Sabtu, 05 November 2011

Daddy’s Day Out part 4


Maya mempercepat langkahnya menuju tempat yang disebutkan Masumi.

Ah, syukurlah.. aku masih bisa menyusul mereka!

Sebuah senyum terukir di bibirnya yang ranum. Dia tidak sabar lagi untuk bertemu dengan suami dan ketiga anaknya. Setengah berlari perempuan itu melewati kandang kera dan matanya langsung berbinar saat melihat keempat orang yang dirindukannya sudah menunggu.

“Mamaaaaa…!!” Ryu yang pertama berteriak menyambut kedatangannya. Bocah itu berlari dan langsung melompat ke dalam pelukan.

“Hai, sayang,” Maya tertawa, berjongkok lalu  balas memeluk anak sulungnya erat. Diciumnya pipi Ryu dengan sayang. Beberapa detik kemudian sosok lain yang lebih mungil menubruknya.

“Shou…,” lengan kanan perempuan iu terangkat untuk memeluk Shou. “Pipimu merah sekali sayang, “ komentarnya seraya mencium pipi Shou gemas. Dengan bahagia, Maya mengetatkan pelukannya kepada kedua jagoannya dan menciumi pipi kedua bocah itu berulang-ulang.

“Mama kangen banget sama kalian.”

“Mama, sih. Pake syuting segala,” sungut Ryu. Maya tergelak.

“Maaf. Hanya hari ini kok. Besok-besok, mama pasti menemani kalian lagi di rumah.”

“Sungguh?” Mata Shou membulat mendengar ucapan Mamanya. Maya mengangguk.

“Asyiiikk!!” Shou bersorak riang. Bocah itu tahu, setiap selesai membuat satu film, mamanya pasti akan terus berada di rumah untuk waktu yang lama, menemani mereka bermain dan belajar, atau membuatkan kue-kue enak yang dapat mereka santap bersama, menjemput sekolah, jalan-jalan…

Suara imut Aiko membuat Maya mendongak. Aiko nampak mengulurkan tangannya dari gendongan Masumi seraya terisak-isak.

“Mamaaaa...,” rengek gadis kecil itu.

Maya melepaskan pelukan pada kedua anak lelakinya dan berdiri untuk meraih Aiko. Gadis cilik itu langsung menyurukkan kepala di dada mamanya.

“Uuu… anak cantik. Kangen sama mama ya, sayang?” Maya merunduk untuk mencium kepala putrinya. Aiko menengadah.

“Mama dali manaaa?”

“Mama kerja dulu tadi, sayang. Aiko baik-baik saja kan, sama Papa dan Kakak?”

Masumi tersenyum. “Padahal sejak bangun dia tidak merengek nyari mama sedikitpun,” kekehnya.  Diusapnya kepala Aiko dengan lembut. “ Sekarang, sudah ada mama, langsung manjanya keluar.”

Maya tertawa, membuat suaminya menahan nafas. Hati laki-laki berdebar hangat memandang sosok mungil istrinya yang nampak sangat cantik dalam raut bahagia dan penuh cinta di depannya.

Aiko kembali menyusupkan kepala di pelukan Maya, membuat Maya kian erat merengkuh tubuh mungil itu.

“Tadi Aiko lihat binatang apa saja?” tanya perempuan itu kemudian. Tahu kalau putrinya sedang merajuk dan mencoba mengembalikan keceriaan Aiko.

Aiko  tidak menjawab, masih terisak.

“Hmm.. mama pengen lihat penguin, deh. Kesana, yuk! Lihat penguin.”

“Cudaaahhh!!!” Aiko dengan cepat mengangkat wajahnya dan berteriak. “Aiko cudah liaat!”

“Waah, sayang. Padahal mama pengen ke sana. Pasti lucu sekali pinguinnya, yaa,” Maya memasang mimik kecewa.  Aiko menatap mamanya sejenak lalu menggerinjal minta turun.

“Penguinnya cepelti ini, mamaaa..,” gadis kecil itu kembali meniru gaya jalan penguin. Berputar-putar di depan mamanya membuat Maya tergelak. Begitu juga Masumi.

Dengan gemas, Maya meraih kembali Aiko ke dalam pelukannya.

“Kalau begitu Mama lihat penguin Aiko aja deh. Ga usah ke sana,” diciuminya pipi gemuk Aiko. Aiko terkekeh senang. Gadis kecil itu sudah kembali ceria.

“Papa, ayo naik kereta itu!” Shou menunjuk ke arah monorail tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Namanya monorail, Shou,” Ryu menimpali.

“Ooo, ayo naik monorail!” Shou menyahut riang. Tanpa menungu persetujuan orang tuanya, anak itu melangkah mendahului, disusul kakaknya. Seperti biasa, Aiko pun akhirnya turun dari gendongan Maya dan berlari menyusul kedua kakaknya.

Masumi mengulurkan tangan, meraih lengan Maya dan menariknya mendekat. Maya melingkarkan sebelah lengannya di pinggang laki-laki itu seraya tersenyum.

“Kau benar-benar membuatku membujuk Pak Himekawa untuk mendahulukan scene ku sepagian ini, Tuan Masumi Hayami. Caramu licik sekali,” Maya mengerucutkan bibir mungilnya.

Masumi tergelak.

“Aku kan tidak menyuruhmu melakukan itu,” dengan ringan Masumi memeluk bahu Maya.

“Hhh, apa yang kau harapkan dari reaksiku setelah melihat foto-foto kalian? Terlebih saat kau kirimkan video penguin Shou dan Aiko. Aku sampai menyuruh Pak Hino ngebut tadi,” mulut mungil itu masih mengerucut.

Cup!

Masumi tak tahan untuk mengecup bibir mungil Maya.

Maya tersentak, lalu melotot.

“Masumi!” protesnya pelan, lalu celingukan melihat suasana. Kelihatannya tak ada yang memperhatikan. Orang-orang di sekeliling mereka nampak asyik dengan urusan masing-masing.

“Habis aku merindukanmu sepagian ini,” sahut suaminya enteng. “ Hari ini pertama kalinya aku ngajak anak-anak jalan-jalan tanpamu. Rasanya kesenanganku banyak berkurang.”

“Apa bukan karena kerepotan menangani kejailan kedua anak laki-lakimu?” Maya melirik jenaka.

“Sebagian besar karena itu,” Masumi terkekeh.

“Hhh.. mendengar itu aku jadi ragu kau benar-benar merindukanku,” keluh Maya.

