Minggu, 04 Desember 2011

Daddy’s Day Out part 5




 He? Cek?

Cepat diputarnya lensa untuk mendapat gambar yang lebih jelas.

Untuk apa Shiori Takamiya memberikan cek pada laki-laki itu?

Sambil terus mengambil gambar, pikirannya berkecamuk. Apakah mereka terlibat sebuah bisnis?

Kamera kemudian terarah pada keluarga Hayami yang kini tengah berjalan ke arah stasion monorail. Sosok seorang perempuan mungil bersama mereka.

Rupanya Nyonya Hayami sudah bergabung, senyum laki-laki itu. 

Kini dia mendapat penjelasan dari mimik tidak suka Shiori yang beberapa kali tertangkap kameranya.

Istri versus mantan tunangan.. ha..ha.. kian menarik!!

Diambilnya zoom mode saat membidik pasangan Hayami yang berada jauh di depannya. Keluarga itu tengah mengantri di depan loket monorail.  Masumi Hayami nampak mendekap tubuh sang istri seraya sesekali mencuri kecupan di pipi perempuan itu.

Hhhh… membuat iri saja!  Gerutunya. Namun tak ayal diambilnya gambar mereka sekali lagi sebelum kembali meneropong Shiori Takamiya.

Eh? Kemana laki-laki itu?

Laki-laki yang tadi bersama Shiori sudah tidak ada. Shiori pun kini nampak tengah berjalan menjauh. Tidak menuju stasion monorail, tapi mengambil jalan menuju stasion tempat monorail berakhir nanti.

Laki-laki itu berjalan cepat. Membuntuti. Takut kehilangan buruannya.

***

Shiori tak beranjak dari tempatnya duduk sejak tadi. Seperti sedang menunggu sesuatu. Matanya lekat memandang ke arah ayah dan anak yang sedang asyik bercanda di depat Baby Zoo  sementara menunggu sang istri yang tengah ke toilet bersama putri bungsu mereka.

Hmm.. Shiori Takamiya memang masih mencintai Masumi Hayami..

Diabadikannya mimik Shiori yang tengah menatap penuh cinta itu.

Beberapa lama kemudian, Masumi Hayami nampak panik menggendong kedua anak laki-lakinya menuju ke arah toilet.

Ada apa?

Keningnya berkerut. Laki-laki itu bersiap saat dilihatnya Shiori berdiri dan berjalan mengikuti. Senyuman Shiori kembali tertangkap kameranya.

He? Kenapa dia tersenyum?

Shiori nampak menjaga jarak dengan Masumi. Wajah bos Daito itu nampak  panik, lalu berubah geram.

Aku tidak melihat Maya Hayami dan putrinya? Kemana mereka? Apa terjadi sesuatu?

Insting wartawannya mengendus sesuatu yang tidak benar sedang terjadi. Terlebih saat melihat Shiori mendekati Masumi Hayami dan menyapa laki-laki itu.

Cepat dipanggilnya taksi ketika keempatnya masuk ke dalam sebuah mobil.  Dan saat Masumi Hayami melompat keluar di daerah parkiran, pikirannya berputar cepat.

Siapa yang harus kuikuti?

Dia tak bisa berpikir terlalu lama.Harus cepat mengambil keputusan. Mana yang lebih menarik untuk dijadikan berita?

Saat mobil Masumi keluar tempat parkir, instingnya kembali memerintahkan dirinya untuk segera meminta sopir taksi untuk membuntuti mobil laki-laki itu.

***

Kediaman Hayami


Ada yang bisa saya bantu, Nona?

Shiori diam-diam mencebik. Suara Yosuke di telepon terdengar sangat gembira.

“Apa kau sudah membawa mereka?” tanyanya tanpa basa-basi.

Tentu, Nona. Saingan anda sudah ada di tangan kami sekarang. Hmm, apakah Anda bersenang-senang di sana?

“Bukan urusanmu!” sergah Shiori judes. “Kau ternyata tidak cukup profesional untuk membawa si tengah bersama mereka,” ujarnya kemudian dengan pedas.

Yosuke terkekeh di ujung telepon.

Andai kami memaksa mengambil anak itu juga, resikonya terlalu besar, Nona. Kemungkinan anda tidak bisa bersama laki-laki pujaan anda itu sekarang.

Sekarang pun aku tidak bersama Masumi… Shiori mendengus kesal.

“Kurasa aku akan memotong imbalanmu karena tidak sesuai dengan permintaan,” ujar perempuan itu kemudian.

He?! Tidak bisa begitu, Nona! Kami sudah..

“Kecuali kau melakukan satu hal lagi,” potong Shiori cepat.

Apa?  Yosuke bereaksi cepat. Tak rela uangnya hilang sebagian.

“ Aku ingin kau…”

“Tante sedang apa di sini?!”

Shiori hampir saja menjatuhkan handphonenya saat sebuah suara kecil menegurnya. Cepat ia menekan tombol off handphone dan berputar mencari asal suara,

Nampak Ryu dan Shou tengah menatapnya tajam.

“Ini kamar mama dan papa. Tante tidak boleh di sini!” suara Ryu terdenga sangat tegas. Anak itu bahkan membuka pintu lebih lebar,  mengisyaratkan  Shiori untuk keluar.

“Ma~maaf, Ryu. Tadi tante pikir ini kamar kalian,” Shiori mencoba membela diri. Namun sungguh, tatapan kedua anak itu seolah tahu, bahwa dirinya tengah berbohong sekarang,

Kedua anak itu tidak menjawab. Menunggu sampai Shiori benar-benar keluar dari kamar orang tua mereka untuk kemudian menutup pintu.

“Kenapa belum tidur? Tante temani ya? Mana kamar kalian?” Shiori mencoba bersikap ramah meski hatinya dongkol bukan kepalang.

Bukan hanya wajahnya yang mirip, sikapnya pun tak berbeda dengan ayahnya!  

Dipandanginya wajah Ryu dengan gemas.

“Kami tidak perlu ditemani tante! Tante pulang saja sana!” kini Shou yang menjawab. Anak itu mulai merasa, tante yang satu ini memang patut diwaspadai, seperti kata kakaknya tadi.

“Tapi papa kalian meminta Tante untuk menjaga kalian selama beliau pergi,” Shiori bersikeras. Tak rela jika dia harus pergi begitu saja dari rumah ini. Apalagi, dia belum punya kesempatan untuk bisa bersama Masumi.

Hhhh… coba kedua bocah itu tidak mengganggu. Sudah kusuruh si Yosuke untuk menyingkirkan Maya sejauh mungkin.

“Kami tidak kenal tante dan tante bukan orang baik. Jadi kami tidak ingin tante yang menjaga kami,” jawab Shou berani. “Kami lebih suka dijaga Bibi Michi!”

Pelayan itu?! Mata Shiori membulat. Kini dia ingat pelayan setengah baya yang menyapanya tadi. Pelayan Masumi sejak dia kecil! Beraninya mereka menganggap pelayan itu lebih baik daripadaku.

“Tapi maaf, Ryu, Shou. Karena tante sudah janji pada papa kalian, tante tidak bisa pergi sampai papa kalian pulang.”

Ryu beranjak menuju pesawat telepon yang ada di tengah lorong. Lalu kembali ke hadapan Shiori sambil membawa benda itu,

“Aku akan telepon Papa biar menyuruh tante pulang!”

“Eh~ tunggu!!”  dengan cepat Shiori mengambil benda itu dari tangan Ryu. “Kalian tidak boleh seperti itu. Apa mama kalian tidak mengajari soal sopan santun terhadap tamu?”

“Mama dan papa ngajarin kami untuk hati-hati sama orang jahat!” sahut Ryu tenang.

“Tapi tante bukan orang jahat,” Shiori berusaha keras untuk terus bersabar.

Hhh… mulut anak ini tajam sekali. Tapi justru hal inilah yang membuatnya semakin terlihat seperti ayahnya!

“Kalau bukan orang jahat, kenapa tante mengikuti kami sejak kami ada di kebun binatang?” Ryu menatap tante di depannya dengan pandangan menyelidik.

Shiori tercekat. Anak ini tahu?

“Kalau memang bukan orang jahat, dan kenal Papa,  kenapa tante harus lari ketakutan saat aku  berteriak di restoran?”

Shiori menatap Ryu tanpa tahu harus menjawab apa.

“Ah.. sudah tante bilang i~itu kan.. karena…,”

Shiori tergagap. Keringat dingin mulai merembesi keningnya.

***

Ruangan itu hening.

Shin duduk di kursi tua di dekat pintu, sambil sesekali melayangkan pandangan pada dua sosok mungil yang duduk di sofa agak jauh di depannya.

