Masumi duduk di
depan Maya yang kini nampak pucat memandangi anyelir merahnya. Mereka berada di
taman belakang, di dalam gazebo artistik yang dikelilingi kolam penuh dengan
ikan koi.
Jelas sudah
gadis ini sangat ketakutan dengan datangnya anyelir merah itu,
Masumi menatap
wajah Maya lekat-lekat. Diingatnya igauan gadis itu semalam. Kecurigaan atas
terlibatnya si pengirim anyelir dengan berbagai kecelakaan di sekeliling Maya
semakin kuat.
“Dia sudah tahu aku dimana,”
didengarnya Maya berujar lirih.
“Dia tidak akan mengganggumu di
sini,” sahut Masumi tegas.
“Dia memang tidak bisa menggangguku
di sini Pak Masumi, tapii…,” Maya mengerjap gelisah. Dengan susah payah menelan
kembali ucapan yang sudah diujung lidahnya.
Tapi dia bisa
menghampiri anda kapan pun, dan mencelakai anda…
“Apakah kecelakaan Satomi dan Mizuki
ada hubungannya dengan si Anyelir Merah ini?” Masumi tidak bisa lagi menahan
pertanyaan yang kerap terngiang dari semalam.
Dilihatnya Maya terlonjak kaget.
“Bagaimana, anda bisa…bisa berfikir
seperti itu?”
“Kau terus mengigau tentang mereka
semalam. Terus meminta maaf.”
Maya berusaha menutupi kegugupannya.
“Benarkah?” tanyanya kemudian. Mulai
merasa percuma jika terus menutupi hal itu.
“Ceritakan padaku, Mungil,” Masumi
beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Maya. Laki-laki itu kemudian
berlutut, meraih jemari Maya yang dingin dan meremasnya lembut. “Aku tak tahan
melihatmu memendam ketakutan sendirian seperti ini.”
Mulut Maya bergerak-gerak pelan,
seperti ingin mengatakan semua tapi nampak sangat ragu.
“Kau bilang kau mempercayaiku,”
bisik Masumi. “Ceritakanlah, Maya. Ijinkan aku untuk membantumu.”
Beberapa saat Maya masih ragu untuk
menceritakannya pada Masumi. Namun ketika melihat betapa lembut tatapan Masumi
padanya, dan betapa tenang hatinya saat merasakan kehangatan jemari Masumi di
jemarinya, keberaniannya menguat.
“O~orang itu…,” Maya memulai dengan
lirih. Lalu kembali diam.
Masumi menunggu dengan sabar
sementara Maya kembali merasakan keraguan saat di kepalanya berkelebat wajah
Mizuki dan Satomi.
“Mereka menunggu Anda,” bisik Maya
kemudian, masih lirih. Memutuskan untuk tidak menceritakannya.
Masumi mengerutkan keningnya tak
mengerti.
“Orang-orang dari butik,” Maya
menambahkan. Wajah Masumi mengeras seketika.
“Persetan dengan mereka!” desisnya
dengan nada tak suka. “Aku tidak mengundang mereka datang!”
Maya menelan ludahnya dengan hati
berdebar kencang. Sedikit takut melihat kemarahan membayang di wajah tampan di
depannya.
“Dan aku menunggu ceritamu, Maya.”
Masumi menatap tajam.
“Jika saya menceritakan semua pada
anda, apakah anda bisa menjanjikan satu hal padaku?”
“Apa itu?”
“Membiarkanku pulang ke
apartemenku.”
Masumi terperangah sesaat.
“Apakah kau tidak suka tinggal di
sini? Bersamaku?” ada kepedihan tersirat dalam nada suara laki-laki itu.
“Bukan begitu! aku suka… berada
dekat dengan… anda,” sanggah Maya cepat. Secepat wajahnya yang memerah
saat sadar dia baru saja mengakui perasaannya dengan jujur.
Diam-diam hati Masumi bersorak
gembira.
“Lalu kenapa? Apakah kau terganggu
dengan ayahku? Jangan pedulikan dia!”
“Tidak!” geleng Maya cepat. “Paman
baik kok. Sama sekali tidak menggangguku.”
“Jadi tidak ada masalah, bukan?
Kalau begitu kau akan tetap tinggal di sini sampai keadaan aman untukmu!”
“Aku akan baik-baik saja, Pak
Masumi!” sergah Maya cepat. “Meski aku pulang ke apartemenku, aku akan
baik-baik saja. Justru jika aku berada di sini, maka keadaannya akan
lebih buruk untuk… Anda. ”
Masumi kembali mengeryit
heran.
“Apa maksudmu?”
“Orang itu.. dia mengatakan,” Maya
meneguk ludahnya gugup. “Jika saya terlihat dekat dengan laki-laki manapun,
maka… dia… dia akan menyakiti semua orang yang berada di dekat saya.”
Masumi tercekat melihat air mata
kini beruraian di wajah mungil Maya.
“Satomi… juga Nona Mizuki.. mereka..
mereka … orang itu sudah menyakiti mereka. Dan dia.. sudah tahu kalau saya…
berada di rumah Anda. Saya tidak mau kalau.. kalau dia juga menyakiti anda…
atau paman..”
Kini Maya benar-benar terisak.
Tubuhnya kembali gemetar.
Masumi segera meraih tubuh mungil
itu ke dalam dekapannya. Kini dia paham, mengapa Maya bersikeras ingin kembali
ke apartemennya.
“Tak akan ada yang menyakitiku,
Maya. Percayalah.”
“Peluru itu bukan untuk saya, pak
Masumi. Tapi untuk anda!” Maya berontak, melepaskan diri dari dekapan Masumi.
“Jadi jangan coba meyakinkanku kalau dia tidak bisa menyakiti Anda karena dia
sudah pernah mencobanya!”
Masumi teringat rem mobilnya yang
terpotong kemarin. Semoga tidak ada yang
mengatakannya pada Maya.
“Dia sudah mencobanya dan dia
gagal,” ujar Masumi cepat. Kembali diraihnya jemari Maya. “…dan akan terus
seperti itu, itu janjiku padamu.”
Keraguan masih menyelimuti tatapan
Maya.
“Saya tidak mau anda terluka,”
bisiknya kemudian.
“Kenapa?”
“Karena…,” Maya mulai merasa
wajahnya kembali memanas. Pandangan mata Masumi begitu lembut namun terkesan
menggodanya. “Tentu saja saya tidak mau ada orang lain terluka karena saya!”
ujarnya kemudian dengan gugup.
“Itu saja?”
“Eh?” Kini giliran Maya yang
berkerut heran.
“Kalau aku terluka, apakah kau akan
menangis seperti saat.. kau menengok Satomi di rumah sakit?” Masumi menahan
kecemburuannya mengingat ekspresi kesedihan Maya yang ditemuinya waktu itu.
Maya tidak berani membayangkan jika
hal itu terjadi. Mata gadis itu kembali dipenuhi air.
“Pertanyaan anda tidak lucu!” Wajah
gadis itu merengut. Sementara air mata satu-satu mulai menuruni pipi pucatnya.
“Aku memang sedang tidak melucu,”
sanggah Masumi. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan sedih jika.. jika
sesuatu yang buruk terjadi padaku.”
“Cukup!” Maya
tiba-tiba menyentakkan tangannya dari genggaman Masumi dan berdiri. Matanya
berapi-api menatap Masumi yang ikutan berdiri dengan rupa kaget. “Anda bilang
anda akan baik-baik saja tapi kata-kata anda barusan membuat saya meragukannya.
Lebih baik saya pulang ke apartemen!”
Tanpa menunggu menunggu lagi berlari
pergi.
“Hei!” Masumi secepat kilat berlari
mengejar dan tidak sulit baginya untuk menyusul langkah Maya. Sekejap dia sudah
berdiri menghalangi jalan gadis itu.
Maya berusaha menyingkirkan badan
Masumi, namun sia-sia. Tubuh tinggi tegap laki-laki itu tak bergemig
sedikitpun. Sebaliknya, dengan mudah Masumi menarik tubuh mungil Maya ke dalam
pelukannya.
Gadis itu menangis.
“Maafkan aku,” bisiknya lembut.
Dikecupnya kepala Maya yang tersuruk di dadanya, membuat Maya mengejang
sesaat.
“Jahat..” terdengar Maya berbisik
lirih. Lengannya kanannya membentuk kepalan mungil dan mulai memukuli dada
laki-laki yang tengah mendekapnya itu. “Jangan pernah mengatakan sesuatu yang
menakutkan lagi.”
“Tidak, tidak akan,” Masumi kian
mengetatkan pelukannya. Hatinya mengembang bahagia. Reaksi Maya cukup
menunjukkan bahwa gadis itu sangat peduli padanya.
Untuk beberapa lama mereka tetap
berpelukan, di tengah jembatan yang menghubungkan gazebo dengan jalan setapak
menuju beranda belakang. Masumi bukannya tidak tahu beberapa pelayannya
berbisik-bisik dengan rupa heran di balik jendela, namun dia tak perduli.
Dia juga tak perduli seandainya ayah tirinya ternyata melihat adegan itu.
Masumi yakin, Eisuke pun sudah
mengetahui kalau dirinya mencintai Maya. Apapun yang akan dilakukan Eisuke
untuk menghalangi cinta mereka, yang jelas, laki-laki tua itu tidak akan pernah
berani melukai Maya. Dia tidak akan pernah berani menyakiti Bidadari Merah,
terutama setelah Daito berhasil mendapatkan hak pementasannya. Ayah
tirinya itu tahu, jika berani berseteru dengan sang Bidadari, resikonya adalah
kehilangan hak eksklusifnya atas pertunjukan agung itu.
Dirinyalah yang akan berdiri paling
depan untuk melawan jenderal besar Daito sekaligus ayah tirinya itu jika hal
tersebut terjadi.