Masumi memindahkan lingkaran tangannya ke pinggang ramping Maya. “Kalau itu aku sungguh-sungguh,” ujarnya kemudian.

Maya mencebik.

“Kau tak percaya?” Masumi melotot, menghentikan langkahnya, membuat langkah Maya juga terhenti. Dengan gemas Masumi menarik tubuh Maya kian merapat.

Maya tergelak.

“Aku tak ragu untuk menciumu di sini agar kau tak percaya,” ancam Masumi.

“Kau tak akan berani,” ledek Maya. Masumi kian melotot.

“Kau meremehkanku,” desisnya seraya melingkarkan kedua tangannya di pinggang istrinya, merunduk, bersiap-siap untuk membuktikan ancamannya. 

“Coba saja, nanti anak-anak melihat,” Maya tak bergemig, tetap menantang suaminya dengan senyum dikulum. Mata beningnya berbinar cerah membuat Masumi semakin tak tahan untuk mencium istri mungilnya itu.

Kepalanya kian menunduk. Semakin lama semakin dekat.

Maya menanti dengan berdebar. Terkadang Masumi memang suka nekad seperti ini. Beberapa kali laki-laki itu dengan santai menciumnya mesra di depan umum, membuat dirinya tersipu malu. Tak jarang juga adegan mesra mereka itu dimuat di media keesokan harinya.

Wajah Masumi kian mendekat. Maya mulai memejamkan mata, bersiap.

“Mama! Papa! Ayo cepaaattt!!”

Teriakan Shou membuat keduanya terperanjat kaget. Kepala mereka dengan cepat menjauh.

Nampak ketiga buah hati mereka tengah menatap keduanya dengan terheran-heran.

“Mama dan mama sedang apa?” Shou bertanya heran. Maya merasakan panas di wajahnya. Sementara Masumi terlihat sedikit salah tingkah.

“Eh.. tadi mata mama kelilipan. Papa tadi bantuin mama membersihkan debunya,” ujar Masumi beralasan.

Diam-diam Maya terkekeh.

“Oo,” Shou nampak mangut-mangut. “Ayo cepat, Ma, Pa. Orangnya sudah banyak, tuh! Nanti kita tidak kebagian!” ujar bocah itu kemudian. Lengannya menunjuk ke arah antrian orang yang akan naik monorel.

“Wah, iya!” sahut Maya. Lalu menarik lengan suaminya untuk berjalan lebih cepat. “Ayo, Pa. Mama sudah tidak kelilipan lagi kok!” ujarnya setengah menggoda suaminya. Masumi melirik sedikit kesal, tapi kemudian tertawa lebar, mengikuti langkah istrinya lebih cepat mendekati ketiga anak mereka.

“Hmm.. tunggu balasanku nanti malam,” bisiknya di telinga sang istri, yang dibalas dengan kekehan perempuan itu.

Mereka kemudian berjalan beriringan menuju stasion monorel.

***
Sebenarnya Shiori ingin berbalik dan berlari dari tadi. Tidak mau melihat lebih lama kemesraan yang terjadi di depan matanya itu. Namun entah mengapa, kakinya malah terpaku di sana. Matanya terbuka lebar. Melihat dengan jelas saat keduanya berangkulan, saat Masumi mengecup Maya tanpa ragu, melihat tatapan keduanya yang penuh cinta, semuanya! Semua gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka memang saling mencintai!

Shiori mengepalkan jemarinya. Meski berusaha menahan, tapi air mata tetap saja melompat keluar.

Cepat diusapnya air mata itu.

“Jadi bagaimana?” suara Yosuke membuatnya mengalihkan pandangan dari lima sosok yang kini mulai menjauh. “Kalau Anda menerima tawaranku, maka Anda akan bisa bersama lelaki itu, tanpa gangguan dari istri dan anak-anaknya.”

“Kau yakin bisa melakukannya?” Shiori menatap Yosuke penuh selidik.

“Wow, jangan meragukan keahlian aku dan partnerku, Nona,” jawab Yosuke sedikit tersinggung dengan tatapan meremehkan Shiori. “Jika Anda setuju dengan penawaran saya, dalam sekali telepon, maka partner saya akan langsung bertindak.”

“Tapi jangan ganggu anak yang paling besar!”

“Kenapa? Apakah anak itu…,”

“Jangan banyak tanya!” potong Shiori. “Aku akan memberi berapapun yang kau minta asalkan kau benar-benar bisa menyingkirkan perempuan itu dan anak-anaknya, kecuali yang paling besar!”

“Benarkah?” Mata Yosuke berkilat senang. Sejumlah uang terpikirkan di benaknya. “Anda akan memberikan berapapun yang aku minta?”

“Asal jangan libatkan namaku!”

“Tentu, Nona. Jangan khawatir. Tapi sebelum saya menelepon Shin untuk segera bertindak, ada baiknya kita bernegosiasi dulu.”

Dengan tak sabar Shiori membuka tas tangannya dan mengeluarkan buku cek. Lalu menuliskan sejumlah angka di sana.

Begitu selesai, disodorkannya cek itu ke hadapan Yosuke.

“Begitu kau berhasil menyingkirkan Maya dan kedua anaknya, kau akan menerima sisanya, lima kali lipat dari yang sekarang kuberikan padamu.”

Mata Yosuke membesar melihat jumlah yang tertera di cek.

Jika dia sanggup memberiku lima kali lipatnya tanpa ragu, berarti perempuan ini adalah perempuan yang sangat kaya! Pikirnya.

“Menyingkirkan tiga orang bukan pekerjaan yang mudah, terlebih jika..”

“Sepuluh kali lipat!” Shiori memotong cepat.

Yosuke tersenyum lebar. “Setuju!”

Disimpannya cek itu ke dalam saku jaketnya dan mengeluarkan handphone.

“Shin!” serunya begitu panggilannya tersambung. “Bersiap-siaplah. Tugasmu tidak lagi membawa satu orang. Tapi tiga orang sekaligus!”

Butuh beberapa menit bagi Yosuke untuk menjelaskan perintahnya pada Shin. Shiori memperhatikannya dengan waspada. Mendengarkan semua detail yang diucapkan Yosuke pada partnernya.

Sepertinya laki-laki ini sudah cukup ahli, pikir perempuan itu. Beberapa saat kegamangan menyelusupi hatinya. 

Ah, apa yang akan aku lakukan?

Tubuh Shiori mulai gemetar. Dirinya mulai kaget dengan apa yang sudah dipikirkannya tadi.

“Ah, Tuan…”

Kalimatnya menggantung. Sudut matanya menangkap sosok keluarga Hayami  di depan sana.