Diliriknya jam. Hampir jam enam.

Sudah hampir sejam mereka saling berdiam seperti ini. Maya duduk tenang di sofa dengan Aiko yang terlelap di pelukannya. Sesekali lengan perempuan itu menepuk-nepuk lembut badan putrinya.

“Ngg~ maaf,” Shin terkejut saat tawanannya itu tiba-tiba mengangkat kepalanya. “Jam berapa sekarang?” Maya menatap dengan mata bulatnya.

“J~jam enam,” jawab Shin lirih. Ah, mengapa aku harus begini gugup? Makinya dalam hati.

“Anu~maaf. Putriku belum makan malam. Biasanya dia akan rewel kalau perutnya kosong. Apakah~ada makanan untuknya? Kurasa sebentar lagi dia pasti terbangun.”

“Saya~ kurasa di sini tidak ada makanan,” Shin menjawab dengan sedikit meringis. “Tapi aku bisa membelikannya untuk anda!” lanjutnya cepat. “Ah, maksudku, saya memesankannya untuk anda,” ralatnya kemudian. “Makanan apa yang bisa dimakan putri anda?”

“Hmm, Biasanya aku selalu membuatkannya makanan khusus untuknya. Tapi karena ini darurat, omelet, atau.. emh.. spaghety yang tidak pedas juga tidak apa. Kau bisa membelinya di restoran cepat saji.”

“Baiklah, akan pesankan.”

“Terima kasih,” senyum Maya kembali membuat jantung Shin berlompatan.

Saat Shin menelepon, Aiko terbangun.

Anak itu langsung menangis keras. Terlebih saat ia mulai menyadari berada di tempat yang sangat asing baginya.

“Sayang~,” Maya mendekap tubuh Aiko erat. “Jangan takut. Ada mama di sini.”

“Pulaaang…… a~ang.. mama~ … pengen pulaa~ng,” Aiko menebarkan pandangannya ke semua sudut ruangan. “ke papaaa~!”

“Sabar ya, Aiko sayang. Sebentar lagi papa datang buat jemput Aiko dan mama.”

“Cekalaaanng!!! A~aaang!” tangis Aiko kian keras. “Mamaaa… ayo pulaaaang…. A~aang.. ke papaaaaa!!!!”

“Sayang, dengar mama,” Maya mendudukkan Aiko di pangkuannya sehingga sekarang mereka berhadapan. “Sekarang kita belum bisa pulang, kita disini dulu, sama paman itu,” Maya menunjuk Shin yang masih terpaku di tempatnya duduk. “…sampai papa datang, ya?

Masih dengan tangisnya, Aiko menoleh, memandang Shin beberapa saat lalu kembali menatap mamanya.

“Papa mau datang?” tanyanya disela isakannya. Tangisan Aiko mulai mereda.

Maya mengangguk.

“Sebentar lagi,” senyum perempuan itu.

“Paman itu ciapa?” Aiko menunjuk lurus ke arah Shin. “Olang jahat ya, Mama?”

Shin tergagap. Bocak cilik itu menatap tajam dengan mata beningnya, membuat dia merasa Aiko bisa membaca pikirannya dengan jelas.

“Lo, Aiko kok, bicara seperti itu?” Maya membelai pipi putrinya. “Kenapa Aiko bilang paman itu orang jahat?”

“Paman itu bohongin Aiko cama mama!” jawab Aiko spontan. “bilang papa di lual tapi papa ga ada!”

Shin diam-diam mengeluh dalam hati.

Anak ini sepertinya baru berumur satu tahunan, tapi sudah bisa dengan jelas mengutarakan apa yang ada di pikirannya.

Entah mengapa, saat ini ia merasa sangat tidak tenang. Padahal sebelumnya, jika sedang beraksi seperti ini, dia bisa dengan santai menjaga tawanannya. Namun sekarang, ada rasa takut dan was-was yang menyusupi hatinya. Selain telah dibuat salah tingkah oleh perempuan mungil dan putrinya yang menjadi tawanannya itu, Shin pun merasa akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam aksinya kali ini.

Aiko masih menatapnya tajam. Shin merasa sangat tidak nyaman ditatap dengan pandangan seperti itu oleh seorang anak kecil. Laki-laki itu mulai tersenyum ragu. Lalu berjalan mendekat.

“Pa~paman bukan orang jahat, kok,” ujarnya pelan. Aiko memepetkan tubuh di pelukan mamanya saat melihat Shin mendekat.

“Maafkan paman, ya. Paman memang bohong tadi, soalnya..”

“Cana!!”

Langkahnya terhenti mendengar teriakan Aiko.

“Paman jahat cana!! Jauh!!”

Gadis kecil itu berteriak kencang. Shin termangu.

“Aiko…,” Maya menegur Aiko dengan lembut. Lalu menoleh ke arah Shin. “Maafkan putriku, ya?”
Ah, kenapa perempuan ini harus minta maaf segala?!

Shin tambah salah tingkah.

Perempuan aneh, pikirnya. Jelas-jelas  aku sudah menculiknya. Mengapa bersikap ramah seperti itu?

“Ti~tidak a~apa,” geleng Shin. Berbalik untuk kemudian kembali ke kursinya. Duduk di sana tanpa berani lagi melihat ke arah kedua tawanannya.

Aiko menengadah, menatap mamanya dengan mata bulatnya yang menggemaskan.

“Mama, Aiko pengen mamam,” ujar gadis kecil itu dengan wajah memelas.

“Tunggu sebentar, ya sayang. Paman yang di sana tadi sudah memesankan makanan buat Aiko,” jawab Maya. Kening Aiko nampak berkerut.

“Paman itu?” tanyanya.

“Iya,” angguk Maya. Aiko kembali menoleh ke arah Shin yang nampak tengah asyik membuka-buka sebuah majalah usang.

“Jadi paman itu tidak jahat?” pertanyaan Aiko yang polos terdengar oleh Shin. Bibir laki-laki itu diam-diam tersenyum senang.

Maya hanya tersenyum mendengar pertanyaan putrinya.

Tak berapa lama, bel pintu berbunyi. Shin menegakkan tubuh dan berjalan ke arah pintu dengan waspada.

“Antaran makanaann!!” terdengar suara lantang dari balik pintu.

Bergegas Shin membuka pintu dan keluar. Tak berapa lama laki-laki itu sudah masuk kembali dengan membawa beberapa kotak makanan.

 “Sa~saya sudah pesankan spaghety untuk anda dan putri anda,” ujarnya kemudian. “Saya rasa anda pun belum makan malam, kan?”

“Terima kasih,” senyum Maya. Cepat-cepat Shin memalingkan wajahnya untuk meredam debaran yang selalu muncul setiap kali melihat senyum manis perempuan itu.

Maya berdiri sambil masih menggendong Aiko. Menghampiri meja tempat dimana kotak makanan tadi disimpan.

Di sana juga terdapat beberapa gelas plastik berisi jus segar dan  botol air mineral.

Maya mengambil satu bungkus dan kembali ke sofa. Wangi khas spaghety tercium begitu bungkusan itu terbuka.

“Cpagetiiii!!” Aiko bersorak senang. Ia sangat suka makanan yang satu itu. Terutama jika mamanya yang membuatkan untuknya di rumah.

“Aiko makan cendili!” ujar gadis itu saat garpu plastik diambil Maya. Maya tertawa, lalu menyerahkan garpu itu ke tangan putrinya.

“Kalau begitu ini garpunya, Tuan Putri,” ujar perempuan itu. Aiko tergelak. Namun gerakan tangannya yang hendak menyendok spaghety terhenti dan kembali menengadah menatap wajah mamanya.

“Mama makan cama Aiko?”

“Boleh. Suapin mama, yaa…”

“Iyaa!!”

Gadis kecil itu kini menoleh ke arah Shin. Beberapa saat memandangi laki-laki itu sebelum kemudian menggerinjal turun dari pangkuan mamanya.

Maya memperhatikan tingkah laku putrinya dalam senyum. Aiko nampak berjalan ke arah meja, lalu berusaha meraih kotak makanan yang masih ada di sana. Namun karena mejanya terlalu tinggi, gadis kecil itu tidak dapat meraihnya.

“Mamaaaa,” Aiko menoleh ke arah mamanya dengan pandangan minta bantuan.

Maya mendekat. Meraih kotak makanan dan menyerahkannya ke tangan Aiko. Dengan gembira Aiko menerima dan membawanya ke depan Shin.

“Paman, ini~,” disidorkannya kotak makanan itu. Shin nampak terperangah kaget.

“Paman makan jugaaa. Aiko cama mama cudah.”