“Maya,” perlahan Masumi
menjauhkan sedikit jarak tubuh mereka. Gadis itu masih merunduk di
dadanya, masih terisak.
“Maya,” panggilnya sekali lagi
dengan lembut. Kedua lengannya yang besar menangkup wajah mungil kekasih
hatinya dan mengangkatnya perlahan, mencari mata Maya yang selalu saja
menyeretnya dalam persona tak terbatas.
Bahkan saat mata bulat itu
memandangnya dalam deraian air mata seperti sekarang, pesonanya sungguh tidak
tertolakkan.
“Sudah, jangan menangis lagi,”
senyumnya lembut. Jemarinya kini bergerak menghapus air mata yang membasahi
pipi Maya.
“Salah anda,” sungut Maya kemudian
membuat Masumi tergelak pelan.
“Aku kan sudah minta maaf,” ujar
Masumi. Menahan nafas melihat betapa menawannya wajah mungil memerah
dalam dekapannya tangannya itu. Logikanya seketika dikalahkan hasratnya dengan
telak. Bahkan tanpa bisa dia cegah lagi, kepalanya sudah merunduk dan mengecup
hidung mungil Maya. Sebentar memang, tapi cukup membuat wajah Maya semakin
memerah.
Masumi pun salah tingkah, namun
hatinya berbunga-bunga melihat Maya yang hanya tertunduk malu.
Lengannya yang tadi menangkup wajah
Maya turun ke kedua tangan gadis itu.
“Ayo kita masuk,” ajaknya lembut.
Maya menurut, membiarkan tangannya
di gandeng Masumi kembali memasuki rumah. Eisuke masih berada di ruang
keluarga, bersama pegawai butik yang ternyata masih betah berada di sana.
“Masumi, mereka tidak memiliki waktu
berlama-lama untuk menunggumu,” Eisuke berujar dingin.
“Aku juga tidak punya waktu untuk
melakukan hal percuma tentang semua masalah baju pengantin ini,” sahut Masumi
sama dinginnya. “Ayah yang menyuruh mereka kemari jadi silahkan ayah saja yang
diukur oleh mereka.”
Lalu dengan acuh, Masumi menarik
Maya keluar dari ruangan itu.
“Pak~Pak Masumi,” Maya yang merasa
tidak enak terhadap Eisuke yang kini tengah menatap mereka tajam. “Pak~
Masumi!” Gadis itu menarik lengan Masumi, memintanya berhenti.
“Apa?” Masumi berbalik.
“Apa tidak apa-apa?”
“Apanya yang tidak apa-apa?”
“Paman dan… orang-orang dari butik.”
“Jangan pikirkan mereka,” Masumi
kembali menarik lengan Maya, menuju bagian lain dari rumah besar dan megah itu.
“Aku ingin mengajakmu ke tempat yang pasti akan kau suka,” tolehnya kemudian
seraya tersenyum manis.
“Tempat apa?” tanya Maya yang hanya
dijawab oleh senyuman lembut Masumi.
Mereka tiba di bagian rumah yang
Maya pikir, jauh dari kamar tempatnya menginap. Gadis itu jadi
mengira-ngira berapa luas kediaman resmi Hayami ini. Dari jendela besar yang
dilewatinya sekarang, ia dapat melihat ada bangunan lain yang dipisahkan oleh
halaman berumput yang cukup luas di luar sana.
“Itu tempat pribadi ayahku,” seolah
mendengar pertanyaan yang hanya diucapkan Maya dalam hati, Masumi
berujar.
“Tempat pribadi?”
“Meski kami tinggal di satu rumah,
tapi kami jarang bertemu. Ayah lebih sering menghabiskan waktunya di sana,”
Masumi menjelaskan seraya melemparkan pandangannya pada bangunan yang tadi
dilihat Maya.
Maya tidak bisa membayangkan
kehidupan seperti apa yang dijalani direktur muda Daito ini dalam
kesehariannya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, ada dua orang yang tinggal
dalam satu rumah, tapi masing-masing menempati wilayah yang berbeda sehingga
jarang bertemu.
Masumi pun tidak membiarkan Maya
berlama-lama tenggelam dalam pikirannya. Dihelanya Maya mendekati sebuah pintu
besar berukir.
“Ayo,” laki-laki itu kembali
tersenyum. Dibukanya pintu itu dan Maya segera terperangah.
Sebuah ruangan luas dengan karpet
merah tebal yang nampak lembut segera terlihat begitu pintu itu terbuka
lebar. Jendela-jendela besar dengan tirai-tirai indah menghiasi satu bagian
dindingnya. Melatarbelakangi sebuah meja kerja yang nampak elegan dan kokoh.
“Ruangannya indah sekalii,” bisik
Maya kagum saat melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu. Matanya menyapu
perapian dengan desain antik di salah satu sudut ruangan, berseberangan dengan
meja kerja.
Dinding yang sejajar dengan pintu,
difungsikan juga sebagai deretan lemari kaca yang di dalamnya di penuhi oleh
berbagai buku yang tersusun rapi.
Mata Maya membesar saat melihat TV
dengan layar yang sangat besar di depannya.
“Ini tempat kerjaku kalau aku
terpaksa harus bekerja di rumah,” ujar Masumi sambil menatup pintu di depannya.
“Anda disini bekerja atau menonton
TV?” Maya mengerling ke arah TV.
Masumi tertawa.
“TV itu awalnya tidak ada,” akunya
kemudian. “Aku sengaja meminta orang untuk memindahkannya ke sini hari ini.”
“Heh? Kenapa?” Maya menurut saat
Masumi membawanya duduk di sofa besar di depan TV.
“Aku,” Masumi berdehem sebelum
melanjutkan ucapannya. “Aku ingin kau menemaniku menonton sebuah film.
Sebenarnya ada ruang teater kecil di sebelah, tapi.. rasanya kalau
menonton di sini kita bisa lebih santai.”
Maya diam-diam tersenyum melihat
wajah Masumi yang sedikit merona. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan bisa
melihat wajah Direktur Daito yang terkenal dingin dan kejam ini dalam ekspresi
malu-malu seperti yang dilihatnya sekarang. Jujur, dia sangat menyukai
ekspresinya yang seperti ini. Wajah Masumi menjadi semakin tampan.
“Saya sangat suka nonton film,” kata
gadis itu lembut.
“Aku tahu, makanya aku tidak ragu
mengajakmu sekarang,” sahut Masumi. Laki-laki itu beranjak menghampiri home player dekat televisi.
“Kau suka film barat?” tanya
laki-laki itu kemudian. “Aku baru mendapatkan film Hollywood terbaru yang baru
akan beredar di sini. Film drama.”
“Saya suka semua film,” jawab Maya.
“Saya bahkan bisa menangis saat melihat Doraemon rusak dan dibuang ke laut.”
Masumi terkekeh mendengarnya.
Sebuah ketukan di pintu membuat
laki-laki itu urung duduk di samping Maya. Dengan riang dia menghampiri pintu
dan membukanya.
“Mungkin itu makanan kita.”
Dugaannya benar. Dua orang pelayan
masuk dengan mendorong rak yang penuh dengan makanan lezat. Mereka meletakkan
rak itu di pinggir ruangan lalu pamit dengan hormat pada majikannya.
“Apakah kita akan piknik?” Maya
tertawa saat melihat banyaknya makanan yang tersaji.
“Kau tidak akan keberatan kan,
menonton film dengan ditemani semua ini?”
“Anda bercanda? Saat dulu bersama
Rei, kami selalu menyediakan banyak makanan sebagai teman nonton film. Meski
saat nonton, saya jadinya tidak ingat sama sekali sama makanan itu.”
“Sudah kuduga,” Masumi
mengangguk-angguk. “Jadi, mau yang mana dulu? Makanan? Atau film?”
“Anda tidak keberatan kan kalau…
filmnya dulu?” Maya bertanya malu-malu.
“Your
wish is my command, My Lady,” senyum Masumi yang segera meraih remote dan mulai memutar filmnya.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Maya
untuk segera tenggelam dalam cerita film yang ditontonnya. Versi terbaru dari
dongeng Snow White. Sang ratu jahat yang menyingkirkan putri cantik dan
lemah lembut ke hutan. Namun yang berbeda di sini adalah, sang putri yang
berubah menjadi putri tangguh dan siap merebut kembali tahta yang menjadi
haknya setelah bertemu “tujuh kurcaci” nya di hutan.
Masumi tersenyum. Beranjak ke rak
makanan yang tadi diantar dan mengambilkan dua gelas minuman ringan, lalu
kembali ke samping Maya.
“Eh?” Maya menoleh saat Masumi
menyodorkan minumannya. “Terima kasih,” senyumnya dengan wajah merona. Setelah
mengambil minumannya, gadis itu kembali terhanyut dalam cerita film di depannya.
Begitupun dengan Masumi. Bedanya dia
bukan tenggelam dalam cerita film itu, tapi tenggelam dalam pesona gadis yang
duduk di sampingnya. Tak bosan dirinya melihat berbagai ekspresi wajah Maya
saat ini. Serius dengan kening berkerut, menelengkan wajahnya saat mencoba
mengerti suatu adegan, tertawa renyah, ekspresi semangat dan penuh ketegangan
sampai tersipu malu saat melihat adegan romantis.
Masumi semakin sadar betapa dia
mencintai gadis ini. Rasanya dia tidak akan sanggup lagi jika harus jauh dari Maya.
“Ah, ceritanya bagus sekaliii,”
seruan Maya menyadarkan Masumi dari keterpesonaannya. Diliriknya TV yang tengah
memperlihatkan credit title di ending cerita.
