dengannya, namun Eisuke dapat merasakan, kepedihan yang ditanggung Masumi dalam dua tahun terakhir. Selama ini, entah apa yang membuat dirinya tutup mata pada kenyataan tersebut. Dan sekarang, di usianya yang semakin renta, Eisuke mulai menyesali apa yang terjadi dua tahun yang lalu. 

Ia masih ingat, betapa renyahnya tawa Masumi dan betapa berbinar matanya yang biasanya dingin itu saat Masumi masih bersama Maya. Dan betapa inginnya dirinya melihat semua itu sekali lagi.

“Apa yang harus aku lakukan, Asa?” keluhnya pada pelayannya yang setia.

“Kebenaran, Tuan. Anda harus mengatakan kebenarannya pada Tuan Masumi.” 

“Dia pasti akan semakin membenciku.”

Asa terdiam. Rasanya ia tidak perlu mengemukakan pendapatnya karena dirinya yakin, Eisuke Hayami tidak memerlukan sebuah pendapat. 

Itulah harga yang harus dibayar atas semua yang sudah dilakukan di masa lalu!

“Siapkan mobil, Asa. Aku ingin menemuinya sekarang.”

Asa menatap majikannya dengan ragu.

“Tapi, Tuan?”

“Aku harus menemuinya, Asa. Sudah lama sekali aku tidak menengok gadis itu.”

“Baiklah, Tuan. Mobilnya akan segera saya siapkan.”

“Siapa yang ayah maksud gadis itu?”

Sebuah suara membuat keduanya terkejut. Masumi nampak berdiri di ambang pintu dengan wajah sedingin es.

“Masumi? Bukankah kau sudah pergi? Mengapa kembali lagi?”

Masumi mengacuhkan pertanyaan ayah tirinya.

“Siapa yang akan ayah temui? Siapa yang gadis yang akan ayah temui itu?”

“Masumi…” Eisuke tergagap.

“Katakan padaku, Ayah. Apakah gadis yang ayah maksud itu ~ Maya?

Eisuke sadar, tak ada gunanya lagi mengelak.

Perlahan kepala tua itu mengangguk. “Kau benar. Gadis yang akan aku temui adalah~ Maya.”

“Selama ini ayah sudah tahu dimana Maya berada?” Masumi mendekat dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Eisuke kembali mengangguk.

“Sejak kapan?” 

“Masumi~”

“Sejak kapan ayah tahu  Maya ada di mana?!” Suara Masumi meninggi kini. 

“Sejak lama, Masumi. Sejak kau pergi ke London.”

“Jadi~” Masumi menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Jadi berarti selama ini, ayah juga tahu, kalau Maya~sedang ~ sedang mengandung anakku?”

Masumi menatap nanar saat Eisuke mengangguk pelan.

“Ayah tahu, Masumi.”

“Dan ayah tidak mengatakannya padaku?” suara Masumi terdengar penuh tuntutan.

“Maafkan ayah, Ayah hanya…,” Eisuke tak tahu lagi harus berkata apa pada anaknya itu. Melihat Masumi berdiri di depannya dengan wajah pucat dan tubuh gemetar yang seolah siap meledak, begitu mengiris hati tuanya. 

“Hanya demi kekuasaan dan kekayaan, Ayah tega melakukan ini padaku, pada Maya, pada anak kami?!”

Sebuah pemikiran mendadak melintas di pikiran Masumi. Dipandanginya wajah ayah angkatnya dengan dada berdebar keras.

“Jangan-jangan~ ayah berada di belakang menghilangnya Maya dua tahun ini?” tanyanya lagi dengan pandangan menusuk tajam. “Ayah kah yang membuatnya pergi dari Tokyo?”

Eisuke mngehela nafas dalam. Terbayang saat dirinya menemui gadis itu dua tahun yang lalu. Dengan sedikit ancaman dan tekanan, berhasil membuat Maya pergi meninggalkan Tokyo.