Shin masih termangu menatap bocah kecil yang kini berdiri di hadapannya seraya menyodorkan kotak spaghety.

“Itu buat mamamu,” ujarnya kemudian, pelan.

“ Mama cama Aiko. Ini buat Pamaaan,” Aiko tetap menyodorkan makanannya. Dengan perasaan haru yang mendadak muncul, Shin menerima kotak makanan itu.

Aiko tertawa senang.

“Celamat makaaaan!!!” dengan lincah bocah itu kembali ke pangkuan Maya dan mulai menyuap spaghety. Sesekali tawanya yang cerah terdengar jika lembar-lembar spaghety itu meluncur ke bajunya. Atau saat menyuapi Mamanya.

Shin memperhatikan semua itu dengan hati yang tiba-tiba menghangat. Ibu dan anak di depannya itu nampak sangat bersinar di matanya. Meski mereka tidak banyak bicara, namun Shin dapat merasakan, kalau perempuan mungil yang menjadi tawanannya itu memiliki hati yang lembut dan tulus. Meski sedang dalam kondisi sebagai korban penculikan, tak ada sedikitpun mimik takut, panik, atau bahkan marah yang bisa saja ditunjukkan padanya.

Perempuan itu benar-benar terlihat tenang. Bahkan dengan ketenangannya yang luar biasa, ia bisa membuat putri kecilnya, yang tadinya ketakutan, menjadi rileks sekarang.

“Enghh~ Anu..,” Shin dengan ragu mengarahkan pandangannya ke arah Maya yang sedang tertawa seraya membersihkan pipi Aiko yang belepotan saus.

Maya menoleh.

“Ya?”

“Apakah~ saya boleh bertanya~sesuatu?”

“Apakah itu?”

“Anda nampak tenang sekali. Padahal kan, saat ini anda sedang~,” Shin menghentikan kalimatnya namun cukup membuat Maya memahami maksudnya.

“Aku percaya suamiku  akan datang menolong kami,” jawab Maya. “Selain itu, aku merasa kau orang baik.”

“Eh?” Shin membulatkan matanya, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

“Aku tidak tahu alasan apa yang membuatmu melakukan pekerjaan ini.  Apapun itu, tidak bisa menutupi sifat aslimu. Aku bisa merasakannya, kau sebenarnya orang baik.”

Shin merasakan matanya memanas. Sejak tujuh tahun yang lalu, tak ada yang pernah mengatakan bahwa dia adalah orang yang baik. Anak tak berbakti, pembunuh, narapidana, sampah masyarakat, sebutan-sebutan itulah yang selalu didengarnya sehingga lambat laun ia menjadi terbiasa.

Tapi kini, perempuan yang diculiknya ini, menyebutkan kalau dia orang yang baik!

Shin menyuap spaghetynya dengan tangan yang bergetar.

“Anda hanya berusaha untuk melemahkan hatiku, Nyonya!” laki-laki itu mencoba menguatkan hatinya, dan memasang sikap tak acuh.

Namun Maya sudah terlanjur melihat mata Shin yang berkaca-kaca dan lengannya yang bergetar.

“Aku tidak berusaha membuatmu lemah,” senyum perempuan itu. “Aku bicara yang sesungguhnya. Meski kau berusaha menyembunyikan kebaikanmu dengan sikapmu yang dingin, kau tetaplah kau.  Bahkan Aiko pun bisa merasakannya. Kau tahu? Anak kecil memiliki perasaan yang sangat peka. Mereka bisa tahu, mana orang yang memiliki hati yang baik, dan mana yang memang berniat jahat.”

Shin terdiam. Kembali menyuap spaghetynya meskipun makanan itu terasa seret di tenggorokannya. Rasanya saat ini ia ingin menangis! Sekuat tenaga Shin menahan air mata yang kini mengancam turun.

“Suami anda sangat beruntung,” bisiknya kemudian. Serak.

Maya tertawa pelan.

“Aku yang sangat beruntung karena bisa menjadi istrinya,” sahutnya kemudian. “Kau tahu, emmh~” Maya menatap Shin, bingung harus memmanggilnya apa.

“Aoyama,” Shin menyebutkan nama depannya.

“Aoyama san, suamiku dulu selalu berbuat jahat padaku, aku selalu menganggapnya begitu.”
Shin mengangkat wajahnya dengan rupa tidak mengerti.

“Kami seperti kucing dan anjing. Suamiku selalu merendahkan, mengejek, dan bahkan mempermalukanku di depan umum sehingga aku menjadi sangat marah. Aku selalu mengatakan aku sangat membencinya. Tapi, ternyata, setelah  aku memikirkan semua perlakuannya dengan hati tenang dan kepala dingin, aku menyadari, bahwa semua itu demi kebaikanku. Semakin dia merendahkanku, semakin aku ingin membuktikan padanya bahwa aku bisa melakukannya jauh lebih baik dari yang bisa dilakukan orang lain. Semakin lama aku semakin bisa merasakan kebaikannya, meski jika bertemu, kerap kali ia memperlihatkan wajah dingin dan kejam. Dari sana aku belajar bahwa orang tidak selalu seperti apa yang diperlihatkannya di permukaan. Kau juga seperti itu.  Aku berusaha melihatmu tanpa melibatkan rasa marah karena kau telah menculik kami. Dan aku yakin, apa yang kulihat dan kurasakan tentangmu, tidak akan salah.”

Kali ini Shin benar-benar kalah. Setetes air mata melompat ke pipinya.

“Aku sungguh-sungguh. Suami anda sangat beruntung. Juga anak-anak anda,”ujarnya setengah mengisak. “Andai orang tuaku seperti anda, mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini.”

Aiko yang akan menyuap spaghety terakhirnya menghentikan gerakannya. Memandang Shin yang kini menangis dengan heran, lalu menoleh ke arah mamanya.

“Paman itu kenapa, mama?”

“Paman Aoyama sedang sedih,” bisik Maya di telinga putrinya.

“Cedih?” Aiko  kembali menoleh ke arah Shin. Beberapa saat gadis kecil itu menimbang apa yang harus dilakukannya. Lalu kemudian melompat turun dari pangkuan mamanya, menghampiri Shin.

“Pamaaan,” sapanya seraya menyentuh lutut Shin. Shin tersenyum tipis ke arah Aiko.

Tangan gadis itu terangkat. Shin menatapnya tak mengerti beberapa saat  sebelum akhirnya menoleh ke arah Maya.

“Dia minta di gendong,” jelas Maya. Kembali Shin tercekat.

Melihat tangan Aiko yang masih terulur, mau tidak mau ia akhirnya mengangkat tubuh mungil itu ke pangkuannya.

Aiko menggapai wajah Shin begitu ia berada di pangkuan laki-laki itu. Lalu diusapnya pipi Shin dengan tangannya yang mungil.

“Paman jangan nangiiiic~” ujar anak itu menghibur. “Aiko janji ga bilang paman jahat lagii~”

Kini Shin benar-benar menangis. Digenggamnya jemari Aiko yang masih membelai pipinya.

“Maafkan paman, ya Aiko. Paman benar-benar minta maaf.”

Aiko, meski tidak mengerti mengapa  Shin meminta maaf padanya, mengangguk-angguk lucu.

“Paman jangan nangic  lagi, ya?”

Shin mengangguk sambil tertawa.

“Sudah,” disusutnya air matanya. “Paman tidak menangis lagi sekarang.”

Aiko tersenyum senang.   Membelai pipi Shin beberapa kali lagi untuk kemudian beringsut turun dan berlari kembali ke pelukan mamanya.

Saat itulah terdengar bel pintu. Shin  sedikit terperanjat. Memandang pintu dengan waspada. Tidak mungkin itu Yosuke karena dia pasti akan langsung membuka pintu dengan kunci yang dimilikinya.

Bel pintu kembali berbunyi.

Shin beranjak mendekat.

“Siapa?”

Tidak ada jawaban. Shin semakin waspada. Namun bel yang kembali dibunyikan memaksanya untuk meraih hendel pintu dan membukanya sedikit.

Sepotong wajah yang terlihat dari celah pintu yang terbuka menyambut.

“Mencari siapa?”

“Emhh.. anu, saya sebenarnya mencari teman saya di sebelah. Tapi nampaknya dia sedang tidak ada,” laki-laki yang berdiri di depan pintu menjawab.

“Hmm.. lalu?”

“Saya dari tadi, eh.. bolehkah, saya numpang ke toilet?” suara laki-laki itu terdengar malu-malu. “Dari tadi saya… emh~ menahannya.”


Shin terdiam. Menimbang.

“Saya mohon,” laki-laki di depannya nampak meringis. “Sebentar saja.”