“Dari kecil saya sangat menyukai
cerita Snow White, tapi baru kali ini
melihat Snow White yang begitu
tangguh dan berani!” Maya berkata dengan semangat. Matanya berbinar senang.
“Hmm, setiap anak perempuan pasti
suka cerita-cerita romantis seperti itu. Menderita karena sang ibu tiri dan
kemudian bertemu pangeran tampan,” komentar Masumi.
“Pak Masumi pun pasti menyukai
film-film super hero saat masih
anak-anak. Iya kan?” ujar Maya tak mau kalah.
“Entahlah,” Masumi mencoba
mengingat-ngingat. “Aku tidak ingat aku suka film apa. Yang jelas waktu aku
kecil, aku jarang menonton film karena waktu luangku aku pakai untuk bekerja di
Daito sesuai perintah ayahku. Kalaupun toh sekarang aku sering menonton film,
aku jarang menikmatinya. Semua kulakukan karena pekerjaanku.”
Maya sedikit tertegun mendengar
jawaban Masumi. Namun tak lama, saat kembali mengangkat wajah untuk melihat
Masumi, senyum manis menghiasi bibir mungilnya.
“Apakah tadi anda menikmati
filmnya?”
Masumi balas menatap wajah terkasih
di depannya.
“Saat ini aku menyesal kenapa tadi
tidak aku tawarkan film India untuk kau tonton.”
“Film India? Adakah?” mata bulat di
depannya melebar antusias. “Saya jarang sekali menonton film India. Terakhir
kapan yaa? Emmhh… Sepertinya sudah lama sekali. Itu pun aku tonton di home player di apartemen. Bersama
Rei. Ceritanya bagus sekali.! Tentang seorang istri yang kabur dari
suaminya karena suaminya itu jahat. Lalu berkelana dan melihat penderitaan kaum
perempuan di negerinya yang sering ditindas kaum laki-laki, sampai kemudian dia
tergerak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas itu. Filmnya
sangatsediih. Bahkan Rei-pun sampai menangis.”
Seperti biasa, saat Maya sedang
bercerita tentang film, matanya berbinar-binar penuh semangat, membuat kedua
pipinya memerah. Ekspresinya yang begitu memikat membuat Masumi semakin
terpesona.
“Tapi kalau tidak salah, durasi
filmnya lama sekali. Mungkin lebih dari tiga jam.”
Mata Maya menyipit mengingat-ngingat
film India yang pernah ditontonnya itu. Keningnya agak berkerut dan bibirnya
mengerucut manis.
“Iya! Betul!! Durasinya lama sekali!
Tapi karena ceritanya bagus, dan banyak nyanyian serta tarian yang menarik,
jadi tidak bosan! Ah, aku jadi ingin menontonnya lagi. Pak Masumi,
kalau memang…… Eeh?!!”
Sebuah kecupan yang mendarat di
bibirnya membuat gadis itu terdiam seketika. Wajahnya langsung memerah.
Masumi baru saja mengecupnya.
“Bisakah kau diam dulu sebentar?”
bisik Masumi, gemas dengan kepolosan Maya. “Aku sudah sangat lapar.”
Gadis itu mengangguk patuh dengan
cepat, membuat Masumi mau tidak mau tergelak melihatnya
“Ah, Maya. Kau selalu bisa membuatku
begini tak berdaya,” ujarnya setelah tawanya mereda. “Kau ingat? Saat aku
memaksamu menemaniku menonton drama waktu itu?”
Kembali Maya hanya bisa mengangguk.
“Saat itu aku berharap drama itu
tidak pernah berakhir, meski di sampingku, kau duduk dengan wajah
berlipat-lipat karena kesal. Apalgi hari ini. Kau ……disampingku……begitu
ceria….”
Maya meneguk ludah. Wajah Masumi
semakin mendekat dan tanpa dapat dicegah, matanya kini terfokus pada bibir
Masumi yang kini hanya berjarak lima senti saja dari bibirnya.
“Aku sangat berharap, selalu bisa
berada di sampingmu, selamanya, seumur hidupku.”
Maya menutup matanya. Bibir Masumi
kini sudah menempel dibibirnya. Begitu hangat dan menghanyutkan.
Merasakan bibir Masumi bergerak
lembut di bibirnya membuat Maya tak bisa lagi menahan perasaan. Perlahan,
dibalasnya ciuman itu, dengan sama lembutnya. Bahkan tanpa sadar, kedua
lengannya sudah melingkar di leher Masumi.
Setelah beberapa lama, Masumi
melepas bibir Maya dan tersenyum lembut pada gadis mungil yang kini menatapnya
dengan wajah memerah.
Tak tahan ditatap dengan begitu
lembut, Maya menyurukkan kepalanya di dada laki-laki itu. Masumi tergelak
pelan. Didekapnya tubuh Maya erat.
“Ayo kita makan,” bisiknya kemudian.
Maya mengangguk di dada Masumi lalu
perlahan kepala itu terangkat. Wajahnya masih nampak merah.
“A~aku ingin ke toilet,” bisik Maya
dengan suara masih terengah.
Senyuman Masumi membuat jantungnya
kian berdegup kencang.
“Toiletnya ada di ujung lorong
sebelah kanan,” terang Masumi. “Sementara kau ke toilet, aku akan menyiapkan
makanan kita.”
Maya mengangguk lalu berlalu dengan
gugup. Begitu menutup pintu toilet, gadis itu bersandar di pintu seraya menekan
dadanya yang masih berdebar. Hari ini sudah dua kali mereka berciuman, padahal
tadi pagi, saat Masumi menciumnya di kamar, dirinya sudah menguatkan hati untuk
tidak lagi terhanyut perasaan.
Sambil menghela nafas panjang, Maya
berjalan ke wastafel dan membasuh wajahnya yang masih terasa panas. Gadis itu
kemudian memandangi pantulan wajahnya di cermin. Keresahan jelas membayang di
sana.
“Ini tidak benar,” bisiknya
kemudian. “Bagaimanapun Pak Masumi…,”
Maya kembali menghela nafas. Pikiran
yang melintas di benaknya barusan membuat wajahnya murung seketika.
Masumi Hayami
sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi mereka akan menikah!
Meskipun berkali-kali laki-laki itu
memintanya untuk percaya, namun tetap saja kenyataan itu membuatnya gamang.
Dari sudut pandang manapun, tak ada alasan bagi seorang Masumi Hayami untuk
menukar seorang Shiori Takamiya yang cantik, pintar, dan kaya raya dengan
dirinya yang hanya bisa bermain drama. Selebihnya, tak ada kelebihan apapun
yang sebanding dengan tunangan Masumi Hayami itu.
Untuk beberapa saat gadis itu
tenggelam dalam pikirannya, sampai akhirnya setelah mengeringkan wajah, Maya
kembali ke ruang kerja Masumi.
“Shiori, tenanglah,”
Langkahnya
terhenti di depan pintu ruang kerja Masumi yang memang sedikit terbuka.
Terdengar suara Masumi berbicara. Maya tertegun. Gerakan tangannya yang siap
terulur untuk mendorong pintu pun terhenti.
“Aku tahu, maafkan aku.”
Suara laki-laki itu terdengar begitu
lembut. Sontak mata Maya memanas. Rasa tidak rela mendengar laki-laki itu
berkata lembut pada wanita lain menyeruak, membuat Maya mati-matian
meredam kecemburuan yang tiba-tiba saja begitu kuat mencengkram.
“Baiklah,” ujar Masumi lagi setelah
beberapa saat mendengarkan suara lawan bicaranya di telepon. “Aku akan kesana
sore ini. Iya, aku janji. Sekarang dengarkan aku, kau harus istirahat dan
jangan lupa memakan obatmu, oke?”
Tak ada lagi suara. Mungkin Masumi
sudah menutup percakapan teleponnya.
Di balik pintu Maya masih berusaha
menenangkan diri untuk beberapa saat. Diusapnya air yang mulai menggantung di
sudut mata dan setelah menghela nafas panjang, kembali meneruskan
mendorong pintu.
Masumi yang melihatnya masuk
tersenyum.
“Ayo kita makan,” ajaknya kemudian.
Maya mengangguk pelan, lalu
mengambil tempat di samping Masumi di sofa. Hidangan di depannya nampak sangat
menggiurkan. Sebelum ke toilet tadi, perutnya sudah sangat lapar dan sangat
tergoda untuk mencicip semua hidangan yang tersedia. Namun kini selera makannya
sudah menghilang entah kemana.
Setelah beberapa suap, Maya bahkan
sudah tidak bisa lagi menelan makanannya. Dadanya terasa sesak menahan air mata
yang sejak tadi tak berhenti mendesak meminta keluar.
Dengan putus asa gadis itu
meletakkan sendoknya. Setetes air mata tanpa dapat dicegah lagi melompat ke
pipinya.
“Maya?” Masumi mengernyit heran dan
betapa terkejutnya dia saat melihat Maya menangis.
“Mungil, kau kenapa?” segera dia
meletakkan sendok garpunya dan beringsut untuk meraih lengan Maya. Tapi dengan
halus gadis itu menepis lengan Masumi.
Laki-laki itu tertegun.
“Apa ada yang sakit? Kau pusing?”
suaranya terdengar begitu khawatir.
Maya menggeleng. “Tidak, maafkan
saya,” dengan cepat Maya berdiri. Tanpa berkata apapun lagi gadis itu berlari
keluar.
“Maya!” cepat Masumi berlari
mengejar. Di luar pintu dia sudah bisa meraih lengan Maya, menghentikan lari
gadis itu.
“Maya, ada apa?” Masumi kembali
bertanya dengan cemas. Menyentuh pelan dagu Maya dan mengangkat wajah gadis itu
perlahan. Hatinya berdesir menyadari wajah itu sudah basah oleh air mata.
“Kumohon katakan padaku apa yang
terjadi? Mengapa kau menangis?”