Masumi mengepalkan lengan. Menahan semua amarah yang kini bergolak hebat. Ingin rasanya ia menghancurkan lelaki tua yang ada di depannya ini dengan tangannya saat ini juga. Namun dia sadar, hal itu sama sekali tidak berguna.

“Katakan dimana Maya sekarang?” tanyanya dingin.

Eisuke terdiam, menghela nafas dalam dengan lelah.

“Masumi~ sekarang gadis itu ada di…”

“TUAN!!” tiba-tiba suara teriakan Asa terdengar diiringi kemunculannya di pintu. Saat Masumi datang, diam-diam lelaki itu beranjak pergi, membiarkan ayah dan anak itu bicara berdua saja.

Wajah Asa nampak pucat. Nafasnya terengah.

“Ada apa, Asa?”

“Sapporo, Tuan. Sapporo dilanda gempa,” jawab Asa dengan panik. Asisten setia itu kemudian mendekati TV 49 inch yang ada di ruangan tersebut dan menyalakannya. Gambar sebuah tempat yang nampak hancur berantakan segera terpampang di sana.

“ Ya, Tuhaaan..,”  Eisuke mendesis dengan wajah pucat. Tubuh laki-laki itu nampak gemetar.

“Asa, cepat kau siapkan mobil! Kita harus segara pergi ke sana.”

“Baik tuan,” Asa segera menghilang di balik pintu.

Masumi melihat kepanikan ayah angkatnya dengan heran.

“Kenapa ayah nampak begitu panik?”

“Masumi,” Eisuke menatap wajah Masumi seraya, mengantisipasi reaksi lelaki itu. “Maya~tinggal di Sapporo.”

Detik itu juga, Masumi merasakan dunia seakan berputar semakin lambat.

***

Rumah itu sudah rata dengan tanah.

Masumi menatap reruntuhan rumah Maya dengan dada berdegup kian kencang.

“Kau yakin ini rumahnya, Paman Asa?” desisnya pada asisten ayahnya. Asa mengangguk. Sementara Eisuke tertatih mencoba mendekati reruntuhan.

“Semoga mereka baik-baik saja,” bisik Eisuke. Meski dengan melihat keadaan rumah itu sekarang, dia sangsi, Maya dan cucunya akan baik-baik saja.

Hal yang sama ada di pikiran Masumi. Kepanikan luar biasa yang menguasai hatinya sejak mengetahui Maya ada di Sapporo semakin kuat mencengkram. 

“Jangan biarkan hal-hal yang buruk menimpa mereka, Tuhan,” pinta hatinya berulang-ulang. “Ijinkan aku untuk melihat mereka, untuk bersama mereka, kumohoon.”

Masumi terus mengucapkan permohonannya sepanjang perjalanan menuju rumah sakit darurat, tempat dimana para korban di evakuasi. Dengan panik laki-laki itu berlari ke bagian informasi, menanyakan keberadaan belahan jiwanya.

Kenyataan membuat laki-laki itu kian terperosok ke dalam lembah duka yang teramat dalam.

Nama Erika Kitajima, tertulis sebagai korban tewas dalam gempa bumi itu.

Dengan langkah terhuyung, Masumi mendekati sosok tubuh mungil yang tertutup kain putih, yang kini terbaring diantara jenazah lainnya. 

Lengannya bergetar saat membuka kain penutup wajah si jenazah. 

Seraut wajah mungil, berhidung seperti dirinya, berambut ikal seperti miliknya, dan berbibir tipis namun  tegas seperti bibirnya terpampang jelas. Mata berbulu lentik itu terpejam erat. Meski pucat, dengan darah mengering di kepalanya, wajah itu nampak sangat cantik dalam tidur abadinya.

Eisuke menahan tangisnya di belakang Masumi. Cucu mungil yang hanya pernah dilihatnya dua kali itu kini terbujur kaku di depannya.