Shin masih menimbang. Tapi saat dilihat sikap tubuh tamu di depannya yang seperti berusaha keras menahan, akhirnya ia merasa tak tega.

“Baiklah, tapi toiletnya agak kotor. Kami~ baru pindah dan belum membersihkan apartemen ini dengan baik.

“Tak apa. Terima kasih,” tanpa menunggu Shin membukakan lebih lebar, laki-laki itu menerobos masuk membuat Shin agak tersentak. Pegangannya di pintu terlepas dan pintu pun semakin terbuka lebar.

Rupanya ada laki-laki lain yang berdiri di samping laki-laki yang pertama.  Shin  baru menyadarinya saat laki-laki itu mendekat.

Tiba-tiba sebuah benda dingin menempel di belakang kepalanya. Shin tercekat. Dilihatnya laki-laki di depannya tersenyum. Wajahnya semakin terlihat jelas.

“Anda?” desisnya. Tubuhnya mendadak lemas.

“Masuklah, dan jangan mencoba berbuat konyol.” ujar laki-laki itu dingin. Shin masuk dengan patuh. Laki-laki itu mengikuti dan menutup pintu di belakangnya.

Shin tahu, laki-laki yang masuk duluanlah yang kini tengah menodongkan pistol ke kepalanya.

Keduanya masih berdiri di pintu dan laki-laki terakhir yang masuk tadi bergegas menuju tengah ruangan.

“Papaaaaa!!!”

Teriakan gembira Aiko menyambut saat laki-laki itu memasuki tengah ruangan. Si laki-laki nampak berjongkok menyambut gadis kecil yang kini  berlari ke arahnya dan langsung memeluk Aiko erat.

***


Shiori mengepalkan jemarinya. Dua bocah di depannya ini benar-benar keterlaluan!

“Ryu, Shou,” masih dicobanya untuk bersikap ramah. Bagaimanapun, ia harus bisa mengambil hati kedua anak ini. Terutama Ryu. “Tante kan sudah bilang, tante bukan orang jahat. Tante teman lama ayah kalian. Dan kalau tanta orang jahat, bagaimana mungkin ayah kalian berani menitipkan kalian ke tante?”

“Tapi aku gak suka tante!” sergah Ryu. 

“Aku juga gak suka tante!” Shou ikut bersuara. “Teman-teman papa atau mama biasanya ga pernah naik-naik ke kamar. Apalagi masuk kamar mama dan papa.”

“Tadi kan tante tidak sengaja. Tante pikir itu..”

“Tante bohong!” Ryu memotong. “Mana mungkin gak tahu kamar kami ada di mana. Kamar aku dan Shou kan ada namanya. Kamar Aiko juga.”

Shiori mengetatkan gerahamnya.

“Dengar, ya,” perempuan itu mendekat. “Suka atau tidak, tante akan tetap berada di sini sampai papa kalian pulang. Mengerti?”

Shou mengkerut di balik punggung kakaknya yang masih dengan berani menatap tajam Shiori.

“Kalau begitu tante di bawah saja. Tante kan tamu. Tempat tante bukan di sini, tapi di ruang tamu!” ujar Ryu. 

Shiori terperangah. Anak ini…!

Hmmm.. kalau Mama kalian tidak pulang, akan aku pastikan statusku bukan tamu lagi di sini! Bisik hatinya gemas.

“Baiklah,” senyum Shiori. “Tante akan turun ke ruang tamu,” perempuan itu menegakkan tubuhnya.

“Sekarang mungkin tante tamu di sini, tapi itu tak akan lama. Jadi bersiap ya, anak-anak manis.”

Ryu dan Shou berpandangan dengan mimik tak mengerti.

“Benar-benar tante aneh ya, Kak,” komentar Shou setengah berbisik saat Shiori menjauh. Keduanya memperhatikan sosok Shiori yang kini berbelok turun ke ruang tamu.

“Kita liatin aja, yuk. Jangan sampai tante itu masuk-masuk lagi ke kamar papa dan mama,” sahut Ryu seraya berjalan menuju tangga. Shou dengan patuh mengekor. Namun, di ujung tangga, kedua bocah itu serentak merandek berhenti.

Nampak Shiori tengah memandangi sebuah foto dengan wajah penuh kemarahan. Beberapa saat kemudian, lengan perempuan itu meraih foto yang sedang dipandanginya, mengeluarkan foto tersebut dari bingkai  lalu merobeknya.

Dengan santai ia memasang kembali bingkai yang sudah kosong.

“Itu kan foto mama sama kakak waktu kakak bayiii…,” desis Shou. Ryu menarik tangan adiknya untuk kembali ke atas.

“Tante itu memang tante yang jahat!” ujar Shou penuh kemarahan. “Pokoknya kita harus telepon papa, Kak. Aku nggak mau tante itu terus di sini.”

“Nanti kita telepon papa,” sahut Ryu. “Pokoknya sekarang, kita liatin dulu tante itu. Terus kasih tau bibi Michi kalau tante itu masuk kamar mama dan merobek foto mama.”

“Trus telepon papanya?”

“Biar bibi Michi aja yang telepon papa.”

Shou mengangguk. Lalu kembali mereka beriringan menuju lantai bawah. 

Baru saja keduanya hendak masuk ke ruang tamu saat mereka mendengar suara Shiori yang tengah menelpon di ruang tersebut.

“Aku tidak mau tahu. Pokoknya singkirkan perempuan itu dan anaknya  jauh-jauh. Jangan sampai suaminya menemukan mereka!”

Kembali kedua bocah itu berpandangan.

“Singkirkan itu apa, Kak?” bisik Shou yang dijawab dengan gelengan kepala kakaknya.

“Aku akan bayar!” Shiori bersuara lagi. “Yang penting Maya dan anaknya tidak bisa pulang lagi ke rumah!”

Maya?  Ryu mengerutkan keningnya. Itu kan nama mama..

Dipandanginya diam-diam wajah Shiori.Tante ini tidak mau mama pulang ke rumah?

Wajah bocah itu langsung pucat. Shou yang mencolek pundak membuatnya menoleh.

“Tante itu ngomongin mama, ya?”

Pertanyaan itu tidak dijawabnya. Pikiran kanak-kanaknya mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Namun yang didapati hanyalah ketakutan yang tiba-tiba menyergap. 

Bagaimana kalau mama benar-benar tidak pulang lagi ke rumah?

“Tuan muda?” Bibi Michi yang baru muncul dari arah dapur mengernyit heran saat melihat kedua tuan mudanya itu nampak waspada, mengintip ke ruang tamu.

Shiori yang mendengat suara Bi Michi langsung menutup teleponnya. Sedikit terkejut menyadari dua bocah Hayami ada di ambang pintu, berdiri sambil memandangnya. 

Wajah Ryu nampak pucat dan seperti ingin menangis.

“Ah, tuan muda. Sedang apa di sana?” Bibi Michi mendekat, sedikit terkejut saat melihat Shiori. “Nona juga di sini rupanya.”

Shiori tersenyum tipis. 

Apakah kedua bocah itu mendengarku tadi? Pikirnya resah.

“Sebentar lagi makan malam siap, tuan muda. Bibi sudah membuat burger steak kesukaan tuan muda berdua,” senyum bibi Michi. “Ah, apakah nona juga akan malam di sini?” tanyanya kemudian pada tamu tuannya itu.

“Kalau tidak merepotkan, bi,” senyum Shiori.

“Tidak boleh!” Ryu menggenggam lengan bibi Michi erat. “Tante ini tidak boleh makan di sini, Bibi. Tante ini jahaat!” teriaknya kemudian.

Bibi Michi melongo tak mengerti melihat reaksi tuan mudanya.

Shou ikut meraih lengan bibi setengah baya itu.

“Bibi, tadi tante itu masuk ke kamar papa dan mama,” lapornya.

Bi Michi nampak terkejut.

“Eh, itu.. itu karena aku salah masuk kamar, Bi,” kembali Shiori mencoba mengelak dengan alasan yang sama. “Maafkan aku.”

“Pokoknya suruh tante itu pulang, Bi! Tante itu jahat! Tante itu gak mau mama pulang ke rumah!” Ryu menahan tangisnya.

Jadi mereka mendengar, desis Shiori dalam hati.

Bibi Michi setengah tidak mengerti apa yang diucapkan Ryu. Berjongkok mencoba menenangkan tuan mudanya.

“Tuan muda, jangan seperti itu, ah. Kalau mama tuan muda dengar, pasti beliau kecewa.”

“Tapi tante ini jahaaattt!” Ryu menghentakkan kaki dengan kesal. “Kalau mama benar-benar gak pulang gimanaaa?”

Shou bengong melihat kepanikan kakaknya. Kian erat menggenggam lengan bibi Michi.