Maya hanya bisa menggeleng dan
mencoba melepaskan wajahnya dari sentuhan Masumi.
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa,”
Masumi tak menyerah, kembali menangkup wajah Maya dengan tangannya yang besar.
“Kau menangis seperti ini sungguh membuatku cemas, Maya. Katakanlah, ada apa?”
Maya menatapnya dengan matanya yang
besar mengerjap cepat. Tidak mungkin dia mengatakan kalau sekarang dirinya
sedang cemburu dan tidak ingin Masumi pergi menemui Shiori.
Dirinya tidak punya hak apapun untuk
melakukan itu!
“Saya, saya ingin kembali ke kamar.
Bolehkah?” akhirnya Maya berujar lirih. Kembali Masumi tertegun. Hatinya
kecewa, sekaligus resah.
Apakah ada yang
sudah kulakukan yang membuatnya begini sedih?
Perlahan Masumi melepaskan lengannya
dari wajah Maya.
“Baiklah, aku antar.”
Maya menggeleng. “Saya bisa
sendiri.”
Akhirnya Masumi hanya bisa melihat
gadis itu berjalan menjauh. Lalu dengan lunglai berjalan kembali ke ruang
kerjanya.
Ada apa, Maya? Desah hatinya, khawatir. Mengapa kau terlihat begitu sedih? Padahal
tadi, kau masih tertawa denganku.
Laki-laki itu berpikir keras. Apakah si Anyelir Merah itu menghubunginya
lagi? Ah, tapi dia tidak membawa handphonenya tadi. Lalu apa? kenapa
dia mendadak terlihat sedih seperti itu?
Kemudian dia teringat telepon dari
Shiori yang diterimanya saat Maya ke toilet. Hatinya terjengit!
Apakah dia
mendengarnya? Batinnya kian
resah. Cepat dia berbalik menatap ke arah Maya pergi. Dia mendengarnya! Dia pasti mendengarnya!
Wajah Masumi memucat dengan
rasa panik yang langsung memuncak.
Jangan salah
paham, Maya! Kumohon, kau jangan salah paham padaku!
Membayangkan
apa yang mungkin ada dalam pikiran Maya saat ini membuat Masumi segera berlari
untuk menyusul. Dia harus menjelaskan semua pada Maya sekarang! Apa yang
menyebabkan sampai saat ini dia masih menemui Shiori dan apa rencananya
selanjutnya. Dia tidak ingin Maya salah paham karenanya!
Percaya padaku,
Maya! Jerit batinnya
resah.
***
Maya terduduk di pinggir tempat
tidur dengan air mata yang masih menetes ke pipi.
“Pak Masumi pasti sangat cemas,”
pikirnya menyadari apa yang sudah dia lakukan. Sedikit penyesalan akan sikapnya
barusan membayang. Kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menguasai
perasaan dan emosi saat mendengar suara Masumi yang begitu lembut berbicara
dengan Shiori di telepon.
Diusapnya pipinya yang basah.
Semakin dekat dirinya dengan Masumi,
semakin sulit baginya menekan rasa cinta yang dimilikinya pada laki-laki itu.
Begitu sulitnya sampai-sampai sikap dan bahasa tubuhnya menolak bekerjasama
dengan otak yang mati-matian memperingatkan untuk tidak memperlihatkan
sedikitpun rasa cinta itu di depan Masumi.
Maya merasa dirinya sudah berubah
menjadi wanita penggoda yang memalukan!
Gadis itu menghempaskan tubuhnya
dengan lelah di atas tempat tidur.
Aku harus
pergi! Benar-benar harus pergi!
Suara ketukan di pintu membuat tubuh
mungil itu kembali mencelat bangun. Meringis saat sebuah denyutan terasa di
bahu kirinya.
“Maya? Bolehkah aku masuk?”
Pak Masumi!
Maya mendadak panik. Apa yang harus kulakukan?
“Maya! Kumohon,” suara itu terdengar
begitu mengiba. “Ada yang harus kukatakan padamu.”
Apa Pak Masumi
tahu alasan atas sikapku tadi? Batin Maya bertanya khawatir.
Sementara Masumi sama cemasnya
menunggu di depan pintu. Berharap gadis itu membukakan pintu dan membiarkannya
untuk masuk.
Sudah lewat tiga menit dan pintu
masih tertutup.
“Maya, aku mas…,” kalimatnya
menggantung saat mendengar bunyi pegangan pintu yang dibuka. Dada Masumi
berdegup kencang.
Wajah mungil Maya menyembul.
Tersenyum.
Gadis itu kemudian beranjak keluar
dan berdiri di depan Masumi.
“Maafkan saya sudah membuat Anda
khawatir,” ujar gadis itu kemudian.
“Apa kau..,”
“Saya baik-baik saja!” potong Maya
cepat. “Tadi~ hanya.. tiba-tiba merasa sangat lelah.”
Masumi tahu Maya sedang berbohong.
Di luar panggung Maya benar-benar tidak bisa berakting.
“Aku hanya akan menemui Shiori
sebentar sampai dia tenang,” Masumi berkata cepat. Maya tergagap.
Ah, Pak Masumi tahu.. desis Maya dalam hati. Wajahnya
sekarang pastilah terlihat memerah karena malu.
“Sampai aku bisa meyakinkan Shiori
bahwa pertunangan kami sia-sia. Sampai saat itu, aku ingin kau tetap
mempercayaiku,” dipandangnya mata Maya lekat-lekat. “Dan akan aku pastikan hal
itu tidak akan lama lagi.”
“Pak Masumi, anda tidak perlu
menjelaskan…,”
“Tentu saja perlu!” sergah Masumi
tegas. “Aku tidak ingin kau salah paham dan.. dan kembali menjauh
dariku,” suara Masumi terdengar sedikit bergetar. “Jadi kau harus mengetahui
semua.”
Maya tertegun. Dapat dirasakannya
keresahan laki-laki yang kini tengah memandangnya dengan khawatir di depannya
itu. Hatinya menghangat oleh rasa haru.
“Maafkan saya,” akhirnya gadis itu
berujar pelan. “Entah mengapa, sulit sekali menahan perasaan jika sudah berada
di dekat Anda,” Maya pun akhirnya mengaku. “Dan saya merasa sangat bersalah
karenanya. Perasaan ini tidak seharusnya…”
“Perasaaanmu itu sudah seharusnya,
sama sekali tidak salah, Maya!,” Masumi menyentuh pipi Maya dan mengusap air
mata yang kini kembali menghiasinya. “Perasaan kita, itulah yang seharusnya.”
“Sungguhkah?”
“Aku sangat yakin, Maya. Jadi jangan
pernah menahan dan menyalahkan apa yang kau rasakan sekarang, karena itu akan
sangat menyakitkan. Aku pernah merasakannya selama bertahun-tahun sejak
mengenalmu dan kini aku tidak sanggup lagi untuk berbohong dan menahan
perasaanku.”
“Tapi, Nona Shiori…”
“Dia akan memahaminya cepat atau
lambat.”
Maya melipat bibirnya. Kenyataan
tidak segampang apa yang diucapkan Masumi.
Perasaan bersalah masih menggantungi
hati gadis mungil itu dengan kuat.
***
Jam 4 sore Masumi pamit untuk
menjenguk Shiori dan tetap saja sulit bagi Maya untuk mengantarnya dengan
senyum sehingga dirinya pura-pura masih tidur saat laki-laki itu datang untuk
pamit. Setelah peristiwa siang tadi, ditambah dia tidak memakan makan siangnya
dengan benar, suhu badannya kembali naik. Obat yang diminumnya membuat
Maya segera terlelap tidur.
Dirasakannya bibir hangat
Masumi menyentuh keningnya lembut.
Begitu terdengar suara pintu yang
ditutup, Maya segera membuka mata.
Lama gadis itu termenung di tempat
tidurnya. Berusaha mencerna perkataan Masumi tadi siang.
Benarkah cinta
memperbolehkan orang menjadi sangat egois?
Dia mencintai Masumi, dan perasaan
laki-laki itu sudah sangat jelas menunjukkan cinta yang dalam padanya. Dengan
kenyataan yang seperti itu, apakah mereka sanggup untuk begitu egois
mengabaikan perasaan Shiori?
Maya merasakan kepalanya
berdenyut.
Mengapa bagi
mereka cinta menjadi begitu teramat sangat rumit dan memusingkan?
Bunyi halus handphone terdengar dari
atas nakas di samping tempat tidur. Maya beringsut dengan malas untuk
meraihnya. Keningnya berkerut melihat nomor yang tidak dikenal terpampang di
layar handphonenya.
Sebuah pesan video.
Awalnya kening gadis itu berkerut
saat melihat suasana dalam video itu.
Gedung Daito..
Beberapa saat kemudian terlihat
gambar sebuah mobil yang muncul dengan cepat dari arah basement untuk kemudian
melaju tak terkendali.
Itu kan… desis Maya. Keringat dingin mulai
merembesi dahi gadis mungil itu.
Setelah oleng kesana kemari dengan
mengeluarkan bunyi berdecit mengerikan, dan menabrak beberapa benda plus
pinggiran pos penjaga, mobil itu berhenti.
Masumi Hayami keluar dari mobil
dengan tubuh sedikit oleng!
Maya menahan jeritannya. Dadanya
berdegup kencang.
Kepanikan jelas tergambar di sana.
Dilihatnya sopir pribadi Masumi memeriksa beberapa bagian mobil.
Samar-samar didengarnya perkataan
sopir itu.
“Ada yang sudah memotong kabel
rem~mobil”
Maya terhenyak dengan badan mendadak
gemetar hebat.
Teringat dahi Masumi yang
memar.