Mereka tengah berada di barisan terakhir antrian monorail. Dengan ketiga anak yang berbaris di depan, Masumi nampak dengan bebas memeluk pinggang istrinya dari belakang dan dengan santainya kembali mencuri kecupan perempuan itu, berkali-kali.

Keduanya nampak tertawa bahagia.

Shiori kembali merasakan sesak di dadanya.

“Ah, ada apa, Nona?”

Yosuke yang sempat mendengar perempuan itu memanggil namanya saat ia menelepon, menoleh. Dilihatnya Shiori tengah menatap ke satu titik. Yosuke mengikuti arah pandangan Shiori dan tersenyum.

“Nona, tadi anda memanggilku?”

Shiori tergagap. Cepat mengalihkan pandangannya ke wajah Yosuke.

“Anda.. memanggilku tadi. Ada apa?”

Mata perempuan itu mengerjap. Yosuke menahan nafas.
Cantiknyaaa…

Kepala cantik itu menggeleng pelan. “Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Shiori setengah bergumam. Adegan yang baru dilihatnya dengan cepat menghapuskan keraguannya.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Yosuke. “Saatnya bertindak. Begini rencananya…”

Keduanya tak menyadari,  bahwa seseorang tengah asyik membidik dengan antusiasme yang semakin besar.

“Menarik! Sunguh menarik!!” senyumnya.

Diputarnya lensa untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas.

***

Shinosuke Aoyama, berusia 24 tahun, bertubuh tegap, dan cukup tampan. Sebelum terpaksa harus mendekam di penjara karena melukai seorang anak pejabat dalam tawuran saat SMA, mungkin sekarang ia sudah menjadi teknisi kapal terbang seperti cita-citanya dulu. Sayang, anak pejabat yang tawuran dengannya itu kemudian meninggal dan sang ayah tampaknya tak rela melepaskan begitu saja pembunuh sang anak kesayangan.

7 tahun penjara tapi dirinya berhasil keluar sebelum masa hukumannya berakhir berkat kelakuannya yang dianggap baik dan kooperatif.

Namun dunia sudah berbeda dalam pandangannya saat ia melangkah keluar dari gerbang penjara. Masa depan sudah sudah berubah jauh dari harapan.

Pertemuannya dengan Yosuke membuat kegamangan akan masa depan sedikit terobati. Lelaki itu memberikannya tempat berteduh saat keluarganya justru tidak sudi menerima kehadirannya kembali. Setelah beberapa kali terlibat dalam ‘proyek kerja’ Yosuke, Shinichi akhirnya memantapkan langkah, sekaligus untuk membalas budi Yosuke.

Saat Yosuke memanggilnya tadi, tanpa pikir panjang dirinya langsung datang. Kini dirinya tengah berjalan mengikuti ‘tangkapan besar’ yang disebutkan Yosuke di telepon. Mereka baru saja keluar dari monorel. Keningnya berkerut saat melihat sosok suami istri di depannya. Wajah mereka sepertinya pernah dilihatnya. Namun entah dimana.

“Ingat, jangan kau ganggu si suami dan anak pertamanya!”

Laki-laki itu memutar otak, mencari cara untuk memisahkan si suami dan si sulung dari yang lainnya.

Kelimanya selalu bersama-sama, sulit mencari celah!

Shin terus mengekor.

Perempuan mungil itu… aku yakin aku pernah melihatnya sebelum ini!

Keluarga di depannya berhenti di depan komplek baby zoo.  Jantung Shin berdegup lebih kencang saat dilihatnya si istri dengan menggendong anak perempuannya memisahkan diri menuju toilet.

Kesempatanku! Pikirnya antusias.

Cepat-cepat Shin mengikuti sasarannya.

Biarlah, meski tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Yosuke, tapi setidaknya aku bisa menangkap dua sekaligus!

Lengannya meraih sebuah benda di balik jaket.  Menunggu dengan sabar dan bersiap untuk melakukan aksinya.

***

Maya mengajak putri kecilnya bernyanyi selama mengganti baju Aiko yang basah karena tersiram air mineral. Gadis kecil itu memaksa untuk minum sendiri dari botol. Tidak mau minum melalui gelas khusus miliknya. Gerakan monorail yang sedikit bergoyang membuat air tersebut lebih banyak tumpah ke bajunya daripada masuk ke dalam mulut mungilnya.


Untuk pergi ke tempat baby bed cukup jauh dari stasiun tempat mereka turun. Jadi terpaksa Maya mengajak Aiko ke toilet agar bisa mengganti bajunya yang basah sementara Masumi dan kedua anak lelaki mereka menunggu di baby zoo.


“Selesaiii!” senyum Maya begitu selesai mengikatkan tali sepatu Aiko. Aiko tertawa lebar seraya melemparkan diri ke dalam pelukan mamanya.


“Ayo liat binatang lagi, Mama!” ujar Aiko. Maya mengangguk.


“Tapi bantuin mama beresin baju Aiko dulu, Mau?”


Gadis kecil itu mengangguk riang. Maya mendudukkan kembali Aiko di depan kaca wastafel,  tersenyum saat Aiko menyodorkan kaos kaki kecilnya yang tergeletak di sana.


“Terima kasih, sayang,” dikecupnya pipi Aiko sebagai hadiah. Aiko tergelak senang.


Setelah semua baju Aiko rapi di dalam tas, Maya segera menggendong kembali putrinya keluar toilet.


“Liat binatang lagi, Mama?” tanya Aiko penuh harap.


Maya mengangguk. “Papa dan Kakak sudah menunggu di sana.”


Aiko bersorak senang. “Liat pinguin lagi?” suaranya terdengar penuh harap.


“Aiko suka penguin?” Maya balik bertanya.


Cepat kepala mungil itu mengangguk. “Cukaa!! Aiko  main cama penguin!”


“Penguin sukanya main di salju, loo..’”


“Calcu?” Aiko mengerutkan kening lucu. Lalu mendongak ke atas, menatap langit yang cerah. Seingatnya, Salju adalah benda putih yang turun dari langit dan membuat udara sangat dingin. Tapi sekarang benda itu sama sekali tidak ada, dan dirinya tidak kedinginan.


“Tapi calcunya tidak adaaa,” keluhnya kemudian.


Maya tertawa. “Hmmm… sepertinya Mama bisa kasih Aiko penguin yang bisa main kapan saja.”


“Tidak ada calcu bica main?”