“Bibi,” bocah itu mendongak untuk melihat wajah bi Michi. “Telepon papa. Biar papa nyuruh tante itu pulaang.”

Bibi Michi kian kebingungan. Meski tidak percaya 100 % dengan apa yang dikatakan kedua tuan mudanya, tapi sikap Shiori sejak datang memang terlihat aneh. 

“Emh.. nona, maafkan mereka ya,” ujar perempuan setengah baya itu akhirnya. “Mungkin karena apa yang terjadi dengan nyonya, mereka jadi seperti ini.”

“Tidak apa, Bi. Aku mengerti,” Shiori tersenyum manis. Hatinya lega.

Hhhh… untunglah, pelayan ini tidak mempercayai omongan kedua bocah itu.

“Bibi pasti masih sibuk di dapur,” lanjutnya kemudian. “Ryu dan Shou biar saya yang temenin di sini. Iya kan, sayang?”

Dengan wajah tidak suka Ryu dan Shou tetap memegang erat lengan pelayan mereka. Bersembunyi di balik kaki Bi Michi saat Shiori mendekat.

“Ah, biar tuan muda dijaga Naoko saja, Nona,” jawabnya, kemudian memanggil pelayan yang dimaksud.

“Temani tuan muda bermain di ruangan mereka!”

Pelayan yang dipanggil Naoko mengangguk, lalu menggandeng tangan Ryu dan Shou menuju kamar mereka.

“Nona, silahkan anda bersantai di sini. Akan saya beritahu jika makan malam sudah siap.”

“Baik, terima kasih,” angguk Shiori. 

Perempuan itu menatap punggung Ryu dan Shou yang sedang menaiki tangga.
Jangan sampai kedua anak itu mengacaukan rencanaku!

Senyuman manis terlontar dari bibirnya saat Ryu menoleh ke belakang.

***

“Kau baik-baik saja, Sayang?” Masumi merangkul tubuh istrinya dengan sebelah lengannya sementara lengan yang satunya menggendong Aiko.

Maya mengangguk. “Aku dan Aiko baik-baik saja,” senyumnya seraya balas merangkul pinggang suaminya.

“Ah, syukurkah kalian tidak terluka,” Masumi mengecup ujung kepala istrinya, lalu beralih ke pipi gemuk Aiko dengan penuh rasa syukur. “Aku sangat panik saat menyadari kalian diculik.”

“Diculik?” Aiko menoleh dengan pandangan bertanya. “Apa itu, Papa?”

“Hmm, itu~ ketika ada orang lain yang membawa seseorang tanpa ijin,” jelas Masumi. Sedikit sangsi Aiko bisa paham penjelasannya.

Benar saja, gadis kecil itu terlihat mengerutkan kening. Maya tersenyum.

“Seperti Paman Aoyama ngajak Mama dan Aiko pergi tapi tidak minta ijin sama papa,” jelasnya kemudian.

“Ooo,” Aiko tersenyum senang. “Halusnya minta ijin ya, Mama?” tanyanya lagi kemudian.

Maya mengangguk.

“Iya, Sayang. Biar papa tidak khawatir.”

Aiko menoleh ke arah Shin yang kini duduk pasrah dibawah pengawasan Hijiri. Aiko, yang memang sudah mengenal Hijiri berteriak senang.

“Paman Hijiliiii!”

“Halo, Nona Aiko,” senyum Hijiri. 

Aiko lalu kembali memandang Shin.

“Paman, nanti kalau mau ngajak Mama cama Aiko halus minta ijin Papa dulu, yaaa,” ujarnya pada lelaki itu. Shin nampak tersenyum miris.

“Maafkan Paman, Aiko,” bisiknya pelan. Aiko tertawa.

“Paman jangan nakal lagi, yaaa”

Kedua orang tuanya hanya tersenyum mendengar celotehan Aiko. 

“Tuan, sebaiknya Anda pergi sekarang,” ujar Hijiri kemudian. “Orang ini biar saya yang urus.”

“Baiklah,” sahut Masumi. “Pastikan semua yang terlibat mendapatkan ganjarannya.”

“Baik, Tuan,” angguk Hijiri. 

Maya memandang Shin beberapa saat. Perempuan itu tersenyum lembut.

“Setelah ini, hiduplah yang baik, Aoyama,” ujarnya pelan. Shin mengangguk.

“Terimakasih, Nyonya. Saya~masih harus mempertanggungjawabkan perbuatan saya karena menculik Nyonya. Berkat Anda dan Aiko, saya akhirnya sadar, kalau apa yang saya lakukan ini akan membuat hidup saya tambah sia-sia. Jika saya keluar nanti, saya pasti akan hidup lebih baik.”

Maya tersenyum. Di sampingnya Masumi memandang keduanya tak mengerti.

“Tuan,” Shin memandang Masumi dengan penuh penyesalan. “Saya benar-benar mohon maaf, telah berniat tidak baik pada istri dan putri anda. Tapi di balik semua itu, saya bersyukur bisa bertemu dengan mereka.  Sudah beberapa kali saya membantu Yosuke menjaga korban kami di sini. Tapi hanya Nyonya dan Aiko yang tetap bersikap baik terhadap saya. Membuat saya sangat malu hati. Dan Nyonya~” Shin memandang Maya beberapa saat. “… hanya istri Anda, yang mengatakan~” Shin sudah payah menekan keharuan yang mulai menyesakkan dadanya.”…bahwa saya, sebenarnya orang baik. Nyonya adalah orang pertama yang mengatakan hal itu setelah bertahun-tahun,” setetes air mata melompat ke pipi laki-laki itu.

Masumi mengetatkan pelukannya di pinggang Maya. 

“Dan Aiko…” Shin tersenyum lembut ke arah gadis kecil yang kini erat merangkul leher papanya itu. “Dia benar-benar bidadari kecil. Bidadari yang mampu membuat saya merasakan kehangatan yang sudah lama hilang,” Shin mengusap matanya yang basah. Pandangannya kembali ke arah Masumi.

“Anda benar-benar beruntung, Tuan.”

Masumi tersenyum tipis.

“Aku tahu,” jawabnya kemudian. Dalam pelukannya,  Maya ikut tersenyum.

“Ah, “ Masumi teringat sesuatu. “Aku penasaran satu hal. Mengapa kau sama sekali tidak meneleponku untuk meminta tebusan? Apakah ada yang menyuruhmu menculik anak dan istriku?”

Shin mengangguk. 

“Tadinya, kami memang bermaksud menculik salah satu anak anda dan meminta uang tebusan. Itu yang biasa kami lakukan.”

“Kami?”

“Ya. Ada seorang lagi yang bersama saya,” angguk Shin. “Tapi kemudian, Yosuke, partner saya, mengubah perintah. Kini bukan anak anda saja yang harus saya bawa. Tapi istri anda, Aiko, dan anak kedua anda.”

“Apa?” Masumi membulatkan matanya dengan terkejut. “Kenapa begitu?”

“Seseorang membayar kami dalam jumlah yang sangat banyak jika kami berhasil menculik ketiganya. Itulah mengapa kami tidak meminta uang tebusan pada anda. Emhh, belum..”

“Siapa yang membayar kalian?”

Shin menggeleng. 

“Yang jelas seorang wanita,” jawabnya kemudian. “ Dan mungkin…”

Suara deringan handphone membuat laki-laki itu menghentikan ucapannya. Diraihnya benda itu dan tertegun melihat nama yang tertara di sana.

“Yosuke, dia partner saya,” ujarnya seraya menatap Masumi. Masumi memberikan isyarat agar Shin segera menerima telepon tersebut.

“Ya, Yosuke?”

Shin nampak mendengarkan dengan serius. Keningnya berkerut.

“Menyingkirkan… sejauh mungkin? Tapi, bagaimana dengan rencana meminta uang tebusan?”

Laki-laki itu terdiam lagi. 

“Apa? Sebesar itu?”

Wajah laki-laki itu nampak sangat terkejut.

“Yosuke, tapi kita belum pernah melakukan  hal ini sampai sejauh itu!” sergahnya kemudian. “Apalagi sampai membuat mereka…”

Shin nampak tersentak dan menjauhkan handphone dari telinganya untuk beberapa saat. Samar-samar terdengar suara orang berteriak dari handphone tersebut.

“Baiklah, terserah dirimu,” Shin menutup telepon dengan lesu, lalu mengangkat wajahnya, memandang Masumi.

“Klien kami meminta Yosuke untuk… menyingkirkan Nyonya sejauh mungkin. Agar Nyonya tidak bisa pulang lagi.”

Dilihatnya mata kedua orang yang berdiri di depannya membulat kaget.