Musubi no kami…
Dia sudah
mencobanya dan dia gagal, terngiang
perkataan Masumi tadi….dan akan terus
seperti itu, itu janjiku padamu.
Mendadak, Maya menjadi sangat yakin
Masumi tidak akan dapat memenuhi janjinya itu, kecualiii…
Mata Maya kembali nyalang melihat
layar handphone.
Wajah pucat Masumi Hayami terpampang
jelas di sana.
***
Shiori
tersenyum sumringah melihat kedatangan laki-laki yang dirindukannya itu.
“Masumi,”
sapanya lembut, berniat berdiri untuk menyambut. Namun kemudian mengurungkan niatnya
melihat isyarat Masumi agar dia tetap duduk. “Aku senang kau
datang,” mata wanita itu berbinar bahagia. Masumi tersenyum tipis.
“Sepertinya kau
semakin sehat, Shiori,” ujarnya kemudian. “Pengasuhmu mengatakan kalau siang
tadi makanmu cukup lahap.”
“Itu karena kau
akan datang,” sahut Shiori. “Aku ingin tampak sehat di depanmu.”
“Kau harus
melakukannya untuk dirimu sendiri. Bukan untuk orang lain.”
“Kau orang
paling penting dalam hidupku, Masumi. Jadi aku ingin melakukan yang terbaik
untukmu.”
“Sungguhkah?”
Shiori
mengangguk pasti.
“Aku senang
mendengarnya,” senyum Masumi lagi. “Aku sungguh sangat berharap bisa segera
melihatmu kembali sehat dan menjadi wanita yang lebih tegar.”
Shiori sejenak
tertegun, mencoba mencari arti sesungguhnya dari kalimat yang diucapkan Masumi
barusan. Tapi wajah laki-laki di depannya itu nampak biasa saja, seolah apa
yang dikatakannya tidak memiliki arti tersembunyi apapun.
Namun hatinya
mengatakan hal lain. Masumi tak pernah sekalipun menarik perkataannya dulu,
tentang pemutusan pertunangan mereka. Masumi memang rutin mengunjunginya sejak
usaha bunuh dirinya dulu, tapi dari sikap dan perkataannya, Masumi dengan halus
menyiratkan bahwa ia sedang berusaha mempersiapkan dirinya lebih tegar dan lebih
realistis dalam menghadapi kenyataan pahit yang mungkin akan diterimanya nanti.
“Apakah kau
ingin jalan-jalan di taman?” suara Masumi membuyarkan pikirannya. Dilihatnya
Masumi sedang menatapnya tajam. “Cuaca sore ini cukup hangat dan kurasa kau membutuhkan untuk menghirup udara luar.”
Shiori
mengangguk setuju. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Masumi keluar menuju
taman belakang yang nampak asri. Mereka berjalan perlahan. Tanpa suara.
Diam-diam Shiori kembali mengamati Masumi yang kini berjalan di sampingnya.
Seperti biasa wajah itu selalu nampak datar, cenderung dingin. Namun kini ada sesuatu yang lain terlihat di sana. Ada seulas raut keresahan tersirat di wajah tampannya.
“Apa yang
sedang kau pikirkan?” Shiori memberanikan diri bertanya.
Masumi menoleh.
“Wajahmu nampak
cemas. Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Masumi terdiam
sejenak. “Ya,” jawabnya kemudian tanpa berniat menjelaskan sumber keresahannya.
Dia memang sedang resah, dan dia tidak ingin menyangkalnya. Sejak tadi
pikirannya terpusat pada Maya. Saat pergi tadi, gadis itu masih tertidur. Masih
demam. Jelas dia merasakannya saat mengecup kening Maya. Dan sekarang,
mati-matian Masumi mencoba meredakan keresahannya dan berharap kunjungannya
disini segera berakhir. Dirinya ingin secepatnya pulang untuk menemui Mayanya.
Shiori tak
berniat bertanya lebih lanjut. Dia tahu, Masumi tidak ingin membagi
keresahannya itu padanya. Mereka kembali berjalan dalam diam. Masumi lalu membawa
Shiori untuk duduk di sebuah bangku taman di dekat kolam ikan yang indah.
“Masumi,”
Shiori menoleh, menengadah menatap Masumi yang kini berdiri di samping bangku.
“Kakek mengatakan akan menyerahkan kursi pemimpin Takatsu padamu kelak, jika
kita sudah menikah,” gadis itu memberanikan diri untuk membicarakan topik yang
selama ini dihindari Masumi. “Aku sangat setuju dengan rencana kakek. Kupikir,
perusahaan kami akan maju pesat jika kau yang memimpinnya, Masumi.”
Sambil bicara
Shiori terus mengamati raut wajah tunangannya dan melihat wajah itu seketika
mengeras.
“Aku tahu,”
laki-laki itu bergumam pelan. “Kakekmu sudah mengatakannya padaku tadi.”
“Oya?” mata
Shiori nampak berbinar. “Aku senang sekali saat kakek mengatakan itu padaku.
Lalu apa pendapatmu, Masumi? Ah, aku membayangkan jika Daito dan Takatsu
bergabung, tak akan ada perusahaan lain yang bisa menyainginya!”
“Aku
menolaknya.”
Jawaban Masumi
seketika menyurutkan kegembiraan Shiori ke titik minus. Wajah wanita itu nampak
terperangah tak percaya.
“Ke~kenapa?”
“Karena aku
bukan orang yang tepat untuk menerima semua itu, Shiori. Takatsu harus mencari
orang lain yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin perusahaan kelak. Orang yang
lebih kompeten, orang yang lebih berhak. Dan itu bukan aku.”
“Ta~tapi Masumi…”
“Ah, sudah
mulai senja. Lebih baik kita kembali ke dalam,” potong Masumi cepat. “Ayo!
Kurasa kau sudah tidak membutuhkan bantuanku untuk berdiri kan?” senyumnya
kemudian. Shiori mengetatkan jemarinya. Dia tidak tahu lagi harus mengatakan
apa selain berdiri dan berjalan mendahului laki-laki itu untuk kembali ke
ruangannya.
Perasaan wanita
itu kembali terpilin sakit. Secara tidak langsung, Masumi kembali mengatakan
bahwa tak akan ada pernikahan bagi mereka.
Dengan putus
asa Shiori memandangi pantulan wajahnya di cermin. Masumi pulang tak lama
setelah mereka kembali dari taman tanpa basa basi akan kembali datang
mengunjunginya seperti yang biasa dia katakan di akhir kunjunganya.
“Apa lagi yang
harus aku lakukan?” bisiknya pelan pada cermin di depannya. Meski tahu Masumi
tidak pernah mencintainya, namun dia masih tidak rela melepaskan laki-laki itu. Dia sudah
terlanjur jatuh cinta. Sangat jatuh cinta. Baginya, Masumi adalah satu-satunya
pria yang bisa ia bayangkan akan mendampingi hidupnya kelak.
Dia tidak
menginginkan laki-laki lain.
***
Maya menghapus
air mata yang sejak tadi mengaliri pipinya yang pucat. Dipandanginya handphone
yang kini tergeletak di depannya, di atas tepat tidur. Ada e-mail yang masuk tak lama setelah
dirinya menerima video kecelakaan mobil yang dialami Masumi.
Itu peringatan kedua. Meskipun
sekarang dia selamat, Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada peringatan
ketiga, Bidadariku
Musubi no Kami
Maya
mengetatkan jemarinya. “Aku tidak boleh ada di sini!” putusnya dalam hati.
Setalah menyambar tas tangannya di meja rias, gadis itu segera menyelinap ke
luar kamar. Maya tidak lagi mempedulikan badannya yang masih demam,
kepalanya yang masih berdenyut, juga bahunya yang belum diganti perbannya sejak
siang tadi. Tujuannya hanya satu, menjauhi Masumi.
“Nona? Anda mau
kemana?”
Maya sedikit
terlonjak saat berpapasan dengan Rika di pintu keluar.
“Ah, aku, aku
mau keluar sebentar,” jawabnya dengan gugup.
“Tapi, Nona.
Anda masih demam. Anda belum boleh kemana-mana dulu.”
“Hanya
sebentar, Rika. Ada hal yang harus aku selesaikan dulu.”
“Tapi Tuan
Masumi mengatakan…”
“Beliau sudah
mengijinkan!” sambar Maya cepat. “A~aku sudah meneleponnya dan beliau sudah
mengijinkan.”
Maya
cepat-cepat berlalu sebelum Rika semakin curiga. Dia tidak boleh berlama-lama
lagi di rumah ini. Dirinya harus segera menjauh dari Masumi!
Tak berapa
lama, ia pun sudah berada di luar pintu gerbang kediaman Hayami yang megah.
Beberapa saat diam termenung memandangi jalan besar didepannya yang nampak
sepi, bingung akan pergi kemana. Dia
tidak punya tujuan. Pulang ke apartemen jelas merupakan ide buruk karena Masumi
akan dengan mudah menemukannya dan kembali membawanya kesini. Pergi ke tempat
Rei atau temannya yang lain pun tidak mungkin dia lakukan.
Gadis itu mulai
berjalan tanpa arah yang jelas. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya.
Wajah Masumi berkelebatan dalam benaknya, bergantian dengan gambar video yang
dikirimkan Musubi no Kami. Badan gadis itu kembali gemetar. Lalu mencoba
mengenyahkan pikiran buruk yang melintas di kepalanya.
Akan aku lakukan apapun agar Pak
Masumi selamat, batinnya kemudian. Hatinya mendadak perih. Apapun. Meski itu artinya ia harus pergi
dari kehidupan laki-laki itu. Tanpa sadar Maya terisak. Membayangkan tidak akan bertemu lagi dengan Masumi membuatnya sangat ingin menangis.