“Erika,” didengarnya Masumi berkata dengan suara bergetar. “Bangun, Nak. Papa sudah datang sayang.”

Eisuke memejamkan mata. Tak tahan melihat cara Masumi membelai pipi putrinya.

“Erika,” Masumi tersenyum pada sosok kaku di depannya. “Bangunlah, Sayang. Ayo bangun,” dengan kekuatan yang masih tersisa, Masumi meraih tubuh dingin itu ke dalam pelukannya. Dipeluknya tubuh itu erat seraya tak henti membelaii wajah putrinya. 

“Buka matamu, Nak. Papa ingin melihat matamu,” bisik Masumi. Diciumnya pipi dan mata putrinya berulang-ulang. Air mata bercucuran tanpa bisa dicegah. “Lihat papa, sayang. Papa sudah pulang. Papa sudah kembali. Papa janji, tidak akan meninggalkan Erika dan mama sendirian lagi. Papa janji, Nak.”

Masumi membelai rambut ikal putrinya. 

“Ayo buka matamu, Erika... Lihat papa! Panggil papa! Papa mohon sayang. Ayo nak. Jangan begini.”

Masumi menangis. Terus menciumi wajah putrinya. 

“Erika harus bangun yuk, Nak. Kita pergi jalan-jalan. Papa, Mama, dan Erika. Kita berenang, kita ke Disneyland. Papa akan belikan mainan yang banyak buat Erika. Kita makan es krim cokelat. Erika suka es krim cokelat, kan? Mama sangat suka makan es krim itu. Kita makan sama-sama nanti ya, Sayang. Ayo, Erika bangun sekarang, ya?” Seolah yakin Erika akan terbangun oleh semua perkataannya, Masumi terus berceloteh pada tubuh kaku dalam pelukannya.

“Masumi, sudah. Erika sudah pergi,”  Eisuke mendekat.

“Tidak!” geleng Masumi cepat. “Aku baru menemukannya.  Kami baru bertemu. Aku tidak ingin meninggalkannya,” tubuhnya kian erat memeluk jenazah putrinya.

“Masumiii.”

Tak tahan lagi, Eisuke meminta Asa untuk membawanya pergi dari tempat itu. Meninggalkan Masumi yang terus mencoba berbicara dengan jenazah putri kecilnya.

Setalah beberapa lama, Laki-laki itu  baru bersedia meletakkan kembali jenazah Erika. Itupun setelah dokter membujuknya. 

Dengan perasaan hancur, Masumi akhirnya harus menerima kenyataan, bahwa putri yang baru ditemuinya itu sudah meninggal. Laki-laki itu merunduk untuk mencium wajah putrinya sekali lagi sebelum dengan pasrah membiarkan Asa menyeretnya menjauh.

Saat itulah, sesosok tubuh mungil, dengan kepala dibalut perban  menghambur masuk. Seorang perawat berlari di belakangnya.

Masumi terpaku di tempatnya berdiri. Matanya kembali memanas.

Mayaaa…

“Nona! Hati-hati! Anda~,” kalimat perawat itu menggantung demi melihat sosok mungil itu memburu sosok mungil  Erika. 

“Tidak, Erika..,” terdengar suara Maya bergetar hebat. Sedetik kemudian Maya menjerit histeris seraya memeluk tubuh putrinya. 

Masumi memejamkan matanya. 

Suara tangisan Maya mencabik hatinya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Tak lama kemudian, suara pekikan membuat Masumi kembali membuka mata.
Nampak beberapa perawat menghambur ke arah Maya yang kini terkulai lemas di samping jenazah Erika.

Masumi melompat, mendahului semua, meraih Maya. 

Dengan segenap kerinduan dan penyesalan yang kian menyesakkan, Masumi mendekap erat tubuh yang kini tak sadarkan diri itu.

Saat itulah, ia teringat mimpi buruk yang kerap menghiasi tidurnya belakangan ini. 