Maya mengangguk membuat mata Aiko berkilau senang. Keduanya kembali melangkah riang menuju area baby zoo.


Udara panas sudah mulai berkurang karena hari mulai beranjak sore. Maya mengeluarkan handphonenya dan menekan tombol 1, menghubungi suaminya.  Baru saja nada sambung pertama terdengar saat Maya merasakan suatu benda bulat menempel di punggung.


“Ikuti perintah saya jika nyonya tidak ingin isi dari benda yang kini menempel di punggung nyonya ini keluar”


Suara itu pelan, namun  cukup membuat Maya paham apa yang sedang terjadi.


“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Maya sambil berusaha untuk tetap tenang.  Didengarnya suara Masumi di telepon.


“Matikan HP anda dulu!” suara di belakangnya terdengar tegas. Maya menurut. Menurunkan Hp dari telinganya.


“Sudah,” bisiknya.


Dipeluknya Aiko erat. Gadis kecil itu berkerut heran melihat seorang paman yang tidak dikenal, tiba-tiba menyapa ibunya.


“Paman ciapa?” tanyanya polos yang hanya dibalas dengan senyuman sekilas Shin.


“Sekarang  teruslah berjalan ke arah pintu keluar dengan tenang. Ingat! Jangan bersikap mencurigakan!”


Maya mendengarkan dan mulai berjalan ke arah pintu keluar terdekat. Sementara di gendongannya Aiko kian berkerut heran. Seingatnya, papa dan kedua kakaknya menunggu di arah yang berlawanan dengan arah yang akan dituju mamanya sekarang.


“Mamaaa!! Papa dan kakak di canaaaa!” teriak gadis kecil itu protes.


“Sekarang papanya nunggu di luar, Manis,” Shin menjawab pertanyaan Aiko cepat. Berharap bocah itu segera diam. Aiko menatap Shin tajam.


“Bohooong. Papa Aiko di cana!” Aiko tetap menunjuk ke arah baby zoo

“Penguinnya di canaaa~ …a~ng… Mamaaa~ !! Ke papaaa~~!!” Aiko mulai menangis. “Ke penguii~nnn!!!”


“Sayang, iya.. nanti kita ke sana,” Maya mencoba menenangkan.


Shin mulai panik. Tangisan Aiko menarik perhatian orang-orang yang melewati mereka.


“Jika ingin selamat, cepat jalan ke luar!” ditekannya benda yang sejak tadi dipegang lebih dalam ke punggung Maya. Maya mempercepat langkahnya. 

Sementara Aiko kian menangis keras.


**


Masumi mengernyit heran ketika tak ada suara yang membalas sapaannya.


“Sayang, halo? Halo?!”


Yang terdengar hanya suara gemerisik pelan, seolah benda itu tengah dimasukkan ke dalam sesuatu.


“Maya? Halooo!”


Masumi mendengar suara-suara samar. Beberapa saat ia terus mendengarkan. Perasaannya mengatakan sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.  Lalu..


Penguinnya di canaaa~ …a~ng… Mamaaa~ !! Ke papaaa~~!!


Suara tangis Aiko!


Masumi segera mendekati kedua anaknya.


“Ryu! Shou! Kita susul Mama sebentar, yuk!” dengan sekali angkat Masumi menggendong Shou dan menarik tangan Ryu untuk berjalan lebih cepat.


“Emang mama kenapa?” Ryu menatap papanya sambil setengah berlari mengikuti langkah Masumi. Masumi tidak menjawab. Menyadari langkah Ryu masih terlalu pendek untuk mengikuti, ia pun mengangkat Ryu sehingga sekarang ia menggendong keduanya di kiri dan kanannya.


Menyadari mimik khawatir sang ayah, Ryu tidak bertanya lagi. tangan mungilnya melingkari leher  Masumi yang setengah berlari agar tidak terjatuh.


Masumi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia sudah berada di area toilet yang tadi dimasuki Maya. Namun sosok mungil istrinya itu tidak nampak.


Dihampirinya seorang perempuan setengah baya yang baru keluar dari toilet.


“Maaf, Bu. Apakah di dalam melihat seorang perempuan berbaju biru, tingginya sekitar 155 cm bersama seorang bayi perempuan satu tahunan?”


Perempuan itu berfikir sejnak, lalu menggeleng. “Sepertinya tidak ada.”


Masumi merasakan dadanya semakin berdetak khawatir.


Ia pun kembali berlari ke arah jalan keluar. Beberapa puluh meter di depan, akhirnya dilihatnya sosok Maya. Aiko nampak menangis di gendongannya. Kening Masumi berkerut curiga melihat seorang laki-laki nampak ketat mengikuti punggung istrinya, menghalangi pandangannya akan anak dan istrinya itu.


“Itu Mama!” Shou menunjuk ke arah Maya. “Mama mau kemana, Pa?”


Masumi menurunkan kedua anaknya dan kembali meraih telepon. Benda itu masih menyala, terhubung dengan telepon istrinya.


Apa yang kau inginkan?


Di dengarnya suara Maya samar-samar. Masumi tidak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara Maya.


Jika kau menginginkan uang, aku bisa memberikannya padamu, Asal lepaskan aku dan putriku.


Seketika Masumi merasakan tubuhnya membeku.


Diculik!  Maya dan Aiko diculik!!


Beberapa saat kemudian amarah mulai menggelegak di dadanya.


Beraninya! Tak akan kubiarkan orang yang berani menculik istri dan anakku!


Sosok istrinya sudah keluar dari gerbang. Laki-laki yang mengikutinya nampak dengan agak kasar mendorong perempuan mungil itu masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu.


Masumi mengepalkan lengannya dengan amarah yang menggelegak. Baru saja ia hendak berlari menyusul saat sadar dirinya tengah bersama kedua anaknya.


Ah! Apa yang harus kulakukan?


Mata  laki-laki itu mengerjap resah. Namun cepat otaknya berputar. Diraihnya handphone dan segera menekan nomor Hijiri.


“Aku di kebun binatang. Ada yang menculik Maya dan Aiko, tapi aku tidak bisa mengejar mereka . Ryu dan Shou bersamaku,” ujar Masumi tanpa basa-basi. 

“GPS Maya aktif, tolong lacak dan ikuti posisinya. Setelah aku mengantarkan anak-anak pulang, aku akan segera menyusul!”


Saat menutup handphone, baru disadarinya Ryu dan Shou tengah menatapnya dengan wajah pucat. Shou bahkan terisak.


“Kalian kenapa?” Masumi berjongkok.