Langit senja
mulai nampak gelap. Udara semakin dingin. Maya merapatkan jaket yang
dipakainya. Kepalanya semakin terasa berdenyut. Maya bahkan merasakan suhu disekitar tubuhnya kian memanas. Demamnya yang memang belum pulih benar kembali
naik.
Sesekali gadis
itu memutar badannya ke belakang, berharap ada taksi yang lewat agar dia bisa
sekedar mengistirahatkan badannya yang terasa semakin berat di dalamnya. Namun
sejak tadi, tak ada satupun taksi yang lewat. Hanya beberapa mobil pribadi
yang sesekali lewat. Dirinya memang belum begitu jauh dari area kediaman Hayami yang
merupakan komplek perumahan mewah.
Ah, mungkin di persimpangan sana ada
taksi yang lewat, pikir Maya ketika melihat persimpangan yang
merupakan batas luar komplek tersebut. Gadis itu mempercepat langkahnya. namun
baru saja beberapa langkah, tiba-tiba pandangannya beriak dan buram. Tubuh
gadis itu oleng dan hampir saja terjatuh jika kedua tangannya tidak refleks menahan tubuh. Pekikan kesakitan keluar dari
mulutnya tanpa sadar. Bahu kirinya berdenyut keras.
Maya jatuh
terduduk seraya memegangi bahu kirinya. Tangannya yang menahan cukup kuat
rupanya membuat lukanya terbuka. Gadis itu dapat merasakan lengan bajunya
menjadi sedikit lembab.
Mati-matian
Maya mencoba mengenyahkan rasa pusing yang melandanya. Setelah dirasa cukup
mereda, gadis itu mencoba untuk berdiri. Beberapa saat mencoba meraih kembali
keseimbangannya dengan berdiri diam seraya memejamkan mata. Namun yang diharapkannya tidak juga terjadi. Pusingnya malah kembali melanda dengan hebat. Maya bahkan
takut untuk membuka matanya karena dia yakin, apa yang akan dilihatnya nanti
akan beriak dengan cepat. Setitik air mata menetes ke pipinya.
“Kitajima?”
Sebuah suara bariton membuatnya tersentak dan seketika menoleh sambil membuka
matanya untuk melihat siapa yang menyapanya. Gadis itu terlambat menyadari
bahwa gerakan yang dilakukannya secara tiba-tiba itu membuat dunianya seakan berputar semakin
cepat. Maya bahkan tidak sempat mengenali siapa yang berada di belakangnya itu,
karena sedetik kemudian pandangannya berubah gelap. Maya merasakan tubuhnya seakan
melayang tak terkendali.
“Kitajima!”
dengan panik Kazuya memburu Maya dan menahannya sehingga tubuh
mungil Maya tidak sampai terhempas. Sutradara terkenal itu terkejut saat
merasakan tubuh Maya yang panas. Cepat dia berlutut dan merebahkan tubuh Maya
di pangkuannya. Wajah gadis itu nampak pucat dan berkeringat. Gadis itu
setengah tidak sadar. Bibir mungilnya nampak bergetar.
“Kitajima?”
Kazuya menepuk pelan pipi aktris pemeran utamanya itu. “Kitajima, kau
mendengarku?”
Bibir Maya
bergerak-gerak mengeluarkan gumaman tidak jelas. Mengigau. Tanpa pikir panjang
lagi, Kazuya segera menggendong Maya menuju mobilnya yang terparkir tak jauh
dari situ. Laki-laki itu baru saja kembali dari rumah salah satu temannya yang
kebetulan berada di daerah yang sama saat melihat sosok mungil Maya di trotoar.
Setelah beberapa hari resah dan uring-uringan karena tidak berhasil mengorek
keterangan tentang keberadaan Maya dari Keiko, hatinya akhirnya bisa berdegup
gembira saat tanpa diduga dapat melihat sosok yang dirindukannya itu. Meski kegembiraannya kembali
berubah menjadi kepanikan saat melihat kondisi Maya yang sepertinya tidak baik.
Saat berusaha
memasangkan sabuk pengaman di tubuh Maya yang kini bersandar di kursi penumpang
depan, Kazuya menyadari sesuatu menetes keluar dari balik lengan jaket Maya.
Jantungnya melompat naik. Darah!
Cepat laki-laki
meyisihkan jaket dari bahu Maya dan matanya melebar saat melihat lengan baju
Maya di bagian bahu kiri yang seharusnya berwarna kuning lembut kini sudah
berubah merah!
***
“Mana Maya?
Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah makan?” Masumi segera memberondong Rika
yang menyambutnya di ruang ruang depan dengan pertanyaan begitu ia sampai.
“Nona Maya
masih belum kembali, Tuan Muda.”
“Belum
kembali?” cepat Masumi menoleh dengan kening berkerut. “Apa maksudmu?”
Kini giliran
Rika yang memucat. Tubuhnya gemetar menyadari tuannya itu tidak mengetahui
apapun tentang kepergian Maya.
“Nona Maya tadi
sore keluar. Beliau mengatakan ada hal yang harus diselesaikan dan mengatakan
kalau.. kalau tuan sudah mengijinkannya.”
“Apa?” Masumi
sangat terkejut mendengarnya. “Bagaimana kau bisa…!” nampak sekali laki-laki
itu berusaha menahan kemarahan yang tiba-tiba muncul atas kecerobohan
pelayannya itu. Namun kemudian dia menyadari, Rika sama sekali tidak salah.
Maya mengatakan sudah mendapatkan ijinnya.
“Maafkan saya,
Tuan Muda,” Rika berucap lirih. Menunduk bersiap menghadapi kemarahan Masumi.
Namun tuan mudanya itu malah berbalik dan berlari menuju kamar Maya.
Dengan tergesa
Masumi membuka pintu kamar, bergegas menuju lemari untuk mengecek isinya. Maya
tidak membawa tas dan pakaiannya. Itu membuatnya sedikit lega meski tidak cukup
untuk menghapus kekhawatirannya akan kondisi gadis itu yang masih lemah.
Diraihnya
handphone dari balik jas kerjanya dan cepat menekan nomor Maya yang dihafalnya
di luar kepala. Beberapa saat menunggu nada panggil berbunyi.
Keningnya
berkerut saat mendengar ringtone yang tidak dikenalnya. Kepalanya berputar ke
arah asal suara.
Handphone Maya
nampak tergeletak di atas tempat tidur.
Cepat Masumi
meraih dan membukanya. Maya pasti pergi dengan
terburu-buru sampai melupakan benda ini, pikirnya. Dan apa yang membuatnya pergi terbuu-buru mungkin ada didalamnya!
Segera Masumi
membua call log. Telepon yang
terakhir diterima hanyalah telepon dari Kazuya Oda yang diterimanya waktu itu.
Setelah yakin tak ada yang mencurigakan
di call log, Masumi membuka inbox Maya. Ada sebuah pesan video dan
e-mail baru yang diterima Maya sore tadi. Masumi membukanya. Nafasnya seolah
berhenti saat melihat isinya. Terlebih setelah membaca e-mail yang dikirim sesudahnya.
Kini laki-laki
itu sadar, Maya tidak akan kembali lagi.
Secepat
kesadaran yang menghampirinya, Masumi berlari ke luar. Berteriak entah pada siapa, untuk menyiapkan
mobilnya segera. Begitu ia tiba di teras, mobilnya sudah siap dengan Oshima yang
sudah berdiri siap membukakan pintu untuk tuannya.
“Kemarikan
kuncinya!”
“E, Tuan?”
“Cepaaattt!!!”
Dengan terkejut Oshima segara menyerahkan benda itu ke tangan majikannya dan hanya bisa terbengong
dengan keheranan saat melihat dalam beberapa detik, mobil itu sudah meluncur
cepat keluar dari halaman kediaman Hayami.
Eisuke
memperhatikan semua itu dari balik jendela ruang baca. Begitu mobil Masumi
menghilang dibalik gerbang, laki-laki itu memutar kursi rodanya.
Asa nampak
setia berdiri tak jauh darinya.
“Apa kau sudah
melakukan apa yang aku minta?” tanya Eisuke pada asistennya itu.
Asa mengangguk
hormat. “Seperti yang
anda perintahkan tuan.”
“Bagus!” bibir
Eisuke membentuk garis lurus. “Bawa aku ke ruanganku, Asa. Rasanya badanku
sangat lelah hari ini,” ujarnya kemudian.
Kembali Asa
mengangguk hormat dan dengan patuh melakukan apa yang diminta majikannya itu.
***
Sudah hampir jam delapan malam dan Masumi belum
sedikitpun menemukan jejak Maya.
Laki-laki itu menjalankan mobilnya pelan saat melewati
keramaian, menajamkan mata, berharap menemukan sosok mungil yang dicarinya.
Kepanikan mulai memuncak.
“Kau dimana, Maya?”
Pertanyaan itu terus dia suarakan dalam benaknya,
sesekali keluar melalui desahan resahnya. Kepalanya mulai berdenyut sakit oleh
kekhawatiran merayap kian naik.
Apartemen Maya, apartemen Rei dan tempat tinggal
teman-teman teater Maya yang lainnya sudah didatangi. Bahkan Keiko pun tidak
tahu kemana Maya pergi. Gadis itu terdengar khawatir saat tahu Maya pergi dari
kediaman Hayami. Hijiri sudah sejak tadi membantunya mencari namun sampai
sekarang belum ada laporan yang bisa membuatnya lega.
Tuhan, kemana lagi aku harus mencari? Batin Masumi.
Terbayang video yang diterima Maya tadi sore.
Gadis
itu pasti sangat ketakutan!
Masumi mengetatkan pegangannya pada setir mobil. Salahku! Runtuk hatinya kemudian. Aku
kurang waspada! Aku sama sekali tidak menyangka kalau pengirim anyelir merah
itu bahkan tahu alamat e-mail pribadi Maya!