“Sebentar lagi Yosuke akan  menjemput kami. Entah akan dibawa kemana Nyonya nanti.”

Masumi melirik Hijiri yang langsung mengangkat telepon, menghubungi orang-orangnya yang berjaga di luar.

“Mereka sudah bersiap, Tuan,” lapornya begitu menutup telepon.

“Bagus! Jangan biarkan dia lolos. Aku harus tahu siapa yang menyuruhnya menculik Maya dan anak-anak.”

Shin termangu di kursinya. Perasaan tidak enak yang sempat menyergapnya tadi rupanya memang beralasan. Korban mereka kali ini bukan orang sembarangan. 

Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada majalah usang yang tadi dibacanya. Matanya melebar.

Ada foto laki-laki yang kini berdiri di depannya itu di sana.

MASUMI HAYAMI, ORANG TERKUAT KE DUA DI ASIA DALAM BISNIS ENTERTAINMENT.

Kami benar-benar sudah kena batunya! Keluh Shin dalam hati.

***

Naoko menatap kedua tuan mudanya dengan bingung.

Ryu dari tadi tak berhenti menangis. Wajah anak itu nampak sangat panik. Sedang Shou, duduk di dekat kakaknya seraya memegangi lengan Ryu erat. Anak itu juga mulai menangis saat Ryu terus menerus memanggil-manggil mama mereka.

“Tuan muda, sudah jangan menangis. Mama sebentar lagi pasti pulang,” Naoko memeluk keduanya lembut.

Ryu dan Shou tidak mendengar. Mereka terus menangis. 

“Naoko, kalau mama benar-benar gak pulang lagi gimanaaa?” Ryu menatap Naoko dengan berurai air mata. “Aku tidak mauuu, aku mau mamaaaa…!”

Naoko mendekat, memeluk kedua tuan mudanya dengan lembut.

“Tenanglah, mama pasti pulang, tuan muda.”

“Tapi tante jahat itu bilang agar mama jangan sampai pulaaaang!!”

Naoko terkejut. “Benarkah?”

“Iya,” kali ini Shou yang menjawab. “Tante itu bilang begini di telepon, pokoknya Maya jangan sampai pulang lagi! Maya kan mamaa.”

“Ah, tuan muda, mungkin yang dimaksud nona itu bukan nyonya.”

“Tante itu juga merobek foto mamaa!” lapor Shou. Naoko kian terkejut. 

“Merobek foto~nyonya?”

“Yang di tangga. Yang lagi gendong kakak waktu bayi!”

Penasaran Naoko bergegas keluar dan menuju tangga. Matanya membulat saat disadarinya foto yang dimaksud oleh tuan mudanya itu memang sudah tidak ada.

Saat kembali ke kamar kedua tuan mudanya, Naoko mulai merasa, bahwa kepanikan dan ketakutan kedua bocah itu oleh tamu mereka memang beralasan.

“Tuan muda, bagaimana kalau kita telepon Tuan saja?” usul Naoko. Ryu dan Shou mengangguk cepat.

“Iya. Telepon papa, Naoko. Biar papa suruh tante jahat itu pulang!”

“Papa kalian barusan telepon tante!” sebuah suara membuat ketiganya serentak menoleh. Shiori berdiri di ambang pintu. Tersenyum.

“Kata Papa kalian, tante harus tetap berada di sini sampai beliau pulang.” Shiori mendekat. “Jadi Ryu, Shou, tante akan tetap di sini, menjaga kalian, sesuai dengan permintaan papa kalian.”

Ryu dan Shou mengkerut di balik lengan Naoko. 

“Emhh.. namamu Naoko, kan?”

Pelan Naoko mengangguk.

“Biar Ryu dan Shou saya yang jaga. Kau pergilah, bantu bibi Michi.”

“Ta~tapi…,”

“Kau kan bukan pengasuh mereka. Jadi sekarang pergilah!”

Nada suara Shiori terdengar tidak mau dibantah. Beberapa saat Naoko menimbang apa yang harus dilakukannya. Cengkraman jemari mungil kedua tuan mudanya menunjukkan betapa panik dan ketakutannya kedua bocah itu.

“Naoko..”

Suara Shiori terdengar dingin. Pasrah, Naoko beranjak pergi.

“Naoko jangan pergiii!” suara Ryu terdengar memelas. Naoko menatap keduanya tanpa daya sebelum akhirnya beranjak ke luar kamar.

Sepeninggal Naoko, kedua bocah itu mengkerut di tempat tidur. Ryu memeluk adiknya erat, mencoba melindungi Shou meski tubuhnya sendiri sudah gemetar.

“Nah, sepertinya waktunya kita bicara,” Shiori mendekat. Duduk di pinggiran tempat tidur dan memandang dua bocah yang kini menatapnya penuh kewaspadaan.

“Jika memang mama kalian tidak pulang lagi, tantelah yang akan jadi mama kalian. Bagaimana? Bukankah tante lebih cantik dari mama kalian?”
Refleks, Ryu menggeleng panik.

“Tidak mau! Aku pengen mamaku, bukan tante!”

“Aku juga!” sambar Shou cepat. “Aku tidak suka tante! Mama jauh lebih cantik dari tante. Tante jahat, tante kayak nenek sihir!! Aku nggak suka tante!!”

Shiori melirik Shou tajam, membuat bocah itu kian merapatkan diri dalam lindungan kakaknya.

“ Hmmm, kau tahu bocah kecil? Tante juga tidak suka padamu. Matamu itu membuat tante ingat mama kalian. Dan asal kalian tahu, tante memang tidak menyukai mama kalian itu. Dan tante akan sangat senang, kalau mama kalian ternyata tidak pulang lagi.”

Ryu dan Shou tersentak. Kepanikan kian melanda hati kanak-kanak mereka. Dan tanpa dikomando, keduanya menjerit keras bersamaan lantas menangis meraung, membuat Shiori kaget dan meloncat dari duduknya.

“Ka~kalian diamlah!” sentaknya panik. Keduanya tidak mendengar, tetap menangis keras.

“Ryu, Shou.. Sttt sudah! Diam!!” Shiori kian panik. Mencoba mendekat untuk meraih tubuh keduanya.

Ryu dan Shou berontak.

“TIDAK MAUUUUU!!! Tante pergi sana!!! Tante jahaaatt. MAMAAAAAA!!!! Aaaaaaaa~nngggg!!”

Shou melempar bantal, mengenai tubuh Shiori.

Bocah ini!! Desis Shiori marah.

“PERGIIIIII!!!” teriak Shou.

Bi Michi dan Naoko yang mendengar tangisan keduanya terbirit-birit berlari ke kamar kedua tuan muda mereka. Terkaget-kaget saat melihat Ryu dan Shou tengah melempari Shiori dengan bantal dan guling, juga benda lain yang ada di sekitar tempat tidur mereka.

“Tuan muda!!” keduanya menghambur untuk memeluk kedua bocah itu. Bibi Michi, yang sebelumnya mendapat laporan dari Naoko tentang apa yang  terjadi, menjadi waspada kini. Terlebih,  dengan sikap Ryu dan Shou yang tidak seperti biasanya. Baru kali ini ia melihat kedua tuan mudanya itu bersikap tidak sopan dan sangat memusuhi orang yang baru mereka kenal. Pasti ada alasan kuat bagi keduanya sehingga bersikap seperti itu.

Ryu dan Shou masih menangis dalam pelukan Bibi Michi.

“Naoko, “ ujar Bi Michi. “Lebih baik telepon Tuan Masumi sekarang.”

“Baik!” angguk Naoko. Gadis itu langsung berlari menghampiri pesawat telepon.

Shiori tergagap dengan panik melihat Naoko berlari ke lorong. 

“Ah, biar saya saja yang menelpon Masumi!” katanya dengan panik.

“Tidak apa, Nona!” suara Bi Michi terdengar tegas, membuat Shiori menyurutkan langkahnya mengejar Naoko.

Dilihatnya pelayan setia itu tengah menatapnya dengan tajam.

“Lebih baik Nona Shiori kembali ke bawah. Biar saya yang menenangkan tuan muda.”

Suara perempuan setengah baya itu terdengar sangat berwibawa. Shiori kembali tergagap. Perempuan itu hanya sanggup berdiri dengan bingung di tempatnya.

***

“Apa saingan bisnis Daito?” Masumi mengetatkan gerahamnya, menahan amarah yang tiba-tiba muncul.  

Maya menggeleng.

“Sepertinya bukan,” sahutnya.  “Rasanya aneh kalau mereka harus bersusah payah menculik aku, Shou, dan Aiko. Untuk mengancammu, mereka tidak perlu bersusah payah menculik tiga orang.”