Erika…

Nama putrinya sama persis dengan nama yang selalu terngiang dalam mimpinya. Seketika tubuhnya membeku. 

Gambaran sebuah nisan terbayang jelas. 

Ada dua nama yang terukir di sana. 

Masumi mengetatkan pelukannya.

Itu hanya mimpi, bisiknya ketakutan. Itu hanya mimpi. Tak akan aku biarkan Maya meninggalkanku juga…

***

Masumi membawa jenazah Erika ke Tokyo. Juga memindahkan Maya yang masih tak sadarkan diri ke rumah sakit di Tokyo. 

Masumi tidak ingin tubuh Erika dikremasi. 

Sepanjang malam, di rumah duka, Masumi tak mau beranjak dari sisi peti jenazah Erika. Dibelinya baju tercantik dan termahal untuk dipakaikannya di tubuh mungil Erika. Juga banyak mainan yang diletakkan di sekeliling tubuh anak itu di dalam peti.

Laki-laki itu sempat menolak saat peti jenazah hendak ditutup.

“Sudah waktunya dimakamkan, Pak Masumi,” bisik Mizuki. Sekretaris handal itu yang mengurus semua proses pemakaman Erika.

“Sebentar lagi,” bisik Masumi. “Biarkan aku bersamanya sebentar lagi, Mizuki,”sahut Masumi pelan. Lengannya masih saja membelai pipi putrinya, seolah ingin mencurahkan semua cinta dan kasih sayangnya yang belum sempat dirasakan Erika di masa hidupnya yang hanya satu tahun itu.

Namun saat waktu tak mungkin ditunda lagi, dengan berat hati Masumi merelakan peti itu ditutup. Laki-laki itu bahkan terus berlutut di samping makam Erika, lama setelah penziarah terakhir pergi.

Dibelainya nisan yang kini berukirkan nama putrinya:

Erika Hayami

Air mata masih juga belum kering dari pipi laki-laki itu.

 “Kau pasti sekarang sudah menjadi bidadari paling cantik di surga sana, Sayang,” senyumnya. “Papa harap kau tahu, betapa papa sangat mencintaimu, Erika.” Dikecupnya setangkai mawar ungu yang sejak tadi dia pegang, untuk kemudian diletakkan di atas pusara Erika. “Papa akan selalu datang menjengukmu. Papa janji,” bisiknya lagi sebelum akhirnya beranjak dari tempat itu.

Angin dingin menghembus menyertai langkah kaki Masumi keluar dari komplek pemakaman. Menelusup ke dalam hatinya yang masih terus mengeluarkan darah, perih.

***

Masumi berlari sepanjang lorong rumah sakit. Berita yang baru diterimanya membuatnya tak sabar untuk segera sampai di tempat dimana Maya dirawat.

Nona Maya baru saja tersadar!

Suara dokter yang memberitahunya via telepon setengah jam yang lalu membuatnya segera meninggalkan ruang rapat dan memacu mobilnya secepat mungkin menuju rumah sakit.

Dibukanya pintu kamar perawatan Maya dan mendapati perempuan itu tengah duduk termenung di tempat tidurnya, menatap jauh ke luar jendela.
Masumi merasakan dadanya berdegup kencang. Akhirnya, Mayanya tersadar juga!

“Maya?” panggilnya seraya mendekat. 

Perlahan, kepala cantik yang masih terbalut perban itu menoleh. Mata bulatnya melebar. Ekspresinya nampak seperti kanak-kanak yang terkejut melihat kedatangan sosok asing yang tidak dikenalnya.

Masumi mulai cemas melihat cara Maya memandangnya.

“Maya,” panggilnya lagi. Dilihatnya kening gadis itu berkerut. “Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”

“Anda ~ siapa?” 

Pertanyaan yang keluar dari mulut Maya membekukan tubuh Masumi seketika.
“~ dan… siapa ~ Maya?”