Tiba-tiba Masumi menginjak rem mobil, membuat merzedez
keluaran terbaru itu berhenti seketika.
E-mail
pribadi Maya! Orang-orang yang mengetahui alamat e-mail pribadinya hanyalah
orang-orang yang dekat dengannya!
Dadanya berdebar semakin kencang.
Rasanya tak ada satu orang pun yang mencurigakan dari
teman Maya. Gadis itu tidak memiliki banyak teman akrab kecuali teman-temannya
di teater!
Sakurakoji?
Tiba-tiba terlintas nama pemuda yang pernah menjadi saingan cintanya itu.
Setelah pementasan bidadari merah yang sukses besar,
Masumi tahu, Maya sudah menolak laki-laki itu dengan mengembalikan kalung lumba-lumba
yang pernah diberikan Koji. Mereka bahkan tidak pernah satu pentas lagi setelah
itu, kecuali untuk urusan yang berhubungan dengan pentas bidadari merah. Tapi
itu bukan berarti pemuda itu sudah melupakan cintanya pada Maya. Dia tahu
pasti, Sakurakoji masih menyimpan perasaan terhadap Maya!
Mungkinkah? Masumi merasakan kepalanya mendadak pening. Bukan tidak mungkin perasaan cinta
Sakurakoji yang tidak terbalas itu membuatnya menjadi terobsesi pada Maya!
Obsesi yang membuatnya berani menyingkirkan semua laki-laki dalam kehidupan
Maya!
Atau…bahkan
sanggup membuatnya menyakiti Maya, agar tidak dimiliki laki-laki lain?
Kini Masumi mengusap peluh yang mulai merembesi
keningnya. Pemikiran itu sungguh membuatnya takut setengah mati. Tidak boleh!
Tidak boleh terjadi apapun yang buruk pada Maya. Tidak akan kubiarkan!
Cepat diraihnya handphone untuk menghubungi Hijiri,
meminta bawahan yang setia itu untuk mengawasi semua kegiatan Sakurakoji.
Setelah menyampaikan apa yang diinginkannya, Masumi kembali menginjak gas untuk
mencari belahan jiwanya yang kini entah berada di mana.
***
Kazuya duduk termenung di sisi tempat tidur dimana
sosok mungil Maya terbaring demam. Dokter baru saja pulang setelah memeriksa
Maya. Saat melarikan mobilnya dengan panik, terbersit olehnya untuk membawa
Maya ke rumah sakit namun cepat diurungkannya. Dia tidak ingin membuat orang
bertanya dengan terlukanya Maya. Jadi segera ia membawa Maya ke rumahnya dan
memanggil dokter pribadinya. Dia yakin, sang dokter tidak akan bertanya banyak
meski tahu, kondisi luka Maya akan menimbulkan kecurigaan.
Dan dokter yang sudah menjadi dokter keluarga selama
bertahun-tahun itu bahkan tidak bertanya apapun. Hanya berpesan untuk
mengingatkan Maya lebih berhati-hati agar luka jahitannya tidak terbuka lagi.
Diusapnya kening Maya yang berkeringat.
Wajah mungil yang biasanya merona merah itu kini
nampak pucat. Kazuya mendesah.
“Saat seperti ini pun kau tetap membuatku terpesona,
Kitajima.”
Untuk beberapa lama Kazuya memanjakan matanya dengan
terus memandangi Maya. Berharap dapat
meredakan kerinduan yang dia tahan selama beberapa hari terakhir ini.
Keasyikannya terusik oleh ketukan di pintu. Seorang
pelayan membungkuk hormat saat pintu terbuka.
“Maaf tuan muda, ada yang ingin bertemu dengan anda.”
Kazuya mengerutkan kening. Matanya melirik jam tangan
yang melingkari pergelangannya. Hampir
setengah sepuluh malam. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
“Siapa?”
“Beliau tidak mengatakan namanya, Tuan Muda. Katanya
ini tentang Nona Kitajima.”
Tentang
Maya? Rasa penasarannya semakin besar. Dengan
langkah lebar Kazuya segera menuju ruang tamu.
Disana nampak seorang laki-laki berpakaian jas resmi
yang nampak sangat kaku duduk di sofa ruang tamunya. Laki-laki itu segera
berdiri saat dirinya muncul lalu membungkuk hormat.
“Tuan Oda.”
Keheranan di wajah Kazuya disambut dengan senyuman
tamunya.
“Maaf, Tuan Oda. Mungkin ini terlihat aneh. Tapi saya
datang untuk meminta anda melakukan sesuatu sehubungan dengan Nona Kitajima.”
“Tentang Kitajima? Saya tidak mengerti maksud anda.”
“Nona Kitajima sedang terluka bukan?”
Mata Kazuya melebar. “Dari mana Anda tahu?”
“Tidak penting dari mana saya tahu Nona Kitajima
sedang terluka dan sekarang berada di rumah ini. Saya hanya ingin menyampaikan
permohonan dari atasan saya, agar Tuan Oda bisa merahasiakan tentang keberadaan
Nona Kitajima kepada siapapun. Termasuk teman-teman terdekatnya.”
“Merahasiakan…keberadaannya?’
“Benar,” angguk laki-laki itu. “Bahkan jika Anda tidak
keberatan, atasan saya meminta Anda untuk membawa Nona Kitajima menjauh dari
Tokyo untuk sementara. Beliau sudah menyiapkan segala sesuatunya jika anda
setuju. Kemana pun tujuan anda tidak masalah.”
Sekarang laki-laki itu menyodorkan sebuak koper dan
membukanya. Kazuya melihat koper itu dipenuhi dengan lembaran-lembaran uang.
“Apa ini?” tanyanya tajam.
“Selebihnya akan kami ditransfer ke rekening anda
secepatnya, jika Anda dan Nona Kitajima sudah meninggalkan Tokyo.”
“Dan kenapa aku harus melakukan itu?”
“Jawabannya hanya satu, Tuan Oda. Itu karena Nona
Kitajima sedang dalam bahaya.”
Tubuh Kazuya membeku seketika. Ditatapnya laki-laki di
depannya dengan setengah tidak percaya.
“Secepatnya Anda membawa nona Kitajima lebih baik.
Besok pagi saya akan menghubungi anda kembali.”
Tanpa berbasa-basi lagi laki-laki itu membungkuk
pamit, meninggalkan Kazuya yang masih terpaku bingung.
Tanpa sadar Kazuya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa,
memandangi koper berisi uang yang kini tergeletak di atas meja.
***
Sudah hampir jam 3 pagi.
Masumi berusaha untuk tetap terjaga. Entah sudah
berapa jam dia duduk di sofa di ruang tamu apartemen Maya, berharap melihat
sosok mungil itu berjalan masuk. Namun harapannya tak kunjung terkabul.
“kau dimana, Maya?” desisnya putus asa. “Kumohon,
muncullah di hadapanku segera! Aku bisa gila, Maya, jika kau menghilang seperti
ini!”
Matanya sudah pegal memandangi pintu yang tidak juga
terbuka. Untuk kesekian kalinya Masumi
menyulut rokoknya. Lemari es Maya tidak menyediakan minuman beralkohol
sehingga hanya rokoklah satu-satunya yang bisa ia pakai untuk meredakan
ketegangan sarafnya. Itupun kini tinggal satu batang yang tersisa.
Melihat puntung rokok yang berserakan di meja tamu,
Masumi terkekeh pelan, membayangkan omelan Maya jika gadis itu melihatnya.
Kau
mengomel seharian pun aku tidak keberatan, Maya. Asal kau ada di dekatku, batin Masumi. Hatinya kembali berdenyut, resah dan
rindu bercampur aduk. Dipandanginya foto Maya yang terpajang di salah satu
dinding. Mencari ketenangan dari senyum manis yang terukir di sana. Semakin
lama senyum itu semakin kabur seiring dengan rasa lelah yang menyergap. Matanya
pun semakin berat, sampai akhirnya Masumi menyerah dan mulai jatuh tertidur.
Entah berapa lama ia tertidur, yang jelas, saat
mendengar suara pintu terbuka, Masumi langsung terjaga dan meloncat bangun.
“Maya!” teriaknya tak sabar dengan hati berderap
gembira. Namun kegembiraannya surut seketika saat melihat sosok yang masuk.
“Kau?” desisnya.
Keterkejutan yang sama terpampang jelas di wajah orang
yang baru masuk.
“Pak Masumi?”
Keiko cepat-epat membungkuk hormat melihat atasannya
itu.
“Apa yang Anda lakukan di sini?”tanyanya kemudian
dengan segan.
“Aku pikir mungkin saja dia pulang. Jadi aku berniat menunggunya," jawab Masumi.
Keiko tertegun melihat betapa wajah bosnya itu nampak begitu kusut. “A-anda pasti sangat khawatir,” komentarnya lirih. Saat Masumi menghubunginya semalam untuk menanyakan tentang keberadaan Maya, jelas sekali kekhawatiran kental dalam suaranya. Laki-laki di depannya ini malah menutup telepon begitu dia bilang tidak tahu.
Kembali dipandanginya Masumi dengan takut-takut. "Pak Masumi, k-kenapa Maya bisa menghilang?”
Sekilas Masumi memperhatikan raut muka asisten Maya itu. Keiko tahu tentang Anyelir Merah dan teror yang dilakukannya. Diputuskannya untuk memberitahu Keiko tentang video yang
dikirimkan Anyelir Merah sore tadi.
Keiko mendekap mulut, menahan keterkejutannya.
“Maya pasti sangat ketakutan,” mata gadis itu nampak
berkaca-kaca. “Ah, dimana dia sekarang?”