“Mama dan Aiko.. di~culik? Benarkah, Papa?” Ryu bertanya takut-takut.   

Masumi tertegun.


Ah, mereka mendengarku tadi… Kenapa aku ceroboh!  Sesalnya.


Dipeluknya kedua anak itu segera.


“Mama dan Aiko akan baik-baik saja. Tenanglah.”


Shou menangis kian keras. Semantara Ryu mulai terisak-isak.


“Sayang, tenanglah,” Masumi mengetatkan pelukannya. “Sekarang Papa akan mengantar kalian pulang dulu, lalu Papa akan jemput Mama dan Aiko.”


Shou mendongak untuk memandang wajah Papanya.


“Sungguh?” mata bulatnya bersinar penuh harap.


“Tentu saja, Shou. Papa tidak pernah bohong, kan? Jadi jangan khawatir.”


Ketiganya baru saja akan beranjak dari sana saat sebuah suara menyapa lembut.


“Masumi?”


Masumi memutar kepalanya dan tertegun melihat sosok tinggi semampai yang kini tersenyum lembut di belakangnya.


Shiori..


Shou dan Ryu ikutan menoleh.


Kening Ryu berkerut menyadari ia pernah bertemu perempuan itu.


“AH!!” Ryu berteriak keras. Lengannya menunjuk lurus ke arah Shiori. “TANTE ANEH DI RESTORAAAN!!”


Seketika wajah Shiori memucat.


***


“Aku tadi tidak tahu kalau dia anakmu, Masumi,” ujar Shiori dengan wajah merona. “Karena dia tampan sekali, aku jadi ingin mengetahui namanya. Tak kusangka dia ketakutan dan berteriak. Saking kagetnya, aku langsung lari,” jelasnya kemudian. Lalu perempuan itu berjongkok di hadapan Ryu. “Maafkan tante ya, Nak.”


Ryu mundur menghindari jemari Shiori yang akan membelai pipinya. Shiori menelan dalam-dalam rasa dongkol atas sikap bocah itu. Ia kembali berdiri dengan senyum manis yang masih tetap menghiasi wajahnya.


“Tapi, mengapa kalian cuma bertiga? Mana istrimu?”


“Ah, Shiori.. itu~” Masumi menatap Shiori dengan mendadak sebuah ide muncul di pikirannya. 


“Shiori,” ujarnya kemudian. “Bisakah aku minta tolong?”


“Tentu saja!” sahut Shiori cepat.


“Ada yang terjadi dengan Maya dan Aiko, putri bungsu kami. Aku harus segera menyusul mereka. Bisakah… aku minta tolong padamu untuk menemani Ryu dan Shou pulang?”


Pulang? Ke rumah Masumi?


Hatinya mendadak berbunga-bunga.


Aku akan ke rumah Masumi!


“Tentu saja. Aku akan menemani mereka.”


“Terima kasih. Apakah kau membawa mobil?”


“Aku bersama sopirku. Kalau kau mau aku akan menelponnya sekarang untuk 
menjemput kita di sini.”


“Tentu saja. Terimakasih!”


Tak sampai 10 menit, mobil mewah milik Shiori sudah berada di depan mereka. Hati Shiori berbunga bahagia saat Masumi ikut masuk ke dalamnya, duduk di dekat sopir.


Aku, Masumi, dan…


diliriknya Ryu dan Shou yang kini duduk disampingnya.


 … anak-anak…


Hatinya terasa hangat. Tanpa dapat dicegah, pipi perempuan itu merona. Bayangan sebuah keluarga bahagia memenuhi angannya.


“Ah! Aku turun di sini!” Seru Masumi tiba-tiba saat mobil melewati sebuah area parkir, langsung menerbangkan semua khayalan Shiori.

“Eh?” Shiori memandang Masumi dengan heran. “Bukankah kita akan…”


“Mobilku diparkir di sini. Aku harus segera menyusul istriku,” sahut Masumi cepat. “Titip anak-anakku, Shiori. Sopirmu sudah tahu dimana alamat rumahku!” ujarnya lagi sebelum ia melompat ke luar.


Shiori hanya bisa memandangi punggung Masumi yang tengah berlari dengan kecewa. Bayangannya tentang “pulang bersama” buyar seketika.


“Pergi sekarang, Nyonya?” sang sopir bertanya pelan.


Shiori melirik dua bocah di sampingnya. Dilihatnya Shou tengah menatapnya dengan kening berkerut sementara Ryu hanya diam dengan pandangan dingin.


“Ya.. kita ke rumah mereka,” jawab Shiori. Mencoba tersenyum kepada kedua anak itu namun senyumannya seketika berubah masam saat Ryu dan Shou tetap memandangnya dengan penuh selidik.


***

Shin menarik nafas lega saat mobil tua Yosuke sudah siap di luar gerbang. Didorongnya tubuh mungil Maya masuk.


“Maaf sudah mengganggu liburan anda, Nyonya,” sapa Yosuke begitu Maya duduk. Perempuan itu tidak menjawab. Hanya mendekap tubuh Aiko semakin erat.


“Mamaa, ke Papaa~,” Aiko masih mengisak. Gadis kecil itu kian mengkerut di pelukan mamanya saat melihat ada seorang paman lagi yang tidak dikenalnya.


“Iya, Sayang. Sebentar lagi Papa pasti nyusul kita,” bisik Maya menenangkan. Diciumnya pipi putrinya dan diusapnya air mata Aiko dengan lembut.


“He..he.. benar, Cantik! Sebentar lagi papamu pasti menjemputmu sambil mengantarkan uang untuk paman,” Yosuke menganguk-angguk gembira seraya mengarahkan mobilnya meninggalkan kebun binatang menuju ke arah timur laut. Membelah keramaian dengan kecepatan yang cukup tinggi.


“Maaf, bisakah anda memelankan mobilnya?” Maya bertanya. Matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan khawatir. “Ada anak kecil di mobil ini.”


“Ah, Nyonya. Jika kita pelan-pelan,  maka akan semakin lama anda dijemput suami anda. Jadi anda tenang saja duduk di sana, Nyonya. Dan jangan khawatir. Jika saja aku tidak keburu harus menikahi istriku saat SMA dulu, mungkin sekarang aku sudah menjadi pembalap profesional.”


Maya terdiam, tidak berniat menanggapi. Kini matanya sibuk memperhatikan keadaan di luar. Mencoba mengenali dan mengingat jalan yang mereka lalui.


Maya memandangi sungai di sebelah kanannya.


Hmm~Sungai Sumida..