Kini,  Masumi benar-benar terpaku di tempatnya berdiri. 

***

Amnesia…

Dalam keremangan ruangan, Masumi memandangi wajah Maya yang kini terlelap. Setelah mendengar penjelasan dokter tadi,  ia kembali ke ruangan tempat Maya di rawat dan mendapati perempuan itu sudah terlelap. 

Sampai kini, ia belum beranjak dari sisi tempat tidur Maya.

“Apa yang sudah terjadi selama ini pasti sangat menyakitimu, Maya. Sampai-sampai kau memutuskan untuk melupakan semua,’ bisiknya. Kepedihan semakin terasa karena semua kejadian menyedihkan yang dialami gadis itu disebabkan oleh dirinya. 

Meminta maaf seumur hidup pun rasanya tak akan bisa menghapus semua penderitaan yang sudah dia timbulkan dalam hidup gadis terkasihnya itu.
Masumi mengusap matanya yang basah.

“Setidaknya beri aku kesempatan untuk terus bersamamu selama hidupku, Maya,” bisik Masumi seraya merunduk untuk mencium bibir gadis itu.

Gerakannya terhenti saat Maya tiba-tiba mengerang dan bergerak gelisah untuk kemudian tersentak bangun.

Cepat, Masumi menarik kepalanya menjauh. 

Mata bulat Maya mengerjap cepat, sesaat terlihat bingung. Lalu pelan tubuh itu bergerak bangun.

“Anda masih di sini?” tanya Maya kemudian. Masumi mengangguk.

“Aku akan menemanimu malam ini,” jawabnya kemudian.

Maya terlihat mengerutkan keningnya.

“Kenapa? Apakah anda keluarga saya?”

Masumi tersenyum. “Bukan,” gelengnya. “Aku ~ adalah fans beratmu.”

“Fans berat?” Maya menatap lelaki di depannya dengan bingung. “Apakah saya seorang aktris?”

“Kau aktris hebat, Maya Kitajima. Tapi bagiku, kau lebih dari seorang aktris.”
“Maya Kitajima? Jadi benar itu namaku,” gumam Maya. Masumi diam-diam menekan kesedihannya. 

“Eh, anda tahu namaku. Tapi saya belum tahu nama anda,” tiba-tiba gadis itu menoleh, menatap tajam wajah tampan di depannya. Entah mengapa, dadanya berdebar halus saat melihat wajah yang kini balas menatapnya dengan pandangan yang sangat lembut itu.

“Maaf,” Maya merasakan wajahnya memanas oleh tatapan Masumi. “Bukan bermaksud menyinggung anda. Tapi sekarang, otakku sekarang tidak bisa diajak bekerja sama. Jangankan mengingat orang lain, bahkan nama sendiripun aku lupa,” ringisnya. 

“Aku mengerti,”ujar Masumi cepat. “Aku akan membantumu mengingat semua.”
“Sungguh?” 

Ingin rasanya Masumi mengecup mata yang kini nampak berbinar di depannya itu.

Pelan laki-laki itu mengangguk.

“Sebagai langkah awal, aku akan memperkenalkan diri ~ lagi ~ padamu,” diulurkannya lengannya ke depan Maya.

Gadis itu  tergelak mendengar perkataan Masumi. Lalu ikut mengulurkan tangan menyambut lengan Masumi.
 
“Baiklah,” ujarnya riang.

“Namaku Masumi Hayami.”

Desiran aneh kembali merayapi hati Maya saat mendengar nama itu, dan semakin kuat terasa saat mereka berjabatan tangan. 

“Kyaaa!” Maya terpekik kaget.

 Tiba-tiba Masumi menariknya hingga dia  berada dalam pelukan laki-laki itu  kini.

“Hayami ~ san?” Maya tersentak kaget. Sebuah bayangan melintas cepat di pikirannya. 

Eh, apa kami pernah berpelukan sebelumnya?