Masumi menggeleng lemah. Matanya melirik jam di
dinding. Sudah jam 6 lebih. Dia harus pergi. Tidak ingin membuang waktu lagi
dengan diam menunggu di apartemen Maya. Dia akan mencoba mencarinya lagi ke
tempat-tempat yang mungkin didatangi gadis itu.
“Kalau kau tahu tentang keberadaan Maya, cepat kau
beritahu aku!” ujar laki-laki itu sebelum pergi dan dijawab dengan anggukan
Keiko.
Keiko mengekor di belakang saat Masumi beranjak ke pintu. Sedikit
tergagap saat mendengar pertanyaan Masumi sebelum bos Daito itu membuka pintu.
“Ngomong-ngomong, Nona Tsukino, apa yang kau lakukan
di sini sepagi ini?”
Pandangan Masumi nampak tajam menusuk. Diam-diam Keiko
meneguk ludahnya dengan gugup.
“S-saya.. saya hanya ingin mengecek keadaan apartemen
saja, Pak. Selama Maya pergi, saya harus memastikan apartemennya baik-baik
saja. D-dan... siapa tahu, Maya pulang. ”
Masumi nampak terdiam dengan pandangan menyelidik
membuat kegugupan Keiko kian memuncak. Namun beberapa detik kemudian saat Masumi membuka
pintu dan keluar tanpa berkomentar apapun, Keiko mengembuskan nafas yang sejak
tadi ditahannya kuat-kuat.
Setelah yakin bos nya itu sudah pergi, cepat gadis itu
berbalik menuju kamar Maya, menarik koper kecil dari dalam lemari dan mengepak
beberapa baju Maya. Setelah mengambil passport Maya dari dalam laci dan memasukkan ke dalam koper, gadis itu pun bergegas pergi.
Kazuya pasti sudah menunggu.
Kazuya pasti sudah menunggu.
***
“Ngggh?” Maya mengerang pelan saat merasakan kepalanya
yang masih berdenyut. Perlahan gadis itu membuka mata. Keningnya langsung
berkerut saat menyadari dia berada di tempat yang tidak dia kenal.
“Apa yang…,” samar-samar diingatnya kejadian sebelum
dirinya tidak sadarkan dirinya. Refleks gadis itu mencelat bangun. Seseorang
bersamanya sebelum ia pingsan!
Tapi
siapa?
Tidak dihiraukannya kepalanya yang sakit saat
kaki mungilnya mencoba berdiri. Sejenak
pandangannya terasa berputar. Setelah diam beberapa saat, putarannya semakin
menghilang. Maya segera mengedarkan pandangannya dengan waspada. Ia berada di
sebuah kamar yang cukup luas dan mewah. Berusaha mencari petunjuk dimana dia
berada kini. Tapi tak ada satu benda pun yang menolong.
Maya kemudian mendekati jendela besar yang ada di
samping kanannya. Berharap menemukan petunjuk dari suasana di luar sana. Rupanya
dia berada di sebuah rumah yang lumayan besar dan luas. Dari jendela terlihat
sebuah taman yang dipenuhi banyak rumpun bunga yang artistik. Ujung taman
dibatasi oleh tembok tinggi.
Maya mengeluh. Tembok pagar yang tinggi menghalanginya untuk melihat ke luar area taman. Dia tidak
tahu dimana dia berada kini.
Diputuskannya untuk keluar kamar. Namun saat hendak
berbalik meninggalkan jendela, sudut matanya menangkap sesuatu yang membuatnya
tersentak, lalu refleks kembali melayangkan pandangan ke salah satu sudut di
luar sana.
Mata gadis itu melebar dengan ketakutan yang
kembali tersirat!
Anyelir
merah… Maya mendesis.
Di salah satu sudut taman nampak beberapa rumpun bunga
anyelir merah yang ditata dengan apik. Memang masih ada beberapa rumpun bunga
lain di sana, tapi nampaknya, pemilik rumah menyukai jenis bunga yang satu itu
sehingga sengaja meluangkan area lebih banyak untuk menanam anyelir merah.
Mungkinkah? Jantung gadis itu berdegup kian kencang.
Suara pintu terbuka membuat Maya terlonjak kaget.
Tanpa sadar gadis itu merapatkan tubuh ke bingkai jendela, menunggu penuh
antisipasi saat pintu mulai terbuka.
“Ah, Nona sudah bangun?” sapa seorang gadis muda
dengan seragam pelayan yang masuk dengan mendorong kereta makanan. Kembali mata
Maya membulat. Dua tangkai anyelir merah
nampak manis di dalam vas kaca langsing menyertai hidangan yang diantarkan.
“Tuan muda berpesan untuk mengantarkan sarapan untuk
nona. Syukurlah, Nona sudah bangun,” gadis itu tersenyum ramah.
“Anyelir merah..,” mata Maya masih terpaku pada bunga
yang membuat dadanya semakin berdegup dengan tegang.
“Tuan muda sangat menyukai bunga ini,” terang si
pelayan dengan antusias. “Bunga ini harus selalu ada sekitar rumah dalam
keadaan segar.”
“Tuan muda?” gumam Maya. Dua kali pelayan itu
menyebutkan tuan mudanya tanpa menerangkan siapa dia.
Pelayan itu tidak mendengar gumaman Maya. Dengan
cekatan membuka tutup nampan. Pancake yang nampak lezat langsung terhidang,
lengkap dengan potongan strawberry dan saus yang nampak menggiurkan.
“Silahkan sarapan, Nona. Jika ada yang diperlukan
lagi, Anda tinggal menekan bel yang ada di samping tempat tidur Nona.”
Maya mengangguk. Keterkejutannya membuat otaknya
berjalan lambat beberapa saat tadi. Saat si pelayang pamit keluar, gadis itu
berseru tertahan.
“Tu-tunggu!”
“Ya, Nona? Apakah ada yang Anda perlukan lagi?”
Maya menggeleng pelan. “ Tuan Muda~ dimana dia
sekarang?”
“Oh, beliau tadi pagi pergi. Beliau tidak mengatakan
kemana. Mungkin ke studio.”
“Studio..,” Maya kembali bergumam. Membeo.
“Jika tidak ada lagi yang diperlukan, saya permisi,
Nona. Selamat menikmati sarapannya.”
Pelayan itu pun keluar dan menutup pintu.
Studio.. batin Maya. Studio
apa? Apakah dia seseorang yang aku kenal?
Kenyataan bahwa Musubi no Kami mengetahui semua
gerak-geriknya, pikiran yang terlintas tadi sangat masuk akal. Kembali tubuhnya
meremang. Maya kembali merasa dunianya sekarang menjadi sangat sempit,
membuatnya susah bernafas. Jika memang orang itu seseorang yang dia kenal, yang
mungkin saja dia temui setiap hari, maka akan sulit baginya untuk bisa lepas
dari terornya.
Kecuali
kalau aku pergi jauh…
Maya memutuskan untuk tidak berlama-lama
merealisasikan pikirannya barusan. Tanpa menghiraukan perutnya yang lapar dan
kepala dan bahu kirinya yang masih berdenyut, gadis itu bergegas menyelinap
keluar. Berusaha untuk tidak bertemu siapapun saat berusaha mencari pintu
depan. Maya bahkan tidak menyadari, bahwa dirinya kini memakai piyama yang
nampak kebesaran di tubuhnya yang mungil.
Tiba di luar pagar, Maya menghembuskan nafas lega.
Untunglah tidak ada yang memergokinya tadi. Maya berbalik sejenak untuk melihat
rumah yang baru saja ditinggalkannya.
Diliriknya nama yang terpasang di dinding pagar.
Matanya membulat dengan jantung yang kembali berdegup kencang.
Oda
Kazuya recident.
Tidak
mungkin… desisnya. Tidak mungkin Oda san…
Namun kenyataan bahwa tuan rumah sangat menyukai
anyelir merah, membuat pikirannya mau tidak mau, menunjuk sutradaranya itu
sebagai tersangka utama pelaku teror yang dia alami belakangan ini.
Dan
Oda san tahu banyak tentang jadwal kegiatanku!
Maya tidak mau lagi berlama-lama berdiri di sana. Bergegas
gadis itu pergi, memutuskan kembali ke apartemennya untuk membawa barang-barang
yang dibutuhkannya nanti. Secepatnya dia harus meninggalkan Tokyo. Menjauh dari
semua, sebelum jatuh korban lagi.
Matanya terasa panas. Terbayang wajah tampan yang sangat
dirindukannya sekarang.
Tak
apa, bisik hatinya
berulang-ulang. Asalkan Pak Masumi
selamat, seperti ini pun tak apa..
Setetes air mata melompat turun ke pipi pucatnya.
Sementara itu, agak jauh di belakangnya, sebuah mobil
berjalan pelan. Mengamati sosok mungil dalam piyama kebesaran yang berjalan
agak terseok di trotoar. Senyum tipis membias di bibir pengemudinya.
Mendadak dia menginjak rem. Sebuah mobil hitam nampak
berhenti tepat di pinggir gadis itu. Maya nampak terkejut, nampak ketakutan.
Sesosok pria berjas hitam turun.
Si pengemudi berdecak kesal. Dia tidak dapat melihat wajah
laki-laki yang kini membelakanginya, nampak mengatakan sesuatu pada Maya. Dia
pun tidak bisa memastikan reaksi Maya karena terhalang tubuh tegap si
laki-laki. Yang jelas beberapa lama kemudian, lelaki itu membuka pintu belakang
mobilnya dan Maya bergegas masuk.
Mobil hitam itu kembali melaju.
Dengan sigap si pengemudi kembali menjalankan mobil. Mencoba
membuntuti. Namun saat mobilnya terhalang lampu merah, kembali si pengemudi
memaki pelan. Kekesalan nampak sekali di wajahnya saat memandang mobil hitam
yang diikutinya menjauh dan menghilang dari pandangannya.
***