Maya terus mengamati. Mereka sudah memasuki Asakusa dan mobil terus melaju menuju utara.


Disampingnya, Shin juga sibuk mengamati wajah mungil yang kini bisa jelas dilihatnya itu.


Wajah yang sangat menarik, pikirnya. Semakin lama memandangnya, semakin terlihat cantik.


Tanpa disadari, ia semakin asyik memandang wajah tawanannya itu. Terpesona.


Aku yakin, pernah melihatnya sebelum ini…


Kini kening laki-laki itu berkerut. Mencoba mengingat meski beberapa menit kemudian ia menyerah. Sementara yang dipandangi masih asyik melihat ke luar jendela. Putri kecilnya kini sudah tidak menangis lagi. Aiko nampak tertidur di pelukan Maya. Kelelahan.


Mobil membelok ke arah kiri. Maya mencoba mengenali sebuah subway yang baru dilewatinya.


Mi~nami~Sen~ju…?


Kecepatan mobil yang dinaikinya membuatnya ragu dengan apa yang dibacanya. Ia tidak begitu mengenali wilayah ini.


Tak sampai lima menit kemudian, Mobil berhenti di depan sebuah apartemen kumuh.


Shin membuka pintu dan menunggu Maya keluar. Perempuan itu sedikit kerepotan dengan Aiko di pelukannya. Tidak ingin membangunkan putri kecilnya, Maya keluar dengan hati-hati. Tanpa banyak bertanya ia menurut saja saat Shin mendorongnya masuk ke gedung apartemen. Mereka naik ke lantai tiga. Yosuke membuka salah satu pintu apartemen yang terletak di paling ujung.


Ruangan yang mereka masuki gelap. Maya mengernyitkan hidung, mencium bau apek dan pengap di sekelilingnya. Saat lampu menyala, dilihatnya ruangan apartemen itu sangat berantakan. Seperti sudah lama tidak ditinggali. Berdebu dengan perabotan yang nampak sudah usang.


“Maaf jika ruangan ini tidak sebanding dengan rumah anda, Nyonya,” senyum Yosuke. “Mungkin anda akan merasa tidak nyaman. Tapi jangan khawatir. Asalkan suami anda bisa dengan segera menuruti apa yang akan kami minta nanti, anda akan segera kembali ke rumah anda yang nyaman.”


Maya menatap Yosuke dengan tajam.


“Berapa yang kau butuhkan? Aku bisa memberimu sekarang juga!”


Yosuke tertawa.


“Hahaha!  Nyonya, saya yakin anda bisa memberikannya sekarang juga. Tapi~ jika saya melepaskan anda sekarang, ada yang akan merasa tidak senang. Jadi maaf, saya lebih suka menunggu suami anda saja.”


Eh?


Maya mengerutkan kening. Apa maksudnya? Apa ada seseorang yang menyuruh dua orang ini menculikku?


Pikiran perempuan itu melayang pada saingan bisnis suaminya.


Apakah salah satu dari mereka?


“Kalau kau memang menginginkan sesuatu dari suamiku, kenapa aku belum melihat kalian menelponnya?” tanya Maya kemudian.


“Ah, kau benar, Nyonya!” Yosuke menjentikkan jarinya. “Akan saya telepon suami anda, tapi tidak sekarang. Hmmm~mungkin dua atau tiga jam lagi.”


Maya kian mengernyit heran.


Aneh, mengapa mereka begitu santai? Bukankah seharusnya mereka segera menelpon Masumi untuk meminta tebusan? Pikirnya.


“Sementara itu, Nyonya. Silahkan Anda istirahat di sini. Saya akan keluar sebentar membeli makanan. Siapa tahu anda lapar.”


Yosuke menoleh ke arah Shin yang sejak tadi hanya diam mematung, memperhatikan keduanya.


“Shin! Jaga Nyonya ini dan anaknya baik-baik. Jangan lengah! Aku akan keluar sebentar.”


Shin hanya mengangguk patuh.


Yosuke beranjak menuju pintu.


“Ah!” Langkah Yosuke terhenti tepat sebelum lengannya membuka pintu. Kembali ia berbalik, menghampiri Maya.


“Kemarikan HP anda, Nyonya!”


Maya terdiam. Mencoba memahami maksud Yosuke.


“Nyonya, bagaimana saya akan bisa menelpon suami anda jika saya tidak tahu nomornya,” jelas Yosuke kemudian.


Heh? Mereka tidak tahu…?


Maya mulai meragukan kalau kedua orang ini adalah suruhan saingan bisnis suaminya.


“Aku hafal nomornya. Kau masukkan saja ke HP-mu,” ujar Maya. Yosuke mengangguk senang.


“Yah, begitu juga tidak apa. Berapa nomornya?”


Maya menyebutkan nomor Masumi. Dengan cepat Yosuke mengetikkannya ke dalam contact nomor di Hp-nya.


“Dan~nama suami anda?”


Maya kembali menatap tajam Yosuke sebelum menyebutkan nama suaminya.


“Masumi~Hayami.”


Nampak Yosuke mengangguk-angguk. Tak terlihat terkejut ataupun tanda-tanda lain kalau dia mengetahui nama itu.


“Baiklah, Nyonya Hayami,” ujar Yosuke kemudian dengan gembira. “Senang anda mau bekerja sama,” lanjutnya seraya menggoyangkan HP-nya di depan Maya. “Nah, saya permisi dulu.”


Maya menatap punggung Yosuke dengan perasaan campur aduk.


Dia tidak mengenali Masumi dan aku. Jadi siapa yang menyuruhnya?


Suara deheman membuat perempuan itu menoleh. Nampak Shin tengah menatapnya dan sedikit tersipu saat pandangan mereka bertemu.


“Engh, maaf. Duduklah. Anda pasti pegal terus berdiri sambil menggendong putri anda seperti itu,” ujar Shin kikuk. Maya mengalihkan pandangan ke arah sofa usang dan berdebu yang ditunjukkan Shin.


“Ah.. saya bersihkan dulu~,” laki-laki itu bergegas menghampiri sofa dan menepuk-nepuknya dengan gugup. Membuat debu beterbangan kemana-mana.


Maya terbatuk-batuk. Didekapnya Aiko ke dadanya agar putrinya itu tidak ikut menghisap debunya.


“Sudah, tidak usah dibersihkan lagi. Cukup.. uhuk!!” ujar Maya. Shin segera menegakkan badannya. Kian gugup menyadari perbuatannya malah membuat tawanannya merasa kian tidak nyaman.