Namun bayangan itu kembali menghilang.

Sementara Masumi, kian erat mendekap tubuh mungil Maya. 

“Jangan khawatir, Mungil,” bisiknya di telinga Maya. “Aku akan membantumu mengingat semuanya, meski harus kuhabiskan waktu seumur hidupku untuk melakukannya.”

Maya termangu dalam pelukan Masumi.  

Perasaan apa ini? Pikirnya gelisah. Pelukannya begitu nyaman, begitu menenangkan, dan betapa aku ~ merindukannya?

Maya terjengit dalam pelukan Masumi.

Apakah~aku~mencintai laki-laki ini?

Tanpa disadarinya, lengannya terangkat untuk balas memeluk tubuh tegap Masumi.

Jantung Masumi berdebar keras  saat merasakan lengan Maya terangkat, balas memeluk tubuhnya.

Akan kubantu kau mengingat rasa cintamu padaku, Maya, dan mengingat kembali betapa aku sangat mencintaimu, batin Masumi

Dipejamkannya mata. Menikmati hangat tubuh Maya dalam dekapannya.

Mungkin ini kesempatan yang diberikan Tuhan kepadaku untuk memperbaiki semua sekali lagi.

Sekali lagi…



The end




12 komentar:

  1. Bikin sekuelnyaaaaa......blm puas...hehehe...

    BalasHapus
  2. Huaaaaaaaa...... T__T Bacanya smpai menitikkan airmata deg2an pula. Kasian Maya sma Masumi. Sekian lama pisah masa smpe harus kehilangan anak. Ga relaaaaa. Bikin sekuelnya donk sis biar bsa puas.

    BalasHapus
  3. *sigh* untung cuma mimpi
    napasku sesak melihat masumi histeris pas taw maya + erika mati
    huhuhu... walo cm mimpi, tp terasa nyata

    gud job sis avira
    waiting for d sekuel

    kl maya sudah mendapatkan memorinya kembali
    tentu tidak dengan mudah dia menerima masumi kembali >.<

    BalasHapus
  4. huwaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,, hepi endinggg........... apakah ada sekuelnya buat bikin momongan lagi... hihihihi... mantap.. sukaaaaaaaaaaaaaaaaaa bgd...

    BalasHapus
  5. huhuhuhu sukses ni ff bikin aku nangis T_________T untung cm mimpi
    sekuel pliss *puppy eyes*

    BalasHapus
  6. hueeeeeeeeeeeeeeeee.......!! paling ga bisa baca ttg anak kecil apalagi balita meninggaalll ToT

    BalasHapus
  7. sukses ff nya bikin dadaku sesak , wah maya amnesia , ayo donk bikin sekuelnya cara masumi membuat maya ingat lagi dan bikin momongan lagi.....

    BalasHapus
  8. wajib bkn sekuelnya.hrs bahagia. berikan mrk kesempatan bahagia n mendapatkan momongan baru sbg ganti erika. gapapa nunggu ampe DDO selesai juga. I really love your story *tati

    BalasHapus
  9. summer romance berakhir sedih...

    *dan makin hancurlah mood saya X(

    BalasHapus
  10. * kegelapan mode on *

    dan kemudian bersama berlalunya waktu ,
    maya mendapatkan ingatannya kembali
    dan dia membenci masumi
    karena telah meninggalkannya
    dan karena kematian erika

    akhirnya mereka berpisah ....

    yeahhhhhh * throws confetti n flowers *

    BalasHapus
  11. lanjutin doonngg sis evita,,
    bikin sekuelnya,,,

    BalasHapus
  12. sedih banget.. "Masumi meraih tubuh dingin (Erika)itu ke dalam pelukannya. Dipeluknya tubuh itu erat seraya tak henti membelaii wajah putrinya." langsung nangis.. pagi2 sudah banjir airmata..

    lanjut sis...

    BalasHapus