“kau benar, Sayang, “ angguk Masumi. 

“Apa kau tahu siapa klien kalian?” tolehnya pada Shin.

“Dia tidak menyebutkan nama. Yosuke pun baru bertemu dengannya di kebun binatang.”

“Jadi mereka tidak pernah bertemu sebelumnya?” 

Shin menggeleng. “Sepertinya tidak.  Perubahan rencananya terlalu mendadak, dan Yosuke, kalau memang klien kami itu menghubungi sebelumnya, pasti sudah memerintahkan dari awal. Saya merasa, ide penculikan ini muncul begitu saja secara spontan dari klien kami. Mungkin~” Shin menoleh ke arah Maya. “~klien kami ini punya dendam terhadap Nyonya.”

Tidak ada komentar. Masumi sibuk merunut kejadian hari ini. Jika penculik ini bertemu kliennya di kebun binatang secara tidak sengaja…

Tiba-tiba teringat kejadian Ryu yang ketakutan di restoran.

“Mungkinkah?” desisnya tanpa sadar.

“Apa yang mungkin?” Maya menengadah, menatap suaminya.

“Tadi~kami bertemu Shiori di kebun binatang.”

“Shiori? Bukankan dia di luar negeri?” Mata Maya membulat.

“Entahlah, saat aku panik menyadari kau dan Aiko diculik, tiba-tiba dia muncul. Akhirnya aku titipkan Shou dan Ryu untuk diantar pulang sementara aku mengejarmu.”

“Tapi Shiori tidak mungkin melakukan itu,” desis Maya. “Rasanya kecil kemungkinannya.”

“Dia membuat Ryu takut di restoran saat kami makan siang.”

“Eh?” Maya kembali membulatkan matanya, kaget. “Kenapa?”

Belum sempat Masumi menjawab,  handphonenya berbunyi. 

“Dari rumah,” ujarnya pada Maya. Keningnya berkerut saat mendengar suara Naoko yang panik.

“Terus menangis?” tanya Masumi dengan khawatir. “Berikan telepon ini pada anak-anak Naoko!” perintahnya kemudian. Maya menyentuh lengan suaminya, ikut khawatir,

“Ada apa dengan Ryu dan Shou?”

“Naoko bilang mereka terus menangis, sambil mengatakan kalau kau tidak akan kembali.”

“Ah!” wajah Maya memucat. “Aku ingin bicara dengan mereka, Masumi,” mata perempuan itu berkaca-kaca.

“Ya,” angguk Masumi. Diserahkannya handphone ke tangan Maya yang segera menerimanya.

“Ryu, Shou, sayang!” Maya segera memanggil nama kedua anaknya itu ketika mendengar tangis mereka di telepon. “Ini mama sayang. Jangan menangis lagi! Ryu? Shou?!”

Air mata menetes dari mata perempuan itu mendengar betapa menyayatnya tangisan kedua buah hatinya itu di telepon.

***

Mata itu tak lepas dari pintu apartemen dimana Masumi Hayami dan seorang laki-laki lain masuk lebih dari 30 menit yang lalu.

Sedang apa mereka di sana? Sangat aneh jika mereka berlama-lama di dalam apartemen kumuh seperti ini. Dan sepertinya tadi ada laki-laki lain di sana.

Meski mulai sedikit tak sabar, dikuatkannya hati untuk terus menunggu. Keningnya kembali berkerut saat melihat bayangan beberapa orang yang nampak siaga di sekitar apartemen. Baru kali ini dia menyadarinya. Di dekat pohon di sudut jalan, di balik bayangan tembok pembatas, di bawah tangga apartemen, semuanya nampak waspada.

Kejenuhan yang tadi menghampiri pun seketika menguap. Terlebih saat dilihatnya Masumi Hayami keluar bersama…

Matanya membulat.

Istri dan… putrinya?

Seorang bocah perempuan kecil nampak terlelap dalam gendongan Masumi.

Dia tidak pernah menyangka Masumi Hayami datang ke tempat itu untuk menjemput istri dan anaknya.

Tapi mengapa Maya Hayami dan putrinya ada di sini?

Terakhir diingatnya Maya Hayami berjalan ke arah toilet bersama putrinya sementara  suaminya beserta dua anak laki-laki mereka menunggu di Baby Zoo. Lalu tiba-tiba laki-laki itu nampak panik dan…

Ah!!

Ia mulai bisa menarik benang merah dari semua itu.

Ada yang sudah menculik Maya Hayami dan putrinya! Pasti, itulah yang sudah terjadi!!

Perhatiannya kembali pada dua orang yang bergegas  menuju mobil yang terparkir tak jauh dari gedung apartemen. Tak lama kemudian, mobil tersebut sudah melaju meninggalkan tempat itu.

Dipandanginya kembali pintu apartemen di lantai dua.

Laki-laki yang bersama Masumi Hayami masih ada di dalam. Orang-orang yang sedang waspada di sekitar apartemen pun masih belum beranjak dari tempat persembunyian mereka.

Tiba-tiba dari kaca spionnya, terlihat sesosok laki-laki berjalan mendekat dari arah belakang mobil. Matanya menyipit untuk melihat sosok itu lebih jelas.

Eh? Itu kan laki-laki yang bersama Shiori Takamiya di kebun binatang?

Cepat ia merunduk  saat sesosok tubuh melintas di samping mobil.

Segera disiapkannya kamera. Dan dengan sangat berhati-hati membidik sosok laki-laki yang kini menaiki tangga.

Bayangan yang tadi bersiaga di bawah tangga muncul, ikut naik di belakang Yosuke. Satu orang lagi keluar dari balik bayangan pohon dan mengikuti keduanya ke lantai dua.

Tanpa di duga, tiga sosok lain keluar dari persembunyian masing-masing. Mereka nampak berjaga di bawah tangga.

Dari balik lensa kamera, dilihatnya Yosuke terus melangkah menuju pintu apartemen yang paling ujung, tempat dimana tadi Masumi Hayami keluar. Begitu juga kedua laki-laki yang mengikutinya.

Yosuke nampak hendak membuka pintu apartemen saat dua orang yang mengikutinya mendesak tubuh laki-laki itu ke dinding.

Dengan semangat, ditekannya shutter kamera, mengabadikan semua kejadian tanpa kecuali!

***

“Tuan Muda!” Naoko berlari seraya membawa telepon wireless menghampiri Ryu dan Shou yang masih menjerit histeris di pelukan Bibi Michi. “Ini Tuan, tuan ingin bicara dengan tuan muda!”

Ryu dan Shou tak bergemig. Masih menyurukkan tangis mereka dalam pelukan Bi Michi.

“Tuan Muda, ini Tuan ingin bicara. Sudah, jangan menangis lagi,” Bibi Michi akhirnya mengambil telepon tersebut dan membujuk kedua tuan mudanya dengan lembut.

“Mamaaaaa!!!  Aaaaa~aaanng… Mamaaa!!” keduanya masih menjerit memanggil mama mereka. Tubuh mungil Ryu dan Shou nampak gemetar karena tangisan mereka yang keras.

Bibi Michi menghela nafas, lalu mendekatkan speaker telepon ke telinganya.

“Tuan Masumi, Tuan muda…,” kalimatnya menggantung. Matanya membulat 
saat mendengar suara di seberang sana. Lalu dengan gembira, menyodorkan kembali telepon itu ke depan tuan mudanya.

“Tuan muda! Ini Nyonya!! Ini mama tuan muda!!!”

Ryu langsung mengangkat wajahnya dari pelukan Bi Michi.

“Mama?!” mata bulat itu menatap pelayannya denga penuh harap. Demikian juga Shou.

Bibi Michi mengangguk. “Benar! Ini Nyonya!!”

Ryu dengan cepat meraih telepon. Tangis bocah itu kembali pecah saat mendengar suara mamanya.

“Mamaaaaa!!! Aaaaa~ng.. cepat pulaaanggg!!! Di sini ada tante jahaaaaat!!!”

Shiori terpaku di tempatnya berdiri.

Apa? Maya sudah bersama Masumi?!

Seketika amarahnya muncul. 

Apa yang sudah dikerjakan laki-laki bodoh itu!! Mengapa Masumi sampai bisa menemukan Maya!!

Cepat ia keluar kamar dan tergesa meraih handphone. Ditekannya nomor Yosuke.

Tak ada jawaban.

Setelah percobaan yang ketiga, perempuan itu menyerah.

Hatinya mendadak resah.

Bagaimana kalau sampai Yosuke buka mulut? Bagaimana kalau Masumi sampai tahu, akulah orang yang berada di balik penculikan Maya dan anaknya?

Ah!! Bagaimana ini!!! Pikirannya mulai kalut.