Aiko terbangun di pelukan Maya. Gadis kecil itu merengek dan mulai menangis lagi.


“Ssshhh, Sayang,” Maya menepuk-nepuk punggung Aiko lembut. “ Mama di sini. Aiko tidur lagi ya..”


Aiko kembali terlelap setelah beberapa lama Maya menepuk-nepuk punggungnya. Perlahan Maya mendekati sofa dan duduk di atasnya. Dengan hati-hati mengubah posisi Aiko sehingga anak itu terbaring di pangkuannya.


“Bisakah aku meminjam selimut?” Maya menatap Shin yang masih berdiri kikuk di dekat sofa. “Kalau ada yang.. cukup bersih.”


“Ah.. ya..” kembali Shin merasa gugup saat mata bulat nan bening itu kembali menatapnya. “Se~sebentar.”


Laki-laki itu bergegas mendekati lemari tua di ujung ruangan, dekat sebuah pintu. Setelah cukup lama mengaduk-aduk isinya, laki-laki itu kembali dengan membawa selembar kain.


“Ini~ hanya ini yang ada. Maaf..”


Maya menerima kain tersebut.


“Tak apa, terima kasih,” senyumnya kemudian membuat Shin merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dengan tiba-tiba.


Ma~manisnyaa…


Shin merasakan wajahnya memanas kini. Dipandanginya perempuan mungil yang kini tengah menyelimuti putrinya itu dengan dada yang masih berdebar.


Ah, apa yang terjadi padaku? Desah hatinya bingung.


***


Masumi mendengarkan penjelasan Hijiri lewat handphonenya.


“Bagus! Jangan sampai gegabah. Jangan sampai istri dan anakku terluka sedikitpun!”


Hari sudah beranjak malam. Masumi melirik jam di pergelangan tangannya.


 “Maya, Aiko, bertahanlah!”


Dipacunya mobil menuju Asakusa.


***


Shiori memandang pintu gerbang otomatis yang perlahan membuka dihadapannya. Mobil kini memasuki halaman sebuah rumah modern berarsitektur Jepang yang menjadi kediaman Masumi tujuh tahun terakhir ini. Halamannya cukup luas dengan jalan setengah melingkar sehingga mobilnya bisa berhenti tepat di depan teras depan yang berundak.


Pandangan perempuan itu berkeliling. Mengagumi taman cantik penuh bunga dengan kolam air mancur yang menjadi halaman depan rumah itu. Rumput yang nampak hijau kian menyegarkan suasana.Temaram lampu taman yang sudah mulai dinyalakan membuat suasana terkesan sangat romantis.


Dada Shiori berdebar. Perlahan ia menjejakkan kakinya di jalan bebatuan halus bawahnya.


Rumah Masumi…


Mata perempuan itu berbinar, senang.


“Selamat datang, Nona,” sebuah suara membuatnya menoleh. Nampak dua orang berpakaian pelayan berdiri di teras dan membungkuk.


“Apa kabar, Nona shiori?” sapa pelayan yang lebih tua. Kening Shiori mengernyit, mencoba mengingat wajah pelayan yang menyapanya tadi. Tapi tak kunjung diingatnya.


“Ah, kabar baik. Terima kasih.”


Dua sosok mungil yang kemudian melompat keluar mobil mengalihkan perhatiannya. Ryu dan Shou menghambur memeluk si pelayan. Keduanya menangis.


 Bibi Michi yang sudah mendapat telepon dari Masumi balas memeluk keduanya dengan sayang.


“Tenanglah, Tuan Muda,” bisiknya menenangkan. “ Mama Tuan Muda dan Nona Aiko pasti baik-baik saja.”


“Tapi Mama dan Aiko dibawa orang jahaaat,” isak Shou.


“Papa Tuan Muda sedang menolong Mama Tuan Muda dan Nona Aiko. Jadi jangan khawatir. ”


Bibi Michi memberi isyarat kepada pelayan yang satunya untuk mengantar kedua tuan muda mereka masuk. Segera pelayan yang lebih muda itu menuntun tangan kedua tuan mudanya dengan lembut.


Bibi Michi kembali tersenyum kepada tamu tuannya itu.


“Silahkan masuk, Nona.”


Shiori tersenyum. Lalu dengan anggun melangkah memasuki ruang tamu. Mata Shiori membulat melihat dekorasi ruang yang kini dimasukinya. Ruang tamu itu nampak luas dengan jajaran jendela besar di dua sisi yang memperlihatkan keindahan taman depan dan halaman samping. Dinding berwarna putih nampak berpadu dengan lantai kayu coklat muda  dibawahnya. Warna lantai itu hanya sedikit lebih muda dari warna sau set kursi tamu antik bergaya Victoria nampak anggun berdiri di sisi kanan ruangan. Sementara di sisi lainnya, berdiri sofa tamu modern dengan warna senada.


Dinding pemisah antara ruang tamu dengan ruang setelahnya merupakan dinding kaca yang juga difungsikan sebagai lemari yang penuh dengan hiasan indah dengan pintu penghubung di tengah. Dua keramik besar menghiasi kiri dan kanannya.


Tanpa menghiraukan tatapan heran Bi Michi, Shiori melangkah memasuki ruangan yang ternyata adalah ruangan keluarga yang bersatu dengan ruang makan.


Sebuah foto besar di salah satu dinding menarik perhatian. Seketika wajah perempuan itu membeku. Kedua tangannya mengepal kuat.


Foto pernikahan Masumi dan Maya!

Dengan hati yang dipenuhi rasa cemburu, dipandanginya wajah Masumi yang 
nampak tersenyum bahagia dengan Maya dalam pelukannya.


Cepat perempuan itu mengalihkan pandangannya dari foto tersebut. Sekuat tenaga meredakan sesak yang tiba-tiba muncul. Matanya menangkap sebuah koridor yang cukup lebar yang berada di sebelah kirinya. Koridor itu ternyata mengarah ke sebuah tangga menuju lantai dua.


Mata Shiori kembali melebar.


Dinding di sepanjang koridor dan tangga rupanya difungsikan juga sebagai galeri foto keluarga.


Matanya memanas.


Foto-foto itu menggambarkan dengan jelas kebahagiaan Masumi dan Maya, bersama anak-anak mereka!


Dengan tangan gemetar, Shiori menyentuh sebuah foto. Di foto itu nampak Maya tengah tertawa bahagia seraya menggendong seorang bayi. 
Ada sebuah tulisan tangan di bawah foto.




Bidadariku  dan malaikat kecil kami. Kalian sumber kebahagiaanku.
I love you both, soo much.
Masumi Hayami.


Dengan penuh kebencian, dilepasnya bingkai foto tersebut dari gantungannya. Namun saat dirinya hendak mengambil foto yang ada di dalamnya, sebuah suara membuat perempuan itu melonjak kaget.


“Nona, apa yang Anda lakukan?”


Bibi Michi nampak tengah memandangnya dengan penuh selidik.


Shiori tergagap.


“A~aku….”


Cepat dikembalikannya foto itu ke tempat asalnya.


“T~ta~di… bingkainya agak miring. Aku bermaksud membetulkannya.”


Bibi Michi masih memandangnya penuh selidik. Shiori mencoba menenangkan dirinya dan berjalan kembali ke ruang tamu.


“Masumi memintaku untuk menjaga anak-anak,” ujarnya kemudian seraya mendudukkan diri di kursi tamu.


“Saya tahu,” senyum Bibi Michi. Seorang pelayan lain datang dengan membawa nampan berisi minuman.


“Apakah anda menginginkan makanan kecil atau yang lainnya, Nona?”


Shiori tersenyum.


“Tidak, terima kasih,” gelengnya. “Tapi dimana anak-anak? Bolehkan saya melihat mereka?”


“Tuan muda Ryu dan tuan muda Shou ada di kamar mereka, Nona. Mereka cukup ketakutan dengan kejadian ini. Saya akan mengantar nona ke sana jika Nona ingin melihat mereka.”


“Tidak usah!” tolak Shiori. “Biar sendiri saja. Kamar mereka di lantai dua, kan?”

Tanpa menunggu jawaban pelayan tersebut, Shiori melangkahkan kakinya menuju tangga. Sebisa mungkin mengabaikan foto-foto yang dia lalui dan dengan cepat menginjakkan kaki di lantai dua.


Sebuah koridor kembali menyambutnya.


Ruang bermain anak dengan pantry kecil di dalamnya, ruang baca, ruang teater pribadi, ruang olahraga yang penuh dengan peralatan fitness…


Shiori menyusuri ruang demi ruang yang dilewatinya. Sebuah pintu dengan hiasan gantungan berbentuk mobil dengan tulisan Ryu and Shou’s Room membuatnya berhenti.


Ini kamar anak-anak…


Namun gerakan tangannya untuk membuka pintu terhenti saat sebuah pintu lain, tepat di ujung koridor, menarik perhatiannya.


Mungkinkah?


Didekatinya pintu itu dan perlahan membukanya.




Foto pernikahan yang tergantung di atas tempat tidur berukuran king size langsung menarik perhatian, membuktikan bahwa dugaannya tadi benar.


Ini kamar Masumi!


Hatinya kembali berdebar. Perlahan kakinya melangkah masuk.


Kamar ini bernuansa ungu muda yang lembut. Dekorasinya sangat cantik dan terasa hangat. Namun Shiori lebih tertarik dengan tempat tidur besar di depannya.


Dirabanya tempat tidur itu dengan lembut.


Masumi… dia tidur di sini…


Lalu kepalanya mendongak, menatap foto pernikahan Masumi.


Entah mengapa, dalam pandangannya, wajah Maya yang sedang tersenyum bahagia, kini berubah menjadi wajahnya sendiri.


Ah, seharusnya memang begitu, bukan?  Pikirnya bahagia.


Shiori merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Mencoba menerka di sisi mana Masumi biasanya tidur. Senyumnya mengembang saat mencium wangi maskulin di salah satu bantal.


Masumiii…


Diciuminya bantal tersebut. Kini,  ada gambaran dirinya berbaring dalam pelukan Masumi dalam benaknya. Di atas tempat tidur ini.


Ah, Masumiii…


Kembali ia mendesah bahagia. Matanya terpejam, membayangkan hal-hal romantis yang mungkin terjadi antara dirinya dan Masumi di kamar ini.


Kau adalah milikku, Masumi..


Shiori kembali menciumi bantal yang kini dipeluknya.


Kau adalah milikku.. milikku..


Mata yang tadinya terpejam penuh khayalan itu tiba-tiba membuka dengan cepat.


Aku ingin dia jadi milikku! Kembali menjadi milikku!!


Shiori meloncat bangun. Lalu kembali menatap foto pernikahan Masumi dengan pandangan jijik yang ditujukan pada sosok wanita mungil dalam pelukan laki-laki itu.


Secepatnya aku harus menyingkrkanmu Maya. Dan akulah yang nanti akan berada dalam pelukan Masumi, dan menjadi nyonya di rumah ini!


Shiori merogoh handphone dari dalam tas tangannya. Ditekannya sebuah nomor. Dinada panggil ketiga, sebuah suara berat menyambut.


“Halo?”


Diseberang sana, Yosuke tersenyum senang saat mengetahui siapa yang menelponnya.


"Apa yang bisa saya bantu, Nona?"

***

bersambung ke part 5 









11 komentar:

  1. aaaakhhh suka bgt cerita ini makin seruuuuuuuu
    ikutan tegang nih tak sabar kelanjutannya
    makasih Avira :)

    BalasHapus
  2. Haduuuhhh...makin tegang ceritanya! Shiori ini kapan insyafnya sih?!

    BalasHapus
  3. itu yg moto2 siapa sih ?
    klo liat dr jalan pikirannya kyknya org jahat juga
    tp gw doain die paparazi
    jd klo ada apa2 dgn masumi n keluarga , itu poto2 bisa membantu ...huhuhuhu

    BalasHapus
  4. haisshhhhh ga sopan shiomay selidik2 rumah orang tuh....ckckckck

    BalasHapus
  5. Astaga! Sakit jiwa beneran si shiori. Kenapa sih dia harus selalu beredar diantara maya - masumi?!? Ke laut aja donk,shioriiiiii...you are so disturbing! *erosi jiwa*

    BalasHapus
  6. keren sekaliii...!!
    ayo, aku nggak sabar baca kelanjutannya :)

    BalasHapus
  7. sakit jiwa nih si shiori ...parah blasss ... ga malu apa ya dia ??? sensor etika ama normanya udh eror abis dah ...

    BalasHapus
  8. jadi penasaran, dimana shin pernah melihat maya, ih, shiori, masih begitu juga, tdk ada perkembangan, tetap jahat

    BalasHapus
  9. Shiory stresssssss gak tau malu mengharapkan yg bukan jadi miliknya stresssssss

    BalasHapus
  10. Shin pernah liat maya mungkin lewat film / drama / iklan . kan maya artis ....

    BalasHapus