Tapi?!

Gerakannya yang mondar-mandir di lorong mendadak berhenti.

Laki-laki itu tidak pernah tahu namaku. Aku juga selalu menelponnya dengan restrictic number. Mereka tidak akan bisa melacak nomorku!

Hatinya sedikit lega.  Meski begitu, perasaan tak rela menggelayuti dadanya.

Aku udah bertindak sampai sejauh ini, aku tidak ingin pergi dengan sia-sia!

Matanya melirik pintu kamar Ryu dan Shou yang terbuka. Tidak terdengar lagi tangis kedua anak itu. Yang terdengar sekarang adalah suara Ryu, bergantian dengan adiknya, bicara dengan mama mereka.

Tanpa sadar perempuan itu mengepalkan tangannya erat.

Suara Ryu dan Shou itu terdengar bahagia, meski isakan masih sesekali terdengar dari keduanya.

Perlahan, perempuan itu kembali mendekat. Mengintip ke dalam kamar.

Meskipun air mata masih membasahi wajah, dilihatnya Ryu tengah tersenyum gembira, seraya mendengarkan suara mamanya di telepon.

Dengan perasaan berkecamuk. Perempuan itu kembali menarik tubuhnya, lalu bersender ke dinding.  Entah dari mana datangnya kesedihan yang begitu menyayat hatinya kini. 

Dipejamkannya mata. Wajah Ryu yang sedang tersenyum langsung terbayang.

Ah,  betapa bahagianya jika bisa melihat senyum itu setiap hari. Senyum itu... senyum yang terukir di wajah anakku, senyum untukku…anakku...

Kenangan 7 tahun pernikahannya mengalir membanjiri ingatannya.

Andai saja aku memiliki anak, mungkin rasanya tidak akan sesedih ini..

Setetes air mata melompat ke pipinya yang pucat. Hatinya terasa diiris-iris..

Sakiitt…

Shiori terengah. Sebelah lengannya menekan dada, berusaha menahan rasa sakit yang kian membuatnya sesak.

Bibi Michi keluar dari kamar. Cepat Shiori menegakkan badannya.

“Ah, Nona. Saya akan segera menyiapkan makan malam. Mohon nona sabar menunggu.”

“Baik, Bi,” Shiori mengangguk. “Terima kasih.”

Naoko muncul kemudian, seraya menggendong Shou.

“Kakak, cepaaatt!!” bocah itu memanggil kakaknya yang masih di dalam. “Naoko mau bacain dongeng di ruang TV! Sambil nunggu mama sama papa pulaang!”

“Iya!” terdengar suara Ryu menyahut. “Aku mau pipis duluuu!”

“Saya duluan ke bawah ya, Tuan Muda!” teriak Naoko. “Saya tunggu di ruang TV!!”

“Iyaaa!!” suara Ryu terdengar lantang menyahut.

Naoko mengangguk pelan saat melewati Shiori. Sementara Shou memandang sekilas. Lalu menyusupkan wajah mungilnya di leher Naoko, menolak melihat wajah Shiori.

Shiori menghela nafas dalam. Memandang punggung Naoko yang menuruni tangga.

Diputuskannya untuk ikut turun. Namun baru saja perempuan itu berniat untuk pergi, sosok mungil Ryu muncul. Wajah bocah itu nampak kaget saat melihat Shiori ada di depan kamarnya. Sikapnya langsung waspada.

“Ryu, tante~”

Kalimatnya menggantung karena Ryu langsung berlari ke arah tangga.

“Ryu, tunggu!” Shiori berlari mengejar. “Ryu~ jangan lari, tante ingin..!”

“Tidak mauu!!” Ryu menjerit di depannya. “Tidak mau bicara sama tante jahaaat!!” Bocah itu menuruni tangga dengan tergesa, ketakutan karena tahu Shiori mengejarnya.

“Ryu!! Dengarkan tante duluu!” Di undakan berbelok ke bawah, Shiori berhasil meraih ujung baju Ryu. Namun karena dirinya pun sama tergesanya, tak sabar ingin meraih Ryu, kakinya yang terbungkus sandal high hills , terpeleset. Cepat perempuan itu meraih apapun yang didekatnya agar dia tidak terjatuh. Namun tanpa diduga, tubuhnya malah menabrak tubuh Ryu sehingga bocah itu pun kehilangan keseimbangan.

Tanpa ampun tubuh mungilnya terguling ke bawah, diiringi teriakan ngeri Naoko yang melihat kejadian itu di kaki tangga.

Shiori berusaha berdiri dengan tubuh gemetar.

Di bawah, nampak tubuh Ryu tergeletak dengan darah keluar dari kepalanya. Tak jauh darinya, Naoko berusaha melindungi Shou yang masih digendongnya agar tidak melihat keadaan Ryu. Gadis itu  menangis.

Bibi Michi, dan beberapa pelayan lainnya bermunculan. Langsung berteriak panik melihat keadaan tuan mudanya.

Dari atas tangga, Shiori melihat semua itu seolah berada dalam adegan slow motion.

“Bukan salah~ku,” bisiknya gemetar. “Aku~tidak sengaja…”

Air mata mengalir deras ke pipinya.

***

Bersambung ke part 6




19 komentar:

  1. Paapppaaaaaa!!! My Herooo!! <3

    BalasHapus
  2. poor shin... T.T

    masumi hebat euy, pas bener actionnyah ^^

    lanjottt sista

    BalasHapus
  3. Aiko emang bener2 manis banget. Cute n lucuuuuuu......

    She's totally Daddy's baby girl!


    Masumi datan juga. Hayo selamatkan Maya n Aiko dan pulang ke rumah sebelum Shiori makin macam2

    Btw itu wartawannya bakal bantuin MM kan buat kasih pelajaran ke shiori?

    BalasHapus
  4. bertambah nih saingan masumi, aqaqaq, woh, cute-nya aiko

    BalasHapus
  5. waaaa.... pengen punya papa kayak masumi, pahlawan banget dah hehehe

    BalasHapus
  6. Woo... Papaaaa maam ciaang yuk... Heuheuehue.. Alhamdulillah udaah disuguhin crita yabg sangat menarik ini membuat mataku jd melekk.. Heuheuheuee.. Makaci apdetannya ditunggu apdetan brikutnyaa ..

    BalasHapus
  7. wuuuuuiiih papa emang selalu jadi jagoan ya .... mau dong ditolongin Masumi kisskiss... :P

    BalasHapus
  8. Yang jahat mah tetep siiiiiooooomaaaaaayyyyyyyy

    shiiiiinnnn I LOVE U...... (kasian ama shin)

    Masumi keyeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnn

    AYOOOOOOOOOOOO LANJUTTTTTTTTT (nyonya zanetti)

    BalasHapus
  9. beeuuhhhh...shiori nekad bener ya,cari masalah banget sih si jambul!?! Gak sadar apa? Maya - Aiko tuh 2 orang yg paliiinnngggg disayang masumi. Cari mati namanya kalo berani touch mereka. Aiko bener2 daddy's little girl :)

    BalasHapus
  10. T___T Ryuuu *GAPLOK SHIOMAY*

    masumi hayami org terkuat kedua di Asia ? gilee makin sukses ajah daito
    yg pertama sapa klan takamiya kah *pertanyaan ga penting*XDD
    can't wait next chapterrr please ASAP
    makasih apdetannya

    BalasHapus
  11. kyaaaaahhh
    moga ryu gpp yah
    *geplak shiory, iket di bawah puun duren*

    BalasHapus
  12. shiori ini, dimana2 bikin kacau, kenapa ryu tdk narik baju shiomay, spy ikut jatuh jg

    BalasHapus
  13. * ikutan geplak shiori *
    nih orang emg sakit jiwa deh . kegagalan mendapatkan Masumi . kegagalan dgn pernikahannya .
    kebayang nanti klo perbuatannya di beritakan dimedia ama itu wartawan . keluarga takamiya bakal malu banget tuh ...

    BalasHapus
  14. Papa Masumi hebat nyelametin keluarganya... Mama Maya juga hebat euy sangat banget ma keluarga... Shiomay ke laut aja dah.... ^^

    BalasHapus
  15. penasaran gimana akhirnya...
    bagaimana dengan shiori ya setelah dia menyebabkan kecelakaan pada ryu...
    trus gimana rekasi masumi ???
    lamakah lagi updatenya??? please cepet ya ....
    -deggg-

    BalasHapus
  16. kok yang part 6 ga ada ya, lsung part 7

    BalasHapus
  17. KOK yg part 6 nya nggak ada langsung ke part 7
    apa dihapus
    please re-upload part 6
    terima kasih

    BalasHapus